Beranda / CEO / Aku Tanpa Cintamu / Laki-laki Asing

Share

Laki-laki Asing

Penulis: NH. Soetardjo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku bergegas masuk ke balairung salah satu hotel terbesar di kota ini. Letaknya di lantai paling atas. Baru satu pekan pulang ke kampung halaman, ternyata sudah mendapat undangan pesta pernikahan seorang sahabat semasa duduk di bangku SMA. Awalnya aku tidak berniat hadir. Namun, Ibu dan Bapak memaksa.

"Hani rajin mengunjungi Ibu sebulan sekali sejak kamu hijrah ke Jakarta. Masa di hari paling bersejarah dalam hidupnya, malah kamu nggak hadir?"

"Perjalanan ke kota kabupaten lumayan jauh, Bu. Kasihan Ziva dan Zelda. Apalagi pestanya malam hari," jawabku beralasan. 

"Anak-anak nggak usah diajak. Biar Ibu dan Bapak yang akan jaga mereka."

Beberapa hari berikutnya aku masih memikirkan apakah harus datang atau tidak ke acara ini. Tegakah? Bukankah harusnya aku malah membantu Hani mempersiapkan pestanya sejak awal? Bahkan dia mengirimkan seragam khusus untukku yang didaulat sebagai bridesmaid.

"Pokoknya kalian berenam harus datang. Aku udah siapin kamar di hotel yang sama."

Pesan itu Hani kirimkan ke grup. Pertanyaan dari Lidya muncul beberapa detik kemudian. 

"Kamar?"

"Iya. Setelah selesai acara, kalian pastinya lelah. Sudah terlalu larut juga untuk menempuh perjalanan pulang yang cukup jauh."

"Siap, Bos!"

Ibu dan Bapak juga menyarankan aku menginap saja bersama enam sahabatku itu. 

"Dari kota kabupaten ke sini hampir satu jam, Nduk. Kamu menginap saja. Ngeri kalau nyetir malam dengan jalan yang naik turun arah ke desa ini."

Akhirnya aku mengikuti saran Ibu. Kini, gaun tule peach dari Hani kupadukan dengan high heels warna senada. Di mobil ada pakaian ganti juga untuk esok aku pulang. 

Sampai di lokasi, akad dan pestanya belum dimulai. Aku langsung mencari sosok Sarah, Lidya, Namira, Rinda, dan Indah saat sampai di dalam balairung yang kini dihias amat cantik. Nuansa ungu mendominasi pemandangan di dalamnya. Hani memang seorang pecinta purple sejati. Setiap hari selalu saja ada ungu di antara benda atau gaun yang ia kenakan. 

"Zi ...!" Namira yang pertama melihatku langsung berteriak dan melambaikan tangannya. Kudekati rombongan itu, lalu memeluk mereka satu persatu. 

"Di mana Hani?" 

"Masih di ruang rias. Sebentar lagi selesai," jawab Sarah.

"Lo sama siapa, Zi?" tanya Lidya lembut. Dia tampaknya khawatir aku sedih ditanya seperti itu.

"Sendiri."

Aku mengulas senyum senormal mungkin karena tak ingin semua sahabat menjadi khawatir. Meraka banyak memberikan support padaku selama menjalani hari-hari yang paling melelahkan.

"Yah, kenapa Ziva sama Zelda nggak diajak, Zi?" tanya Rinda dan Indah kompak. 

"Iya, Zi. Padahal seru kalau mereka ikut nginep malam ini," ujar Namira.

"Pasti lucu banget mereka, ya? Aku terakhir ketemu Ziva pas Zelda lahir. Pasti sekarang udah besar banget anak itu."

Aku menarik napas perlahan, lalu mengulas senyum sekali lagi.

"Ibu yang minta supaya mereka di rumah aja."

Pembicaraan kami langsung berhenti saat ada info dari panitia bahwa akad akan segera dimulai. Sebentar lagi, Hani akan mengarungi bahtera rumah tangga seperti anggota grup yang lain. Mirisnya di saat personel terakhir menikah, aku justru kembali melajang.  Ada nyeri mengingat kenyataan itu.

Luka itu ternyata masih menganga. Hingga perihnya menelusup pori-pori seakan tak berujung. Walau demikian, aku merasa keputusan ini sudah tepat. Tak mungkin bertahan pada banyak luka yang jalin menjalin akibat perbuatan dua manusia yang tak punya hati. 

***

Akad telah usai. Kini Hani dan suami sedang menjadi raja dan ratu di acara resepsi mereka. Tamu yang ingin memberikan ucapan selamat semakin mengalir. Makanan lezat terus dihidangkan. Entah berapa ribu undangan yang hadir. 

Sebagai anak tunggal dari keluarga yang sangat berkecukupan, kehidupan sosial Hani berada di tingkatan atas. Wajar saja jika pesta ini sangat mewah dan meriah.

"Pengantinnya mirip, ya?" tanya seorang undangan saat aku melangkah di dekatnya. 

"Iya. Katanya jodoh tuh kalau mirip," jawab seorang rekannya.

Aku berlaku dari keduanya dan berjalan menuju pintu samping balairung hotel. Ada kolam renang di sana. Kepala ini rasanya pening sekali setelah beberapa jam berada di tengah kerumunan manusia. Suara musik selama resepsi berlangsung juga semakin membuatku pusing. Belum lagi kaki yang pegal karena mengenakan high heels cukup lama. 

Di tepi kolam, ada kursi panjang yang tampak nyaman untuk tempat beristirahat. Kuputuskan duduk dan menyegarkan otak dengan menikmati langit malam. Sepertinya akan nyaman sekali jika bisa menyandarkan punggung saat ini.

"Nggak suka pesta?" tanya seseorang yang tiba-tiba berdiri di samping kiriku.

Penampilannya termasuk cukup santai di acara semewah ini. Kemeja biru navy yang lengannya digulung sampai ke siku, dipadu dengan celana slimfit warna senada. Rambutnya agak panjang sedikit dan dibiarkan berantakan. Tangan kirinya dimasukkan ke saku celana, sementara yang kanan memegang gelas berisi minuman soda. Tanpa kupersilakan, dia duduk di sebelahku. 

"Saya juga nggak suka pesta," ujarnya lagi. Aku tersenyum canggung. Tak tahu harus bersikap bagaimana. Aroma laki-laki ini sangat menenangkan. Mirip sekali dengan orang yang baru selesai mandi. Segar. Tak peduli dia siapa, yang jelas aku menyukai harum parfumnya. 

"Kamu bisa ngomong, 'kan? Sejak tadi saya seperti bicara seorang diri," ucapnya sambil menoleh ke arahku. Senyum yang sangat tipis terulas di wajahnya.

"Oh ... i-itu ... a-aku hanya sedikit lelah." Kubalas senyumnya dengan sedikit gugup. Dia mengamatiku dari ujung kepala hingga kaki, lalu mengangguk. 

"Hmm ... wajar, sih. Kamu satu dari bridesmaids itu, kan? Pasti datang lebih awal dan sibuk." Ia mengalihkan pandangannya ke arah kolam, lalu menyesap minuman dari gelas. 

"Nggak juga, kok. Hani hanya minta kami mengiringinya saja. Selebihnya hanya .... menikmati pesta."

"Sayangnya kamu bukan jenis orang yang menikmati pesta, bukan?" tebaknya sambil kembali menatapku tajam. Aku hanya mengangguk.

"Tinggal di mana?" tanyanya kemudian. 

"Pringsurat," kusebutkan nama kecamatan saja. Tak nyaman mengatakan detail alamat pada laki-laki asing. Ia tampak terkejut. 

"Lumayan itu, lho. Naik apa ke sini?"

"Mobil."

"Sama pacar, atau suami?" tanyanya lagi. Ada getir merambati hatiku.

"Sendiri."

"Oh, kamu single. Sama, dong. Aku juga jomlo," ujarnya percaya diri. Aku memilih diam. Tak mungkin juga menjelaskan kalau diriku janda anak dua yang ditikung karyawannya sendiri. Kami bahkan belum saling mengenalkan nama. 

"Kenalkan, aku Handi," ujarnya kemudian sambil mengulurkan tangan. Aku menyambutnya dengan perasaan tak menentu. Ada debar aneh saat kulit kami saling bersentuhan. 

"Zianka. Panggil saja Zi."

"Hmm ... namamu unik. Aku suka." Ia mengerjapkan mata sejenak. Ternyata laki-laki ini sangat tampan. Matanya tajam, membuat aku merasa terintimidasi saat ia bicara sambil menatap lekat 

Hening menyelimuti kami untuk beberapa detik. Handi menghabiskan minumnya lalu meletakkan gelas yang telah kosong di atas meja kecil. Aku bahkan baru menyadari ada benda itu di samping kursi yang kami duduki.

"Mau pulang jam berapa? Nyetir sendiri lagi? Sepi banget jalanan ke arah rumahmu di jam seperti ini, lho." Ia cerewet ternyata. Paling tidak, itu kesimpulanku saat ini. 

"Aku menginap bersama teman-teman bridesmaids yang lain. Hani sudah menyewakan kamar untuk kami di hotel ini."

"Wah, sama lagi ternyata. Aku juga menginap di sini. Lantai lima. Kamu?"

"Entahlah," jawabku sambil menggeleng. "Aku bahkan belum bertanya pada yang lainnya."

Handi mengangguk. Hening lagi untuk beberapa saat. Kali ini lebih lama dari sebelumnya. Tiba-tiba ia mengambil ponsel dari saku, lalu mengulurkannya padaku. 

"Tolong ketik nomor teleponmu," ujarnya tanpa basa-basi. Ragu, aku menerima benda pipih itu.

"Untuk apa?" tanyaku sambil menatapnya bingung. Tak pernah ada yang tiba-tiba meminta nomor ponselku seperti ini. 

"Buat nelepon, lah. Boleh, kan? Atau pacarmu akan marah?"

"Aku nggak punya pacar. Baru saja bercerai," jawabku lirih. Mata Handi seketika membulat seakan tak percaya. 

***

Bab terkait

  • Aku Tanpa Cintamu   Bertemu Mantan Suami

    Seperti umumnya persahabatan, saat menginap adalah kesempatan kami untuk melepas rindu. Bercengkrama hampir lupa waktu. Apalagi setelah menikah, banyak di antara kami yang sudah sulit untuk bertemu karena telah tinggal berjauhan. Namira dan keluarganya kini menetap di Bandung. Sarah dan Lidya tinggal di Jakarta, sementara Indah ikut suaminya yang dipindahtugaskan ke Surabaya. Hanya Winda dan Hani yang masih tinggal di kota ini. Walau turut sedih atas perceraianku dengan Mas Zaid, di lain sisi mereka senang akhirnya kami kembali tinggal berdekatan. Beda kecamatan, tapi masih satu kota. Artinya akan banyak waktu bagi kami untuk sering berkumpul seperti malam ini.“Sayangnya Namira dan Sarah nggak bisa nginep, ya …,” ujar Lidya tampak kecewa. Ia sedang menyisir rambutnya yang panjang. “Ya, gimana pun, namanya istri harus ikut kata suami, lah. Pak bos ngajak pulang sekarang ya, harus cabut,” Indah menanggapi. Seketika suasana hening. Winda mengalihkan tatapannya padaku.“Eh, sorry, Zee.

  • Aku Tanpa Cintamu   Pesan Mesra

    "Kenalkan, saya Zaid. Suami Zee," ucap laki-laki itu sambil duduk di antara kami, padahal belum ada yang mempersilakan. Handi menyambut uluran tangannya. "Maaf, ralat. Mantan suami," tukasku cepat, sementara tangan mereka masih berjabat. Handi menatapku tajam. Sejurus kemudian bibirnya membentuk senyum tipis."Saya Handi Aditya, pacarnya Zee."Kalimat itu spontan membuat mataku membulat. Hendak protes, tapi segera kuurungkan saat melihat Zaid yang kini terlihat bingung. Sejurus kemudian, laki-laki itu segera menguasai keadaan. Mereka saling melepas genggaman tangan."Sudah saya duga kamu pasti menginap di sini, Zee. Pulang jam berapa?""Sebentar lagi.""Saya antar, ya?""Gak perlu. Saya bawa kendaraan sendiri."Hening.Zaid mulai menikmati makanannya. Aku sendiri sudah tak berselera. Kualihkan pandangan ke Handi. Laki-laki itu tersenyum penuh arti dan mengedipkan sebelah matanya padaku. Apa maksudnya?Tunggu. Aku jadi terpikir satu ide. Mungkinkah kedipan mata Handi tadi karena dia me

  • Aku Tanpa Cintamu   Dua Marina

    "Mas, kamu menginap nanti, ya? Aku ingin melihat wajahmu saat bangun esok hari. Masa iya, kamu mau ninggalin aku gitu aja sendirian di hotel?"Chat mesra seperti itu ditujukan untuk Mas Zaid, tapi dari seseorang bernama Roy? Apakah aku yang belum mengenal pasangan lebih dalam? Selama ini tak ada tanda-tanda orientasi yang menyimpang dari suamiku. Mas Zaid pun, kutahu adalah pribadi yang paham bagaimana bahayanya kecenderungan menyimpang itu. Beberapa saat berpikir keras, kuputuskan untuk menelusuri riwayat pesan-pesan sebelumnya. Mas Zaid sedang tidur ketika handphone itu terus bergetar. Selama ini aku tak pernah dengan sengaja membuka ponselnya. Pernikahan ini awalnya bukan karena aku cinta dia. Maka kubangun tiang-tiangnya dengan dasar percaya. Ada Allah yang Maha Tahu, dan cukuplah itu menjadi batasan kami meneguhkan kesetiaan. Tak pernah saling curiga dengan siapa masing-masing menjalin komunikasi.Semakin jauh menelusuri pesan-pesan itu, aku yakin pengirimnya bukan Roy. Tampakny

  • Aku Tanpa Cintamu   Video 25 Detik

    Aku tahu kini, siapa perempuan simpanan Mas Zaid. Wajahnya jelas terlihat di video berdurasi dua puluh lima detik itu. Video laknat penghancur rumah tanggaku. Pantas saja belakangan Mas Zaid sering pulang malam. Aku percaya saja saat dia mengatakan banyak pekerjaan di kantor yang harus segera diselesaikan. Ternyata tugas dari perempuan jalang untuk memuaskan hasratnya.Hingga malam itu aku terbangun di tengah malam. Kudengar suara Mas Zaid sedang mandi. Kebiasaan baru yang dulu tak pernah dilakukannya. Aku segera pura-pura memejamkan mata saat dia masuk ke kamar kami. Kemudian kudengar suara lemari dibuka, juga langkah kakinya yang seperti ditahan. Sepertinya dia takut aku terbangun.Beberapa menit kemudian hening. Hanya terdengar bunyi napasnya yang teratur tanda Mas Zaid sudah terlelap. Perlahan aku bangkit dan menoleh ke arah punggungnya. Dia membelakangiku. Tampak rambutnya basah. Suamiku baru saja berbuat apa hingga harus keramas tengah malam? Sekelebat pikiran buruk menghantuik

  • Aku Tanpa Cintamu   Pertemuan Dua Lelaki

    "Siapa laki-laki itu? Ada hubungan apa kalian sampai mobilnya pun kau bawa ke rumah ini? Oh, atau dia selingkuhanmu juga saat kita belum bercerai?""Itu bukan urusanmu."Laki-laki itu tersenyum sinis."Lho, bisa jadi kan? Sebenarnya kamu juga selingkuh dariku? Apalagi awal kita menikah, bahkan kau tak mencintaiku, bukan?" Ia melangkah masuk, lalu duduk tanpa kupersilakan. Aku sudah malas menanggapi kata-katanya. Cukuplah setahun kemarin ia meyiramkan garam di atas lukaku. "Sudah ... berapa lama, Mas? tanyaku dengan mata yang memanas. Hari itu, saat kuputuskan untuk membuat dia tahu bahwa aku sudah mengetahui perbuatannya. Mas Zaid menunduk. Ia membisu."Jawab, Mas! Aku sudah tahu semuanya, dan kau tidak bisa mengelak!"Sebenarnya dadaku sesak melihatnya saat itu. Namun, aku tak mau terlihat lemah di depannya. "Belum ... lama ...," lirihnya, hampir tak terdengar. Bahkan ia tak berani menatapku.Aku semakin jijik melihatnya. Masih terbayang bagaimana Mas Zaid bercumbu dengan Asih dal

  • Aku Tanpa Cintamu   Tawaran

    Tiba-tiba terdengar suara mobil memasuki halaman. Itu mobilku. Cepat sekali Handi mengurusnya. Aku baru hendak bangkit dari duduk saat melihat wajah Mas Zaid menegang. Rahangnya mengeras. Ia menatap ke arah mobil yang pintunya kini terbuka. Mungkinkah ia cemburu?Dulu, aku senang saat Mas Zaid cemburu. Bukankah cemburu itu tanda cinta? Hah? Cinta, ya? Cinta seorang laki-laki yang menorehkan luka teramat dalam.Entah apakah luka itu bisa sembuh atau tidak. Kalau memang bisa, pastinya akan meninggalkan bekas, hingga aku akan kembali teringat apa yang menyebabkan luka itu ada.Aku menghela napas, ingin membebaskan dada ini dari rasa yang menyiksa. Andai bisa, aku tak ingin menjalin interaksi lagi sedikit pun dengan laki-laki ini, karena kehadirannya hanya membuat hati kembali tersiksa. Bahkan ingin kuhapus namanya, bukan hanya dari daftar kontak di ponsel, tapi juga dari memori di otak. Namun, aku tak bisa disebabkan Ziva dan Zelda berada di tengah-tengah kami. Ikatan suci pernikahan me

  • Aku Tanpa Cintamu   Wanita Itu Lagi

    "Jangan lupa, aku ayah mereka! Itu nggak bisa diubah sampai kapan pun.""Bukan berarti Mas bisa mengatur mereka dengan cara memaksakan keinginan pribadi," geramku. Mas Zaid sudah hendak membalas kembali, saat tiba-tiba ponselnya berbunyi. Nada deringnya suara bayi yang tertawa riang. Wajah laki-laki itu mendadak pasi, lalu menghindari tatapanku.Perlahan ia melangkah agak menjauh. Mungkin enggan percakapannya di telepon terdengar olehku. Sepertinya Asih yang menelepon."Iya. Udah selesai, kok," ucapnya terdengar samar olehku. Matanya sekilas melirik ke arah Ziva dan Zelda yang kuajak masuk ke dalam rumah. Aku tak ingin Mas Zaid merasa ada yang menguping pembicaraannya."Ayah mau nginep di sini ya, Bun?" Ziva menatapku yang memangku Zelda. Kubelai pipi tembamnya. "Ayah harus kembali ke Jakarta, Nak. Ada banyak pekerjaan yang belum diselesaikan."Wajah Ziva langsung berubah masam. Maafkan Bunda, Nak. Kalian harus menanggung duka karena kesalahan orang tua. Tak lagi memiliki kasih sayan

  • Aku Tanpa Cintamu   Pertemuan Tak Terduga

    Tiba-tiba ponsel Handi bergetar. Tanpa nada dering. Tampak sebuah nama tertera di layarnya. Asih. Laki-laki itu mengambil gawainya, lalu berdiri. "Permisi, saya angkat telepon dulu," ucapnya sambil melirikku sekilas. Kami bertiga mengangguk bersamaan.Handi berjalan beberapa langkah menjauhi meja, tapi suaranya saat menjawab telepon masih bisa kudengar. "Ya, aku tahu," jawabnya pada seseorang di ujung telepon. Beberapa saat lamanya ia diam. Mungkin sedang mendengarkan suara lawan bicaranya. Aku melirik sosok Handi dari belakang, diiringi tatapan Windi dan Hani. Perhatian kami dialihkan oleh seorang pelayan yang mengantar pesanan Handi."Kalau gitu, aku nggak mau lanjutin. Kamu udah keterlaluan. Silakan lakukan semuanya sendiri!"Handi menyudahi percakapan itu. Diam sejenak, lalu mengantongi ponselnya. Saat ia berbalik menuju meja, aku pura-pura kembali sibuk dengan makanan di piring. Demikian pula Windi dan Hani. "Wah, ternyata pesananku udah siap. Selamat makan," ujar Handi sambil

Bab terbaru

  • Aku Tanpa Cintamu   Batal Nikah

    Setelah tubuh Handi hilang di balik pintu, aku mempersilakan Mas Zaid duduk. Lelaki di depanku ini, ia yang dulu dengan sepenuh hati aku cintai. Ayah dari Ziva dan Zelda. Darinya aku berharap surga setelah kehidupan yang fana ini berakhir. Namun, semua harus kulepaskan dengan kerelaan hati. Tak mungkin bertahan kalau masing-masing tak lagi merasa nyaman. Pastinya yang didapat hanya kesia-siaan. Kini, ketika telah telah resmi bercerai, kami hanyalah kawan yang sepakat sama-sama memberikan yang terbaik untuk Ziva dan Zelda. Tak lagi bersama membangun asa. Melupakan semua rasa yang pernah ada.Sakit? Tentu saja. Bahkan hatiku sempat hancur berkeping-keping. Ia yang pernah menghapus setiap butiran dari mataku, justru berakhir menjadi penyebab semua tangis. "Zee ...."Suaranya terdengar parau, membuatku tersadar dari lamunan. Ia tak pernah tampak selemah sekarang. Mata yang sekarang sayu itu, Deli senantiasa berbinar penuh semangat. Ia membuka tas, lalu mengeluarkan sebuah amplop besa

  • Aku Tanpa Cintamu   Yah, Ketahuan

    Aku memotret barang-barang pemberian Handi itu. Sengaja kufoto secara terpisah. Pertama kukirim foto buah-buahan itu padanya ditambah sebaris kalimat. Thanks kirimannya. Harusnya kamu nggak perlu repot-repot.Tak lama tanda centang di samping pesan itu sudah berubah menjadi biru. Namun, sampai beberapa menit tak juga ada balasan yang masuk. Dengan kesal, kuletakkan ponsel itu dan beralih pada pekerjaan. Aku memeriksa beberapa berkas yang sudah disiapkan Murni. Ternyata ada undangan untuk mengisi sebuah acara enterpreneur di Bandung akhir pekan ini. Entah dari mana mereka mendapatkan informasi tentangku. Setelah memberi tanda pada kalender, aku beralih pada rencana pemesanan bahan untuk produk baru. Karena kemarin batal ke Bandung, hari ini aku memilih menelepon bagian pemasaran pabrik tekstil yang menjadi rekananku.Tak terasa, pembicaraan tentang bahan, kesiapan produksi, dan proses pengirimannya telah memakan waktu lebih dari lima belas menit. Aku menarik napas panjang setelah sa

  • Aku Tanpa Cintamu   Calon Suami Pilihan

    "Kamu pulang sama siapa, Nduk.""Eh, i-itu ... Handi yang antar, Bu.""Sekarang, mana dia?""Udah pulang.""Kenapa nggak disuruh masuk dulu. Kamu harusnya buatin teh dulu.""Wes, tho, Bu. Biarin aja. Udah malem juga. Ora penak karo tonggo.""Huss, nggak boleh gitu sama calon suami.""Hah? Calon suami? Maksudnya gimana, Bu?""Lho, Nak Handi belum ngomong sama kamu?""Ngomong apa, Bu?""Yo, wes. Kamu istirahat aja dulu. Sudah malam. Besok aja kita obrolin lagi."Sebenarnya aku masih ingin mengorek keterangan lebih lanjut dari ibu. Siapa yang dimaksud calon suami oleh ibu? Tak mungkin itu Handi, 'kan? Ibu menguap panjang. Pasti tidurnya terganggu dengan kehadiranku di malam selarut ini. Akhirnya kuputuskan untuk besok saja meminta penjelasan dari ibu tentang ucapannya tadi. Aku masuk ke kamar dan melihat Ziva tertidur pulas. Sementara Zelda tidur di kamar ibu. Selama aku pergi ke Jakarta, gadis kecil itu hanya mau tidur bersama nenek dan kakeknya.Aku tersenyum menatap wajah Ziva yang

  • Aku Tanpa Cintamu   Dilamar

    Pagi setelah sarapan, aku sudah langsung check out dari hotel. Bandung sudah tak menjadi tujuan berikutnya. Pikiran dan hati saat ini sudah bukan tertuju pada pakerjaan, jadi aku memilih untuk pulang ke Temanggung. Biarlah lain kali saja ke sana. Saat aku baru saja masuk ke dalam mobil, seseorang mengetuk kaca jendela. Mas Zaid? Kenapa dia sampai ke parkiran di basemen ini?Kubuka jendela mobil, dan mengamati mantan suamiku itu dari atas ke bawah. Ia membawa sebuah kantong besar bertuliskan brand terkenal sebuah produk mainan. Ah, iya. Aku baru ingat kalau Mas Zaid ingin menitipkan sesuatu untuk Ziva dan Zelda."Kok, Mas tahu aku ada di sini?" "Aku tadi ke resepsionis, tapi katanya kamu udah check out. Untung belum terlambat.""Iya. Aku ada urusan yang harus diselesaikan.""Jadi ke Bandung?""Nggak kayaknya. Aku harus segera pulang ke Temanggung.""Zee, sebenarnya ....""Kenapa, Mas?""Sebenarnya aku khawatir kamu nyetir sendirian sejauh ini. Kalau kamu nggak keberatan, biar aku tem

  • Aku Tanpa Cintamu   Penjelasan

    Ternyata saat aku tidur tadi, di luar turun hujan. Kini jalanan basah. Sebasah luka yang baru saja Handi goreskan. Ah, kenapa aku kembali mengingat sosoknya?Aku fokus di balik kemudi, tapi ingatan justru berputar pada pertemuan-pertemuan dengan Handi. Kenapa selama ini aku tak bisa menangkap fakta bahwa ia punya maksud jahat? Sulit bagiku untuk menerima kenyataan bahwa Handi bersepakat dengan Asih. Seketika aku kembali merasa muak.Kecewa, marah, sedih, dan merasa dikhianati. Semua perasaan itu terus terbawa hingga aku masuk ke dalam sebuah restoran cepat saji. Aku mencoba membebaskan dada ini dari rasa yang menyiksa. Mungkin aku harus menjauh dari Handi karena kehadirannya setelah ini pasti akan membuat sayatan luka itu semakin dalam. Suasana resto cukup lengang malam ini. Mungkin karena baru saja hujan di luar sana. Aku makan dengan perasaan hampa, sambil sesekali memperhatikan jalan di luar sana. Detik berikutnya beralih pada antrian pengunjung yang entah kenapa didominasi driver

  • Aku Tanpa Cintamu   Pengejaran

    Ingin rasanya aku masuk kedalam ruangan itu dan meminta penjelasan pada keduanya. Namun, ingatan pada Asih yang sudah memporak-porandakan rumah tanggaku, membuat niat itu batal. Sebaiknya aku pergi saja dari rumah ini. Saat memutar badan hendak keluar, entah bagaimana kakiku terantuk dahan pintu. Rasa sakitnya membuat aku meringis, tapi tak seperih hati yang merasa dikhianati. Dengan menahan pedih, aku bergegas hendak keluar. Saat itulah Handi muncul di pintu. Ia pasti mendengar suara benturan di pintu. "Zee? Ka-kamu ...."Aku menatapnya dengan pandangan yang mulai buram. Sebisa mungkin kutahan agar tak luruh agar tak menjadi derai yang menganak sungai. Aku harus kuat di mata dua orang yang bersekongkol ini. "Ya. Aku sudah mendengar semuanya, Han. Nggak nyangka ternyata kamu sejahat itu. Kenapa? Ada salah apa aku ke kamu?"Ternyata aku sulit menahan jatuhnya kristal dari mata. Sebisa mungkin berusaha untuk tak terisak. Lalu saat sosok perempuan itu muncul di belakang Handi, aku sud

  • Aku Tanpa Cintamu   Handi dan Asih

    "Minum Zee," suara Handi membuatku tersentak."Eh, maaf. Sampai kaget gitu. Ngelamun, ya?" tanya Handi lagi."Ng-nggak, kok," jawabku sambil terus melirik ke arah mobil Mas Zaid. Mantan suamiku itu menurunkan beberapa kardus dari dalam mobil, dibantu oleh si tukang kebun. Menit berikutnya mereka sudah menghilang ke dalam rumah besar itu.Handi mengulurkan gelas berisi orange juice dingin padaku. Ada getar halus ketika tangan kami tak sengaja bersentuhan. Sepertinya ia merasakan hal yang sama. Sejenak Handi menatapku intens."Di ujung ada kamar kecil," ujarnya tiba-tiba seperti ingin memecah kebisuan kami. "Kamu bisa ganti pakaian di sana. Setelah siap, kita bisa ambil beberapa gambar di sini."Aku mengangguk. Meminum jus yang diberikan Handi, kemudian aku meninggalkannya untuk berganti pakaian. Ada lima produk baru yang aku bawa kali ini. Handi sempat menyarankan untuk menambah hingga delapan atau sepuluh, tapi aku menolak. "Udah dikasih gratis, masa ngelunjak," kilahku saat kami ma

  • Aku Tanpa Cintamu   Saling Mengenal

    Handi berjalan ke sisi samping meja. "Aku tahu, ini terlalu cepat, Zee," ujarnya seperti mendengar apa yang aku pikirkan. "Nggak usah dijawab sekarang. Aku akan menunggu sampai kapanpun kamu siap.""Kenapa harus aku, Han?""Karena kamu orang yang tepat buatku, Zee.""Tahu dari mana?"Lelaki muda itu menarik kursi di dekatnya. "Apa kamu akan percaya kalau itu hasil istikharah?"Aku menatapnya dengan menyipitkan kedua mata. Seorang Handi salat istikharah? Apakah ini sisi lain yang aku belum tahu dari lelaki itu?"Tuh, kamu nggak percaya, kan?""Eh, a-aku percaya, kok. Cuma heran aja kamu sampai istikharah buat menjatuhkan pilihan.""Lho, bukannya memang harus gitu? Guru agamaku di SMA dulu pernah bilang, bahkan saat hendak membeli pakaian pun harusnya kita minta bimbingan Allah. Bukan hanya soal jodoh.""Iya, ngerti, tapi kamu tahu kalau aku pernah gagal 'kan?""Aku tahu dan paham, Zee. Pastinya nggak mudah buat kamu membuka hati kembali. Izinkan aku untuk membantu membukanya perlahan.

  • Aku Tanpa Cintamu   Rujuk, Yuk

    "Nanti aku jelasin. Kita udah sampai."Aku langsung turun tanpa menunggu Mas Zaid membukakan pintu mobil. Kami bukan lagi pasangan suami istri seperti dulu. Tak perlu berharap ia bersikap romantis.Di dalam resto, kami duduk berhadapan. Lelaki di depanku ini mulai berbicara setelah memesan makanan. "Aku curiga, Raka bukan anakku, Zee. Dia sama sekali nggak punya kemiripan denganku.""Jangan gampang ambil kesimpulan, Mas. Betapa banyak anak di dunia ini yang nggak mirip sama ayah ibunya. Padahal mereka anak kandung.""Nggak gitu, Zee. Kamu lihat anak kita."Dadaku perih mendengar ia menyebut frase anak kita. "Ziva mirip banget sama kamu, Zee. Sementara Zelda, walaupun nggak terlalu mirip aku, tapi ada garis-garis di wajahnya yang dia dapat dari genku. Sementara Raka jauh banget, Zee.""Jauh gimana?"Mas Zaid mengeluarkan ponsel dari saku, lalu menunjukkan sebuah foto. Tampak seorang bayi laki-laki yang sehat dan menggemaskan sedang tersenyum. Hanya saja, ada yang aneh dengan bocah luc

DMCA.com Protection Status