“Kau salah menilaiku, Vir.” Arlin bersuara setelah sekian lama. Senyumnya mulai mengembang, menunjukkan kepercayaan dirinya telah kembali.
Vira menghembuskan napas kencang. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dengan kencang.“Aku berbeda dengan wanita-wanita yang pernah kau usir dari kehidupan Hendra, Vir. Tidak semudah itu membuatku menjauh. Apalagi, aku memang tidak ada niat untuk melakukannya. Aku datang, bermaksud untuk tinggal.”Vira mengangkat dagu saat mendengar ucapan Arlin. Wanita ini resmi mengibarkan bendera perang. Apa katanya tadi? Dia berbeda dari wanita-wanita Hendra yang sebelumnya? Benar, Arlin memang berbeda. Lebih tepatnya, wanita itu bukan manusia. Dia adalah iblis yang menjelma menjadi perempuan cantik.“Pergilah, Mbak Arlin. Aku tidak berminat memperjuangkan sesuatu yang memang sudah kumenangkan dari awal.” Vira memainkan sedotan stainless di gelasnya. Pelan dia mengetuk-ngetukkan sedotan pada gelas, menimbulkanSuara derit kursi yang diseret terdengar nyaring. Vira sengaja menarik kursi kerjanya ke dekat jendela yang menghadap ke arah jalan besar di depan kantor.Hari ini Vira sengaja datang pagi-pagi sekali. Wanita itu berangkat saat mobil Hendra menghilang dari pandangan. Suaminya itu sedang sangat sibuk. Minggu-minggu ini mereka hanya bertemu di tempat tidur, kadang Hendra pulang bahkan saat Vira sudah tertidur pulas. Lelaki itu juga sering berangkat pagi buta, seperti hari ini.Jam enam lewat tiga puluh lima menit.Vira mengalihkan pandangan dari jam dinding ungu berbentuk bunga teratai yang sedang mengembang. Wanita itu duduk di kursi sambil menatap halaman yang basah. Saat dia berangkat tadi, gerimis lumayan deras mengguyur.Hujan di luar mulai mereda. Hanya menyisakan rintik air yang jatuh dari dedaunan tanaman hias sepanjang kota. Menyisakan bulir air yang menempel pada dinding kaca. Menyisakan titik air di mata Vira.Mengingat kejadian
“Sakit tidak bisa diprediksi, Vir! Ayahmu …”“Obat itu dari Arlin.” Silmi memotong ucapan ibunya.Waktu seakan terhenti saat Silmi mengucapkan empat kata itu dari mulutnya. Dada Vira mendadak terasa sesak. Dia tidak peduli bagaimana caranya mereka saling kenal. Yang dia tahu, alangkah teganya Rahma dan Silmi pada Ayah Aksa. padahal mereka sudah hidup sebagai keluarga selama ini.“Kenapa?” Suara Vira bergetar. Matanya terasa panas.“Kenapa kau tega pada ayah padahal selama ini beliau sudah sangat baik padamu?! BELIAU BAHKAN MENGABAIKANKU DEMI DIRIMU!” Vira berteriak kencang sambil membanting botol obat di tangannya, membuat isinya berceceran keluar, berhamburan memenuhi lantai tempat mereka berpijak.“Dia lelaki pendusta! Dia melakukannya tidak tulus!” Silmi berkata sambil memalingkan wajah dari Vira.“Tulus ataupun tidak, buktinya selama ini dia membesarkanmu dengan baik. Apa ada sekali saja ayah mencelakaimu?! Beruntungnya dirim
"Van." Vira menahan tangan Vano saat bawahannya itu akan membuka pintu mobil.Lelaki itu mengerutkan kening. Dia menatap Vira heran. Namun, diurungkannya juga niatnya keluar dari mobil. "Kau tahu? Sebelum kalian masuk dan membantuku, aku mengerjakan semuanya sendirian." Vira menatap plang nama tempat usahanya.Vano mengikuti pandangan Vira. "PT. Savira Kreasi Jaya", nama usaha yang tercetak tebal pada plang nama di depan mereka."Aku mengembangkan usaha ini sendirian. Berjuang mati-matian agar usaha ini bisa maju. Aku bahkan sering menahan haus karena uang jajan dari ayah tidak cukup banyak saat aku SMA, sementara aku butuh laptop, printer dan sebagainya untuk menunjang usaha ini. Aku rela tidak jajan dan memilih pulang dengan berjalan kaki agar bisa menabung untuk membeli semua peralatan itu." Pandangan Vira menerawang jauh. Mengenang saat-saat itu."Hingga akhirnya semua perjuangan terbayar. Pelan tapi pasti usahaku mulai menampakkan h
"Ya, Hen?" Hendra langsung mengangkat panggilan dari Hendy pada dering pertama. Dia memang menunggu hasil sidang hari ini. Sebetulnya dia sangat ingin hadir. Namun, karena banyak pekerjaan, dia mempercayakan pada Hendy dan tim kuasa hukumnya."Mereka minta gugatan dicabut." Hendy menjawab.Hendra menarik nafas panjang. Dia menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi dengan sedikit kencang. Lelaki itu menengadah sambil menutup mata."Dicabut bagaimana?" Hendra akhirnya bertanya sambil menghembuskan nafas kencang.“Mereka minta diselesaikan secara musyawarah.”Hendra berdecak sebal mendengar jawaban Hendy di seberang sana.“Musyawarah? Jangan membuatku mati karena tertawa, Hen!” Hendra tertawa kecil sambil memukul pahanya karena menahan kesal.“Kami sudah menolak apapun penawaran mereka kecuali langsung pengembalian dana, seperti yang Pak Hendra instruksikan.”“Jadi?”“Mediasi gagal.”“Lah? Memangnya mereka mau musyawarah bagaimana kalau tidak mengembalikan dana?” suara Hendra meningg
Hendra mengangkat kepala saat sepatu warna merah menyala terlihat memasuki ruangannya. Seperti biasa wanita itu selalu terlihat modis. Tubuhnya selalu tercium wangi, bahkan dari jarak sekian meter Hendra sudah bisa mencium parfume Arlin. Wangi yang lembut. Enak benar untuk dihidu.Senyum Arlin mengembang saat mata mereka bertemu. Mata yang cemerlang karena rasa percaya diri yang sangat tinggi dari empunya. Membuat nyaman berlama-lama menatap mata itu.“Bee.” Suara manja Arlin terdengar empuk di telinga.Arlin menata debar di dada saat sambutan Hendra sangat dingin padanya. Langkahnya yang penuh percaya diri, sebenarnya untuk menutupi kegugupan yang semakin menggila di dalam hatinya.Arlin menggigit bibir saat mengingat apa tujuannya kemari. Setengah jam yang lalu Papa Surya menelepon. Suara itu terdengar sangat geram.“Arlin!” Suara lengkingan Papa Surya langsung terdengar saat Arlin menekan tombol terima panggilan.“Kau tidak berhasil tidur dengan Hendra, hah?!”Arlin mendengus kesa
“Ngomong-ngomong, usaha istrimu lumayan juga.”“Usahanya cukup besar, Bee. Vira bahkan punya lima orang karyawan. Bahkan dari usahanya itu dia bisa kuliah. Katanya tahun ini wisuda kalau skripsinya lancar.” “Pak Hendra?” Pak Risky, salah satu tim kuasa hukum Hendra membuat perhatian Hendra kembali. Pikirannya selalu terngiang-ngiang ucapan Arlin tadi. Usaha apa? Vira?“Jadi bagaimana, Pak?” Pak Risky kembali bertanya.“Eee, sampai dimana kita tadi?” Hendra menggaruk ujung hidungnya.Pak Risky, Hendy, dan tim kuasa hukum lainnya yang berjumlah tiga orang saling berpandangan. Tidak biasanya Hendra seperti ini. Lelaki itu seperti sedang tidak fokus. Biasanya Hendra selalu hadir seutuhnya saat sedang rapat penting. Dia terbiasa terjun langsung untuk mengetahui akar permasalahan.“Terkait hasil sidang tadi, Pak Hendra. Sepertinya tidak ada itikad baik dari perusahaan lawan. Entah apa yang membuat mereka tiba-tiba dengan percaya dirinya meminta agar gugatan dicabut, padahal tidak ada satu
Di tempat lainnya, Vira sedang bersiap untuk pulang. Timnya memang dapat diandalkan. Proyek yang mereka kerjakan sudah berjalan sesuai dengan waktu yang dia perkirakan.“Hati-hati, Bubs.” keempat karyawan Vira kompak bersuara. Wanita itu tertawa karena mereka terdengar seperti sedang paduan suara.Vira melambaikan tangan dan bergegas keluar mengendarai mobilnya. Dia ingin memasak untuk makan malam sebelum Hendra pulang. Siapa tahu Hendra pulang cepat, pikirnya.“Jadi ini tempat usahamu, Vir?”Vira terlonjak kaget saat tiba-tiba ada Hendra duduk di kursi penumpang. Lelaki itu memang sengaja mendatangi alamat yang diberikan oleh Arlin. Dia ingin membuktikan dengan mata dan kepalanya sendiri benarkah semua yang dikatakan oleh wanita itu.“PT. Savira Kreasi Jaya. Sudah berbentuk PT rupanya.” Hendra mengangguk-angguk menatap plang nama tempat usaha Vira. Dia langsung ikut masuk ke mobil Vira saat tadi istrinya itu juga sedang masuk ke mobil. Hendra sengaja mengajak supir kantor tadi, jadi
Hendra mengacak rambutnya dengan kedua tangan. Dia akhirnya keluar dan membanting pintu mobil dengan kencang saat menutupnya.Arlin tersenyum tipis melihat kejadian di depannya. Ini kabar baik baginya, melihat Hendra dan Vira pulang dalam keadaan bertengkar. Sementara Mama Lily menatap Hendra dan Vira dengan bingung. Kenapa anak dan menantunya itu pulang dalam keadaan bertengkar? Kenapa pula mereka bisa pulang bersama? Kemana mobil Hendra?Vira tertawa sinis melihat Arlin sedang duduk santai di teras. Wanita itu berhenti dan membalik badan menatap Hendra yang berjalan di belakangnya. Dia menggerakkan bahu dan memutar bola matanya, kemudian menunjuk keberadaan Arlin dengan dagunya.Hendra mengikuti arah yang ditunjuk Vira. Hampir saja keluar kata makian dari mulutnya melihat Arlin sedang duduk manis bersama Mama Lily. Apa lagi mau wanita itu? Akan semakin runyam urusannya dengan Vira karena keberadaan Arlin.Vira sengaja berhenti lama, menunggu Hen
Vira mengangguk. Kedua lesung pipinya tercetak jelas.Manis. Hendra membatin."Boleh aku tahu kenapa kau bisa bertahan setelah sekian lama? Bahkan kau masih tetap menerimaku kembali, setelah semua kesalahan yang kulakukan secara sengaja dan sadar." Hendra membelai rambut Vira yang tergerai. Wangi. Aroma mint yang sangat dia sukai."Karena aku juga belum bisa menjadi istri yang baik bagimu, Mas. Aku menyadari, dulu niatku salah. Aku terlalu berambisi membuatmu menerima kehadiranku agar bisa membungkam Silmi dan mamanya.” vira tertawa kecil mengingat masa itu. Masa-masa perjuangan saat dia hampir setiap minggu menemui wanita Hendra yang selalu berbeda.“Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengerti tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan keinginanku. Satu yang kusadari, harusnya aku tidak memaksakan diri agar kau menerimaku.” Vira memiringkan tubuhnya menghadap Hendra. Tangannya menyentuh pipi Hendra pelan.Sungguh, hatinya terasa hangat. Ini pertama kalinya mereka bicara seintim i
Kabar terakhir yang dia dengar, ada upaya dari beberapa pihak yang berusaha memberikan jaminan bebas untuk Arlin. Setidaknya, dia bisa bebas walau berstatus sebagai tahanan kota. Namun, Vira tidak ambil pusing. Wanita itu sudah cukup puas bisa membuat wanita itu merasakan sempitnya ruang penjara walau hanya beberapa hari.Dari awal dia sudah tahu, Arlin tidak akan mungkin mendekam dalam penjara selama itu. Tujuannya hanya satu, membersihkan namanya dan membuat mata Hendra terbuka bahwa wanita itu tidak selemah pikirannya selama ini. Dia berharap, dengan semua yang dilakukan Arlin selama ini, suaminya bisa melupakan rasa bersalahnya pada wanita itu.“Kenapa Vira minta maaf? Bahkan detik ini, Bunda sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu, Nak.”Sasa yang membawa gelas minuman dan Sesa yang membawa piring berisi makanan ringan terhenti langkahnya saat akan memasuki kamar. Mereka urung masuk saat mendengar suara tangisan ibunya.Mata mereka ikut basah. Ini pertama kalinya ibu mere
“Kak Vira?” Gadis berusia sembilan belas tahun itu sedikit terkejut saat melihat siapa yang tadi mengetuk pintu rumah mereka.“Siapa, Sa?” Seorang gadis yang berusia sama muncul dari balik hordeng pembatas ruangan. Wajah mereka tampak sama. Serupa pinang dibelah dua.“Halo, Sasa, Sesa?” Vira tersenyum lebar melihat dua saudara kembar itu. Mata mereka membulat karena terkejut.“Bunda ada?” Vira kembali bertanya karena Sasa dan Sesa hanya diam dan mematung memperhatikannya.“Ada, masuklah.” Sasa akhirnya menyingkir dari pintu, memberi jalan pada Vira dan Hendra.Hendra memperhatikan rumah itu. Ruangannya terlihat bersih dan rapi walau ukurannya tidak terlalu besar. Sofa sederhana dengan bentuk leter L dan meja kaca memenuhi ruangan itu. Televisi berukuran tiga puluh dua inch terletak tepat di depan sofa.Di dinding terpasang beberapa bingkai foto. Salah satu foto menarik perhatian Hendra. Terlihat enam orang sedang berpose, tiga wanita dan tiga pria dengan latar belakang bangunan yang m
“Vira mengatakan hubunganmu dan Mama Lily sedikit renggang karena kehadiran Om Winar?”Hendra mendengus. Dia memang mengabaikan Mama Lily belakangan ini. Menganggapnya tidak ada, agar wanita itu bisa merasakan bagaimana perasaan Papa Heru yang disebutnya sudah meninggal sekian lama.“Semua memang salah Papa, Hen. Papa juga sangat paham bagaimana kecewanya mamamu pada papa. Suami yang dia dampingi dari posisi nol, setelah berjaya justru menyeleweng. Itulah sebabnya kenapa papa menjauh, karena menghargai mamamu.” Papa Heru menarik napas panjang, menyesali kebodohannya selama ini.“Sejujurnya, waktu itu papa gelap mata. Namun, karena mengerti hancurnya perasaan mamamu dan menyadari kesalahan, papa langsung menerima keputusan pisah tanpa membawa sepeser pun harta yang kami kumpulkan bersama.” Angin sepoi-sepoi kembali berhembus, menggoyangkan rambut Hendra yang sudah agak panjang.“Bukan salah mamamu dia mengatakan papa sudah tiada, andai papa mau bisa saja papa datang menemuimu ke sana.
“Pa.” Vira melambaikan tangan pada lelaki yang sedang berdiri di samping saung. Sepertinya lelaki itu sedang menatap kedatangan mereka.Hendra mengerutkan kening mendengar Vira menyapa dengan “Pa”. Dia tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Tingkat percaya diri dan sok kenal istrinya memang patut diacungi jempol.“Vira.”Suara berat itu membuat Hendra mengangkat kepala. Vira? Mereka saling mengenal?Sekitar sepuluh meter dari saung, Hendra mematung. Walau lelaki itu menggunakan pakaian yang lusuh khas baju petani ke kebun, namun tidak menutupi wibawa seseorang yang baru saja menyapa istrinya itu.Seketika hati Hendra basah. Dia sangat mengenali sosok yang sedang menunggu kedatangan mereka itu. Walau rambutnya sudah beruban, lelaki itu masih terlihat tampan. Tubuhnya pun masih sangat gagah di usianya yang sudah tidak lagi muda.“Papa,” desis Hendra.Dia berusaha menegarkan langkah kakinya yang terasa bergetar. Jantungnya berdegup kencang sampai-sampai dia seperti bisa mendengar de
Lelaki berbaju abu-abu dengan warna yang sudah pudar itu menoleh saat mendengar beberapa suara. Dia menghentikan sejenak aktivitas mencuci tangan dan kaki di pancuran bambu yang airnya mengalir jernih. Baru saja kemarin dia memasang pancuran bambu itu. Selama ini dia langsung menciduk airnya menggunakan gayung dari batok kelapa.Melihat rimbun rumpun bambu di ujung desa saat dia akan lewat menuju sawah, melintas pikirannya untuk membuat pancuran. Benar saja, ternyata pancuran ini lebih memudahkan aktivitasnya untuk mencuci tangan dan peralatan bekas makan.Lelaki itu baru saja menyelesaikan makan siangnya. Ikan nila bakar dan tumis kangkung menemani makan siangnya hari itu. Setelah dari pagi tenaganya terkuras karena membersihkan hama di antara padi dan membenarkan pematang, menu makanannya terasa sangat sedap menyapa lidah. Ditambah dengan angin sepoi-sepoi dan lengking burung elang yang terbang rendah mencari mangsa, menambah kenikmatannya makan di atas saung kecil di tengah sawah.
“Aamiin.” awak media serentak mengaminkan, membuat Vira tertawa renyah.“Silang pendapat antara saya dan suami hari ini bukan masalah besar. Akhir-akhir ini kami memang kurang intens berkomunikasi karena saya sibuk mengurus acara empat bulanan dan Mas Hendra sibuk dengan pekerjaannya. Sudah ya.” Vira melambaikan tangan sambil tersenyum dan melenggang masuk ke gedung.Hendra mencegat Vira begitu istrinya itu lewat di depannya. Dia menarik tangan Vira pelan dan mengajaknya masuk ke dalam salah satu ruangan kosong.“Apa yang kau lakukan di sini, Vir?” Hendra menatap Vira tajam.“Maksud, Mas?” Vira mundur selangkah, membuat jarak diantara mereka tidak terlalu dekat.“Sudah kukatakan jangan ikut campur masalah keluargaku!” Hendra mengepalkan tangan.“Fokus saja pada kehamilanmu dan kesehatan Ayah Aksa. Ini bukan ranahmu. Biar kuselesaikan dengan caraku. Mengerti?!”“Ikut campur bagaimana?” Vira menatap Hendra tenang. Sementara Hendra menatapnya dengan garang.“Kenapa kau membuat pernyataa
“Ibu Savira, kenapa anda datang terpisah dengan Pak Hendra? Kenapa kalian datang padahal sebelumnya tidak? Apakah ada hal penting terkait agenda sidang hari ini.”Vira hanya tersenyum mendengar rentetan pertanyaan dari wartawan. Dia terus berjalan lurus tanpa merasa perlu menjawab pertanyaan mereka.“Tadi Pak Hendra mengatakan kalian akan menempuh jalur kekeluargaan karena mempertimbangkan posisi Arlin sebagai pimpinan perusahaan sehingga menyangkut hajat hidup orang banyak. Bagaimana tanggapan anda?” Vira menghentikan langkah dan menoleh pada salah satu wartawan yang tadi bertanya. Dia mengerutkan kening mendengar pernyataan itu.“Bagaimana?” Vira balik bertanya.“Apakah anda akhirnya memutuskan hadir karena tidak mau suami anda kembali intens berhubungan dengan Bu Arlin yang dulu merupakan pacarnya?”Vira tersenyum mendengar pertanyaan kedua ini. Dia mengaitkan kacamata hitam di kerah baju bagian dadanya sebelum menjawab.“Jalur kekeluargaan? Jujur, kalau saya pribadi belum ada renc
"Bagaimana agenda sidang hari ini, Pak Hendra? Apakah ada hal yang mendesak sehingga anda hadir? Beberapa sidang sebelumnya hanya kuasa hukum yang mewakili." Awak media langsung mengerumuni Hendra begitu lelaki itu keluar dari mobil.Hendra mengulas senyum pada wartawan yang mengikuti langkahnya. Kasus ini memang menarik perhatian publik karena dari awal Arlin sudah melempar bola kepada media. Seiring berjalannya persidangan, banyak fakta-fakta tersembunyi yang ikut mencuat, termasuk hubungan Arlin dan Hendra di masa lalu.Hal itu menarik perhatian masyarakat, karena terkuak hubungan Arlin dan Hendra bukan hanya sekedar rekan bisnis. Namun, lebih dari itu, mereka sempat berpacaran lama bahkan hampir bertunangan. Cinta mereka harus kandas karena Hendra dijodohkan dengan Vira.Romansa cinta mereka bertiga bahkan mengalahkan fokus pada kasus yang sedang berjalan. Animo masyarakat lebih tertarik untuk mengulik kisah asmara ketiganya.“Anda datang sendiri tanpa didampingi Ibu Savira? Apak