"Vir."Hendra menghentikan makannya yang hampir selesai saat melihat wajah Vira mendadak muram saat membaca pesan di ponselnya. "Ada masalah?"Vira menggeleng pelan. Wanita itu terlihat memaksakan senyum."Sudah sarapannya, Mas? Berangkatlah, nanti terlambat."Hendra mengerutkan kening melihat raut wajah Vira berbeda dari biasanya."Sedikit lagi." Hendra menyendokkan nasi goreng terakhir di piringnya."Oh, iya, Vir. Mama kapan pulang katanya?" "Tiga hari lagi, Mas." Vira menjawab singkat. "Ck!" Hendra berdecak sebal. Mama Lily terlalu gaul menurut Hendra. Ini juga mamanya itu pergi ke luar kota dengan teman-temannya. Menikmati masa tua katanya, saat Hendra protes karena pergi terlalu lama.Hendra melambaikan tangan saat mobilnya keluar dari halaman. Matanya melirik bayangan Vira dari kaca spion. Dia merasa agak janggal dengan sikap Vira. Tidak biasanya wanita yang selalu ceria itu terlihat murung. Sementara bergegas masuk ke kamar saat mobil Hendra menghilang dari pandangan. Wani
Vira tidak patah semangat. Tujuannya hanya satu. Membuat Rahma dan Silmi membayar semua rasa sakitnya. Biarlah mereka tersiksa karena mengira dia hidup dalam kebahagiaan, sehingga enggan untuk pulang.Penguatnya hanya satu. Semua karena Mama Lily. Vira bersyukur karena mertuanya itu sangat baik padanya."Tring!"Bunyi ponsel Vira kembali terdengar. Wanita itu menghapus air mata di pipinya. "Sakit Ayah kambuh lagi."Vira terkesiap. Ini masalah serius. Sebenci apapun dia dengan ayahnya, lelaki itu satu-satunya orang tua yang dia punya. Bagaimanapun, dulu dia pernah merasakan kehangatan kasih sayang seorang Ayah.Mungkin tiba saatnya dia harus kembali. Pulang sejenak ke rumah yang dulu sempat tidak ingin dia datangi lagi. Terlebih, pesan yang dikirim Ayah Aksa sepertinya serius. Dada Vira mendadak berdebar. Tiga tahun tidak pernah berjumpa, sudah seperti apa rupa ayahnya? Akankah masih sama dengan hari terakhir mereka saling bertatap mata?Gemetar tangan Vira menekan nomor telepon Hendr
"Mari, silakan." Hendra mempersilakan rekan bisnisnya duduk.Pramusaji menghampiri meja mereka. Nomor empat. Entah suatu kebetulan semata atau justru alam bawah sadar Hendra yang menggerakkan memilih meja dengan nomor itu.Empat. Tanggal empat bulan empat, dia dan Arlin memutuskan mengikat diri dalam sebuah hubungan. Tanggal empat bulan empat juga, hubungan mereka berakhir. Saat itu, ketika mereka memutuskan akan melangkah ke jenjang yang lebih serius di usia empat tahun kebersamaan."Jadi begini, Pak Hendra. Bu Arlin ini adalah pengganti pimpinan sebelumnya. Beliau baru pulang dari menempuh pendidikan di Jepang beberapa bulan yang lalu." Pak Prima menjelaskan sambil menunggu pesanan datang.Hendra mengernyitkan kening. Dia baru tahu bahwa perusahaan yang baru akan bekerjasama dengannya ini adalah milik keluarga Arlin."Perusahaan ini milik Kakek, Hen. Awalnya dijalankan oleh Om Heru. Kamu memang belum pernah bertemu karena selama ini Om Heru selalu sibuk dan sering bepergian ke luar
"Bisnis ini sangat menjanjikan. Bahkan, sekelas perusahaan minyak besar milik negara juga sudah melakukan ekspansi minyak luar negeri dalam jangka waktu yang cukup lama.""Tetapi mereka melakukan ekspansi ke daerah gurun sana, Bu Arlin! Anda yakin tanah bersalju ini menyimpan banyak minyak di bawahnya?" Hendra memijat perlahan keningnya."Well, Pak Hendra. Saya memang baru terjun sebagai pimpinan perusahaan. Tetapi, bukan berarti saya tidak punya pengalaman bisnis sama sekali, jika itu yang anda ragukan. Tim riset yang kami kirim bukan tim yang baru dibentuk kemarin sore, mereka sudah sangat …."Hendra sudah tidak mendengarkan penjelasan Arlin lagi. Dari awal dia sebenarnya sudah menyetujui kerjasama ini. Sekali lagi, dia hanya menguji Arlin.Melalui penjelasan wanita itu barusan, Hendra paham Arlin sangat menguasai bidang ini. Lelaki itu sungguh kagum dengan perubahan Arlin. Wanita lemah lembut yang selama ini dia kenal, kini telah berubah menjadi pebisnis handal.Sungguh. Pesona Arl
Mobil Vira memasuki halaman rumah yang selama tiga tahun ini tidak pernah menjadi tempatnya pulang lagi. Vira bergegas mengambil tas tangan dan mencabut kunci mobil. Wanita itu sedikit menggeliat dan melakukan gerakan stretching ringan untuk melemaskan otot-otot tubuhnya. Lima jam perjalanan tanpa henti, membuat otot-ototnya sedikit tegang.Vira yang menggunakan sepatu kets berwarna baby pink dengan merk salah satu produk ternama melangkah ringan. Sekilas matanya menyapu halaman. Tidak banyak yang berubah, halaman rumah itu tertata rapi dan indah dengan berbagai macam tanaman hias dan beberapa bonsai. Rahma, ibu tiri Vira memang menyukai keindahan.Vira sedikit pusing saat akan sampai pada pintu utama. Bayangan keluarga bahagia di depannya mendadak memenuhi ingatan. Ayah Aksa, Rahma dan Silmi yang sedang duduk santai sambil menonton televisi bersama. Suara tawa mereka bahkan masih terdengar jelas di telinga Vira. Meninggalkan trauma akan sakit hati karena hanya bis
Vira merasa sedikit lebih tenang setelah menarik napas panjang. Wanita itu perlahan tersenyum. Tangannya pelan menyentuh bahu Rahma yang menggunakan baju rumahan berwarna biru."Tidak berpendidikan katamu? Ya memang benar, kan? Aku tidak berpendidikan karena tabungan uang kuliahku yang sudah disiapkan ayah diambil oleh anakmu untuk biaya masuk SMA favorite." Vira berkata dengan intonasi yang sangat terkendali. Wajahnya tetap tersenyum tenang menatap ibu tirinya yang sudah sangat terbakar emosi. "Ibuku akan mendapat ganjaran kau bilang? Hei! Asal kau tahu saja, ibuku meninggal saat melahirkanku. Apa kau benar-benar tidak paham? Syahid lah ganjarannya bagi wanita yang meninggal saat melahirkan!" Vira mengelus pelan bahu Rahma."Jangan terlalu mencerca sikapku. Bukankah selama ini aku berada dalam pengasuhanmu? Itu berarti, aku begini karena didikanmu!" Vira berjalan anggun meninggalkan Rahma yang diam tidak bisa berkata-kata. Semua perkataannya diputar balikkan denga
Vira berdiri sambil bersandar pada dinding. Hatinya sedang menimbang, masuk sekarang dan mengetahui kebenaran yang mereka bicarakan atau nanti setelah lebih banyak mengetahui dari percakapan yang mereka lakukan? Rahasia apa? Jadi, sebenarnya Ayah Aksa bukan menumbalkannya. Tetapi, menikahkan dengan Hendra justru menjadi penolong bagi hidupnya. Atau bagaimana?Vira sedikit tersentak karena getar ponsel di tasnya. Wanita itu sedikit menjauh dari kamar dan mulai mengeluarkan alat komunikasinya.Dia mengerutkan kening membaca nama yang tertera. Ada apa? Bukankah kontrak kerjasama mereka sudah berakhir beberapa bulan lalu?"Ya?" Sedikit ragu Vira menjawab panggilan telepon."Masih ingat saya, Bu Vira?" Suara di seberang sana terdengar ceria."Tentu." Vira sedikit tersenyum. Lelaki yang menghubunginya ini memang memiliki aura yang sangat positif. "Ada kabar yang kurang mengenakkan, Bu Vira.""Kabar apa?" Vira menge
Angin malam berhembus pelan, menggoyangkan rambut hitam Arlin yang tergerai. Mata yang menggunakan lensa kontak warna biru itu menatap kerlap kerlip cahaya lampu di bawah sana.Restoran di atas atap gedung berlantai tiga puluh delapan itu menjadi tempat yang sempurna untuk menikmati keindahan malam. Di bawah sana, kerlap kerlip lampu dari gedung-gedung dan kendaraan bermotor terlihat indah.Arlin menggunakan dress casual berwarna merah darah. Warna yang sangat kontras dengan kulit putihnya. Perona bibir warna senada dan riasan wajah yang memperlihatkan kesan segar, membuatnya terlihat sangat sedap dipandang mata. Arlin memang datang dengan penampilan terbaiknya."Bee." Arlin berbisik lirih. Senyum tidak pernah hilang dari wajah yang sekilas mirip dengan salah satu artis peran tanah air, Asmirandah. Untuk kedua kalinya dia melirik jam pada ponsel yang terletak di sampingnya. Sepuluh menit lagi dari waktu yang dijanjikan. Dia memang sengaja datang lebih dulu
Vira mengangguk. Kedua lesung pipinya tercetak jelas.Manis. Hendra membatin."Boleh aku tahu kenapa kau bisa bertahan setelah sekian lama? Bahkan kau masih tetap menerimaku kembali, setelah semua kesalahan yang kulakukan secara sengaja dan sadar." Hendra membelai rambut Vira yang tergerai. Wangi. Aroma mint yang sangat dia sukai."Karena aku juga belum bisa menjadi istri yang baik bagimu, Mas. Aku menyadari, dulu niatku salah. Aku terlalu berambisi membuatmu menerima kehadiranku agar bisa membungkam Silmi dan mamanya.” vira tertawa kecil mengingat masa itu. Masa-masa perjuangan saat dia hampir setiap minggu menemui wanita Hendra yang selalu berbeda.“Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengerti tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan keinginanku. Satu yang kusadari, harusnya aku tidak memaksakan diri agar kau menerimaku.” Vira memiringkan tubuhnya menghadap Hendra. Tangannya menyentuh pipi Hendra pelan.Sungguh, hatinya terasa hangat. Ini pertama kalinya mereka bicara seintim i
Kabar terakhir yang dia dengar, ada upaya dari beberapa pihak yang berusaha memberikan jaminan bebas untuk Arlin. Setidaknya, dia bisa bebas walau berstatus sebagai tahanan kota. Namun, Vira tidak ambil pusing. Wanita itu sudah cukup puas bisa membuat wanita itu merasakan sempitnya ruang penjara walau hanya beberapa hari.Dari awal dia sudah tahu, Arlin tidak akan mungkin mendekam dalam penjara selama itu. Tujuannya hanya satu, membersihkan namanya dan membuat mata Hendra terbuka bahwa wanita itu tidak selemah pikirannya selama ini. Dia berharap, dengan semua yang dilakukan Arlin selama ini, suaminya bisa melupakan rasa bersalahnya pada wanita itu.“Kenapa Vira minta maaf? Bahkan detik ini, Bunda sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu, Nak.”Sasa yang membawa gelas minuman dan Sesa yang membawa piring berisi makanan ringan terhenti langkahnya saat akan memasuki kamar. Mereka urung masuk saat mendengar suara tangisan ibunya.Mata mereka ikut basah. Ini pertama kalinya ibu mere
“Kak Vira?” Gadis berusia sembilan belas tahun itu sedikit terkejut saat melihat siapa yang tadi mengetuk pintu rumah mereka.“Siapa, Sa?” Seorang gadis yang berusia sama muncul dari balik hordeng pembatas ruangan. Wajah mereka tampak sama. Serupa pinang dibelah dua.“Halo, Sasa, Sesa?” Vira tersenyum lebar melihat dua saudara kembar itu. Mata mereka membulat karena terkejut.“Bunda ada?” Vira kembali bertanya karena Sasa dan Sesa hanya diam dan mematung memperhatikannya.“Ada, masuklah.” Sasa akhirnya menyingkir dari pintu, memberi jalan pada Vira dan Hendra.Hendra memperhatikan rumah itu. Ruangannya terlihat bersih dan rapi walau ukurannya tidak terlalu besar. Sofa sederhana dengan bentuk leter L dan meja kaca memenuhi ruangan itu. Televisi berukuran tiga puluh dua inch terletak tepat di depan sofa.Di dinding terpasang beberapa bingkai foto. Salah satu foto menarik perhatian Hendra. Terlihat enam orang sedang berpose, tiga wanita dan tiga pria dengan latar belakang bangunan yang m
“Vira mengatakan hubunganmu dan Mama Lily sedikit renggang karena kehadiran Om Winar?”Hendra mendengus. Dia memang mengabaikan Mama Lily belakangan ini. Menganggapnya tidak ada, agar wanita itu bisa merasakan bagaimana perasaan Papa Heru yang disebutnya sudah meninggal sekian lama.“Semua memang salah Papa, Hen. Papa juga sangat paham bagaimana kecewanya mamamu pada papa. Suami yang dia dampingi dari posisi nol, setelah berjaya justru menyeleweng. Itulah sebabnya kenapa papa menjauh, karena menghargai mamamu.” Papa Heru menarik napas panjang, menyesali kebodohannya selama ini.“Sejujurnya, waktu itu papa gelap mata. Namun, karena mengerti hancurnya perasaan mamamu dan menyadari kesalahan, papa langsung menerima keputusan pisah tanpa membawa sepeser pun harta yang kami kumpulkan bersama.” Angin sepoi-sepoi kembali berhembus, menggoyangkan rambut Hendra yang sudah agak panjang.“Bukan salah mamamu dia mengatakan papa sudah tiada, andai papa mau bisa saja papa datang menemuimu ke sana.
“Pa.” Vira melambaikan tangan pada lelaki yang sedang berdiri di samping saung. Sepertinya lelaki itu sedang menatap kedatangan mereka.Hendra mengerutkan kening mendengar Vira menyapa dengan “Pa”. Dia tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Tingkat percaya diri dan sok kenal istrinya memang patut diacungi jempol.“Vira.”Suara berat itu membuat Hendra mengangkat kepala. Vira? Mereka saling mengenal?Sekitar sepuluh meter dari saung, Hendra mematung. Walau lelaki itu menggunakan pakaian yang lusuh khas baju petani ke kebun, namun tidak menutupi wibawa seseorang yang baru saja menyapa istrinya itu.Seketika hati Hendra basah. Dia sangat mengenali sosok yang sedang menunggu kedatangan mereka itu. Walau rambutnya sudah beruban, lelaki itu masih terlihat tampan. Tubuhnya pun masih sangat gagah di usianya yang sudah tidak lagi muda.“Papa,” desis Hendra.Dia berusaha menegarkan langkah kakinya yang terasa bergetar. Jantungnya berdegup kencang sampai-sampai dia seperti bisa mendengar de
Lelaki berbaju abu-abu dengan warna yang sudah pudar itu menoleh saat mendengar beberapa suara. Dia menghentikan sejenak aktivitas mencuci tangan dan kaki di pancuran bambu yang airnya mengalir jernih. Baru saja kemarin dia memasang pancuran bambu itu. Selama ini dia langsung menciduk airnya menggunakan gayung dari batok kelapa.Melihat rimbun rumpun bambu di ujung desa saat dia akan lewat menuju sawah, melintas pikirannya untuk membuat pancuran. Benar saja, ternyata pancuran ini lebih memudahkan aktivitasnya untuk mencuci tangan dan peralatan bekas makan.Lelaki itu baru saja menyelesaikan makan siangnya. Ikan nila bakar dan tumis kangkung menemani makan siangnya hari itu. Setelah dari pagi tenaganya terkuras karena membersihkan hama di antara padi dan membenarkan pematang, menu makanannya terasa sangat sedap menyapa lidah. Ditambah dengan angin sepoi-sepoi dan lengking burung elang yang terbang rendah mencari mangsa, menambah kenikmatannya makan di atas saung kecil di tengah sawah.
“Aamiin.” awak media serentak mengaminkan, membuat Vira tertawa renyah.“Silang pendapat antara saya dan suami hari ini bukan masalah besar. Akhir-akhir ini kami memang kurang intens berkomunikasi karena saya sibuk mengurus acara empat bulanan dan Mas Hendra sibuk dengan pekerjaannya. Sudah ya.” Vira melambaikan tangan sambil tersenyum dan melenggang masuk ke gedung.Hendra mencegat Vira begitu istrinya itu lewat di depannya. Dia menarik tangan Vira pelan dan mengajaknya masuk ke dalam salah satu ruangan kosong.“Apa yang kau lakukan di sini, Vir?” Hendra menatap Vira tajam.“Maksud, Mas?” Vira mundur selangkah, membuat jarak diantara mereka tidak terlalu dekat.“Sudah kukatakan jangan ikut campur masalah keluargaku!” Hendra mengepalkan tangan.“Fokus saja pada kehamilanmu dan kesehatan Ayah Aksa. Ini bukan ranahmu. Biar kuselesaikan dengan caraku. Mengerti?!”“Ikut campur bagaimana?” Vira menatap Hendra tenang. Sementara Hendra menatapnya dengan garang.“Kenapa kau membuat pernyataa
“Ibu Savira, kenapa anda datang terpisah dengan Pak Hendra? Kenapa kalian datang padahal sebelumnya tidak? Apakah ada hal penting terkait agenda sidang hari ini.”Vira hanya tersenyum mendengar rentetan pertanyaan dari wartawan. Dia terus berjalan lurus tanpa merasa perlu menjawab pertanyaan mereka.“Tadi Pak Hendra mengatakan kalian akan menempuh jalur kekeluargaan karena mempertimbangkan posisi Arlin sebagai pimpinan perusahaan sehingga menyangkut hajat hidup orang banyak. Bagaimana tanggapan anda?” Vira menghentikan langkah dan menoleh pada salah satu wartawan yang tadi bertanya. Dia mengerutkan kening mendengar pernyataan itu.“Bagaimana?” Vira balik bertanya.“Apakah anda akhirnya memutuskan hadir karena tidak mau suami anda kembali intens berhubungan dengan Bu Arlin yang dulu merupakan pacarnya?”Vira tersenyum mendengar pertanyaan kedua ini. Dia mengaitkan kacamata hitam di kerah baju bagian dadanya sebelum menjawab.“Jalur kekeluargaan? Jujur, kalau saya pribadi belum ada renc
"Bagaimana agenda sidang hari ini, Pak Hendra? Apakah ada hal yang mendesak sehingga anda hadir? Beberapa sidang sebelumnya hanya kuasa hukum yang mewakili." Awak media langsung mengerumuni Hendra begitu lelaki itu keluar dari mobil.Hendra mengulas senyum pada wartawan yang mengikuti langkahnya. Kasus ini memang menarik perhatian publik karena dari awal Arlin sudah melempar bola kepada media. Seiring berjalannya persidangan, banyak fakta-fakta tersembunyi yang ikut mencuat, termasuk hubungan Arlin dan Hendra di masa lalu.Hal itu menarik perhatian masyarakat, karena terkuak hubungan Arlin dan Hendra bukan hanya sekedar rekan bisnis. Namun, lebih dari itu, mereka sempat berpacaran lama bahkan hampir bertunangan. Cinta mereka harus kandas karena Hendra dijodohkan dengan Vira.Romansa cinta mereka bertiga bahkan mengalahkan fokus pada kasus yang sedang berjalan. Animo masyarakat lebih tertarik untuk mengulik kisah asmara ketiganya.“Anda datang sendiri tanpa didampingi Ibu Savira? Apak