Kieran terdiam setelah mendengar ucapan Ayyara barusan. Senyum di bibirnya seketika pudar.
Setelah cukup lama Kieran merasa hatinya baik-baik saja. Kini lagi-lagi dia harus kembali merasakan sakit, hatinya kembali terluka karena ucapan perempuan itu. Padahal Kieran merasa baru sebentar dia merasakan ketenangan. Kenapa Ayyara tidak membiarkannya bahagia lebih lama lagi? Kieran menunduk, menatap bayi di gendongannya yang juga tengah menatapnya. Kieran tersenyum sakit."Maaf mas. Sepertinya kamu lupa dengan kenyataan, bahwa anak itu bukan anakmu."Kieran mengangguk, mengiyakannya saja. Walau di dalam hatinya sangat ingin sekali membantah ucapan perempuan itu. Dia yakin bayi yang dia gendong saat ini adalah anaknya. Tapi Kieran tak bisa mengatakan apapun pada Ayyara. Dia memilih diam, daripada harus berdebat dengan perempuan itu."Siapa namanya?" tanya Kieran sekali lagi. Dia berusaha keras menyembunyikan lukanya di depan Ayyara. Dia kembali menguk"Apa maksudmu hidup dengan Bagas?" Kieran mengernyit tak terima dengan ucapan istrinya barusan. "Kamu istriku, tidak akan kubiarkan kamu hidup dengan laki-laki lain! Kamu hanya boleh tinggal bersamaku, di rumahku!"Ayyara kembali diam. Jujur dia sangat geram dengan Kieran. Pandangannya kini menatap arah lain, tak mau menatap suaminya. Jika saat hamil dulu ada perasaan tidak ingin berpisah dengan Kieran, saat ini justru sebaliknya. Entah kenapa Ayyara sangat ingin kembali dengan Bagas. Dia ingin bertemu dengan laki-laki itu dan mengatakan jika dia sudah melahirkan anaknya. Ayyara ingin meninggalkan Kieran. Dia tidak menyukai Kieran. Mereka kini saling diam. Hingga pintu ruangan itu terbuka, Daria sudah kembali. "Wah Kieran sudah ke sini lagi?"Kieran hanya mengangguk pelan, mengiyakan ucapan Daria barusan. "Cucu Oma digendong papa?" Daria mendekat, melihat cucunya yang tengah digendong Kieran. "Kamu bisa menggendongnya Ran?"
Tiga bulan kemudian. Ayyara duduk di sebuah kursi yang berada di teras samping rumahnya yang kebetulan menghadap ke kolam renang. Dia duduk di sana sambil meminumkan susu formula pada Bara yang kini dia dudukkan di atas pangkuannya. Sesekali Ayyara mengarahkan pandangannya ke depan, menatap kolam renang berwarna biru yang ada di hadapannya. Jujur Ayyara merasa sangat bosan berada di rumah. Setiap hari Kieran juga pergi ke tempat kerja, dan membiarkan dirinya dan Bara di rumah. Ayyara tidak bisa keluar rumah sendirian jika harus mengajak Bara juga. Tentu saja dia akan kesulitan, apalagi Bara masih berumur tiga bulan. Ayyara menghela nafas pelan. "Bara, sebenarnya mama belum siap memiliki anak."Pandangan Ayyara kini kembali menatap Bara yang masih menyedot botol susunya dengan semangat. Pikiran Ayyara justru kini kembali teringat pada pertama kalinya Kieran menyentuhnya. Saat itu Ayyara benar-benar takut jika dia sampai hamil, cara apapun dia la
Ayyara melihat layar ponselnya sesaat, sudah menunjukan pukul lima sore. Entah kenapa dia semakin merasa tidak nyaman dengan keberadaan Ayuma di rumahnya. Kakaknya itu kini duduk di sofa ruang tamu berseberangan dengannya. Dia terpaksa mengizinkan Ayuma untuk masuk ke rumah, karena perempuan itu terus memaksa. Ayuma tak mau pulang sebelum masuk ke rumah mewah sang adik lebih dulu."Rumahmu sangat luas. Apa hanya kau dan Kieran saja yang tinggal di sini? Kenapa kalian tak mempekerjakan pembantu? Aku rasa uang Kieran juga tidak akan habis jika untuk membayar pembantu."Ayyara hanya diam, sedikitpun tak ingin menjawab saat kakaknya itu terus saja mengajaknya berbicara. Pandangan Ayuma tak pernah bosan menatap ke sekelilingnya. Dia sangat ingin memasuki rumah itu lebih dalam lagi. "Ada berapa kamar di rumah ini?"Ayyara mengernyit, menatap Ayuma dengan sorot curiga. "Memangnya untuk apa kau bertanya itu?" Ayuma hanya tersenyum saat lagi-lag
"Kau!"Ayuma mulai panik. Melihat apa yang terjadi pada Ayyara barusan, pasti Kieran akan marah padanya. Jika Kieran marah, apa yang dia minta pasti juga tak akan Kieran kabulkan.Tanpa pikir panjang. Ayuma langsung memasukkan kartu kredit yang dia pegang ke dalam tasnya, dia kemudian memutuskan untuk pergi saja dari sana."Suamimu sudah pulang Ayyara. Kalau begitu kakak akan pergi.""Tunggu kak!" Ayyara ingin menahan Ayuma lagi untuk pergi. Namun Kieran menahannya untuk tak menghentikan Ayuma. Kakaknya itu kini akhirnya menghilang dari pandangannya. Ayyara menatap Kieran dengan sorot protes. "Mas kenapa kamu menahanku? Kita harus menghentikan kak Ayuma, dia membawa semua kartu kredit yang kamu berikan padaku!""Biarkan saja Ayyara. Aku bisa memblokirnya nanti. Sekarang pedulikan Bara, lihatlah dia tertidur apa kamu ingin tetap mengejar kakakmu sambil menggendong Bara?"Ayyara menatap anaknya yang masih tertidur di gend
Seperti apa yang Ayyara tanyakan kemarin pada Kieran. Perempuan itu kini sudah bersiap untuk berangkat ke tempat kerja, walau Kieran sempat ragu memberinya izin. Namun dengan bersikerasnya Ayyara akhirnya bisa mendapatkan izin dari sang suami. "Bi Sarah, saya berangkat dulu ya. Saya titip Bara."Bi Sarah yang saat ini tengah menggendong Bara hanya mengangguk menurut. Dia kemudian tersenyum. "Nyonya tenang saja. Den Bara pasti akan aman dengan bi Sarah."Ayyara mengangguk percaya. "Kalau Bara rewel segera telepon saya ya bi.""Baik nyonya." "Kamu jadi masuk kerja hari ini?" tanya Kieran secara tiba-tiba yang baru saja datang ikut bergabung dengan bi Sarah dan Ayyara di ruang tengah. Jujur sebenarnya Kieran ingin melarang, dia tak ingin Ayyara bekerja lagi. Tapi percuma, Ayyara tidak akan pernah mendengarkan perintahnya. "Iya mas. Kamu juga sudah mengizinkanku kan kemarin? Jadi hari ini aku akan mulai bekerja kembali. Aku tidak
Pandangan Bagas kini menatap ke arah lain. Dia berusaha menenangkan dirinya untuk sesaat. Tanpa Ayyara sadari, pertanyaannya barusan justru membuat Bagas semakin takut. Setiap hari Bagas selalu gelisah. Pikirannya tidak tenang jika mengingat anak yang sudah dikandung oleh Ayyara. Dia takut, bagaimana jika benar itu adalah anaknya? Bagaimana nasibnya nanti? Pasti Kieran akan marah, dan dia tentu akan kehilangan pekerjaannya. Sedangkan hutangnya pada Raymond saja belum lunas, tidak mungkin Bagas sanggup jika sampai kehilangan pekerjaannya ini. Lalu, bagaimana juga dengan Raymond jika tahu ternyata bagas telah merusak rumah tangga putra tunggalnya?"Sejak aku melahirkan, kau belum ada sekalipun menjengukku. Apa kau tidak ingin melihat anak kita? Dia sangat tampan, sama sepertimu. Aku memberinya nama Bara. Nama itu aku ambil dari singkatan nama kita, Bagas dan Ayyara.""Cukup Ayyara. Dia bukan anakku! Kenapa kau terus saja mengatakan dia anakku? Apa
"Nyonya, kenapa nyonya basah kuyub seperti ini?" tanya Bi Sarah khawatir. Kini dia sudah berdiri di depan Ayyara, menatap Ayyara dari ujung kaki sampai kepala. Ayyara tersenyum lalu menjelaskan, "pak Darma lupa membawa payung. Jadi saya tadi sempat hujan-hujanan saat berjalan dari teras kantor ke parkiran mobil."Bi Sarah menghela nafas pelan, lalu menatap pak Darma yang masih berdiri tak jauh darinya dengan sorot marah. "Pak Darma, seharusnya jangan biarkan nyonya Ayyara hujan-hujanan seperti ini!""Tidak apa-apa bi, tolong jangan salahkan pak Darma," ucap Ayyara menenangkan bi Sarah agar tak marah pada supirnya itu. Pandangan wanita paruh baya itu kini mengarah padanya, masih dengan sorot khawatir."Nyonya, lain kali jangan hujan-hujanan lagi ya. Bi Sarah takut nanti nyonya akan flu jika kehujanan sampai basah kuyup seperti ini. Kasihan Den Bara kalau nyonya sampai sakit, nanti takutnya Den Bara akan ikut sakit."Ayyara tersenyum, lalu
Pukul tiga dini hari, Kieran terbangun saat mendengar sesuatu di sekitarnya. Matanya berkedip beberapa kali, sebelum akhirnya dia menoleh menatap sang istri yang masih tidur di sampingnya. Perempuan itu tidur dengan posisi membelakanginya. Namun Kieran merasa ada yang aneh pada tubuh Ayyara, terlihat seakan bergetar. Dia kemudian beringsut duduk, lalu memegang bahu perempuan itu secara perlahan tanpa berniat untuk mengusik tidurnya. Mata Kieran melebar saat merasakan suhu panas di tubuh Ayyara yang begitu tinggi. Kieran seketika khawatir. Ternyata perempuan itu sejak tadi menggigil. "Ayyara kamu sakit?"Kieran menarik bahu perempuan itu dengan pelan, membuat tubuh sang istri kini terlentang. Ayyara sedikitpun tak menjawab pertanyaan Kieran. Mata perempuan itu masih tertutup, namun bibirnya merintih pelan. Kieran kembali menempelkan telapak tangannya ke kening sang istri. "Kamu demam Ayyara. Pasti karena kehujanan kemarin."Ki
Pemakaman selesai, seorang perempuan berpakaian serba hitam masih setia duduk di samping makam tersebut. Tangannya tak berhenti mengusap pelan nisan yang bertulis nama Kieran Bimantara.Kini Ayyara tak bisa melihat suaminya lagi, kini Ayyara tak bisa memeluk tubuh Kieran lagi. Terakhir dia melihat Kieran hanya di rumah sakit, setelah dibawa pulang dia tak diijinkan lagi melihat jasad suaminya. Proses pemakaman pun juga terlaksana cukup tertutup, tak ada yang bisa melihat wajah Kieran terakhir kalinya kecuali Raymond dan beberapa orang suruhan Raymond. Entah kenapa, Ayyara juga tak paham. "Ayyara. Ayo kita pulang," bisik Daria yang sejak tadi masih berada di samping sang menantu tersebut. Namun Ayyara menggeleng pelan, menandakan bahwa dirinya tak mau pergi dari sana."Ayyara ingin tetap di sini ma." Mata sembabnya kini menatap gundukan tanah yang masih basah di hadapannya, dia lalu tersenyum sedih. "Dulu, mas Kieran pernah berjanji pada Ayyara.
Di depan sebuah ruang IGD, seorang perempuan terisak. Dia berjongkok sambil memeluk seorang anak laki-laki. Rasa bersalah dan takut bercampur menjadi satu. Bara yang sejak tadi berada di pelukan sang mama hanya bisa diam, tak peduli bau amis darah begitu menusuk ke penciumannya dan akan ikut mengotori seragam sekolahnya. Dia tak bisa menenangkan tangisan sang mama.Jujur, Bara sendiri juga masih shock melihat papanya tertabrak di hadapannya. Tapi dia tak bisa menangis, dia hanya bisa menahan rasa khawatir di pelukan mamanya. "Papa enggak apa-apa kan ma?"Akhirnya Bara bersuara, namun Ayyara tak sanggup untuk menjawabnya."Ayyara!"Bara menoleh, dari arah kejauhan sepasang suami istri menghampiri keberadaan Ayyara dan Bara. Mereka adalah Raymond dan Daria. Tampak jelas kekhawatiran di raut keduanya. Daria langsung berjongkok di hadapan sang menantu, memegang bahu Ayyara. Menyadarkan Ayyara bahwa mereka sudah datang.
Setelah Bagas dan Viona melangkah pergi, mata Ayyara mulai menggenang. Hatinya benar-benar sakit dan hancur, Bagas tidak seperti dulu lagi. Ayyara telah kehilangan laki-laki yang dia cintai.Dia terpaksa menikah dengan laki-laki yang tak dia cintai, melahirkan anak dari laki-laki yang dia benci, ibunya kini meninggal, dan sekarang Ayyara benar-benar dilupakan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. Sepahit itukah kehidupannya? Kenapa takdir begitu sangat kejam?"Jika tidak ada kebahagiaan dalam hidupku, kenapa aku harus dilahirkan?" Satu tetes air mata akhirnya terjatuh. Ayyara mulai berjalan gontai memasuki mobilnya kembali, dengan air mata yang semakin mengalir deras. Mobil berwarna merah itu mulai melaju kencang, menyusuri jalanan yang ramai. Ayyara seakan tak peduli dengan keselamatannya maupun sekitarnya. Tatapannya kosong, pikirannya kembali mengingat rantai kehidupannya sejak pertama dia menikah dengan Kieran. Dia sudah tak mempunyai kebahagiaan, bahkan tak tau lagi tujuan unt
Kieran yang masih menemani anaknya bermain di ruang tengah, sejak tadi tak bisa tenang setelah tahu istrinya ternyata meninggalkan rumah secara diam-diam. Apalagi berita tentang dirinya dan Ayyara terus saja semakin menyebar. Kieran takut akan terjadi sesuatu pada sang istri di luar sana.Namun tak beberapa lama, terdengar suara pintu utama terbuka. Kieran segera beringsut berdiri tanpa mempedulikan anaknya, dan langsung menghampiri ke arah pintu utama. Melihat Ayyara berjalan gontai sambil menghapus bekas air mata di pipinya yang masih basah, membuat Kieran seketika khawatir. "Apa yang terjadi padamu Ayyara?"Langkah Ayyara terhenti, tepat di samping Kieran. Pertanyaan laki-laki itu justru membuat air matanya mengalir deras, Ayyara mulai terisak.Kieran semakin bingung, istrinya sedikit pun tak mau menjelaskan. Dia ingin memeluk tubuh Ayyara untuk memberi ketenangan, namun tertunda saat Bara datang dan langung menggenggam salah satu ta
Saat ini Bagas tertunduk, merasa frustasi dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Dia berada di sebuah kafe, bersama Kieran dan juga Nasya. Bagas sudah menceritakan semuanya apa yang terjadi pada Kieran maupun Nasya. Karena Bagas tak punya siapa-siapa lagi untuk meminta bantuan selain pada mereka. "Sebenarnya saya tidak masalah jika harus menikahi Viona, walau karena kesalahpahaman ini. Tapi masalahnya, ayah Viona meminta saya untuk melunasi hutangnya pada pak Raymond sebelum pernikahan berlangsung. Jika saya tidak mau melunasi dan tidak mau melunasi hutangnya, ayah Viona akan melaporkan saya ke polisi karena telah melecehkan Viona. Saya yakin polisi juga tidak akan menyalahkan saya karena tidak ada bukti yang kuat jika saya telah melecehkan Viona, tapi Viona bilang jika saya tidak mengikuti keinginan ayahnya kemungkinan Viona yang akan dalam masalah."Nasya mengangguk paham. "Walau hanya melihatnya sekali saja, tapi saya tahu bagaimana sifat ayah Viona. Saya s
Seminggu setelah pemakaman Mira. Ayyara tak pernah lagi bertemu ataupun berniat untuk menemui sang kakak, Ayuma. Agra, yang saat ini sudah masuk di bangku SMP, Kieran yang membiayai sekolahnya di luar kota. Sesuai permintaan Ayyara, yang tak mau jika sang adik sampai diurus oleh sang kakak. Sampai saat ini kematian Mira membuat Ayyara berpikiran buruk pada sang kakak. Dari sifatnya Ayyara sudah tau, mana mungkin Ayuma mau mengurus adiknya. Bahkan Ayyara masih berpikiran, mungkin saja penyakit ibunya semakin parah hingga menyebabkan kematian pasti karena Ayuma yang tak merawat ibunya dengan baik.Sebenarnya Ayyara ingin menginterogasi Ayuma atas kematian ibunya, namun dicegah oleh Kieran. Dengan alasan, tak mau Ayyara semakin mendapat masalah di saat masalahnya bersama Kieran kini belum juga usai."Apa yang dikatakan mas Kieran memang benar. Kak Ayuma bisa saja balik menuduhku, menyalahkanku karena sudah sangat tak menjenguk ibu. Tapi aku kan mel
Pagi itu, Kieran akhirnya membawa istri dan anaknya ke rumah Mira. Namun sampai sana rumah ibu mertuanya itu terlihat sangat sepi, padahal yang Ayyara katakan Ayuma juga berada di sana."Sepertinya tidak ada orang?" ucap Ayyara menebak. Tapi dia juga tak yakin, mengingat ibunya itu tidak suka meninggalkan rumah terlalu lama. "Tapi kita tunggu di teras saja, mungkin ibu sedang keluar ke suatu tempat dan akan segera pulang."Kieran mengangguk mengikuti saran sang istri. Mereka kemudian keluar dari mobil, Kieran menuntun Bara dan mengikuti Ayyara yang mulai berjalan menuju teras rumah Mira.Karena penasaran apakah di rumah benar tidak ada orang, Ayyara akhirnya memutuskan untuk membuka pintu utama tersebut. Dan anehnya pintu ternyata tidak dikunci, membuat Ayyara mengernyit bingung. "Jika di dalam rumah tidak ada orang, kenapa pintunya tidak dikunci?" Firasat Ayyara berubah buruk. Dia memutuskan untuk masuk ke rumah itu begitu saja, Kieran yang masi
Pukul lima pagi, Kieran terbangun dari tidurnya. Dia mengedipkan matanya sesaat lalu mengedarkan pandangannya. Dia sadar saat ini telah tertidur di sofa karena Ayyara mengusirnya dari kamar tadi malam. Padahal di rumahnya juga masih banyak kamar yang tidak terpakai, namun Kieran memilih untuk tidur di sana saja.Dia mulai beringsut duduk, membuat selimut tebal berwarna cokelat yang tadinya menutupi tubuhnya kini merosot turun. Kieran mengernyit bingung. "Seingatku, tadi malam aku tidak membawa selimut. Apa Ayyara yang memakaikannya padaku?""Bibi yang memakaikan selimut itu untuk tuan," sahut seorang wanita dari kejauhan yang sudah sadar jika sang tuan telah bangun. Kieran kini menatap ke arahnya, tampak kecewa dengan ucapan wanita itu barusan, namun Kieran menutupinya dengan senyuman tipis. Bi Sarah mulai menghampiri. "Terimakasih bi.""Tuan kenapa tidur di sini? Apa nyonya yang menyuruh tuan untuk tidur di sini?" Bi Sarah memasang raut khawatir
"Sebenarnya aku tidak apa-apa, maaf telah merepotkan kalian. Seharusnya kalian tidak perlu mendengarkan perkataan ayahku." Viona menunduk bersalah. Melihat hal itu Bagas tak tega. "Tidak Viona, ini sama sekali tidak merepotkan kami." Bagas kemudian menoleh ke arah Nasya yang juga masih bersama mereka. "Benarkan Nasya?"Nasya mengangguk menyetujui pertanyaan Bagas "Benar Viona, tidak perlu terlalu dipikirkan seperti itu."Viona tersenyum, setidaknya dia harus bersyukur karena bertemu dengan orang sebaik Bagas dan Nasya. Andai orang lain yang akan menabraknya tadi, pasti tentu akan marah saat Darka memintanya pertanggung jawaban padahal Viona nyaris tertabrak karena ulah ayahnya sendiri."Oh ya Bagas, Viona. Kalian tunggu di sini sebentar ya, biar aku yang menebus obatnya di apotek."Bagas dan Viona mengangguk mengizinkan, Nasya kemudian melangkah pergi meninggalkan mereka yang masih duduk di kursi tunggu yang ada di rumah sakit itu.