Share

Dua Marina

Author: NH. Soetardjo
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Mas, kamu menginap nanti, ya? Aku ingin melihat wajahmu saat bangun esok hari. Masa iya, kamu mau ninggalin aku gitu aja sendirian di hotel?"

Chat mesra seperti itu ditujukan untuk Mas Zaid, tapi dari seseorang bernama Roy? Apakah aku yang belum mengenal pasangan lebih dalam? Selama ini tak ada tanda-tanda orientasi yang menyimpang dari suamiku. Mas Zaid pun, kutahu adalah pribadi yang paham bagaimana bahayanya kecenderungan menyimpang itu. 

Beberapa saat berpikir keras, kuputuskan untuk menelusuri riwayat pesan-pesan sebelumnya. Mas Zaid sedang tidur ketika handphone itu terus bergetar. Selama ini aku tak pernah dengan sengaja membuka ponselnya. 

Pernikahan ini awalnya bukan karena aku cinta dia. Maka kubangun tiang-tiangnya dengan dasar percaya. Ada Allah yang Maha Tahu, dan cukuplah itu menjadi batasan kami meneguhkan kesetiaan. Tak pernah saling curiga dengan siapa masing-masing menjalin komunikasi.

Semakin jauh menelusuri pesan-pesan itu, aku yakin pengirimnya bukan Roy. Tampaknya itu adalah nomor handphone seorang  wanita yang diberi nama laki-laki di daftar kontak Mas Zaid. Mungkinkah suamiku berbuat khianat? 

Kemana cinta yang demikian sering dia sanjungkan untukku? Mungkinkah rasa itu begitu cepat pudar, saat aku bahkan sudah berhasil mencintainya? Lupakah dia dengan kalimat-kalimatnya yang sering membuatku merasa di atas awan?

"Aku tahu, kamu belum mencintaiku, Zee. Namun, melihatmu pergi adalah hal terakhir yang kuinginkan dalam hidup."

Kalimat seperti itu tidak sekali dua dia katakan padaku. Mengapa kini ada orang lain yang juga mendapat kiriman kalimat senada? Tanganku tak berhenti. Terus menelusuri hingga tanggal di mana mereka pertama kali berkomunikasi. 

Mas, ini nomorku. Save, ya ....

Wanita itu menambahkan emotikon cium di akhir pesannya. 

Siap, Sayang.

Hebat. Baru pertama berbalas pesan, Mas Zaid sudah memanggil sayang. Sementara padaku, baru di malam pertama pernikahan dia mengucapkannya.

Kulihat profil wanita itu. Foto sebuah rumah dengan desain minimalis. Tampaknya baru saja selesai dibangun. 

Beberapa chat berikutnya kulihat mereka sepakat untuk bertemu. Seringnya di sebuah resto yang tak jauh dari lokasi butik milikku. Berani sekali Mas Zaid, kencan dengan perempuan lain di tempat yang masih besar peluangnya untuk kutemukan. 

Aku masih terus membaca pesan-pesan itu. Mataku ternoda karena harus membaca barisan kalimat yang semakin lama semakin menjijikkan. Mas Zaid menyanjung wanita itu, bahkan kadang disertai dengan kata-kata vulgar.

Kamu tadi seger banget, Sayang. Mas nggak kuat. Rasanya pengen peluk.

Kenapa nggak bilang? Kalau tahu, kan kupeluk duluan.

Emang boleh?

Boleh banget. Kan semuanya milikmu, Mas.

Sungguh? Besok ketemu lagi ya? Kujemput di butik aja gimana? Kamu pegang kuncinya, kan?

Sesaat aku membeku. Butik? Jadi, wanita itu bekerja di butik. Apakah dia salah satu karyawanku? 

Tidak. Aku tak boleh gegabah. Kuputuskan untuk mengekspor seluruh percakapan mereka lewat email. Aku tak mau ambil resiko ketahuan oleh Mas Zaid saat sedang membaca seluruh chat itu. 

Dalam waktu singkat, seluruh percakapan mereka terkirim via email. Segera kubersihkan jejak. Menghapus email itu dari kolom sent dan juga trash agar Mas Zaid tak menyadari aku telah memakai email-nya.

Keesokan harinya, kuputuskan membaca semua pesan mereka. Mencari waktu luang saat di butik. Sempat kuperhatikan juga seluruh karyawan hari itu. Meneliti gerak-gerik mereka. Tak ada yang mencurigakan. 

Karyawanku ada tiga orang. Rina, perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu belum lama bekerja padaku. Wajahnya biasa saja. Tak ada hal menarik darinya yang kupikir akan membuat Mas Zaid berpaling.

Yang kedua Ana. Dia cantik, tinggi, putih dan langsing. Tak mungkin wanita itu main api dengan Mas Zaid. Suami Ana jauh lebih tampan dari suamiku. Badannya juga atletis. Jauh lebih kekar. 

Tunggu ....

Bukankah selingkuh bisa saja bukan karena penampilan? Walau kalah dari sisi wajah dan tubuh, Mas Zaid punya kocek yang jauh lebih tebal. Suami Ana tidak bekerja. Bahkan perempuan itu pernah berkelakar padaku.

"Suami saya mah kerjaannya ternak teri, Bu."

"Ternak teri? Maksudnya?"

"Ya, ternak teri, Bu. Anter anak anter istri."

Aku dan beberapa karyawan tertawa.

Mungkinkah Ana menggoda Mas Zaid karena tergiur harta? Tak mungkin. Kulihat dia sangat saliha. Sering terlihat salat duha di butik. Jika tak sedang banyak pekerjaan, dia sering membaca Alquran sambil duduk lesehan di sudut yang nyaman. Perempuan itu juga ikut lembaga bimbingan tahfidz Al Qur'an di dekat rumahnya.

Karyawanku yang ketiga adalah Asih. Dia yang paling lama bekerja di butik. Lebih tua dua tahun dariku. Itu sebabnya dia lebih sering disapa Mbak Asih. Posisinya juga sangat penting. Saat ini menjadi tangan kananku untuk mengurus butik.

Wajahnya termasuk rata-rata perempuan. Kulitnya pun lebih gelap dariku. Namun, dia unggul dalam hal lainnya. Dengan bibir yang pernah disulam, Mbak Asih tampak selalu seksi menurutku. Perempuan itu juga memiliki julukan dada semangka, karena payudaranya yang berukuran  di atas rata-rata. 

Tiba-tiba aku merasa tak percaya diri. Mungkinkah Mas Zaid tergoda karena dua hal yang tak kumiliki itu? Apalagi Mbak Asih sudah bercerai dari suaminya dan belum pernah melahirkan. Tubuhnya pasti masih sangat bagus. 

Aku tak boleh berburuk sangka. Belum ada bukti yang menunjukkan Mbak Asih bersalah. Namun, ada yang aneh saat tadi kami bertemu. Dia tak seramah biasanya. Senyum perempuan itu pun tak sampai menyentuh mata. Terlihat dipaksakan. 

Segera aku mengunci pintu ruang kerja. Mengatakan pada semua karyawan agar jangan mengganggu untuk satu jam ke depan. Akan kubaca tuntas chat mereka berdua. Jika benar Mas Zaid selingkuh, biarlah dia pergi. Akan kucari bahagia bersama Ziva dan Zelda saja. 

Duduk bersandar, kubuka email di laptop. Pesan-pesan mereka sudah masuk semua. Juga media berupa stiker, foto, dan video. Tak ada yang kulewatkan. 

Kini mataku menjelajahi ribuan chat itu. Membaca dengan dada bergemuruh. Ada banyak kalimat tak senonoh yang mereka tuliskan. Mulai dari pujian atas sikap satu sama lain, sampai hal fisik yang cenderung menggoda. 

Hampir tiga puluh menit, aku masih belum menemukan identitas perempuan laknat itu. Sampai mataku tiba-tiba nanar melihat pesan berikutnya. 

Mas di mana? Aku dah capek nunggu, nih.

Balasannya dikirim lima menit kemudian oleh Mas Zaid. 

Marina sayangku ... sabar ya. Lima menit lagi Mas sampai. 

Dadaku sesak. Keringat mulai membasahi bajuku. 

Marina? Kerja di butik? Marina yang mana? Nama lengkap karyawanku memang ada yang hampir sama. Rina Marina dan Asih Marina. Entah kenapa dua orang Marina bisa kerja di tempat yang sama.

Kucoba menguatkan hati untuk membaca pesan-pesan selanjutnya. Ternyata hati ini masih sanggup menyusuri kalimat-kalimat nista itu dengan detail. Tak kulewatkan satu huruf pun. Sampai kudapati fakta bahwa mereka sudah beberapa kali check in di hotel. Anehnya, tempat yang dipilih hampir semua masih belum jauh dari butik milikku. 

Ternyata mereka sebobrok itu. Sudah tak sanggup menahan nafsunya, hingga mencari tempat terdekat untuk segera dapat menyalurkan hasrat terlarang. Aku sudah tak bisa memaafkanmu, Mas. Keputusanku untuk bercerai bulat sudah. 

Laki-laki itu telah jelas berkhianat. Siapa pun yang menggoda, tak akan membuat hubungan mereka terjalin jika Mas Zaid tak merespon. Walau perempuan itu bertubuh aduhai macam Asih sekalipun.

Ah, kenapa dugaanku terus tertuju padanya?

Kubaca chat berikutnya. Lima menit kemudian jantungku seakan berhenti berdetak. Perempuan bernama Marina itu mengirimkan video pendek dengan pesan dibawahnya. 

Untuk kenang-kenangan kita ya, Mas. 

Aku tahu kini, siapa perempuan itu. Wajahnya jelas terlihat di video berdurasi dua puluh lima detik itu. 

***

Related chapters

  • Aku Tanpa Cintamu   Video 25 Detik

    Aku tahu kini, siapa perempuan simpanan Mas Zaid. Wajahnya jelas terlihat di video berdurasi dua puluh lima detik itu. Video laknat penghancur rumah tanggaku. Pantas saja belakangan Mas Zaid sering pulang malam. Aku percaya saja saat dia mengatakan banyak pekerjaan di kantor yang harus segera diselesaikan. Ternyata tugas dari perempuan jalang untuk memuaskan hasratnya.Hingga malam itu aku terbangun di tengah malam. Kudengar suara Mas Zaid sedang mandi. Kebiasaan baru yang dulu tak pernah dilakukannya. Aku segera pura-pura memejamkan mata saat dia masuk ke kamar kami. Kemudian kudengar suara lemari dibuka, juga langkah kakinya yang seperti ditahan. Sepertinya dia takut aku terbangun.Beberapa menit kemudian hening. Hanya terdengar bunyi napasnya yang teratur tanda Mas Zaid sudah terlelap. Perlahan aku bangkit dan menoleh ke arah punggungnya. Dia membelakangiku. Tampak rambutnya basah. Suamiku baru saja berbuat apa hingga harus keramas tengah malam? Sekelebat pikiran buruk menghantuik

  • Aku Tanpa Cintamu   Pertemuan Dua Lelaki

    "Siapa laki-laki itu? Ada hubungan apa kalian sampai mobilnya pun kau bawa ke rumah ini? Oh, atau dia selingkuhanmu juga saat kita belum bercerai?""Itu bukan urusanmu."Laki-laki itu tersenyum sinis."Lho, bisa jadi kan? Sebenarnya kamu juga selingkuh dariku? Apalagi awal kita menikah, bahkan kau tak mencintaiku, bukan?" Ia melangkah masuk, lalu duduk tanpa kupersilakan. Aku sudah malas menanggapi kata-katanya. Cukuplah setahun kemarin ia meyiramkan garam di atas lukaku. "Sudah ... berapa lama, Mas? tanyaku dengan mata yang memanas. Hari itu, saat kuputuskan untuk membuat dia tahu bahwa aku sudah mengetahui perbuatannya. Mas Zaid menunduk. Ia membisu."Jawab, Mas! Aku sudah tahu semuanya, dan kau tidak bisa mengelak!"Sebenarnya dadaku sesak melihatnya saat itu. Namun, aku tak mau terlihat lemah di depannya. "Belum ... lama ...," lirihnya, hampir tak terdengar. Bahkan ia tak berani menatapku.Aku semakin jijik melihatnya. Masih terbayang bagaimana Mas Zaid bercumbu dengan Asih dal

  • Aku Tanpa Cintamu   Tawaran

    Tiba-tiba terdengar suara mobil memasuki halaman. Itu mobilku. Cepat sekali Handi mengurusnya. Aku baru hendak bangkit dari duduk saat melihat wajah Mas Zaid menegang. Rahangnya mengeras. Ia menatap ke arah mobil yang pintunya kini terbuka. Mungkinkah ia cemburu?Dulu, aku senang saat Mas Zaid cemburu. Bukankah cemburu itu tanda cinta? Hah? Cinta, ya? Cinta seorang laki-laki yang menorehkan luka teramat dalam.Entah apakah luka itu bisa sembuh atau tidak. Kalau memang bisa, pastinya akan meninggalkan bekas, hingga aku akan kembali teringat apa yang menyebabkan luka itu ada.Aku menghela napas, ingin membebaskan dada ini dari rasa yang menyiksa. Andai bisa, aku tak ingin menjalin interaksi lagi sedikit pun dengan laki-laki ini, karena kehadirannya hanya membuat hati kembali tersiksa. Bahkan ingin kuhapus namanya, bukan hanya dari daftar kontak di ponsel, tapi juga dari memori di otak. Namun, aku tak bisa disebabkan Ziva dan Zelda berada di tengah-tengah kami. Ikatan suci pernikahan me

  • Aku Tanpa Cintamu   Wanita Itu Lagi

    "Jangan lupa, aku ayah mereka! Itu nggak bisa diubah sampai kapan pun.""Bukan berarti Mas bisa mengatur mereka dengan cara memaksakan keinginan pribadi," geramku. Mas Zaid sudah hendak membalas kembali, saat tiba-tiba ponselnya berbunyi. Nada deringnya suara bayi yang tertawa riang. Wajah laki-laki itu mendadak pasi, lalu menghindari tatapanku.Perlahan ia melangkah agak menjauh. Mungkin enggan percakapannya di telepon terdengar olehku. Sepertinya Asih yang menelepon."Iya. Udah selesai, kok," ucapnya terdengar samar olehku. Matanya sekilas melirik ke arah Ziva dan Zelda yang kuajak masuk ke dalam rumah. Aku tak ingin Mas Zaid merasa ada yang menguping pembicaraannya."Ayah mau nginep di sini ya, Bun?" Ziva menatapku yang memangku Zelda. Kubelai pipi tembamnya. "Ayah harus kembali ke Jakarta, Nak. Ada banyak pekerjaan yang belum diselesaikan."Wajah Ziva langsung berubah masam. Maafkan Bunda, Nak. Kalian harus menanggung duka karena kesalahan orang tua. Tak lagi memiliki kasih sayan

  • Aku Tanpa Cintamu   Pertemuan Tak Terduga

    Tiba-tiba ponsel Handi bergetar. Tanpa nada dering. Tampak sebuah nama tertera di layarnya. Asih. Laki-laki itu mengambil gawainya, lalu berdiri. "Permisi, saya angkat telepon dulu," ucapnya sambil melirikku sekilas. Kami bertiga mengangguk bersamaan.Handi berjalan beberapa langkah menjauhi meja, tapi suaranya saat menjawab telepon masih bisa kudengar. "Ya, aku tahu," jawabnya pada seseorang di ujung telepon. Beberapa saat lamanya ia diam. Mungkin sedang mendengarkan suara lawan bicaranya. Aku melirik sosok Handi dari belakang, diiringi tatapan Windi dan Hani. Perhatian kami dialihkan oleh seorang pelayan yang mengantar pesanan Handi."Kalau gitu, aku nggak mau lanjutin. Kamu udah keterlaluan. Silakan lakukan semuanya sendiri!"Handi menyudahi percakapan itu. Diam sejenak, lalu mengantongi ponselnya. Saat ia berbalik menuju meja, aku pura-pura kembali sibuk dengan makanan di piring. Demikian pula Windi dan Hani. "Wah, ternyata pesananku udah siap. Selamat makan," ujar Handi sambil

  • Aku Tanpa Cintamu   Rumah Kenangan

    "Mas Zaid?""Bisa kita bicara sebentar, Zee?Aku beralih pada Handi. Lelaki itu hanya mengangkat bahu. "Ke ruanganku saja."Berjalan naik ke lantai dua, kami menuju kantor pribadiku. Ruangan berukuran empat kali tiga meter itu baru selesai dirapikan oleh anak buah Paklik Yusuf. Aroma cat masih terasa saat kami berdua masuk. "Silakan duduk, Mas.""Kantormu bagus, Zee.""Makasih. Langsung aja, Mas. Ada apa sebenarnya?"Mas Zaid berdeham beberapa saat. Ia duduk lalu menatap ke arahku. Masih ada sedikit debar itu saat pandangan kami beradu. "Tentang rumah yang di Jakarta. Aku berniat menjualnya."Sedikit terkejut, aku mendongak. "Oh, ya. Silakan. Kamu memang berhak menjual rumah itu.""Maksudku, ingin mengajakmu untuk ke Jakarta dan mengurus semuanya.""Kenapa harus? Itu rumahmu, Mas. Aku nggak punya hak apa-apa, jadi kamu aja yang urus.""Nggak, Zee. Kamu punya hak atas rumah itu. Anak-anak juga. Lalu, aku ingin kamu dan anak-anak melihat rumah itu untuk terakhir kali sambil serah ter

  • Aku Tanpa Cintamu   Anak Siapa

    Handi? Bagaimana bisa ia sudah sampai di kota ini juga? Mungkinkah ini memang suatu kebetulan yang lain? Tak bolehkah aku menaruh kecurigaan padanya?Seorang pelayan datang dan membuatku mengalihkan perhatian. Satu porsi salad kini terhidang di meja. Tentu saja dengan sebotol air mineral. "Zee? Kamu di sini?"Tiba-tiba Handi sudah berdiri di depanku, dan tanpa menunggu dipersilakan, lelaki itu duduk. "Ya. Kamu sendiri, ngapain di sini?""Aku ada janji ketemu sama klien untuk pemotretan. Kamu, nginap di sini?""Iya. Tadi cari yang dekat aja karena udah malam.""Ada acara?"Aku pun menceritakan rencana Mas Zaid menjual rumah kami dan juga keinginannya agar aku datang. "Sekalian nengok butik juga, sih."Handi mengangguk dan tersenyum, tapi senyum itu tak menyentuh matanya. Seorang pelayan mengantarkan pesananku. "Mbak, pesanan saya yang tadi di meja nomor dua, tolong bawa ke sini, ya."Pelayan perempuan itu mengangguk pada Handi, kemudian berlalu. "Boleh aku temani makannya?""Kamuny

  • Aku Tanpa Cintamu   Rujuk, Yuk

    "Nanti aku jelasin. Kita udah sampai."Aku langsung turun tanpa menunggu Mas Zaid membukakan pintu mobil. Kami bukan lagi pasangan suami istri seperti dulu. Tak perlu berharap ia bersikap romantis.Di dalam resto, kami duduk berhadapan. Lelaki di depanku ini mulai berbicara setelah memesan makanan. "Aku curiga, Raka bukan anakku, Zee. Dia sama sekali nggak punya kemiripan denganku.""Jangan gampang ambil kesimpulan, Mas. Betapa banyak anak di dunia ini yang nggak mirip sama ayah ibunya. Padahal mereka anak kandung.""Nggak gitu, Zee. Kamu lihat anak kita."Dadaku perih mendengar ia menyebut frase anak kita. "Ziva mirip banget sama kamu, Zee. Sementara Zelda, walaupun nggak terlalu mirip aku, tapi ada garis-garis di wajahnya yang dia dapat dari genku. Sementara Raka jauh banget, Zee.""Jauh gimana?"Mas Zaid mengeluarkan ponsel dari saku, lalu menunjukkan sebuah foto. Tampak seorang bayi laki-laki yang sehat dan menggemaskan sedang tersenyum. Hanya saja, ada yang aneh dengan bocah luc

Latest chapter

  • Aku Tanpa Cintamu   Batal Nikah

    Setelah tubuh Handi hilang di balik pintu, aku mempersilakan Mas Zaid duduk. Lelaki di depanku ini, ia yang dulu dengan sepenuh hati aku cintai. Ayah dari Ziva dan Zelda. Darinya aku berharap surga setelah kehidupan yang fana ini berakhir. Namun, semua harus kulepaskan dengan kerelaan hati. Tak mungkin bertahan kalau masing-masing tak lagi merasa nyaman. Pastinya yang didapat hanya kesia-siaan. Kini, ketika telah telah resmi bercerai, kami hanyalah kawan yang sepakat sama-sama memberikan yang terbaik untuk Ziva dan Zelda. Tak lagi bersama membangun asa. Melupakan semua rasa yang pernah ada.Sakit? Tentu saja. Bahkan hatiku sempat hancur berkeping-keping. Ia yang pernah menghapus setiap butiran dari mataku, justru berakhir menjadi penyebab semua tangis. "Zee ...."Suaranya terdengar parau, membuatku tersadar dari lamunan. Ia tak pernah tampak selemah sekarang. Mata yang sekarang sayu itu, Deli senantiasa berbinar penuh semangat. Ia membuka tas, lalu mengeluarkan sebuah amplop besa

  • Aku Tanpa Cintamu   Yah, Ketahuan

    Aku memotret barang-barang pemberian Handi itu. Sengaja kufoto secara terpisah. Pertama kukirim foto buah-buahan itu padanya ditambah sebaris kalimat. Thanks kirimannya. Harusnya kamu nggak perlu repot-repot.Tak lama tanda centang di samping pesan itu sudah berubah menjadi biru. Namun, sampai beberapa menit tak juga ada balasan yang masuk. Dengan kesal, kuletakkan ponsel itu dan beralih pada pekerjaan. Aku memeriksa beberapa berkas yang sudah disiapkan Murni. Ternyata ada undangan untuk mengisi sebuah acara enterpreneur di Bandung akhir pekan ini. Entah dari mana mereka mendapatkan informasi tentangku. Setelah memberi tanda pada kalender, aku beralih pada rencana pemesanan bahan untuk produk baru. Karena kemarin batal ke Bandung, hari ini aku memilih menelepon bagian pemasaran pabrik tekstil yang menjadi rekananku.Tak terasa, pembicaraan tentang bahan, kesiapan produksi, dan proses pengirimannya telah memakan waktu lebih dari lima belas menit. Aku menarik napas panjang setelah sa

  • Aku Tanpa Cintamu   Calon Suami Pilihan

    "Kamu pulang sama siapa, Nduk.""Eh, i-itu ... Handi yang antar, Bu.""Sekarang, mana dia?""Udah pulang.""Kenapa nggak disuruh masuk dulu. Kamu harusnya buatin teh dulu.""Wes, tho, Bu. Biarin aja. Udah malem juga. Ora penak karo tonggo.""Huss, nggak boleh gitu sama calon suami.""Hah? Calon suami? Maksudnya gimana, Bu?""Lho, Nak Handi belum ngomong sama kamu?""Ngomong apa, Bu?""Yo, wes. Kamu istirahat aja dulu. Sudah malam. Besok aja kita obrolin lagi."Sebenarnya aku masih ingin mengorek keterangan lebih lanjut dari ibu. Siapa yang dimaksud calon suami oleh ibu? Tak mungkin itu Handi, 'kan? Ibu menguap panjang. Pasti tidurnya terganggu dengan kehadiranku di malam selarut ini. Akhirnya kuputuskan untuk besok saja meminta penjelasan dari ibu tentang ucapannya tadi. Aku masuk ke kamar dan melihat Ziva tertidur pulas. Sementara Zelda tidur di kamar ibu. Selama aku pergi ke Jakarta, gadis kecil itu hanya mau tidur bersama nenek dan kakeknya.Aku tersenyum menatap wajah Ziva yang

  • Aku Tanpa Cintamu   Dilamar

    Pagi setelah sarapan, aku sudah langsung check out dari hotel. Bandung sudah tak menjadi tujuan berikutnya. Pikiran dan hati saat ini sudah bukan tertuju pada pakerjaan, jadi aku memilih untuk pulang ke Temanggung. Biarlah lain kali saja ke sana. Saat aku baru saja masuk ke dalam mobil, seseorang mengetuk kaca jendela. Mas Zaid? Kenapa dia sampai ke parkiran di basemen ini?Kubuka jendela mobil, dan mengamati mantan suamiku itu dari atas ke bawah. Ia membawa sebuah kantong besar bertuliskan brand terkenal sebuah produk mainan. Ah, iya. Aku baru ingat kalau Mas Zaid ingin menitipkan sesuatu untuk Ziva dan Zelda."Kok, Mas tahu aku ada di sini?" "Aku tadi ke resepsionis, tapi katanya kamu udah check out. Untung belum terlambat.""Iya. Aku ada urusan yang harus diselesaikan.""Jadi ke Bandung?""Nggak kayaknya. Aku harus segera pulang ke Temanggung.""Zee, sebenarnya ....""Kenapa, Mas?""Sebenarnya aku khawatir kamu nyetir sendirian sejauh ini. Kalau kamu nggak keberatan, biar aku tem

  • Aku Tanpa Cintamu   Penjelasan

    Ternyata saat aku tidur tadi, di luar turun hujan. Kini jalanan basah. Sebasah luka yang baru saja Handi goreskan. Ah, kenapa aku kembali mengingat sosoknya?Aku fokus di balik kemudi, tapi ingatan justru berputar pada pertemuan-pertemuan dengan Handi. Kenapa selama ini aku tak bisa menangkap fakta bahwa ia punya maksud jahat? Sulit bagiku untuk menerima kenyataan bahwa Handi bersepakat dengan Asih. Seketika aku kembali merasa muak.Kecewa, marah, sedih, dan merasa dikhianati. Semua perasaan itu terus terbawa hingga aku masuk ke dalam sebuah restoran cepat saji. Aku mencoba membebaskan dada ini dari rasa yang menyiksa. Mungkin aku harus menjauh dari Handi karena kehadirannya setelah ini pasti akan membuat sayatan luka itu semakin dalam. Suasana resto cukup lengang malam ini. Mungkin karena baru saja hujan di luar sana. Aku makan dengan perasaan hampa, sambil sesekali memperhatikan jalan di luar sana. Detik berikutnya beralih pada antrian pengunjung yang entah kenapa didominasi driver

  • Aku Tanpa Cintamu   Pengejaran

    Ingin rasanya aku masuk kedalam ruangan itu dan meminta penjelasan pada keduanya. Namun, ingatan pada Asih yang sudah memporak-porandakan rumah tanggaku, membuat niat itu batal. Sebaiknya aku pergi saja dari rumah ini. Saat memutar badan hendak keluar, entah bagaimana kakiku terantuk dahan pintu. Rasa sakitnya membuat aku meringis, tapi tak seperih hati yang merasa dikhianati. Dengan menahan pedih, aku bergegas hendak keluar. Saat itulah Handi muncul di pintu. Ia pasti mendengar suara benturan di pintu. "Zee? Ka-kamu ...."Aku menatapnya dengan pandangan yang mulai buram. Sebisa mungkin kutahan agar tak luruh agar tak menjadi derai yang menganak sungai. Aku harus kuat di mata dua orang yang bersekongkol ini. "Ya. Aku sudah mendengar semuanya, Han. Nggak nyangka ternyata kamu sejahat itu. Kenapa? Ada salah apa aku ke kamu?"Ternyata aku sulit menahan jatuhnya kristal dari mata. Sebisa mungkin berusaha untuk tak terisak. Lalu saat sosok perempuan itu muncul di belakang Handi, aku sud

  • Aku Tanpa Cintamu   Handi dan Asih

    "Minum Zee," suara Handi membuatku tersentak."Eh, maaf. Sampai kaget gitu. Ngelamun, ya?" tanya Handi lagi."Ng-nggak, kok," jawabku sambil terus melirik ke arah mobil Mas Zaid. Mantan suamiku itu menurunkan beberapa kardus dari dalam mobil, dibantu oleh si tukang kebun. Menit berikutnya mereka sudah menghilang ke dalam rumah besar itu.Handi mengulurkan gelas berisi orange juice dingin padaku. Ada getar halus ketika tangan kami tak sengaja bersentuhan. Sepertinya ia merasakan hal yang sama. Sejenak Handi menatapku intens."Di ujung ada kamar kecil," ujarnya tiba-tiba seperti ingin memecah kebisuan kami. "Kamu bisa ganti pakaian di sana. Setelah siap, kita bisa ambil beberapa gambar di sini."Aku mengangguk. Meminum jus yang diberikan Handi, kemudian aku meninggalkannya untuk berganti pakaian. Ada lima produk baru yang aku bawa kali ini. Handi sempat menyarankan untuk menambah hingga delapan atau sepuluh, tapi aku menolak. "Udah dikasih gratis, masa ngelunjak," kilahku saat kami ma

  • Aku Tanpa Cintamu   Saling Mengenal

    Handi berjalan ke sisi samping meja. "Aku tahu, ini terlalu cepat, Zee," ujarnya seperti mendengar apa yang aku pikirkan. "Nggak usah dijawab sekarang. Aku akan menunggu sampai kapanpun kamu siap.""Kenapa harus aku, Han?""Karena kamu orang yang tepat buatku, Zee.""Tahu dari mana?"Lelaki muda itu menarik kursi di dekatnya. "Apa kamu akan percaya kalau itu hasil istikharah?"Aku menatapnya dengan menyipitkan kedua mata. Seorang Handi salat istikharah? Apakah ini sisi lain yang aku belum tahu dari lelaki itu?"Tuh, kamu nggak percaya, kan?""Eh, a-aku percaya, kok. Cuma heran aja kamu sampai istikharah buat menjatuhkan pilihan.""Lho, bukannya memang harus gitu? Guru agamaku di SMA dulu pernah bilang, bahkan saat hendak membeli pakaian pun harusnya kita minta bimbingan Allah. Bukan hanya soal jodoh.""Iya, ngerti, tapi kamu tahu kalau aku pernah gagal 'kan?""Aku tahu dan paham, Zee. Pastinya nggak mudah buat kamu membuka hati kembali. Izinkan aku untuk membantu membukanya perlahan.

  • Aku Tanpa Cintamu   Rujuk, Yuk

    "Nanti aku jelasin. Kita udah sampai."Aku langsung turun tanpa menunggu Mas Zaid membukakan pintu mobil. Kami bukan lagi pasangan suami istri seperti dulu. Tak perlu berharap ia bersikap romantis.Di dalam resto, kami duduk berhadapan. Lelaki di depanku ini mulai berbicara setelah memesan makanan. "Aku curiga, Raka bukan anakku, Zee. Dia sama sekali nggak punya kemiripan denganku.""Jangan gampang ambil kesimpulan, Mas. Betapa banyak anak di dunia ini yang nggak mirip sama ayah ibunya. Padahal mereka anak kandung.""Nggak gitu, Zee. Kamu lihat anak kita."Dadaku perih mendengar ia menyebut frase anak kita. "Ziva mirip banget sama kamu, Zee. Sementara Zelda, walaupun nggak terlalu mirip aku, tapi ada garis-garis di wajahnya yang dia dapat dari genku. Sementara Raka jauh banget, Zee.""Jauh gimana?"Mas Zaid mengeluarkan ponsel dari saku, lalu menunjukkan sebuah foto. Tampak seorang bayi laki-laki yang sehat dan menggemaskan sedang tersenyum. Hanya saja, ada yang aneh dengan bocah luc

DMCA.com Protection Status