"Jika kamu tahu aku tidak bisa bersabar, maka jangan menguji kesabaranku mas! Cepatlah buka mulutmu, tidak perlu banyak bicara jika memang ingin aku suapi!"
Raut perempuan itu sudah kembali berubah, menatap sang suami dengan sorot kesal. Padahal Ayyara merasa dirinya kali ini sudah sangat bersabar mau menjaga Kieran, tapi Kieran masih menganggapnya tidak sabaran. Dia kemudian menyodorkan satu suap bubur ke depan mulut kieran. Namun laki-laki itu tak kunjung membuka mulutnya, membuat Ayyara semakin geram."Jangan sampai aku marah hanya karena kamu lama membuka mulut!"Kieran tersenyum gemas. Dia kemudian melahap suap bubur dari Ayyara. Padahal saat ini Ayyara sudah marah-marah, tapi perempuan itu bicara seolah belum marah."Ayyara, apa kamu membenciku?"Tanpa pikir panjang. Ayyara mengangguk, mengiyakan pertanyaan Kieran barusan. "Aku sangat membencimu mas. Sejak kita mulai dijodohkan, aku sudah membencimu."Kieran tahu, seharuKieran akhirnya melepas rangkulannya pada pinggang Ayyara, membuat perempuan itu kini bisa mengambil jarak darinya. Namun ciuman singkat yang diberikan Kieran barusan, berhasil membuat Ayyara tak bisa berkata apa-apa. Dia gugup dan juga malu."Ayyara," panggil Kieran sambil tersenyum. Ayyara menatapnya dengan ragu. Kieran semakin gemas melihat sang istri yang sepertinya salah tingkah karena ulahnya barusan. "Terimakasih."Ayyara gugup, tapi dia berusaha keras untuk tetap terlihat tenang. "Untuk apa?""Untuk semuanya. Terimakasih."Ayyara mengalihkan pandangannya ke arah lain, menatap Kieran membuat jantungnya semakin berdegup tak karuan. Dia kemudian mengalihkan pembicaraan, "Kamu tadi masih makan satu suap saja, jadi ayo lanjutkan makan siangmu." Ayyara kembali duduk di kursi yang dia duduki tadi, lalu mengambil semangkuk bubur itu dan berniat untuk menyuapi suaminya kembali. Belum sempat Ayyara menyuapi Kieran, mendadak pintu
"Dia adalah pria yang belakangan ini sering memohon pada pak Kieran di depan perusahaan, agar pak Kieran mau membantu perusahaannya yang bangkrut. Kami berpikir, bisa saja tujuannya menusuk pak Kieran yaitu karena dia benci pada pak Kieran yang tak mau membantunya." Nasya kemudian menunduk setelah selesai menjelaskan. Tak berani menatap Ayyara dan Kieran. Karena dia tahu, jika pria yang dia sebutkan barusan adalah kakak ipar Kieran. "Apa maksudnya ... yang menusukmu adalah suaminya kak Ayuma, mas?" tanya Ayyara pada sang suami. Dia nyaris tak percaya dengan apa yang dijelaskan Nasya barusan. Benarkan kakaknya yang telah melakukan itu semua?Tentu Kieran juga terkejut mendengar informasi ini. Tapi jika dipikir sekali lagi, memang Ayuma ataupun suaminya terlihat sedikitpun tak mempunyai perasaan. "Nasya, apa buktinya jika pria itu yang menusuk saya?""Di tempat kejadian pak Kieran ditusuk waktu lalu, ternyata ada CCTV jalan yang mengarah
"Ayya -" panggil Kieran tertahan. Dia ingin mencegah istrinya agar tidak pergi, namun Ayyara sudah terlanjur meninggalkan ruangan itu. Kieran ingin menyusul Ayyara, namun nyeri diperutnya justru semakin menyiksa saat dia bawa untuk bergerak."Pak Kieran, jangan banyak bergerak. Pasti lukanya belum sembuh total kan?" Cegah Nasya saat mengetahui laki-laki itu nyaris saja turun dari brankar."Nasya, jangan sampai Ayyara bertemu dengan kakaknya. Saya takut jika kakaknya akan melukai Ayyara. Dia sedang hamil, Nasya. Tolong susul dia, bawa dia kembali kepada saya!"Nasya mengangguk, menuruti apa yang Kieran perintahkan. Dia lalu menatap kedua pria yang masih berdiri di belakangnya. "Kalian, tolong bantu saya untuk mencegah ibu Ayyara agar tidak pergi dari sini."Kedua pria itu mengangguk mengiyakan. Mereka kemudian bergegas menyusul Ayyara yang sudah berjalan cukup jauh di koridor rumah sakit."Ibu Ayyara," panggil Nasya saat pandangannya sudah
Kali ini Ayyara tak bisa memberontak karena percuma, kekuatannya tak sebanding dengan kedua pria itu. "Ayo bawa ibu Ayyara kepada pak Kieran kembali," pinta Nasya pada kedua pria itu. Mereka mengangguk, lalu menyeret Ayyara dengan paksa untuk mengikuti langkah mereka. Hingga sampai kembali ke ruangan Kieran di rawat. Kedua pria itu akhirnya melepaskan cekalannya pada lengan Ayyara. Membuat Kieran seketika menghela nafas lega saat kedua pria itu berhasil membawa Ayyara ke hadapannya. "Maaf pak Kieran, kami harus menarik paksa ibu Ayyara ke sini," ucap salah satu pria itu takut jika Kieran tidak suka dengan cara mereka membawa Ayyara ke sana. Kieran tersenyum, lalu mengangguk mengiyakan. "Tidak apa-apa. Terimakasih karena sudah membawa istri saya kembali ke sini.""Mas, kenapa kamu menyuruh mereka membawaku ke sini?" protes Ayyara tak terima. "Aku harus menemui kak Ayuma!""Ayyara tolong tenang sebentar. Sadarlah, saat ini kamu
Lima hari setelahnya, Kieran akhirnya diperbolehkan pulang. Setelah memasuki kamarnya, Daria membantu sang putra untuk duduk di atas kasur. "Ma, Kieran bisa sendiri," ucap Kieran meyakinkan sang mama. Walau masih sedikit terasa nyeri di bagian perutnya, namun Kieran sudah mulai terbiasa berjalan sendiri tanpa perlu bantuan. Tapi tetap saja, Daria masih tak tega. Dia tak akan membiarkan Kieran melakukan sesuatu sendiri sampai jahitan di perutnya benar-benar sembuh total. "Ran, karena saat ini Ayyara sedang hamil dan keadaanmu seperti ini. Mama sarankan agar kamu mau menerima salah satu pembantu di rumah mama, untuk bekerja di sini. Biar ada yang membantu Ayyara merawatmu, dan menyelesaikan pekerjaan rumah."Kieran menggeleng tak setuju. Sejak awal menikah dengan Ayyara, Kieran sebenarnya juga ingin mempekerjakan pembantu di rumahnya. Dia tak tega melihat Ayyara harus memasak dan menyelesaikan pekerjaan rumah sendiri. Tapi jika ada satu
Raymond mengangguk mengiyakan. Memang Raymond maupun Daria selama ini tidak pernah mengatakan pada Kieran, jika mereka sebenarnya sudah mengetahui apa yang terjadi pada keluarga Ayyara. "Mamamu itu adalah sahabat dekat ibunya Ayyara, jadi tentu saja kami sudah mengetahui semuanya. Bahkan papa sempat kaget saat Nasya memberitahu papa jika yang menusukmu itu ternyata kakaknya Ayyara yang selama ini menghilang dari keluarganya.""Kieran sendiri juga tidak habis pikir, tega sekali orang itu melakukan ini pada Kieran. Padahal Kieran sudah menjadi adik ipar mereka. Tapi memang yang dikatakan Ayyara itu benar, mereka tidak mempunyai hati." Kieran menghela nafas pelan, lalu kembali menatap sang papa dengan penuh kepercayaan. "Kieran yakin, keputusan Kieran untuk menyerahkannya ke polisi itu memang tepat. Dan ini juga atas kemauan Ayyara pa. Ayyara bilang, jika mereka dibiarkan pasti akan semakin berbuat jahat pada kita. Dan untuk ibunya Ayyara, Kieran
"Apa yang ingin kamu bicarakan padaku?" tanya Ayyara saat dia dan Kieran sudah sampai di ruang tengah. Ayyara menatap suaminya dengan sorot kesal. "Mas, aku sudah menjagamu saat di rumah sakit. Karena sekarang kita sudah berada di rumah, apa aku juga harus menjagamu lagi? Aku bosan mas jika disuruh untuk duduk diam menunggumu saja. Lagi pula, kamu bilang luka di perutmu sudah tidak terlalu sakit, jadi biarkan aku ke dapur menemani mama masak ya. Kamu istirahat sendiri saja di kamar."Kieran menggeleng, Ayyara telah salah paham. Dengan segera dia menjelaskan, "aku tidak ingin memintamu untuk menemaniku di kamar. Tapi ada hal penting yang ingin aku katakan padamu."Ayyara mengernyit penasaran. "Hal penting? Memangnya apa?""Suaminya kak Ayuma sudah ditangkap oleh polisi. Papa yang baru saja memberitahuku hal ini."Ayyara tertegun. Benarkah apa yang dikatakan Kieran barusan? Seketika dia bernafas lega. Namun mendadak ada satu hal yang membuat Ayyara
Perempuan itu melangkah lebih dulu, berjalan ke arah ruang makan. Kieran mengikutinya di belakang. Hingga sampai ruang makan, Kieran langsung duduk di salah satu kursi. Ayyara mulai mengambilkan nasi ke atas piringnya. Kieran benar-benar sangat senang mendapat perhatian tersebut dari Ayyara. Selama hamil Ayyara memang banyak berubah, Kieran harap perubahan Ayyara tersebut dikarenakan perempuan itu sudah mulai memliki rasa padanya. "Kamu tidak ikut makan juga?" tanya Kieran saat istrinya itu meletakkan sepiring makanan di hadapannya. "Aku bisa makan nanti saja. Aku belum lapar.""Tapi, jangan sampai tidak makan ya."Ayyara mengangguk mengiyakan. "Iya mas. Kalau begitu, aku ingin ke kamar sebentar."Kieran mengangguk mengizinkan. Ayyara kemudian berjalan menuju kamar. Niatnya dia ingin merapikan tempat tidurnya, namun saat sampai sana ponselnya justru berdering, membuat Ayyara jadi menunda kegiatannya. Dia mengambil po
Pemakaman selesai, seorang perempuan berpakaian serba hitam masih setia duduk di samping makam tersebut. Tangannya tak berhenti mengusap pelan nisan yang bertulis nama Kieran Bimantara.Kini Ayyara tak bisa melihat suaminya lagi, kini Ayyara tak bisa memeluk tubuh Kieran lagi. Terakhir dia melihat Kieran hanya di rumah sakit, setelah dibawa pulang dia tak diijinkan lagi melihat jasad suaminya. Proses pemakaman pun juga terlaksana cukup tertutup, tak ada yang bisa melihat wajah Kieran terakhir kalinya kecuali Raymond dan beberapa orang suruhan Raymond. Entah kenapa, Ayyara juga tak paham. "Ayyara. Ayo kita pulang," bisik Daria yang sejak tadi masih berada di samping sang menantu tersebut. Namun Ayyara menggeleng pelan, menandakan bahwa dirinya tak mau pergi dari sana."Ayyara ingin tetap di sini ma." Mata sembabnya kini menatap gundukan tanah yang masih basah di hadapannya, dia lalu tersenyum sedih. "Dulu, mas Kieran pernah berjanji pada Ayyara.
Di depan sebuah ruang IGD, seorang perempuan terisak. Dia berjongkok sambil memeluk seorang anak laki-laki. Rasa bersalah dan takut bercampur menjadi satu. Bara yang sejak tadi berada di pelukan sang mama hanya bisa diam, tak peduli bau amis darah begitu menusuk ke penciumannya dan akan ikut mengotori seragam sekolahnya. Dia tak bisa menenangkan tangisan sang mama.Jujur, Bara sendiri juga masih shock melihat papanya tertabrak di hadapannya. Tapi dia tak bisa menangis, dia hanya bisa menahan rasa khawatir di pelukan mamanya. "Papa enggak apa-apa kan ma?"Akhirnya Bara bersuara, namun Ayyara tak sanggup untuk menjawabnya."Ayyara!"Bara menoleh, dari arah kejauhan sepasang suami istri menghampiri keberadaan Ayyara dan Bara. Mereka adalah Raymond dan Daria. Tampak jelas kekhawatiran di raut keduanya. Daria langsung berjongkok di hadapan sang menantu, memegang bahu Ayyara. Menyadarkan Ayyara bahwa mereka sudah datang.
Setelah Bagas dan Viona melangkah pergi, mata Ayyara mulai menggenang. Hatinya benar-benar sakit dan hancur, Bagas tidak seperti dulu lagi. Ayyara telah kehilangan laki-laki yang dia cintai.Dia terpaksa menikah dengan laki-laki yang tak dia cintai, melahirkan anak dari laki-laki yang dia benci, ibunya kini meninggal, dan sekarang Ayyara benar-benar dilupakan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. Sepahit itukah kehidupannya? Kenapa takdir begitu sangat kejam?"Jika tidak ada kebahagiaan dalam hidupku, kenapa aku harus dilahirkan?" Satu tetes air mata akhirnya terjatuh. Ayyara mulai berjalan gontai memasuki mobilnya kembali, dengan air mata yang semakin mengalir deras. Mobil berwarna merah itu mulai melaju kencang, menyusuri jalanan yang ramai. Ayyara seakan tak peduli dengan keselamatannya maupun sekitarnya. Tatapannya kosong, pikirannya kembali mengingat rantai kehidupannya sejak pertama dia menikah dengan Kieran. Dia sudah tak mempunyai kebahagiaan, bahkan tak tau lagi tujuan unt
Kieran yang masih menemani anaknya bermain di ruang tengah, sejak tadi tak bisa tenang setelah tahu istrinya ternyata meninggalkan rumah secara diam-diam. Apalagi berita tentang dirinya dan Ayyara terus saja semakin menyebar. Kieran takut akan terjadi sesuatu pada sang istri di luar sana.Namun tak beberapa lama, terdengar suara pintu utama terbuka. Kieran segera beringsut berdiri tanpa mempedulikan anaknya, dan langsung menghampiri ke arah pintu utama. Melihat Ayyara berjalan gontai sambil menghapus bekas air mata di pipinya yang masih basah, membuat Kieran seketika khawatir. "Apa yang terjadi padamu Ayyara?"Langkah Ayyara terhenti, tepat di samping Kieran. Pertanyaan laki-laki itu justru membuat air matanya mengalir deras, Ayyara mulai terisak.Kieran semakin bingung, istrinya sedikit pun tak mau menjelaskan. Dia ingin memeluk tubuh Ayyara untuk memberi ketenangan, namun tertunda saat Bara datang dan langung menggenggam salah satu ta
Saat ini Bagas tertunduk, merasa frustasi dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Dia berada di sebuah kafe, bersama Kieran dan juga Nasya. Bagas sudah menceritakan semuanya apa yang terjadi pada Kieran maupun Nasya. Karena Bagas tak punya siapa-siapa lagi untuk meminta bantuan selain pada mereka. "Sebenarnya saya tidak masalah jika harus menikahi Viona, walau karena kesalahpahaman ini. Tapi masalahnya, ayah Viona meminta saya untuk melunasi hutangnya pada pak Raymond sebelum pernikahan berlangsung. Jika saya tidak mau melunasi dan tidak mau melunasi hutangnya, ayah Viona akan melaporkan saya ke polisi karena telah melecehkan Viona. Saya yakin polisi juga tidak akan menyalahkan saya karena tidak ada bukti yang kuat jika saya telah melecehkan Viona, tapi Viona bilang jika saya tidak mengikuti keinginan ayahnya kemungkinan Viona yang akan dalam masalah."Nasya mengangguk paham. "Walau hanya melihatnya sekali saja, tapi saya tahu bagaimana sifat ayah Viona. Saya s
Seminggu setelah pemakaman Mira. Ayyara tak pernah lagi bertemu ataupun berniat untuk menemui sang kakak, Ayuma. Agra, yang saat ini sudah masuk di bangku SMP, Kieran yang membiayai sekolahnya di luar kota. Sesuai permintaan Ayyara, yang tak mau jika sang adik sampai diurus oleh sang kakak. Sampai saat ini kematian Mira membuat Ayyara berpikiran buruk pada sang kakak. Dari sifatnya Ayyara sudah tau, mana mungkin Ayuma mau mengurus adiknya. Bahkan Ayyara masih berpikiran, mungkin saja penyakit ibunya semakin parah hingga menyebabkan kematian pasti karena Ayuma yang tak merawat ibunya dengan baik.Sebenarnya Ayyara ingin menginterogasi Ayuma atas kematian ibunya, namun dicegah oleh Kieran. Dengan alasan, tak mau Ayyara semakin mendapat masalah di saat masalahnya bersama Kieran kini belum juga usai."Apa yang dikatakan mas Kieran memang benar. Kak Ayuma bisa saja balik menuduhku, menyalahkanku karena sudah sangat tak menjenguk ibu. Tapi aku kan mel
Pagi itu, Kieran akhirnya membawa istri dan anaknya ke rumah Mira. Namun sampai sana rumah ibu mertuanya itu terlihat sangat sepi, padahal yang Ayyara katakan Ayuma juga berada di sana."Sepertinya tidak ada orang?" ucap Ayyara menebak. Tapi dia juga tak yakin, mengingat ibunya itu tidak suka meninggalkan rumah terlalu lama. "Tapi kita tunggu di teras saja, mungkin ibu sedang keluar ke suatu tempat dan akan segera pulang."Kieran mengangguk mengikuti saran sang istri. Mereka kemudian keluar dari mobil, Kieran menuntun Bara dan mengikuti Ayyara yang mulai berjalan menuju teras rumah Mira.Karena penasaran apakah di rumah benar tidak ada orang, Ayyara akhirnya memutuskan untuk membuka pintu utama tersebut. Dan anehnya pintu ternyata tidak dikunci, membuat Ayyara mengernyit bingung. "Jika di dalam rumah tidak ada orang, kenapa pintunya tidak dikunci?" Firasat Ayyara berubah buruk. Dia memutuskan untuk masuk ke rumah itu begitu saja, Kieran yang masi
Pukul lima pagi, Kieran terbangun dari tidurnya. Dia mengedipkan matanya sesaat lalu mengedarkan pandangannya. Dia sadar saat ini telah tertidur di sofa karena Ayyara mengusirnya dari kamar tadi malam. Padahal di rumahnya juga masih banyak kamar yang tidak terpakai, namun Kieran memilih untuk tidur di sana saja.Dia mulai beringsut duduk, membuat selimut tebal berwarna cokelat yang tadinya menutupi tubuhnya kini merosot turun. Kieran mengernyit bingung. "Seingatku, tadi malam aku tidak membawa selimut. Apa Ayyara yang memakaikannya padaku?""Bibi yang memakaikan selimut itu untuk tuan," sahut seorang wanita dari kejauhan yang sudah sadar jika sang tuan telah bangun. Kieran kini menatap ke arahnya, tampak kecewa dengan ucapan wanita itu barusan, namun Kieran menutupinya dengan senyuman tipis. Bi Sarah mulai menghampiri. "Terimakasih bi.""Tuan kenapa tidur di sini? Apa nyonya yang menyuruh tuan untuk tidur di sini?" Bi Sarah memasang raut khawatir
"Sebenarnya aku tidak apa-apa, maaf telah merepotkan kalian. Seharusnya kalian tidak perlu mendengarkan perkataan ayahku." Viona menunduk bersalah. Melihat hal itu Bagas tak tega. "Tidak Viona, ini sama sekali tidak merepotkan kami." Bagas kemudian menoleh ke arah Nasya yang juga masih bersama mereka. "Benarkan Nasya?"Nasya mengangguk menyetujui pertanyaan Bagas "Benar Viona, tidak perlu terlalu dipikirkan seperti itu."Viona tersenyum, setidaknya dia harus bersyukur karena bertemu dengan orang sebaik Bagas dan Nasya. Andai orang lain yang akan menabraknya tadi, pasti tentu akan marah saat Darka memintanya pertanggung jawaban padahal Viona nyaris tertabrak karena ulah ayahnya sendiri."Oh ya Bagas, Viona. Kalian tunggu di sini sebentar ya, biar aku yang menebus obatnya di apotek."Bagas dan Viona mengangguk mengizinkan, Nasya kemudian melangkah pergi meninggalkan mereka yang masih duduk di kursi tunggu yang ada di rumah sakit itu.