Hampir tengah malam, Dena sadar, Tara duduk di sampingnya, ia begitu sendu juga bingung. Dena diam, jangan anggap ia akan selalu lemah, mendadak, setelah ia ingat keinginan Tara untuk menikah lagi, ia seperti dibangunkan dari mimpi panjangnya. Dena menepis tangan Tara kasar, lalu beranjak pelan. Suasana rumah hening, ia berjalan pelan ke arah lemari pakaian, mengeluarkan pakaiannya lalu menarik koper miliknya walau kepalanya terasa pening.
"Dena, mau ke mana?" Masih juga Tara bertanya basa basi. Ia harusnya berpikir, bagaimana perasaan Dena, bukan tanya mau ke mana. Wanita itu diam sejenak, mengatur napasnya perlahan, lalu ia meraih ponsel miliknya di nakas. Ia duduk di tepi ranjang, lalu ...
"Halo, Ma..., bisa Mama dan Papa jemput Dena, Dena mau pulang..." lalu ia terisak, begitu saja, apalagi saat mendengar jawab mamanya.
"Mama ke sana sama Papa, Ya, tunggu Mama, nak," jawab wanita di seberang sana. Dena m
Wanita itu tak kuasa menahan tangis. Sambil di peluk sang mama, Dena sesenggukkan. Ia jelas menolak dipoligami, apa-apaan Tara, kan? Alasan tidak mendasar untuk melakukannya."Kamu nggak bisa minta cerai sepihak sayang, kamu nggak mau selamatkan rumah tangga kamu?" tatapan seorang ibu yang begitu lembut, mencoba menjadi penengah, bukan memperkeruh."Papa nggak mau sampai kalian benar-benar cerai, Dena, ini ujian rumah tangga kalian. Tapi, kalau sudah kesepakatan kalian berdua, Papa hanya bisa mendukung kamu. Papa bisa lihat kamu makan hati selama tinggal di sana?Papa mau tanya? Kamu dianggap menantu nggak sama mereka? Apa kamu di anggap pembantu? Kamu ngapain aja selama di sana? Beberes? Masak? Rapihin pakaian? Bekerjaan pembantu kamu kerjakan?" kedua mata pria itu penuh selidik. Dena hanya bisa menghela napas. Tanpa menjawab apa pun, kedua orang tuanya sudah paham."Ya Allah, Papa... a
Keluarga Dena berkumpul di ruang keluarga, duduk bersama untuk membahas masalah rumah tangga putrinya itu. Dena sesekali menangis sata cerita perlakuan ibu mertua juga dua kakak kembar Tara. Elmer, istrinya dan Saski begitu terkejut. Bahkan Saski tampak kesal mendengar Dena diperlakukan bak pembantu."Apa alasan Tara mau nikah lagi benar karena Ibunya? Bukan karena Kanti yang mendadak muncul dan kejar-kejar Tara lagi?" tanya istri Elmer."Mbak, yang Dena tahu memang Ibu yang terus memaksa Mas Tara supaya balik sama Kanti. Mas Tara terlalu apa-apa Ibu, iya memang, Ibu orang tua kandung, tapi kalau jadi begini, sikap Ibu jelas salah, kan? Dena udah sabar, tapi Ibu terusss ... begini. Di rumah itu cuma Argi dan Bapak yang belain Dena. Bahkan Bapak pernah nangis, mau balikin uang yang harusnya jadi hak Dena, tapi di ambil Ibu, karena Ibu juga punya hak untuk nikmatin uang bonus Mas Tara," ucap Dena."Tunggu. Jad
Saski dan Argi sudah tiba di depan rumah bernomor tiga itu. Tampak tak besar, tapi berada di cluster elite, tetangganya saja ada yang artis Ibu kota, bahkan selebgram terkenal. Pantas saja, ibu dan kedua kakak Argi matanya silau status sosial. "Itu dia, ayo turun!" ajak Argi yang langsung mematikan mesin mobil lalu turun bersama Saski yang masih tampak datar. "Gi... lo yakin kita nggak bakal di usir?" Saski tampak ragu. Tenang, gue udah tahu cara biar Kanti nggak bisa menghindar. Ayo jalannya buruan," ucap Argi lagi karena mereka parkir di dekat lapangan kecil sebelah pos satpam. Kanti baru saja tiba membeli makan mal
"Kita nggak bisa begini, Tara, setelah di tegur Argi dan Saski, aku mikir lagi. Aku diposisi jahat, walau jelas aku masih...," Kanti menundukkan kepalanya, menatap jemari tangannya yang lentik. Tara mengangguk, ia paham. Tapi bagaimana dengan ibunya, apa tak kan jadi masalah baru lagi. Di rumah itu pun, hanya ibu dan Argi yang bicara pun, seperlunya karena ibu terus-terusan menyalahkan putra bungsunya itu yang mendukung tindakan Bapak dan Dena."Orang tua kamu gimana? Mereka apa udah tau kalau Ibuku minta kamu untuk jadi menantunya juga?""Sudah, Tar, dan kedua orang tuanya setuju. Apalagi saat Ibu bilang kalau Dena belum hamil dan Ibu nggak setuju dengan pernikahan kalian, lebih setuju kalau kita menikah," ucap Kanti yang menghela napas gundah. Sungguh tak enak hati. Keduanya diam, mereka sedang berada di rumah Kanti ke esokkan harinya setelah Tara pulang dari rumah orang tua Dena, ia sempat membahas dengan ibunya dan tetap saja, ibu ngotot minta Tara meni
"Saran gue jangan cerai," ucap Tya saat keduanya duduk di teras kafe rumah sakit tempat Tya bekerja. Keduanya janji temu karena Dena akan medical check up, ia keterima kerja di tempat lamanya lagi dengan jabatan sama, Aspri, atau asisten pribadi CEO kantor itu. Seorang pria usia 45 tahun yang memiliki keluarga harmonis. Dena kenal istri juga anak-anak pria itu, semua baik dan menghormati Dena."Kenapa emangnya?" tanya Dena saat ia masih menunggu satu jam lagi untuk mulai pemeriksaan."Ya enak di Kanti, lah! Gue sih, nggak ikhlas temen gue di giniin. Bima, laki gue dan mencak-mencak ke Tara kalau lo mau tau, Dena. Bima juga nggak terima lo di giniin. Dan, pendapatnya sama, minta elo jangan cerai gitu aja. Ruginya double." Tya menyeruput kopi hangat miliknya sejenak sebelum lanjut bicara. "Lo kasih unjuk siapa lo, Dena, selama ini lo di injak-injak mereka, kan? Ini saatnya lo buktiin siapa lo. Dan, lo tau, Tara dipanggil orang HRD kantor, posisinya turun, buk
"Lo kenapa? Kaget banget tau gue mau ke Yogya, lagian gue kerja di sana." Celetuk Argi saat keduanya duduk di sofa ruang tamu rumah orang tua Dena. Sedangkan Dena cekikikan sendiri melihat dua manusia yang sepertinya, mendadak saling naksir."Biasa aja sih, sebenernya, kaget doang." Guman Saski sambil memaksa senyum. Kepalanya pusing, sudah dua hari ia mengabaikan rasa sakitnya itu."Gaya-gayaan sih, lo, nggak bisa pecicilan malah ikut jadi panitia. Demam kan," ujar Argi sembari menempelkan punggung tangannya ke kening Saski yang reflek memundurkan tubuhnya."Jangan pegang-pegang." Nyolot Saski."Ck. Bentar doang," paksa Argi menarik tangan Saski sehingga memajukan posisi duduknya lagi. "Panas banget, Sas, ke dokter ya, gue antar."Saski menggelengkan kepala, ia malas ke dokter, pasti banyak minum obat. Ia selalu menolak hal itu."Ke dokter sana,
Suara sepatu hak tinggi yang dikenakan Dena mengiringi langkahnya berjalan tegap di belakang pak Galih, hari itu, tepat satu minggu sudah ia bekerja di perusahaan besar yang semua orang baik kepadanya. Pak Galih meminta Dena ikut dengannya menghadiri rapat yang seharusnya, sudah dilakukan dua hari lalu, namun, berhubung anak sulung bos-nya itu sakit karena jatuh saat sedang olahraga basket sehingga kakinya terkilir, mau tak mau, pak Galih memundurkan jadwal rapat penting itu."Semua sudah siap, kan, Dena?" tanyanya."Sudah, Pak, sesuai yang Bapak minta." Jawabnya tegas. Dena berjalan sedikit cepat, ia membukakan pintu ruang rapat yang ada di lantai dua puluh satu gedung itu, sudah banyak orang menunggu, Dena segera kembali berjalan di belakang pak Galih dan duduk sedikit pojok kanan belakang kursi yang ditempati bos-nya itu. Ia mengeluarkan tablet, juga alat perekam. Pak Galih selalu membebaskan Dena bekerja dengan cara wanita i
Semalam, saat Dena kembali pulang ke rumah, kedua orang tuanya curiga dengan wajah sembab putrinya. Setelah ditanya juga didesak, Dena akhirnya menceritakan apa yang terjadi. Tanpa pikir panjang, papa segera menelpon Prabu, untuk mendaftar surat cerai putrinya. Dena menolak, ia tak ingin bercerai sebelum bisa mendengar pengakuan Tara jika ia tak mencintainya lagi. Sayangnya, hati orang tua yang sudah terluka, tak bisa Dena halau. Hanya air mata yang bisa Dena tumpahkan sambil memeluk mamanya yang juga terisak pilu.Tragis, nasib putri yang ia kandung, lahirkan, dididik dengan baik hingga besar, giliran tiba dipinang seorang pria, disakiti dengan mudahnya, oleh keluarga sang pria. Keterlaluan. Dena akhirnya pasrah, ia melepaskan semua ke Omnya saja. Prabu yang sudah tau duduk perkara, segera mendaftarkan gugatan cerai itu.Ia menatap pantulan dirinya pada spion tengah mobil, jam tujuh tiga puluh, ia tiba di toko roti perancis yan
Apakah mereka sudah saling mencintai? Jawabannya, belum. Dena dan Argi menjalankan hak dan kewajiban, mereka juga sudah sah menjadi suami istri. Keduanya yakin, cinta akan datang seiring dengan waktu, tak perlu khawatir dengan hal itu. “Dena,” panggil Argi yang tak mendapati istrinya di dalam kamar saat ia baru selesai mandi besar setelah mereka bersetubuh. Argi duduk di tepi ranjang, masih tak percaya dengan apa yang sudah terjadi semalam dan hal itu membuat jantungnya berdebar begitu keras. Ia meraba dadanya, lalu menatap ke foto Saski yang masih terpajang di kamarnya. “Kamu nggak marah, ‘kan, Sas?” lirihnya diakhiri tawa dan wajah berseri-seri. Argi beranjak setelah mendengar bel pintu kamar hotel. “Udah bangun?” tanya Dena sambil membawa dua bungkus yang dari wanginya menggugah selera Argi yang lapar. “Kamu ke mana?” Ia mengekor Dena yang meletakkan bungkusan itu di atas meja. “Beli sarapan. Nggak sengaja sebenarnya, karena mau ke tempat Ariq, ternyata mereka udah ke Legoland
Argi menepati janji, hari jumat sore pukul 4.30 waktu KL, mereka berangkat ke Johor, menuju Legoland. Argi meminta Dena memesan hotel untuk menginap dua malam di sana, tak lupa ia mengajak Dena dan Ariq membeli beberapa pakaian baru juga di salah satu mal yang ada di KL. Satu koper ukuran besar menjadi pilihan Dena untuk mengemas pakaian mereka bertiga. Perjalanan yang akan memakan waktu tempat kurang lebih empat jam, ia siapkan sedemikian rupa juga dengan membawa makanan dan beberapa minuman. “Riq, kamu tidur aja kalau ngantuk, ya,” ucap Argi sambil menoleh ke arah belakang sebelum kembali menatap jalan bebas hambatan. “Iya, Pa,” jawabnya. Ariq tampak senang, pun Dena yang kali pertama plesir ke negara orang yang tak asing baginya karena suasana mirip dengan tanah air juga. “Betah tinggal di sini nggak kira-kira?” Argi membuka percakapan setelah mereka menempuh perjalanan satu jam. “Lumayan, aku masih haru keliling dan pingin tau transportasi umumnya. Nggak mau naik taksi atau re
Dena tiba di Kuala lumpur, Malaysia siang hari pukul satu. Ia dan Ariq duduk di lobi menunggu Argi menjemput. Hanya satu koper yang Dena bawa, ia memang bukan tipikal perempuan yang suka membawa banyak barang saat pergi yang menginap hingga beberapa hari. Ia lebih senang mencuci bajunya, cukup bawa baju seperlunya yang nanti di mix and match sendiri. Ariq menikmati burger yang Dena baru saja belikan sambil menunggu Argi menjemput. Kala itu, Ariq dan Dena kompak memakai warna baju senada, atasan putih dan celana jeans, juga sepatu kets warna hitam. Karena Dena memakai hijab, ia memilih kemeja putih dua ukuran lebih besar darinya supaya tak ketat membentuk lekuk tubuhnya. Bibirnya juga hanya ia olesi lipstik warna pink natural begitu tipis, hijab warna krem semakin membuat wajahnya bersinar. “Bun, kita di sini satu minggu? Itu lama, ya, Bun?” Ariq kembali menggigit burgernya setelah bicara.“Sebentar, kok. Kenapa? Ariq nggak mau lama-lama di sini?” Dena merapikan tatanan rambut putran
Syifa dan Tara duduk di teras rumah orang tua mereka. Sekarang, hanya tinggal Tara yang tinggal di rumah itu karena bapak meminta Argi baiknya keluar dari rumah setelah menikah dengan Dena. Lagi pula Argi di kuala lumpur dan jarang pulang, jadi baiknya saat Argi sedang di Jakarta, tinggal bersama Dena di rumah orang tua Dena. Meminimalisir resiko keributan juga rasa canggung karena Argi dan Dena sudah menikah. “Menikah lah lagi, Tara. Kakak nggak mau lihat kamu kayak gini,” tutur Syifa yang direspon tawa sinis Tara. “Kak Syifa, nggak semudah itu juga. Tara masih harus cerna semua ini. Merasa dicurangi adik sendiri itu nggak enak. Sakit hati.” ketusnya dengan tatapan dingin. “Gimana juga kalian saudara kandung, akan seperti itu sepanjang usia. Kamu harusnya pahami dan lihat hal ini wajar karena kita juga yang salah, kan? Kak Syifa ambil andil rusaknya hubungan kamu dan Dena di masa lalu.” Syifa menundukkan kepala. Tara beranjak, ia meninggalkan Syifa seorang diri di teras. Membuka
Hati Dena tak karuan, ia dan Argi saling menatap. Suaminya tersenyum begitu manis lalu berbisik lagi di telinga Dena saat keduanya duduk bersisian di restoran yang dipesan Argi untuk acara syukuran sederhana pernikahan mereka. “Semua akan aman dan baik-baik aja, Mbak Dena. Aku udah selamatkan kamu dari Mas Tara.” Argi memundurkan wajahnya, Dena tersenyum begitu tipis. Masih seperti mimpi yang aneh, karena mereka berdua kini pasangan suami istri. Pintu restoran terbuka, muncul Tara sambil membawa buket bunga. Tak ada senyuman, yang ada tatapan tajam menusuk dengan kemarahan yang membuat Dena segera menggenggam jemari tangan Argi di bawah meja. Argi menoleh, ia merasakan dinginnya jemari Dena. Kedua mata Argi juga menatap genggaman erat pada tangannya. Ia menatap Tara yang semakin berjalan mendekat lalu memberikan buket bunga mawar putih. “Selamat atas pernikahan kalian… adik ipar,” ucapnya dengan nada begitu dingin. Dena mencoba untuk tersenyum, walau ketakutan juga ragu terpancar pa
Tak kunjung berakhir rasa sesal yang dirasakan Tara, ia kini duduk sendirian di depan makam ibundanya. Wajahnya tampak gusar karena sejak tiba, ia terus merasakan hatinya sakit jika memikirkan Dena yang terang-terangan menolaknya. “Bu, Tara sekarang diambang kebimbangan. Argi mau menikah dengan Dena. Tara mau memperbaiki hubungan dengan Dena tapi… dia sama sekali nggak mau kasih kesempatan sedikit pun. Tara sendirian, dijauhkan dari orang yang Tara sayang bahkan Ibnu juga tinggal dengan Kanti dan suaminya sekarang.” Tara memainkan rerumputan yang menutupi gundukan tanah makam. Jarinya mencabuti pucuk rumput dengan pelan, layaknya anak kecil yang bermain atas lapangan penuh rerumputan. Gelapnya malam tak membuat ia ingin lekas beranjak, ia masih betah di sana walau tak lagi bicara. Fokusnya kini, bagaimana ia menata hati juga menghadapi pernikahan Dena dengan Argi. Tak kan mudah ia mengontrol semuanya. Tara seperti tenggelam dengan rasa sesal mendalam. Di lain tempat, Argi tampak bar
Dena baru saja kembali dari lokasi pameran yang ia ikuti, langkah kakinya begitu santai melenggang menuju ke parkiran mobil. Jam juga sudah menunjukkan pukul empat sore, lokasi pameran tutup pukul lima. Dena menyerahkan kepada dua stafnya untuk membereskan stand mereka, masih ada dua hari ke depan ikut tetap berada di sana. Ia mengarahkan mobil ke mana lagi kalau bukan rumah. Namun, saat ditengah jalan, mendadak mobilnya mengalami kendala, mendadak mati mesin. Buru-buru ia mematikan AC, lalu menepi. Dena mencoba kembali menstarter mobil hingga berulang kali tapi tetap saja tak mau menyala. Tak tau harus berbuat apa, ia turun lalu melihat sekeliling. Tak ada bengkel mobil, yang ada hanya warung kecil dan warung bakso. Dari kejauhan,Tara yang sedang mengendarai motornya melihat Dena yang berdiri di dekat mobilnya dengan bingung. Ia segera mendekat. “Dena,” sapanya. Wanita itu berjengkit kaget, ia menoleh cepat ke arah sumber suara. Tanpa menjawab apa-apa, Dena terus menghubungi papan
Tara menatap Ibnu haru, putranya sudah di sunat dan tak menangis. Sebagai seorang Ayah, ia merasa bangga bisa mengantarkan putranya melalukan kewajiban untuk seorang laki-laki. Kepalanya menoleh ke arah pintu kamar, sosok Kanti datang. Ia menyapa Tara hanya dengan senyum tipis, wanita itu datang bersama suaminya. "Ibnu," sapa Kanti sambil berjalan mendekat. Ibnu tersenyum, meraih tangan Kanti lalu ia cium. "Selamat ya, 'nak, udah besar sekarang, udah sunat," ujarnya sambil mencium kedua pipi Ibnu. "Nu," sapa ayah sambungnya yang ia panggil bapak. "Selamat, ya," lanjutnya. "Iya, Pak," jawab Ibnu. Kanti menatap suaminya, pria itu mengangguk. "Tara, bisa kita bicara berdua di depan. Tapi... saya mohon maaf, kalau ajudan saya ada yang jaga di depan, tidak masalah, 'kan?" Ajudan? Suami Kanti bahkan membawa ajudannya yang bertugas mengawal. Tara merasa malu, ia sungguh tak ada apa-apanya dengan pria di hadapannya itu. "Ya, nggak masalah. Mari," ajaknya sambil berjalan keluar dari kamar
Tara terus duduk termenung di meja kerjanya, bahkan sampai detik ini, jabatannya pun tak kembali seperti semula. Ia masih menjadi bawahan Bima--suami Tya. Tara galau, semua ucapan Dena benar-benar membuat tak bisa bergerak untuk mencoba dekat dengan sang mantan istri. Bagaimana jika memang pernikahan itu terjadi dan posisinya, Dena menjadi adik iparnya. Terlalu rumit, tapi terlihat jika Argi bersungguh-sungguh.Ketukan pada meja membuat Tara tersadar, Bima menarik kursi di hadapan Tara lalu duduk berhadapan dengannya. "Ada apa? Lo dari pagi terus bengong kayak gini?"Tara tersenyum tipis, "nggak papa. Ada apa, Bim. Apa ada yang harus gue siapin lagi? Permintaan lo untuk data pegawai kontrak, udah gue siapin, buat apa memangnya?""Lo kenapa? Nggak jawab pertanyaan gue. Dena mau nikah sama Adek lo? Itu bener?" Pertanyaan Bima membuat Tara menatap ke arah pria itu lalu menganggukkan kepala. "Yaudah lah... bukan jodoh lo emang, lo nggak perlu pusing atau merasa nggak nyaman. Argi dan Dena