"Tak apa, Nona Firda. Sengaja saya lebihkan, agar pak tua itu benar-benar tak lagi menggangu bu Asih dan anak-anak nya," jelasnya langsung mengerti, apa yang ingin aku katakan tadi. "Baik, Pak. Terima kasih. Tapi ...."Pak oppa mengernyitkan alis. Kembali ia menatap bingung atas ucapan yang menggantung dariku. "Tapi apa, Nona Firda? Kebanyakan? Nggak lah, itu sudah pantas buat lelaki seperti dia," ujarnya. "Bukan kebanyakan buat dia, Pak. Tapi kedikitan buat bu Asih. Hehehe," balasku dengan terkekeh. "Maksudnya? Saya benar-benar tidak mengerti.""Ya sudah, Pak. Gak papa. Saya bawa dulu ya, Pak. Urgent," pamitku. Pak Oppa masih terlihat ingin berkata, namun lagi-lagi terdengar suara ponsel yang berdering dalam genggaman. Ah, pasti itu istrinya yang mau lahiran anak kembar, hingga tak sabar dari tadi menelepon terus. Praduga tak bersalahku, mulai menguasai otak sebelah kiri. "Silahkan!" balasnya sembari mengangkat panggilan di ponselnya. Aku gegas menuju bu Asih dan Arimbi. Tapi
Mobil pick up yang membawa barang pindahan sudah sampai di depan rumahku. Hanya tinggal menurunkannya saja dari atas mobil tersebut. Bu Asih beserta anak-anak ikut naik di mobilnya Pak Oppa, sedangkan aku memilih naik motor bersama Arimbi. Setelah menurunkan bu Asih dan anak-anak, Pak Oppa segera pulang tanpa singgah terlebih dahulu, karena ada urusan yang lain. Itu lebih baik daripada entar aku harus memberi cerita tambahan kepada Arimbi. Supir dan kernet menurunkan barang dengan sigap dan gesit. Sebentar saja seluruh barang telah berpindah tempat di ruang tamu. Melihat barang yang hanya beberapa saja, membuat diri ini mengulum senyum lebih dalam lagi. Hihihi. Bagaimana tidak, barang tak sampai satu ton, tapi dipesankan mobil pengangkut untuk lima ton. Ada lawak-lawaknya. Hihihi. Arimbi membantuku membersihkan kamar depan yang memang sudah bersih. Namun, bukan Arimbi namanya jika tak membuat ulah. Ia melarutkan garam dengan air di dalam ember kecil, tak lupa ia cicipi. Hehe. Ke
"Silahkan masuk aja ke dalam, Bu ibu," tawar ku lagi, karena dengan melihat pasukan berdaster memenuhi rumahku, pasti ada yang tidak baik-baik saja. Apalagi bu RT telah turun perut, eh turun tangan maksudnya. "Oh, tidak usah, Mbak Fir, kami di teras ini saja," Bu Ratmi yang menjawab dengan kipas dari potongan kardus minuman yang stand by di tangan. Aneh, malam ini begitu dingin, namun kipas kardus masih bisa bermain di wajah dan lehernya. "Begini, Mbak Firda. Saya selaku bu RT yang menggantikan posisi suami jika dia mangkat—""Hah, mangkat? Innalillahi," ujarku spontan memotong ucapan bu RT karena benar-benar kaget. "Innalillahi? Siapa yang mati, Mbak?" Bu RT ikutan kaget dan melotot padaku. "Loh, tadi ibu bilang suaminya mangkat, berarti sudah meninggal, toh?" balasku menjelaskan. "El-laaah! Suami saya masih sehat bugar, Mbak. Napa ngomong gitu. Emang mangkat artine opo?" "Mangkat artine wes modar, Bu. Mod-dar," cicitku menekankan kata modar, arti dari kata mangkat. "Urong! Be
Arimbi telihat bersemangat hingga melompat-lompat seperti anak kecil di tempatnya. Kemudian ia menarik tubuh yang masih ngambang di tembok lalu mendorong punggung belakangku untuk menuju ke teras. "Sebentar, mo pipis dulu. Dredeg juga nih kandung kemih liat emak-emak nyerbu gue barusan," tutur ku dengan meraih ponsel yang tergeletak manja di lantai lalu menyodorkannya ke tangan Arimbi untuk dibawakan dulu. Tak menunggu balasan Arimbi. Cepat kakiku menderap langkah ke menuju kamar mandi untuk menuntaskan hajad yang ditahan-tahan sedari tadi. Tak butuh berlama-lama aku selesai dan segera keluar. Baru kusadari, ternyata dapurku sudah bersih dan wangi. Arimbi benar-benar bisa di andalkan dalam perbabuan. Seketika ada niatku untuk memintanya tinggal disini aja,?bareng bu Asih dan anak-anak. Sayang tenaganya jika dianggurin. Hahahaha. Eh, bu Asih dan anak-anak juga tak kelihatan dari tadi, baik di ruang tamu dan di dapur ini. Kemana mereka? Apa sudah masuk kamar? Jika iya, itu lebih bagu
Ya, masih ada video yang ku ambil sendiri sewaktu tak sengaja menumpang di mobil Oppa ketika pulang dari lembur. Aku memergoki Mas Adit dengan wanita yang sama, sedang makan di warung pecal lele di pinggir jalan. Tak sia-sia keisenganku merekam aksi cinta damai mereka, walau di palar dengan meminjam ponsel Pak Oppa, karena baterai ponselku yang habis kala itu. Di video lainnya juga ada, dimana Mas Adit yang sedang melingkarkan tangannya di pundak wanita itu, sedangkan si wanita membalas dengan mencium pipi Mas Adit. Ini adalah hasil investigasi ku ketika secara tak sengaja melihat Mas Adit yang sedang jalan bergandengan dengan wanita itu di mall pada sebuah gerai perhiasan. "Oh, masih ada yang lain?" sahut bu Darmi ketika ku selesai memekikkan tawaran video lain pada Mas Bima. "Tentu ada, Bu!" balasku bersemangat. "Kok bisa ada video seperti itu sama Mbak Firda?" Bu Caca bertanya kepo. "Oh, kalau itu dari sumber yang terpercaya saja, Bu Caca," ujarku tak ingin memberitahukan dar
Susi yang ditegur tiba-tiba menegakkan kepalanya cepat. Seketika ia terdiam, tak menyangka jika aksi buka suaranya malah membuatnya menjadi pasakitan dan terpojok. "Yasudah, urusan kita belakangan! Sekarang, biar urusan saya dengan warga saya yang jelas dulu KTPnya," lanjut bu RT kembali ke inti permasalahan sembari mengibaskan tangannya di udara. Susi melirikku dengan tatapan sinis dan mulut yang mengatup rapat. Aku hanya membalas ringan dengan tersenyum dan tak lupa menjulurkan lidah keluar. Week. Hahahaha. semak belukar menjerit dalam diam. "Baik, Mbak Firda. Gimana? Mau di sumpah duluan?" tawar bu RT yang membuatku gelagapan karena lidah ku masih berada di luar. "Eh, nggak masalah, Bu RT. Aman itu. Mau sumpah model apa, Bu? Sumpah palapa, sumpah pemuda, sumpah pramuka, sumpah pocong, tuyul pun hayyuk," godaku pada wanita lima puluh dua tahun itu yang disambut dengan cekikian dari diri dan teman-teman seangkatannya. Tanpa balasan, aku gegas berdiri dan mendekatkan diri ini kep
Jgeeer. Duar. Tik. Tritik. Kilatan listrik di langit disertai bunyi gemuruh berkolaborasi dengan suara rintik hujan. Satu per satu suara rintik yang bertemu dengan seng rumah, bagaikan bilah-bilah piano yang sedang mengeluarkan suaranya. Masih rintik, hanya tinggal menunggu curah lebatnya saja. Walau mata dan tanganku serius bermain pada ponsel Mas Bima, namun sesekali pandanganku masih awas memperhatikan sekeliling. Para tetangga yang masih tersisa segera membubarkan diri dikarenakan hujan yang sudah mulai turun. Ibu Mas Adit juga terlihat meninggalkan rumahku. Ia berlari cepat menuju rumah anak mantunya. Sepertinya wanita itu takut meraga sukma lagi akibat tingkah abstrak dadakan ku seperti kejadian tempo hari, hingga memutuskan untuk pulang duluan. Bu RT dan teman-temannya terlihat biasa saja dalam duduk mereka. Seperti tak terpengaruh walau hujan badai, angin ribut, halilintar, menghantam rumah kontrakan ini. "Bu ibu terima kasih ya, karena sudah mau membantu saya mengamankan
"Bu ... Mbak Yana, bertaubatlah! Minta ampun pada Yang Maha Kuasa atas sumpah palsu yang telah kalian ikrar kan barusan. Allah maha pengampun jika kita menyegerakan taubat atas dosa dan kesalahan. Jika tidak, memang bukan sekarang ... tapi takutnya azab mulai mencari jalannya untuk menemui si pemilik kemarahan sang Empu kehidupan, yaitu kalian!"Aku berkata sambil menyerahkan ponsel ke tangan Susi yang hanya memasang tampang lawak-lawak dari tadi. Mbak Yana yang menyadari ponselnya baru saja di kembalikan ke tangan Susi tampak bingung. Ia meraba-raba kantung celana yang digunakannya dengan cepat. Ternyata wanita itu benar-benar tak menyadari jika benda pipih nya tadi sempat ku sita. "Oi, Mbak. Jangan suka mempersulit hidup orang lain apalagi berani sumpah palsu. Entar dikutuk orang di azab lagi sama Tuhan, belanja sho*ee nggak dapat gratis ongkir seumur hidup! Mau?!"Aku hendak berbalik setelah ngata-ngatai mantan iparku itu. "Apa hubungannya, emang dasar sintin*!" balas Susi. Ucapa
Gimana? Gimana? Udah lebam belom, Oppa?" Masih mau membrendelku dengan candaan mematikan? Sook. Hayyuk. Aku jabanin. Pintu terbuka. Lin Lin tampak berjalan sembari mengelus perut ratanya. Di tunggu dari tadi, nggak dateng-dateng. Masih asyik terapi sepupunya, dia malah nongol. Nggak seru kalau ada mata lain yang melihat. "Hallo. We kalamaan, ya? Bersihin perut ampe cling tadi, jadi lama. Oia, gimana kalau kita makan siang bareng sambil bahas ini di kantin, Kakak-kakak!" ajaknya masih berdiri di samping sofa memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Maaf, Lin. Sepertinya perut Kakak udah nggak sanggup dimasukin makanan lagi," balasku berusaha tenang dengan ikut mengelus perut seperti Lin Lin tadi. "Loh, kenapa? Bukannya belum makan siang ya, Kak?" Dia berjalan dan duduk di tangan sofa di sebelah sepupunya. "Kenyang minum ini," tunjukku pada gelas milk shake. "Minum gituan aja masak kenyang sih, Kak?" protes Lin Lin tak percaya. Memang sih, aku berkata kenyang karena ada satu
Garis lengkungan tertarik di bibirku. Sebuah balasan akhirnya masuk. Sebuah stiker. Aku cepat mengunduh stiker itu. 'Percuma dihapus, malaikat sudah mencatatnya'Hah? Hahahaha. Aku tertawa keras membaca balasan lucu darinya. Benar kan! Ia selalu dapat membuatku mati gaya dalam segala hal yang kulakukan. Baik itu disengaja maupun tak disengaja, dan itu lah yang membuatku selalu merindui kekonyolannya. Tak ingin kalah, aku kembali membalas pesan darinya. Sebuah stiker balasan ku kirim. 'Aku read aja biar kamu sakit hati'Tak berselang lama ia terlihat mengetik sesuatu. Aku menunggu dengan harap, kekonyolan apa lagi yang akan membuatku tertawa oleh tingkahnya. [Share lokasi, ribut kita.]Buahahahahaha. Ya Allah. Katanya ia mau cari ribut? Buahahahahaha. Tuhan ... sesenang ini aku menerima pesan darinya yang ngajak ribut. Jangankan ribut, Nona. Tawuran pun aku mau, asal bersama kamu. Hahaha. Selucu inikah rasanya jatuh cinta? Poying ... ah ... utung saja kamu jauh di sana, Nona. Jika
"Koko nggak keren loh, Kak. Buncit! Lagian ... wajahnya kurang menjual kalau di photo. Hahahaha." Lin Lin mengibaskan tangannya di udara dan malah tertawa ngakak karena sudah menghina koko-nya sendiri. Dasar! "Sama! We juga buncit!" balasku membusungkan perut yang six-pack. Kacau! Walau sudah digembungkan, tetap saja ia tak mau membuncit sempurna seperti miliknya Alex. Shit! "Nggak usah dipaksain. Nggak bakalan sama. We udah kroscek. Hahaha." Lin Lin menekan-nekan perutku dengan jari telunjuknya sembari tertawa lucu. Entah apa yang lucu di sana. "Terserah deh ... siapa yang mau Kakak jadiin pasangan. We nggak paksa dari agen we. Yang penting Kakak mau aja. Ya ya ya," sambungnya kembali dan terus saja membujukku. Lin Lin merampas kotak susu yang ada di tangan, karena aku berniat akan menuangkannya lagi ke dalam gelas. Ia menuangkan susu itu ke dalam gelas yang sudah aku gunakan karena terlalu malas untuk mengambil gelasnya sendiri. Huh, untung saja ia sepupu sendiri. Jika tidak, gel
"Ayo yooo ... siapa yang mau ngelamar siapa niiih?"Aku kaget dan menoleh ke sumber suara. Lin Lin? Kapan dia datang? Kenapa aku tak mendengar dia masuk ke ruangan ini? Perempuan berkulit putih dan bersih itu berjalan anggun mendekati sofa yang kami duduki. Sederhana namun terlihat berkelas. Baju kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kembang dengan sepatu bertumit. Rambutnya digulung seperti gulungan siput. Wanita ini begitu berkelas. "Alo kak Poyiiing. Pa kabar, Luuu?"Lin Lin semakin mendekat. Aku yang masih ngebug hanya duduk saja di sofa. Pantatku juga ikutan ngebug. Dia lengket tak mau berpindah, padahal Lin Lin sudah di hadapan dengan membuka tangannya untuk memelukku. Namun aku tak juga berdiri untuk menyambut wanita cantik itu. Lin Lin mengalah, ia gegas menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku yang masih menatapnya dalam diam. "Kangen deh ama kak Poying." Akhirnya ia yang duluan memelukku dalam duduk. Lin Lin juga mengelus punggung. Seperti tersadar, aku pun baru membalas
Jadi pasangan? Aku? Maksudnya? Sebentar ... sebentar. Ngebug—ngebleng—ngelag. Semua itu ada padaku gegara ucapan yang keluar dari mulut si ultrasound, prodak luar ini. Tugas dari Tuhan saja, kadang aku lalai. Laah, sekarang malah makhluk-Nya yang menambah-nambahi tugas, MIKIR KERAS! Tok tok tok! Suara ketukan di pintu kaca menyelamatkan diri sesaat dari pikiran berat. "Masuk," jawab Oppa mengalihkan pandangnya dari diriku. Pintu kaca itu bergerak pelan. Seseorang masuk, dan aku lihat itu adalah Jessica. "Maaf, Pak. Ini ...." Perkataan Jessica menggantung dan langkahnya mendadak terhenti. Ia mematung masih di dekat pintu. Wanita cantik itu memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Emm maaf, jika saya datang pada saat yang tidak tepat. Saya bisa datang lagi nanti, Pak," lanjutnya kemudian setelah diam beberapa detik. Sekretaris Oppa itu gegas memutar badannya hendak berlalu menuju pintu kembali, namun langkahnya lagi-lagi terhenti karena pria di depanku ini cepat menyapanya. "
"Buat apa kamu minta dia untuk tetap tinggal lagi di sini sih, Bim. Aneh kamu tuh! Biar aja dong dia pindah, kamu mau ibu sama mbak-mu dijadikannya babu terus di rumah kita sendiri? Udah ... cepetan diselesaikan sidang kalian, bener katanya kamu nggak usah datang, biar urusannya cepat kelar! Siap itu kamu bisa bebas, segera menikah dengan Susi.""Bener! Jauh Susi kemana-mana lah, Bim, dari kan perempuan ini! Kamu liat kan! Lelaki yang dikenalkan Susi sama Mbak! Nggak main-main," celetuk Mbak Yana menimpali ucapan ibunya. . . . "Aamiin, Mbak. Ibu do'ain semoga semuanya lancar, selancar jalan tol, bebas hambatan. Asal nggak nyungsep gegara licin. Hehehe," timpal bu Asih yang membawaku kembali dari ingatan seminggu yang lalu bersama mantan suami dan keluarganya. Kami terus bercanda di teras rumah, hingga hampir memasuki waktu azan magrib. Kami berempat gegas masuk ke dalam rumah. Aku berniat menutup pagar besi namun dari kejauhan aku melihat sesosok lelaki berkaca mata hitam dan ber
"Mana sisa uang gaji, Bima, Fir?" Ibu mas Bima seketika menodong ku ketika baru saja aku membawa tubuh ini keluar dari dalam kamar, setelah selesai salat subuh. "Ya, ampun. Masih pagi juga, Bu. Uang-uang aja sih yang di pikirin!" desis ku kesal pada wanita paruh baya di depan ku ini. "Suka-suka saya dong! Duit-duit saya.""Oh, suka-suka ibu, ya! Oke, sekarang saya pun mau suka-suka. Enyah dari rumah kontrakan ini. Angkatin semua barang-barang itu. Sekarang!"Bu Marni terpaku dan terdiam di tempatnya. Dia hanya melengos dan segera berlalu dari hadapanku. Cemen. Aku tak jadi keluar. Segera masuk lagi ke dalam kamar dan gegas menelepon orang yang akan membantu kami untuk pindahan. "Bang, sekarang bisa? Eneg aku udah di sini, Bang!" "Oke, Siap-siap aja-nya aku, Kak. Dua orang ku bawak kan?""Iya, bawak aja berapa yang ada pasukan Abang! Gampang itu, yang penting ongkang-ongkang kaki aja kami lagi. Terima bersih," pintaku pada bang Turnip. Selain menerima jual beli barang seken, ternya
"Tante Firda, itu mamanya Dini, kan?" Tiba-tiba Rara berkata sambil menunjuk seseorang di depan kami. Aku mengikuti arah telunjuk gadis kecil itu. Dan benar saja dari kejauhan aku melihat mbak Yana sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki tua yang cocok dipanggil kakek oleh anaknya. "Iya, Dek. Itu mamanya Dini," sambung Rahmat membenarkan ucapan adiknya. "Itu bukan papanya Dini kan, Tan?" kata Rahmat lagi kepadaku. Aku hanya berpandangan sesaat dengan bu Asih. Kemudian mengajak mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan wanita yang sudah berbelok masuk ke dalam gerai pakaian dalam itu. Mbak Yana dengan lelaki tua, sedangkan kemarin suaminya ada affair dengan wanita tua. Ck. Dini, please jangan copas kehidupan mama dan papa kamu ya. Batinku miris. Aku selesai makan. Pilihan kami jatuh pada gerai K*C. Semua menu yang disukai anak-anak ku pesan. Foya-foya sedikit tak apalah, mana tahu besok-besok oppa berkenan memberikan uangnya lagi dengan cuma-cuma buat anak-anak ini. H
Kursi yang sedang ku putar-putar ter-jungkang ke belakang karena keseimbangan ku goyah. Tak sampai disitu, map yang berada di atas meja ikutan jatuh dan menimpuk dahi, hingga ku lihat beribu bintang di kepala Arimbi yang menatap datar kepadaku. Aji gile. Serasa bumi tak berputar selama 5 detik. Hahahaha. Suara tawa menyusul dari berbagai penjuru mata angin. Suara insiden barusan mampu menghipnotis panca indra mereka untuk menyaksikan keadaanku yang menyedihkan ini. Syalan. Malunya saat ini pasti bakalan selalu teringat pas p*p, dan skincare-an. "Petakilan!" ucap Arimbi tanpa berniat membantuku. Padahal terjadinya kecelakaan beruntun ini, diakibatkan telingaku menangkap sebait kalimat pamungkas dari mulut mbak bestie. Sakit.Aku mencoba berdiri tanpa bantuan. Begitu melihat teman-teman yang masih terbahak menertawai keberuntunganku barusan, aku pun ikatan ngakak sambil melengos. Kedua tangan saling mengusap bokong dan dahiku secara bersamaan. Aku kembali teringat perkataan mbak best