Alexa memegangi dua ember yang sedianya untuk menampung susu sapi. Sementara Gala dan Bagus telah masuk ke dalam kandang sapi dan bersiap untuk memerah. Sungguh ia baru tahu kalau di belakang rumah Pak Hamid ini ada beberapa ekor sapi yang besar-besar. Hanya saja jumlahnya tidak banyak.
Alexa mulai menghitung. Hanya enam ekor sapi di sana. Yang begini ini namanya peternak besar? Kalau sapinya cuma enam mana pantas menyandang nama peternak besar? Tukang sapi sih iya. Pak Hamid juga bilang kalau si Gala ini petani cabe merah dan bawah merah terbesar di negeri ini kan? Coba nanti ia lihat. Jangan-jangan kebunnya juga cuma sepetak dua petak juga. Mungkin pengertian besarnya ia dengan Pak Hamid beda.
"Eh gadis kota, ngapain kamu bengong saja di situ? Kamu ini niat bekerja atau tidak?" Teriakan Gala membuat Alexa mengkertakkan gerahamnya. Sialan emang si Gala ini. Pasti majikan galaknya ini mempunyai sifat pendendam. Buktinya baru dikatai sekali saja, ia sudah membalas dengan memberinya bermacam-macam nama julukan. Namun demi menunaikan tugas ia akan menutup mulutnya dulu. Biarlah majikannya ia menang duluan. Toh pemenang sejati adalah ia yang tertawa paling akhir bukan?
"Iya, Bos kampung. Gue datang. Nyinyir amat sih jadi laki?"
Lo manggil gue gadis kota. Gantian gue manggil lo Bos kampung. Satu sama.
"Kamu ini bukannya sudah dinasehati akungmu untuk selalu menggunakan kata saya sebagai penyebut diri. Kenapa sekarang kamu memakai kata gue lagi?"
Eh sianying. Dia inget aja lagi. Tapi biar saja. Toh Pak Hamid sedang tidak ada di sini.
"Ck. Udahlah Pak Bos kampung. Masalah kecil seperti begitu jangan dibesar-besarkan. Lagian saya dan gue itu artinya sama kan?" gerutunya. Alexa pun mulai masuk ke dalam kandang. Seketika ia merasa mual. Hidungnya belum bisa beradaptasi dengan kotoran sapi, dan segala aroma yang tidak mengenakkan di dalamnya. Dari jarak jauh sih, masih mendingan. Namun saat ia benar-benar berada dalam kandang seperti ini, ia megap-megap juga. Tetapi ia tidak mau memperlihatkan rasa mualnya. Ia bertekad akan melalui semua ujiannya dengan gagah berani. Makanya saat ini ia mati-matian memperlihatkan air muka yang biasa saja. Padahal kepalanya keliyengan luar biasa.
"Ya bedalah," bantah Gala.
"Heh. Beda? Apa coba bedanya?" Demi menetralisir aroma-aroma yang tidak enak, Alexa terus saja berbicara. Diharapkan dengan terus berdebat kusir, ia jadi tidak mengingat-ingat aroma yang tidak mengenakkan ini.
"Kalau saya itu, aku," jawab Gala sambil menepuk dadanya sendiri.
"Lah kalau gue?" tanya Alexa penasaran.
"Monyet," sahut Gala kalem.
Eh sianying!
"Ngomong apa lo?" Alexa merasa darahnya naik semua ke kepala. Ini orang mulutnya lemes amat ya? Rasa-rasanya ingin sekali menggantungkan ember yang tengah dijinjingnya ke kepala Gala. Namun ia masih berpikir panjang. Statusnya di sini adalah Jamilah binti Surip. Bukan Alexa Delacroix Adams. Tetapi kalau ia mendiamkan saja pembully-an ini, lama-lama ia bisa bisulan karena makan hati.
Baru saja ia berniat untuk balas membalas mulut lemes Gala, Pak Hamid sudah lebih dulu memanggilnya. Pak Hamid meneriakkan namanya seraya mengelurkan ponsel. Alexa merasa sangat gembira. Itu artinya keluarga di Jakarta yang menghubunginya. Entah siapa yang mencarinya di pagi buta seperti ini. Mungkin mamanya. Ya, pasti mamanya merindukannya. Selama ini ia memang tidak pernah terpisah jauh dari rumah.
Ia meletakkan kedua ember itu ke tanah begitu saja. Ia kemudia menghambur ke arah Pak Hamid yang berdiri di pintu penghubung. Selama diungsikan ke desa ini, ia memang tidak diperbolehkan membawa ponselnya. Kata papanya jika ia ingin memiliki ponsel, maka ia harus membelinya sendiri. Untuk itulah ia bertekad mati-matian bekerja di sini. Ia harus kembali memiliki ponsel. Bayangkan, sudah diasingkan ke desa, eh hiburan satu-satunya pun disita. Bagaimana ia tidak ingin menangis sambil koprol saja rasanya.
"Mama menelepon ya, Pak?" Alexa meraih ponsel dari tangan pak Hamid dengan gembira.
"Bukan. Den Xander. Bicaranya jangan lama-lama ya, Non? Gala itu tidak suka kalau saat bekerja, malah bermain ponsel. Bapak tunggu lima menit ya?" Pak Hamid masuk kembali ke dalam rumah. Ya ingin memberi majikan kecilnya ini privasi.
"Ya, Bang. Tumben Abang menelepon Lexa pagi-pagi. Ada kabar penting ya, Bang?" Insting Alexa mengatakan ada hal urgent yang ingin disampaikan oleh kakaknya. Jika tidak ada hal yang penting sekali, tidak mungkin kakaknya mencarinya pagi-pagi buta seperti ini. Sikap tubuhnya langsung waspada.
"Brandon sedang mengincarmu. Tadi malam Brandon dan Pak Hardiman datang menghadap papa. Mereka ingin melamarmu. Brandon juga bersedia dijajal di Alcatraz sebagai syarat menjadi calon menantu katanya. Abang bisa menilai kalau Brandon itu sungguh-sungguh dengan niatnya. Kamu harus berhati-hati."
Brandon melamarnya? Kiamat sudah sedekat ini rupanya!
"Nggak mau! Sampai mati pun Lexa nggak sudi menjadi istri Brandon!" Alexa panik. Di dunia ini laki-laki yang paling tidak ia sukai adalah Brandon. Selain tidak suka, sebenarnya ia juga takut pada Brandon. Ada satu kejadian yang membuatnya trauma. Dan demi membunuh rasa takutnya, ia dengan sengaja menantang-nantang Brandon dalam segala hal. Ia tidak ingin Brandon mengendus rasa takutnya.
"Kalau begitu, kamu harus lulus dalam ujian ini. Karena papa mengatakan pada mereka, kalau saat ini kamu tengah menjalani masa hukuman. Dan apabila kamu menyerah sebelum masa hukumanmu selesai, barulah papa akan menerima lamaran mereka. Kamu tahu kan apa artinya itu, Lexa?"
"Tahu, Bang. Berarti Lexa harus bertahan di sini sampai setahun ke depan, walau apapun yang akan terjadi. Sekalipun terjadi banjir bandang bahkan gempa bumi."
"Seperti itulah kira-kira gambarannya kalau kamu tidak ingin menjadi nyonya Brandon Sanjaya. Atau kamu boleh kembali ke rumah sebelum masa hukuman habis, tetapi dengan satu syarat. Bawa calon suamimu ke hadapan Papa dan Abang. Dan kalau Brandon masih menginginkanmu menjadi istrinya, maka calon suamimu itu wajib menghadapi tantangan Brandon. Setelah ia mampu mengalahkan Brandon dalam keadaan masih hidup, barulah ia berhadapan dengan Abang dan papa. Apakah kata-kata Abang ini bisa kamu mengerti, Lexa?"
Mengerti, tapi masalahnya, siapa orangnya?
"Mengerti, Bang."
"Bagus, Abang tutup dulu teleponnya. Ingat satu hal Lexa. Sesal kemudian tiada berguna."
Setelah menutup ponsel, satu tekad tumbuh dalam dirinya. Yaitu ia akan bertahan hingga akhir di desa Pelem ini. Walau ia tahu, untuk itu bukanlah hal yang mudah. Menghadapi seorang Gala saja, ia terus naik darah, apalagi ia harus beradaptasi dengan kehidupan di sini. Namun ia juga menyadari bahwa dirinya tidak punya pilihan lain lagi.
Ayolah, Lexa. Lo ini adalah keturunan seorang Delacroix Adams. Lo ingat semboyan sakral keluarga lo yang melegenda? Bahwa jangan pernah takluk pada keadaan. Tetapi taklukkanlah keadaan, hingga ia merunduk padamu.
"Harus berapa lama lagi saya menunggumu bekerja, Gadis kota?" Teriakan bercampur kecaman Gala membuat lamunan Alexa buyar.
"Siap, Pak. Sebentar, gue--eh saya mengembalikan ponsel dulu pada Akung." Alexa yang telah memutuskan bahwa ia akan berjuang di desa ini, memulainya dengan menyebut dirinya sendiri dengan sebutan saya. Seperti keinginan Pak Hamid dan juga Gala. Namun ternyata ia tidak perlu mengembalikan ponselnya pada Pak Hamid. Karena si bapak sudah lebih dulu muncul di ambang pintu penghubung. Setelah mengembalikan ponsel pada Pak Hamid, ia bergegas kembali ke kandang sapi.
"Saya datang, Bapak Gala yang terhormat. Apa yang harus saya lakukan sekarang? Mohon petunjuknya," ujar Alexa sopan. Alih-alih menjawab pertanyaannya Gala malah saling memandang dengan Bagus. Sepertinya mereka heran dengan perubahan sikapnya yang mendadak ini. Setelah sempat terdiam beberapa detik, barulah Gala menanggapi pertanyaannya.
"Sekarang kamu jongkok dan ambil ember yang kamu letakkan tadi. Saya akan mengajarimu cara memerah susu."
"Siap," jawab Alexa singkat. Dan lagi-lagi ia mendapati Gala dan Bagus saling memandang. Tingkah keduanya telah menyerupai orang yang sedang berpacaran saja. Sebentar-sebentar saling memandang dalam diam dengan penuh perasaan.
"Baik. Mulailah dengan mengikatkan halter di leher sapi ini pada tiang yang kukuh," sembari menginstruksikan Gala juga ikut jongkok dan mempraktekkan caranya.
"Kemudian dekati sapi secara perlahan dan mulailah dengan membersihkan ambingnya. Yaitu kelenjar yang berfungsi untuk mengeluarkan susu. Perhatikan baik-baik cara saya membersihkannya." Dengan patuh Alexa memperhatikan Gala mencelupkan kain lembut pada sebuah ember kecil. Memeras airnya lembut seraya mendekati sapi.
"Bersihkan ambing sapi perlahan-lahan dengan air sabun atau yodium. Karena ambing biasanya kotor oleh rumput, jerami, dan tanah. Kita harus mencuci ambing hingga bersih sebelum mulai memerah. Gunanya adalah untuk mencegah tanah dan semua bakteri agar tidak mengontaminasi susu. Ikuti gerakan saya."
Walau sesungguhnya ia was was karena takut disepak oleh sapi, ia juga malu. Bayangkan, ia harus menggerepe-gerepe ambing sapi di depan mata Gala. Namun karena ia telah bertekad akan terus berjuang di sini, ia tetap melaksanakan titah Gala. Ia mulai membersihkan ambing sapi dengan lembut.
"Seka terus hingga bersih," perintah Gala lagi. Gala kemudian berdiri perlahan, sembari mengelus-elus sapi.
"Nah sekarang lumasi tanganmu dengan pelumas ambing sapi, agar ambing sapi tidak luka atau lecet-lecet saat kamu memerahnya nanti. Bicara yang lembut pada sapi dan tepuk-tepuk sisi tubuhnya sehingga ia mengetahui tempatmu berada. Sapi memiliki jangkauan penglihatan sebesar 300 derajat. Yang artinya ia bisa melihat sekelilingnya tanpa menggerakkan kepala. Kecuali yang berada langsung di depan dan di belakangnya."
Mengajak sapi bicara? Emangnya gue harus ngobrol apa sama ini sapi? Masa gue harus nanya apa ia mau mau diajak ngetrack bareng?
Tetapi Alexa tetap juga mengikuti instruksi Gala. Ia segera berdiri karena ingin mengajak Sapi'i berbicara. Ya, ia memutuskan untuk memberi nama sapi ini dengan nama Sapi'i saja. Singkat, tepat, namun bermakna
Sesuatu kemudian terjadi di di luar perkiraannya. Sapi'i bergerak dan mengibaskan ekornya. Alexa kaget luar biasa. Sontak ia memeluk erat Gala yang berdiri tepat di hadapannya karena ketakutan. Apalagi si Sapi'i kini mendengkus-dengkus ganas. Alexa merinding. Tanpa sadar ia makin melesakkan tubuh pada Gala. Memeluknya kian rapat. Alexa bahkan tidak mempedulikan suara batuk-batuk kecil Bagus. Ia terlalu takut untuk menyadari keadaan di di sekelilingnya.
"Tidak apa-apa, Milah. Kamu jangan ketakutan seperti itu. Sapi itu tidak seberbahaya kuda. Yang penting jangan melakukan gerakan mendadak." Alexa tidak menjawab. Ia masih berusaha meredakan jantungnya. Ia memang akrab dengan kekerasan. Berkelahi, balap mobil, bahkan menghadapi keroyokan musuh pun ia tidak gentar. Tetapi ia tidak pernah menghadapi binatang. Apalagi yang besarnya seperti si Sapi'i ini. Mendengarnya mendengkus-dengkus saja, ia sudah ketakutan setengah mati.
Akan halnya Gala. Ia risih luar biasa. Apalagi tubuhnya kotor dan berkeringat akibat aktifitas fisiknya. Pasti tubuhnya kini telah mengeluarkan aroma yang tidak enak. Apalagi Bagus memandangnya dengan tatapan ganjil. Antara kaget dan tawa tertahan. Saat ini ia hanya berdiri diam dengan kedua tangan tetap berada di sisi tubuhnya. Ia tidak berani menyentuh gadis kota ini. Ia bukanlah laki-laki mata keranjang yang suka mengambil kesempatan.
"Sudah hilang kagetnya? Sekarang coba kamu jongkok kembali." Serba salah Gala mencoba memisahkan tubuhnya yang melekat erat dengan Jamilah.
Alexa membuka matanya perlahan. Tatapannya menelusuri dada bidang yang basah oleh keringat. Naik ke leher, hingga ke rahang kokoh dan wajah datar Gala. Astaga! Ia telah sembarangan memeluk orang rupanya. Ia sontak melepaskan diri dan mendorong keras dada Gala. Hebatnya Gala tidak terjengkang. Padahal ia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Gala hanya mundur dua langkah. Dan itu pun karena ia memang ingin mundur. Bukan karena dorongannya. Setelahnya mereka berdua sama-sama kikuk. Ia tidak tahu harus melakukan apa.
"Ayo sekarang kamu jongkok, dan letakkan ember di bawah ambing sapi." Akhirnya Gala bersuara. Tanpa perlu disuruh dua kali Alexa segera menuruti perintahnya.
"Ingat kamu jangan membuat gerakan tiba-tiba yang mengejutkan sapi. Karena sapi bisa panik, hingga ia bisa menendang atau menginjak."
Menendang? Menginjak? Kok rasanya sapi-sapi ini seperti ingin mengajaknya berkelahi.
"Berarti tidak aman dong, Pak duduk di dekat sapi?"
"Kamu salah. Justru kamu harus duduk sedekat mungkin dengan sapi. Dengan begitu kalau pun ada kejadian, paling kamu hanya akan terjengkang apabila sapi menendang. Tapi jika jarak di antara kalian cukup jauh, tendangan sapi bisa telak melukaimu. Mengerti?"
Ingat Lexa, lo harus lulus ujian kalo lo nggak mau dimilikin si brengsek Brandon.
"Mengerti, Pak. Jangan 'kan cuma disepak. Kalau pun gue eh saya harus berantem sama ini si Sapi'i, saya jabanin dah."
"Lantas siapa tadi yang memeluk saya begitu erat seperti anak monyet?"
Eh dia bahas monyet lagi? Sialan!
Alexa merasa tubuhnya sudah searoma Sapi'i saat ia keluar dari kandang. Di tangan kanan dan kirinya, masing-masing memegang dua buah ember yang berisi susu sapi segar. Begitu juga dengan Gala dan Bagus. Saat ini cuaca sudah mulai terang. Dan Gala telah mengintruksikan agar dirinya bersiap-siap untuk memanen cabe. Namun ia meminta waktu lima menit untuk membersihkan diri. Ia takut para pemetik cabe lainnya akan pingsan saat berdekatan dengannya yang masih beraroma kandang Sapi'i."Ingat ya, saya memberimu waktu sepuluh menit. Kalau lewat dari waktu yang telah kita sepakati bersama, saya sendiri yang akan menyeretmu keluar dari kamar mandi. Paham, Jamil?"Wah ini orang ngajak ribut terus ya? Tadi memanggilnya dengan julukan Jamidun. Dan kini si Jamil. Tangannya gatal-gatal ingin memberi sedikit pelajaran pada Gala. Namun ia teringat kembali akan pesan Xander, ia mencoba bersabar. Daripada harus menjadi istri Brandon, lebih ia lebih memilih memanjangkan sabarnya. Sabar Lexa. Orang saba
Alexa memakai pakaian yang diberikan Gala dengan cepat. Selama berpakaian, ia bolak-balik mengintai dari bilik yang terbuat dari bambu. Setelah selesai berpakaian, Alexa merasa ia seperti orang-orangan sawah. Lengannya tak tampak karena lengan kemeja yang kepanjangan. Serta celana yang kepanjangan juga. Ia mengakalinya dengan menggulung lengannya berkali-kali. Setelahnya ia memasukkan kemejanya dalam joger pants. Agar pinggangnya sesuai, ia mengikat talinya kencang dalam simpul yang kuat. Celana yang kepanjangan, ia lipat beberapa kali, baru ia tarik ke atas. Lumayanlah. Setidaknya ia jadi lebih mudah bergerak dan terlihat seperti manusia normal."Sudah belum? Memakai pakaian saja kamu lelet sekali, apalagi kalau bekerja nanti. Saya tidak membutuhkan pekerja yang lamban!"Etdah, itu mulut pengen banget gue sumpel pake pupuk kandang!"Sudah selesai, Pak. Jangan marah-marah melulu jadi orang, Pak Gala. Nanti Bapak bisa terserang darah tinggi dan mati muda. Sayang 'kan, kalo Bapak mati a
Alexa kembali bersendawa setelah meneguk air mineral. Ah lega sekali. Rasanya dunia kembali terang setelah ia menghabiskan sebungkus nasi dan sebotol air mineral."Kamu punya hubungan apa dengan Pak Gala, Milah?" Alexa melirik seorang gadis ayu yang diperkenalkan Wiwid tadi sebagai Nenny. Di antara banyak teman-teman barunya, sebenarnya Nenny ini yang paling cantik. Wajahnya manis dan gerak-geriknya feminim sekali. Ia juga jarang berbicara. Namun sekalinya membuka mulut, kalimatnya ajaib juga."Memangnya kenapa, Nen?" Alexa balas bertanya. Ia memang tidak menyukai basa basi. Sebenarnya ia sudah bisa menebak ke arah mana Nenny akan menggiring topik pembicaraan. Namun ia sengaja pura-pura tidak tahu saja. Roman-romannya masalah cemburu ini."Nggak apa-apa sih, Milah. Aku-eh saya cuma mau bilang kalau--""Udah pakai aku saja." Alexa memotong kalimat Nenny."Gue juga sebenarnya ribet banget ngomong pake kata ganti saya... saya. Aneh banget rasanya. Berhubung kayaknya kita semua pada seumu
Waktu baru menunjukkan pukul 18. 30 WIB. Namun Alexa sudah merasa mengantuk. Ia baru saja pulang bekerja dari kebun. Setelah seharian bekerja, tubuhnya kini meminta jatah beristirahat. Seumur hidupnya baru beberapa hari inilah ia bekerja begitu keras bagai kuda. Dan kini ia lelah lahir batin.Setelah membersihkan diri, ia bermaksud beristirahat sejenak. Mungkin dengan berbaring sebentar rada capeknya akan hilang. Alexa memejamkan mata sembari meringis kesakitan. Tubuhnya serasa remek semua saat ia membaringkan diri di peraduan. Sudah tiga hari ini ia menjadi buruh pemetik cabe di perkebunan Gala. Tugasnya bekerja dimulai dari pukul tujuh pagi hingga pukul setengah enam sore. Bukan itu saja. Sehari setelah mengantarkannya bekerja dengan mobil pick up yang nyaris lepas pintunya, Gala memberinya alat transportasi sendiri. Berupa sebuah sepeda tua yang kerap ia lihat dalam film-film perjuangan tempo dulu. Bayangkan saja, sebelum ia berdiri seharian memetik cabe, kakinya sudah terlebih dul
"Ya udah Pak Gala temui saja dulu pacarnya. Saya ngambil parangnya sendiri saja." Mendapat kesempatan berkelit, Alexa bermaksud kabur. Ia membalikkan tubuh. Mengambil ancang-ancang untuk kabur. Namun secepat ia bergerak, secepat itu pula Gala menarik pergelangan tangannya."Kamu di sini saja, Midun."Susah amat mau kabur ya? Mana tangan gue dicengkram terus lagi, elahhh. "Lepasin tangan saya, Pak? Bapak nggak liat itu biji mata pacar Bapak sudah seperti akan menggelinding keluar?" Alexa berupaya menarik tangannya. Namun alih-alih melepas, Gala malah mempererat cengkramannya. Sialnya lagi, Gala mengubah pegangannya. Dari yang tadinya mencengkram pergelangan tangan, menjadi menggenggam jemari tangannya. Alexa mendelik kesal. Tapi delikannya hanya ditanggapi dengan suara dengkusan. Sialan!"Mas Gala sedang istirahat makan siang ya?" si gadis cantik menyapa ramah seraya mendekat. Saat si gadis tersenyum, dua lesung pipinya muncul. Kemayu dan lembut sekali pembawaannya. Apalagi saat ini s
"Durian yang mana dulu ya yang dibelah?" Alexa mengeluarkan lima buah durian dari dalam karung goni. Ia memilih-milih sejenak. Mana durian yang ia rasa paling bagus dan enak."Yang mana satu yang harus dibuka dulu ya?" Alexa berbicara sendiri. Ia bingung. Ia hanya pintar membelah buah durian. Tetapi tidak dalam hal memilih buah yang baik. Ia pernah berkali-kali salah memilih. Menurutnya bagus, namun sesampai di rumah malah busuk. Padahal saat membeli ia merasa duriannya sudah cukup wangi. Melihat Alexa ragu-ragu, Gala pun mendekat."Sini saya beritahu tips memilih durian yang baik dan benar. Agar lain kali, kamu piawai saat membeli buah durian." Gala kini ikut jongkok di samping Alexa. Ia kemudian meraih parang dari tangannya. Alexa melirik Gala sengit. Gaya Gala ini sudah menyerupai seorang tukang durian saja. Padahal aslinya mah, tukang cabe dan bawang. Tingkahnya saja yang selangit. Awas saja jika Gala salah memilih, dan membelah durian yang busuk. Akan ia bully setahun penuhlah na
"Masih belum mau pulang juga kamu? Punya istri kok sukanya kelayapan saja. Seharusnya sehabis pulang kerja kamu itu di rumah, Yanti. Mengurus suami." Alexa urung melangkah. Kemunculan seorang laki-laki yang marah-marah di samping Yanti menghadirkan satu dugaan. Laki-laki muda itu pasti suami Yanti. Sepertinya laki-laki sudah cukup lama di sini. Terlihat dari bahasa tubuhnya yang tidak sabaran seraya berkacak pinggang."Aku 'kan harus kerja lagi, Mas. Kalau tidak kita makan apa nantinya? Gaji Mas hanya cukup untuk membeli susu dan beras. Kita butuh makan, membayar listrik dan banyak hal lainnya, Mas," keluh Yanti sembari terus menyusuti air mata."Kerja... kerja terus. Tapi hasilnya tidak seberapa. Sementara tubuhmu makin hari makin kurus dan butek. Tidak ada menarik-menariknya sama sekali. Tidak seperti saat kamu gadis dulu. Coba contoh si Prapti. Usianya sama denganmu. Tapi kalian berdua seperti langit dan bumi. Prapti mulus dan harum aroma parfum. Sementara kamu burik dan berbau bum
Alexa memperhatikan Yanti yang tidak bisa duduk tenang. Sedari tadi Yanti terus memandang pintu. Alexa tahu, Yanti menanti-nanti suami sialannya itu masuk. Begini amat orang kalau sudah bucin ya? Kenyataan dengan kebodohan sampai tidak bisa lagi mereka rasakan. Semoga saja ia tidak akan pernah mengalami kebucinan sampai tingkat nirwana seperti Yanti.Sementara itu, Yanti berkali-kali mengelus dada saat mendengar suara-suara perkelahian dari belakang rumah. Ia takut kalau Eko sampai kenapa-kenapa. Itu artinya biaya lagi bukan? Ke dokter karena patah tulang itu juga butuh biaya. Gala itu walau terlihat dingin, sesungguhnya berdarah panas. Eko dan Gala itu adalah teman kecil. Begitu juga dengan dirinya. Tetapi ia tidak begitu akrab dengan Gala dan Eko. Karena rentang usia mereka yang terlalu jauh. Ia masih anak-anak ketika Gala dan Eko dewasa muda. Mereka juga sama-sama miskin di waktu lalu. Hingga tahun-tahun berlalu dan Gala sukses menjadi pengusaha besar. Olehnya mereka bertiga tahu
Ijab kabul telah usai. Begitu juga perayaan kecil-kecilan yang diselenggarkan oleh keluarganya. Tamu-tamu yang kesemuanya adalah para kerabat dan handai tolan dari kedua belah pihak, juga telah kembali ke rumah masing-masing. Tidak heran mengingat waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam.Alexa yang baru saja masuk ke dalam kamar, bingung bukan kepalang. Bayangkan saja, dirinya yang sama sekali tidak pernah berpacaran, tiba-tiba saja telah sah menjadi seorang istri. Yang mana artinya jiwa dan raganya telah sah untuk bersatu padu dengan suaminya.Saat ini Alexa tengah duduk termenung di meja rias kamarnya. Dengan masih berpakaian kebaya lengkap, Alexa memandang ke seantero kamar. Kamarnya sendiri. Saat ini kamarnya telah disulap menjadi kamar pengantin yang romantis. Ranjang besi yang biasa ia tiduri, kini diberi hiasan kain tile dan bunga di tiap tiangnya. Lampu tidurnya diganti dengan lampu tidur berwarna kuning yang romantis. Dengan taburan bunga mawar di sprei satinnya membua
Ini adalah kali kedua Alexa didandani secara paripurna. Pertama dengan Embun delapan hari yang lalu. Dan kini oleh perias pengantin, yang mendandaninya di hari bahagianya ini. Ya, hari ini dirinya akan menikah dengan Gala. Pernikahan ini hanya pernikahan sederhana. Yang penting sudah ijab kabul dan sah, di mata hukum dan agama seperti keinginan Gala.Sebenarnya kedua belah pihak, baik itu dari pihak keluarga Delacroix Adams mau pun Sagara, sepakat untuk menikahkan mereka berdua paling cepat bulan depan. Hal itu dikarenakan mempersiapkan pernikahan yang megah tentu saja tidak mudah. Salah satunya adalah masalah waktu. Belum lagi urusan dokumen-dokumen, gedung, seserahan dan tetek bengek lainnya. Selain itu kedua orang tua mempelai juga ingin membuat pesta yang meriah. Mengingat Gala adalah anak tunggal, sementara Alexa adalah putri satu-satunya klan Delacroix Adams. Axel ingin membuat pesta besar-besaran, mengingat ini adalah kali terakhirnya membuat hajatan.Namun Gala menolak keras
Suara riuh rendah menyambut kehadiran Gala dan Brandon di atas sasana. Para penonton yang sebagian besar juga petaruh, mulai mengukur-ukur kemampuan dua petarung di atas sasana tiga. Mereka tentu saja tidak mau rugi. Setelah yakin dengan petarung jagoannya, masing-masing petaruh mulai memasang sejumlah uang. Dalam sekejab kubu terbelah menjadi dua bagian. Sebagian menjagokan Gala, dan sebagian lagi mengelu-elukan Brandon. Tidak heran mereka mengelu-elukan Brandon. Mengingat Alcatraz adalah tempat main keluarga besar mereka. Sedari kecil hinggal dewasa, Brandon sudah aktif latihan di sasana ini. Nama Brandon sudah kesohor sebagai jagoan. Tingkatannya setara dengan klan Delacroix Adams, Delacroix Bimantara, Putra Mahameru, dan banyak keluarga petarung lainnya. Sedangkan Gala, tidak ada yang mengenalnya."Kamu mau duduk di mana Lexa? Bersama Abang, papa dan Antonio atau bagaimana?"Suara dari belakangnya berikut tepukan ringan di bahu, menyadarkan Alexa. Xander telah berada di sampingn
Alexa menghitung angka satu sampai sepuluh sebelum membelokkan laju mobil memasuki pintu gerbang Alcatraz. Jika biasanya ia sangat excited setiap kali Alcatraz berpesta, kali ini ia gentar. Mengetahui bahwa salah satu petarung yang akan tampil adalah Gala melawan Brandon, hatinya ketar-ketir. Bagaimana mungkin ia bisa menikmati pertarungan kalau yang tengah berlaga adalah pacarnya? Di mana menang kalah pacarnya akan menjadi penentu kelangsungan hubungan mereka ke depannya. Apakah akan berlanjut ke jenjang yang lebih serius, atau berpisah untuk selamanya. "Lexa, ini kita mau menonton pertandingan tinju bukan?" Risma yang duduk di samping Alexa, menepuk punggung temannya yang mendadak bengong di sebuah gudang tua."Heh, kamu bilang apa, Ris? Sorry saya agak-agak kehilangan fokus." Alexa meringis. Kekhawatiran membuatnya pikirannya ngeblank. Konsentrasinya ambyar."Saya tanya, tujuan kita mau menonton pertandingan tinju bukan?" Risma mengulangi pertanyaannya."Iya, Ris. 'Kan tadi sudah
"Astaga, rumahmu ini megahnya seperti di sinetron-sinetron ya, Milah?" Risma yang baru saja dipersilakan masuk oleh Mbak Yati ke ruang tamu, terkagum-kagum memandangi seantero rumah Jamilah alias Alexa. Cucu Pak Hamid yang ternyata adalah anak majikan si bapak. Risma sama sekali tidak menyangka, kalau gadis tomboy nan mempesona yang kehadirannya menghebohkan Kampung Pelem sesungguhnya adalah seorang nona muda. Buka nona muda biasa pula. Melainkan nona muda seorang mafia. Benar-benar seperti kisah sinetron bukan?"Bukan rumahku, Ris. Tapi rumah orang tuaku." Alexa nyengir. Ia sangat gembira karena dikunjungi oleh Risma. Di kampung Pelem hanya Indah dan Risma yang berpikiran modern. Dirinya, Indah dan Risma sepaham dan seideologi. Makanya ketiganya menjadi akrab. Jikalau pada akhirnya ia cenderung lebih dekat dengan Risma, itu karena rumah mereka berdekatan. Selain itu Risma juga masih jomblo. Sedangkan Indah telah mempunyai pacar, yaitu Bagus. Jikalau Indah mempunyai waktu luang, ten
"Xel, dari dulu gue nggak setuju dengan hukuman tidak manusiawi yang melibatkan fisik begini." Tegar Putra Mahameru alias Heru menggeleng keras. Ia menentang cara kakak iparnya ini menghukum istri, adik perempuan, anak, keponakan dan calon menantunya. Di mana adik perempuan dan keponakannya adalah Lily dan Abizar. Alias istri dan putranya.Saat ini Raline, Lily, Xander, Abizar, Gala dan Alexa tengah di strap di teras rumah dalam cuaca panas terik. Sementara Cia sudah lebih dulu diamankan Bima. Bima berjanji akan menghukum istrinya dengan kerja bakti sosial selama sebulan penuh. Begitulah Bima, setiap kali memberi hukuman, selalu tidak boleh bertentangan dengan UUD Republik Indonesia. Jiwa seorang pengacara telah mendarah daging didirinya.Kini di rumah klan Delacroix hanya bersisa Raline, Lily, Alexa, Xander, Alexa, Abizar dan Gala. Mereka semua berdiri tegak dalam posisi siap siaga. Beginilah Axel apabila memberi sanksi. Ia tidak pernah pandang bulu. Siapa yang bersalah maka wajib di
Satu jam sebelumnya. "Gimana Ly, udah dapet belum truk pengangkut excavatornya? Inget, lo nggak boleh memakai jasa anak-anak. Ntar ketahuan kakak lo, hancur Minah rencana kita."Raline mondar-mandir di halaman rumah Lily. Adik iparnya itu sibuk menelepon ke sana ke mari setelah Heru meninjau salah satu proyeknya."Udah. Lo tenang aja kakak ipar. Gue udah dapet truk yang bisa ngangkut excavator Kak Axel. Bukan gue sih sebenernya ngusahain. Tapi si Kiran noh yang bergerak. Ntar si Cia juga ikut ke sini bersama truk pengangkut excavatornya. "Lily nyengir. Dalam situasi darurat begitu jiwa detektifnya di Kiran memang teruji. Anak si Cia ini emang jago kalo urusan kucing-kucingan begini. Sekonyong-konyong Lily berteriak gembira memindai sebuah truk besar berisi mesin excavator. Cia sudah tiba rupanya. Sahabatnya itu duduk di samping supir truk."Noh, tuh si Cia nongol. Langsung naik truk lagi. Emang edan ini satu emak-emak hebring." Lily cengengesan melihat Cia melompat turun dari truk d
"Pa, Lexa ikut ya? Masa Papa mau ngerame-ramein musuh Lexa nggak boleh ikut? Mana seru acaranya nanti, Pa? Papa biasanya 'kan butuh tim hore." Alexa menggelayuti lengan papanya yang tengah berbincang-bincang dengan Om Erick dan Tangguh."Iya, Om. Izar juga bisa menjadi tukang pukul cadangan apabila Om Erick tiba-tiba encoknya kumat. Om juga kakinya sedang cedera. Kalau Om cuma mengandalkan Tangguh seorang dikhawatirkan tim kita bisa kalah lo, Om." Abizar ikut merayu Om Axel, setelah mendapat kedipan mata dari Alexa. Mereka berdua kalau sedang dalam misi terselubung seperti ini kekompakan mereka tidak usah diragukan lagi."Encok-encok Om masih mampu melumpuhkan musuh yang menyerangmu bukan, Zar?" balas Erick sewot. Ia paling kesal kalau penyakit encoknya dibawa-bawa. Gala nyengir samar. Ia sama sekali tidak menyangka kalau tangan kanan mafia legend seperti Om Erick bisa sewot juga."Iya deh, Om. Walau sedang encok pun Om Erick tetap sakti mandraguna." Abizar mengacungkan jempol yang di
Gala merasa bulu kuduknya meremang kala berhadap-hadapan dengan Om Axel. Saat ini mereka berdua telah berada di atas ring berwarna merah. Saling berhadapan dan bertelanjang dada."Tidak ada aturan baku dalam pertarungan ini. Semua anggota tubuh boleh kalian digunakan. Namun khusus kamu, Anak Muda. Kaki kananmu dilarang keras untuk menyerang. Kalau kamu memaksa, kamu sendiri yang akan merasakan akibatnya. Mengerti?" Erick memandang dua petarung berbeda generasi di hadapannya."Pertarungan berakhir apabila salah seorang tidak mampu lagi melanjutkan pertarungan alias TKO. Saya akan belajar berhitung satu sampai sepuluh. Apabila yang bersangkutan tidak bisa berdiri lagi, pertarungan dinyatakan selesai. Mengerti?""Mengerti!" sahut Gala dan Axel bersamaan."Bagus. Fight!" Erick membuat gerakan mulai bertarung dengan mengangkat lengannya.Gala dan Alex kini saling memandang. Sama-sama saling menjajaki kekuatan lawan. Sejurus kemudian Gala membuat gerakan kuda-kuda depan. Ia memposisikan kak