"Mbak Yana cuma minjam buat acaranya besok, Dek,""Minjam? Minjam sama siapa?""Sama Mas!""Itu barang-barang Firda Mas! Kenapa permisinya sama Mas Bima?""Dah … jangan mulai deh, Dek! Baru pulang juga,"Aku melirik jam di dinding. Pukul sepuluh lebih sepuluh menit. Masih bisa sih buat gelud. "Hatcim …." Aku bersin seketika. Aduh, aku sepertinya mulai menampakan gejala flu. Rambutku masih basah, aku menuju kamar dan menyalakan hairdryer untuk mengeringkan rambut. Sambil mengeringkan rambut aku sembari berfikir dan menimbang-nimbang rasa, apakah harus ke rumah Mbak Yana untuk mengambil barangku secara paksa? Hufff. Okelah, aku biarkan dahulu para benalu berbuat sesuka hati. Diarisan besok, akan kulibas sekalian. Aku masih asik membersihkan wajahku dengan double cleanser sambil menghayal. "Assalamu'alaikuuuuum." Aku mendengar salam dari luar. "Waalaikumsalam," ucapku dari kamar dengan suara berbisik, hanya telingaku saja yang mendengarnya. "Waalaikumsalam. Waaah, borong terus kamu
"Sarapan?""Mungkin""Mas ikut!""Males!" "Sebentar, Mas cuci muka dulu!""Kalau mau ikut, Mas harus mandi! Kalau tidak, jangan harap!""Huff! Ya sudah tungguin mas!""Oke"Mas Bima melewati Viona, tetapi aku tahu matanya melirik sedikit ke arah wanita itu. Viona tak beranjak dari tempatnya. Ia malah bersedekap tangan di dada dan memperhatikan diriku dengan tatapan tajam. Sudah mulai berani dia berperilaku seperti itu. "Kalau Yona nggak mau, Mbak mau apa?"Aku mendekatinya. Viona menurunkan tangan dari dada dan merubah posisi sinisnya tadi menjadi posisi siaga. Ia seperti membuat ancang-ancang pertahanan dari serangan mendadakku. Aku berbisik di telinganya, "Mbak nggak mau apa apa, Sayang. Cuma mau … Kreeek "Aaaau …."Aku menarik kasar lingerie tipis dan kimono yang ada di bahu kirinya, hingga sedikit sobek oleh hentakan keras tanganku. "Masih mau yang lebih ekstrem lagi?" tanyaku mengejek. Viona segera masuk ke dalam kamarnya. BrakLagi lagi ia membanting pintu. Aku menyus
"Oh, ya? Waah … idaman banget Mas Adit ya, Mbak. Ck!" Decak kagum terdengar dari Bu Ratna. "Iya heg ehg. Pantas aja barang-barang Mbak Yananya mewah semua. Tupperware ini juga kontan ya, Mbak? Modelnya cantik dan unik-unik. Saya suka model-model tupperware begini," Bu Caca yang sedari tadi diam saja, juga ikut mengomentari tupperware tempat cemilan. "Tempatnya aja barang mahal, pasti isinya enak-enak nih," ucap Bu Ayu menimpali. "Pastinya dong, horang kayah, ha ha ha." Ibu mertua sesumbar dan menyombongkan diri. "Tupparware emang unik-unik ya, Bu ibu. Tapi boro-boro kontan, nyicil aja saya dimarahi Pak suami, maklum … kebutuhan anak buanyyak," Bu Atikah yang menjawab dengan sedikit berkeluh kesah. "Iya Bu Ibu, saya juga tadinya nggak mau, tapi suami saya yang paksa. He he he." Mbak Yana semakin menambahi bumbu-bumbu kebohongannya. "Enak banget jadi Mbak Yananya. Kalau yang begini harganya berapa ya Mbak?" tanya Bu Pipit kemudian. "Oh ... Eh ... Itu, harganya tujuh puluh lima ri
"Malas, Mbak! Harinya panas banget. Bisa beguguran bodi Firda jalan panas-panasan gini. Mbak aja deh!" tolakku tegas dan cuek. "Warung saya tutup, Mbak Yan. Anak saya nggak ada yang mau gantian jaga. Di warung Babah Kong, saja!" Bu Ratna memberitahu cepat sebelum Mbak Yana pergi kesana. Kakak iparku itu menghentakkan kaki kesal. Ia mencoba menelpon seseorang, tetapi tampak tak di jawab. Akhirnya ia sendiri yang berjalan ke warung Babah Kong, yang letaknya lebih jauh dari warung Bu Ratna. Bu RT memulai acara. Semua anggota menyetor sejumlah uang kepadanya. Ibu mertua terlihat senang, karena anggota arisan menyetor dengan jumlah nominal yang besar. Paling sedikit sejuta, selebihnya satu juta setengah, bahkan ada yang dua juta. Kebanyakan yang setor dua juta, karena belum kebagian nomor. Selanjutnya tinggal Mbak Yana nantinya yang membayar sama persis seperti yang mereka bayar kali ini.Lima belas menit kemudian, Mbak Yana tiba. Wajahnya berubah. Dimulai dari dempulan wajah, maskara,
"Huhuhuhu … huhuhu …" Tangis Mbak Yana menyanyat asam lambungku. "Huhuhu … Buuuu … hiks, batal deh kita beborong lagi! Rent* si*lan!" Maki Mbak Yana kesal. "Kamu, sih! Masa nggak dibaca dulu isi perjanjian seperti itu!" balas mertuaku frustasi. "Ibu juga ikut lihat, kan? Kenapa nggak ikutan baca?" sambung Mbak Yana yang tak terima dirinya dipersalahkan. "Mana Ibu tau! Kan, kamu dengan Viona yang baca itu kertas perjanjian!" Lagi, Ibu mertua menjawab tak mau juga dipersalahkan. "Ihhh … huhuhu … gagal gagal gagal," jerit Mbak Yana sembari memukul mukul lantai keramik rumahnya. Enam belas juta lebih, cuk. Ya frustasi. Gagal foya-foya sehari. "Tauk ah, Ibu lelah."Mertuaku berlalu meninggalkan kami berdua dan hilang ditelan kamar. Mbak Yana menarik ingus yang merembes dari sela-sela hidungnya, lalu menghembuskan nafasnya kuat kuat dan teriak pake tenaga dalam. "Aaaaarrrgh …."Lalu ia terdiam tak bersuara lagi. Busyeet. Mati mendadak kah? Hening. . . . . . Aku berniat ke ara
Tak ada yang dapat kulakukan selain rebahan di atas ranjang kamar tidurku. Jika saja sudah ada anak dipernikahan kami ini, sudah pasti aku tak akan merasa kesunyian jika ditinggal main oleh Mas Bima, contohnya ya seperti weekend ini. Emang lakik nggak peka. Ingin call Arimbi, aku takut mengganggu weekendnya dengan Mas Fadil. Ingin call Ibu dan Ayah, juga tak mungkin. Mereka sedang tabligh akbar dari perwiritan. Guling-guling kesana kemari sembari bermain gawai menjadi pilihan terakhirku dengan diselingi nyanyian kecil. Heran, suka menyanyi semakin menjadi jadi, semenjak aku lihat loudspeaker kepunyaan Mbak Yana. Jadi kepengen punya yang begituan juga. "Sekali putaran, setengah putaran, bersihkan sel kulit mati dan kotoran. Tar putar di wajah, bilas. Multivitamin. Em mm mm mmmm … Em mm mmmmm …." (Hayoo siapa yang ikutan nyanyi juga? Hi hi) Brem … suara sepeda motor Mas Bima terdengar di depan rumah. "Firda … kamu dimana?" Suara Mas Bima memekakkan begitu ia masuk ke dalam rumah.
Pagi di awal hari kerja pun kembali menampakkan auranya. Rutinitas pagiku pun telah selesai. Mas Bima telah bersiap di meja makan. Kami menikmati sarapan pagi dengan tenang tanpa ada gangguan yang berarti di beberapa bulan belakangan ini. Waktu nyantai untuk berangkat kerja masih banyak. Tumben Mas Bima bangunnya pagi sekali. Ia malah ikut membantuku mengerjakan pekerjaan yang selalu aku lakoni sendiri ketika pagi menjelang. Aku tahu itu, ini pasti ada apa-apanya hingga dia berlaku mencurigakan. Pun, pulang dari rumah Mbak Yana ia tak sedikit pun membahas tentang BPKB. Tak mungkin kakak perempuannya itu melewatkan masalah itu, bukan? Aku pun diam saja, sudah ada rencana yang tersusun rapi dengan yang namanya BPKB. "Biiiim …."Laaah, baru dibilang pagi ini sangat tenang, alarm rusak kembali berdering"Iya Tan, kenapa panik gitu?" tanya Mas Bima ketika melihat Tante Tika keluar dari dalam kamarnya dengan keadaan histeris. "Yona belum pulang dari semalam!" keluh Tante Tika kepada Ma
Hampir menjelang magrib aku diantar Arimbi pulang. Muter-muter naik motor bareng sahabat emang pilihan tepat buatku saat ini. Dari jalan mulus hingga jalan buntu kami puterin. Serasa kembali jadi anak gadis jika jalan bareng Arimbi. Emang nggak bisa dibayangkan, jika aku harus berpisah dengan itu orang. "Mbi, gue turun di sini aja!" pintaku kepada Arimbi agar menghentikan laju sepeda motornya. "Loh, nggak diantar sampai rumah aja?" jawab Arimbi bingung. "Nggak Mbi. Gue mau ke warung dulu. Ada yang mau dicari," balasku lagi. Sahabatku itu menghentikan motornya. Aku turun perlahan, ia mulai bersuara lagi. "Fir, saran gue nih ya, kalau emang udah ada niatan buat ngejendes, mulai sekarang lu siapin mental baja," ujar Arimbi sambil mulut dan dagunya menunjuk warung Bu Ratna karena melihat masih banyak Ibu Ibu cekikian di sana. "Sesudah ngejendes, gue dukung lu buat jadi pelakor handal. Ha ha ha. Oke lah. Gue deluan ya. Bye…." lanjutnya lagi sambil tertawa jahil. "Monyong lu. Ati-at
Gimana? Gimana? Udah lebam belom, Oppa?" Masih mau membrendelku dengan candaan mematikan? Sook. Hayyuk. Aku jabanin. Pintu terbuka. Lin Lin tampak berjalan sembari mengelus perut ratanya. Di tunggu dari tadi, nggak dateng-dateng. Masih asyik terapi sepupunya, dia malah nongol. Nggak seru kalau ada mata lain yang melihat. "Hallo. We kalamaan, ya? Bersihin perut ampe cling tadi, jadi lama. Oia, gimana kalau kita makan siang bareng sambil bahas ini di kantin, Kakak-kakak!" ajaknya masih berdiri di samping sofa memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Maaf, Lin. Sepertinya perut Kakak udah nggak sanggup dimasukin makanan lagi," balasku berusaha tenang dengan ikut mengelus perut seperti Lin Lin tadi. "Loh, kenapa? Bukannya belum makan siang ya, Kak?" Dia berjalan dan duduk di tangan sofa di sebelah sepupunya. "Kenyang minum ini," tunjukku pada gelas milk shake. "Minum gituan aja masak kenyang sih, Kak?" protes Lin Lin tak percaya. Memang sih, aku berkata kenyang karena ada satu
Garis lengkungan tertarik di bibirku. Sebuah balasan akhirnya masuk. Sebuah stiker. Aku cepat mengunduh stiker itu. 'Percuma dihapus, malaikat sudah mencatatnya'Hah? Hahahaha. Aku tertawa keras membaca balasan lucu darinya. Benar kan! Ia selalu dapat membuatku mati gaya dalam segala hal yang kulakukan. Baik itu disengaja maupun tak disengaja, dan itu lah yang membuatku selalu merindui kekonyolannya. Tak ingin kalah, aku kembali membalas pesan darinya. Sebuah stiker balasan ku kirim. 'Aku read aja biar kamu sakit hati'Tak berselang lama ia terlihat mengetik sesuatu. Aku menunggu dengan harap, kekonyolan apa lagi yang akan membuatku tertawa oleh tingkahnya. [Share lokasi, ribut kita.]Buahahahahaha. Ya Allah. Katanya ia mau cari ribut? Buahahahahaha. Tuhan ... sesenang ini aku menerima pesan darinya yang ngajak ribut. Jangankan ribut, Nona. Tawuran pun aku mau, asal bersama kamu. Hahaha. Selucu inikah rasanya jatuh cinta? Poying ... ah ... utung saja kamu jauh di sana, Nona. Jika
"Koko nggak keren loh, Kak. Buncit! Lagian ... wajahnya kurang menjual kalau di photo. Hahahaha." Lin Lin mengibaskan tangannya di udara dan malah tertawa ngakak karena sudah menghina koko-nya sendiri. Dasar! "Sama! We juga buncit!" balasku membusungkan perut yang six-pack. Kacau! Walau sudah digembungkan, tetap saja ia tak mau membuncit sempurna seperti miliknya Alex. Shit! "Nggak usah dipaksain. Nggak bakalan sama. We udah kroscek. Hahaha." Lin Lin menekan-nekan perutku dengan jari telunjuknya sembari tertawa lucu. Entah apa yang lucu di sana. "Terserah deh ... siapa yang mau Kakak jadiin pasangan. We nggak paksa dari agen we. Yang penting Kakak mau aja. Ya ya ya," sambungnya kembali dan terus saja membujukku. Lin Lin merampas kotak susu yang ada di tangan, karena aku berniat akan menuangkannya lagi ke dalam gelas. Ia menuangkan susu itu ke dalam gelas yang sudah aku gunakan karena terlalu malas untuk mengambil gelasnya sendiri. Huh, untung saja ia sepupu sendiri. Jika tidak, gel
"Ayo yooo ... siapa yang mau ngelamar siapa niiih?"Aku kaget dan menoleh ke sumber suara. Lin Lin? Kapan dia datang? Kenapa aku tak mendengar dia masuk ke ruangan ini? Perempuan berkulit putih dan bersih itu berjalan anggun mendekati sofa yang kami duduki. Sederhana namun terlihat berkelas. Baju kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kembang dengan sepatu bertumit. Rambutnya digulung seperti gulungan siput. Wanita ini begitu berkelas. "Alo kak Poyiiing. Pa kabar, Luuu?"Lin Lin semakin mendekat. Aku yang masih ngebug hanya duduk saja di sofa. Pantatku juga ikutan ngebug. Dia lengket tak mau berpindah, padahal Lin Lin sudah di hadapan dengan membuka tangannya untuk memelukku. Namun aku tak juga berdiri untuk menyambut wanita cantik itu. Lin Lin mengalah, ia gegas menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku yang masih menatapnya dalam diam. "Kangen deh ama kak Poying." Akhirnya ia yang duluan memelukku dalam duduk. Lin Lin juga mengelus punggung. Seperti tersadar, aku pun baru membalas
Jadi pasangan? Aku? Maksudnya? Sebentar ... sebentar. Ngebug—ngebleng—ngelag. Semua itu ada padaku gegara ucapan yang keluar dari mulut si ultrasound, prodak luar ini. Tugas dari Tuhan saja, kadang aku lalai. Laah, sekarang malah makhluk-Nya yang menambah-nambahi tugas, MIKIR KERAS! Tok tok tok! Suara ketukan di pintu kaca menyelamatkan diri sesaat dari pikiran berat. "Masuk," jawab Oppa mengalihkan pandangnya dari diriku. Pintu kaca itu bergerak pelan. Seseorang masuk, dan aku lihat itu adalah Jessica. "Maaf, Pak. Ini ...." Perkataan Jessica menggantung dan langkahnya mendadak terhenti. Ia mematung masih di dekat pintu. Wanita cantik itu memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Emm maaf, jika saya datang pada saat yang tidak tepat. Saya bisa datang lagi nanti, Pak," lanjutnya kemudian setelah diam beberapa detik. Sekretaris Oppa itu gegas memutar badannya hendak berlalu menuju pintu kembali, namun langkahnya lagi-lagi terhenti karena pria di depanku ini cepat menyapanya. "
"Buat apa kamu minta dia untuk tetap tinggal lagi di sini sih, Bim. Aneh kamu tuh! Biar aja dong dia pindah, kamu mau ibu sama mbak-mu dijadikannya babu terus di rumah kita sendiri? Udah ... cepetan diselesaikan sidang kalian, bener katanya kamu nggak usah datang, biar urusannya cepat kelar! Siap itu kamu bisa bebas, segera menikah dengan Susi.""Bener! Jauh Susi kemana-mana lah, Bim, dari kan perempuan ini! Kamu liat kan! Lelaki yang dikenalkan Susi sama Mbak! Nggak main-main," celetuk Mbak Yana menimpali ucapan ibunya. . . . "Aamiin, Mbak. Ibu do'ain semoga semuanya lancar, selancar jalan tol, bebas hambatan. Asal nggak nyungsep gegara licin. Hehehe," timpal bu Asih yang membawaku kembali dari ingatan seminggu yang lalu bersama mantan suami dan keluarganya. Kami terus bercanda di teras rumah, hingga hampir memasuki waktu azan magrib. Kami berempat gegas masuk ke dalam rumah. Aku berniat menutup pagar besi namun dari kejauhan aku melihat sesosok lelaki berkaca mata hitam dan ber
"Mana sisa uang gaji, Bima, Fir?" Ibu mas Bima seketika menodong ku ketika baru saja aku membawa tubuh ini keluar dari dalam kamar, setelah selesai salat subuh. "Ya, ampun. Masih pagi juga, Bu. Uang-uang aja sih yang di pikirin!" desis ku kesal pada wanita paruh baya di depan ku ini. "Suka-suka saya dong! Duit-duit saya.""Oh, suka-suka ibu, ya! Oke, sekarang saya pun mau suka-suka. Enyah dari rumah kontrakan ini. Angkatin semua barang-barang itu. Sekarang!"Bu Marni terpaku dan terdiam di tempatnya. Dia hanya melengos dan segera berlalu dari hadapanku. Cemen. Aku tak jadi keluar. Segera masuk lagi ke dalam kamar dan gegas menelepon orang yang akan membantu kami untuk pindahan. "Bang, sekarang bisa? Eneg aku udah di sini, Bang!" "Oke, Siap-siap aja-nya aku, Kak. Dua orang ku bawak kan?""Iya, bawak aja berapa yang ada pasukan Abang! Gampang itu, yang penting ongkang-ongkang kaki aja kami lagi. Terima bersih," pintaku pada bang Turnip. Selain menerima jual beli barang seken, ternya
"Tante Firda, itu mamanya Dini, kan?" Tiba-tiba Rara berkata sambil menunjuk seseorang di depan kami. Aku mengikuti arah telunjuk gadis kecil itu. Dan benar saja dari kejauhan aku melihat mbak Yana sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki tua yang cocok dipanggil kakek oleh anaknya. "Iya, Dek. Itu mamanya Dini," sambung Rahmat membenarkan ucapan adiknya. "Itu bukan papanya Dini kan, Tan?" kata Rahmat lagi kepadaku. Aku hanya berpandangan sesaat dengan bu Asih. Kemudian mengajak mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan wanita yang sudah berbelok masuk ke dalam gerai pakaian dalam itu. Mbak Yana dengan lelaki tua, sedangkan kemarin suaminya ada affair dengan wanita tua. Ck. Dini, please jangan copas kehidupan mama dan papa kamu ya. Batinku miris. Aku selesai makan. Pilihan kami jatuh pada gerai K*C. Semua menu yang disukai anak-anak ku pesan. Foya-foya sedikit tak apalah, mana tahu besok-besok oppa berkenan memberikan uangnya lagi dengan cuma-cuma buat anak-anak ini. H
Kursi yang sedang ku putar-putar ter-jungkang ke belakang karena keseimbangan ku goyah. Tak sampai disitu, map yang berada di atas meja ikutan jatuh dan menimpuk dahi, hingga ku lihat beribu bintang di kepala Arimbi yang menatap datar kepadaku. Aji gile. Serasa bumi tak berputar selama 5 detik. Hahahaha. Suara tawa menyusul dari berbagai penjuru mata angin. Suara insiden barusan mampu menghipnotis panca indra mereka untuk menyaksikan keadaanku yang menyedihkan ini. Syalan. Malunya saat ini pasti bakalan selalu teringat pas p*p, dan skincare-an. "Petakilan!" ucap Arimbi tanpa berniat membantuku. Padahal terjadinya kecelakaan beruntun ini, diakibatkan telingaku menangkap sebait kalimat pamungkas dari mulut mbak bestie. Sakit.Aku mencoba berdiri tanpa bantuan. Begitu melihat teman-teman yang masih terbahak menertawai keberuntunganku barusan, aku pun ikatan ngakak sambil melengos. Kedua tangan saling mengusap bokong dan dahiku secara bersamaan. Aku kembali teringat perkataan mbak best