Satya dan Clara pun menghabiskan waktu mereka dengan menonton bioskop hingga pukul sebelas malam. Kemudian dilanjut dengan makan lagi karena Satya kembali lapar, pasalnya tadi dia hanya menikmati makanan sedikit saja.
Mereka pun kembali makan malam dengan memesan makanan di restoran cepat saji yang masih buka selama dua puluh empat jam. Tentunya dengan kebersihan yang selalu terjaga juga kualitas makanannya yang sudah pasti terjamin.
“Sayang, aku boleh nggak minta uangnya untuk keperluan perawatan kuku. Sebulan nggak ketemu kamu, kuku aku juga belum dirawat nih,” pintanya dengan manja seraya memperlihatkan kuku-kukunya yang belum sempat perawatan.
“Aduh … kasihan sekali, Sayang. Sekali lagi maaf, ya. Aku janji deh, setelah ini kamu nggak akan pernah lagi sampai tak terurus seperti ini,” sahut Satya yang merasa bersalah karena telah mengabaikan kebutuhan Clara. Padahal dia hanya kekasih dan justru malah istrinya yang kini Satya abai
Keesokan harinya, Satya sudah bersiap dengan baju cassualnya. Parfum di tubuhnya menguar hingga menusuk indera penciuman Ayumi yang tengah memasak untuk sarapan. Karena masakan semalam sudah basi dan akhirnya terbuang dengan percuma. Bahkan Satya tak menyentuhnya sama sekali. Dia pulang langsung masuk kamar dan tidur.Padahal Ayumi memasak makanan kesukaan suaminya.“Mas semalam ke mana? Kenapa pulang larut malam sekali? Ini juga masih pagi-pagi sudah beres saja? Ada acara apa memang? Libur kan?” Ayumi terus memberondong Satya yang tengah meneguk segelas air itu dengan berbagai pertanyaan.Satya melepas gelasnya dari bibir tipisnya. Kedua mata elangnya menatap Ayumi dengan sengit. “Bukan urusanmu!”Jawaban yang cukup singkat. Namun mewakili semua pertanyaan yang Ayumi lontarkan. Bahkan suara gelas yang diletakkan dengan kasar itu mampu menggores luka di hati Ayumi.“Tapi aku istrimu, Mas. Aku berhak tahu ke mana kamu pergi dan urusan apa saja,” sahut Ayumi yang masih penasaran. Dia in
Sepanjang jalan, mereka pun saling diam. Hanya sesekali berbicara, itu pun jika Satya yang bertanya terlebih dahulu. Ayumi tak banyak bercerita, takut salah ucap dan mendapat bentakan dari Satya yang akan semakin membuat hatinya tak suka. Lebih baik dia diam meski tak nyaman.“Minggu depan aku ada urusan ke luar kota selama tiga hari,” ujar Satya tanpa menoleh ke arah Ayumi yang duduk di sebelahnya.“Iya,” sahutnya singkat dengan tatapan terus mengarah pada layar ponselnya yang tengah menampilkan pesan dari Sita.“Kalau diajak ngobrol sama suami itu yang fokus!” bentak Satya dengan kesal.Membuat Ayumi langsung mematikan layar ponsel dan mengembuskan napas panjang. Ada sedikit rasa jengkel di hatinya. Namun lagi-lagi dia memilih diam dan beristighfar.“Aku dengar kok, Mas. Nggak perlu kamu teriak-teriak,” sahutnya setenang mungkin agar Satya tak semakin marah padaya.“Dibilangin nggak usa
“Satya, nggak sopan kamu, Nak!” Hadi Wijaya menatap anaknya sedikit tidak suka karena menyemburkan minuman di hadapan ayahnya sendiri.“Emm ... maaf, Ayah. Nggak sengaja,” sahutnya dengan kepala tertunduk. Merasa bersalah atas tindakannya tadi.“Lain kali jangan diulangi.”“Iya, Ayah. Maaf ....”“Lagian kenapa sih? Kalian kok kayak orang kaget gitu Ayah tanyakan tentang anak? Kalian nggak menunda kan?” Hadi Wijaya menatap keduanya penuh selidik.Keduanya saling melempar pandang sesaat. Lalu Ayumi menatap ayah mertuanya dan menggeleng.“Nggak kok, Ayah. Terserah Allah saja mau kasihnya cepat atau nanti,” jawab Ayumi berusaha tenang dengan senyuman. Sedikit kikuk karena mendadak suasana menegang.“Betul apa kata Ayumi, Ayah. Kita sebagai manusia kan hanya bisa berusaha. Untuk hasil akhirnya tetap Allah yang menentukan kan?”Mendengar setiap kalima
“Sayang, kamu ke mana aja sih? Kok telepon aku baru dijawab?”Suara Clara dari seberang sana terdengar merajuk karena teleponnya tidak kunjung dijawab oleh Satya.“Maaf, Sayang. Kan tadi aku sudah kasih tahu sama kamu kalau aku dan Ayumi itu malam ini nginep di rumah Ayah. Jadi, ya … aku nggak bisa bebas hubungin kamu kalau ada Ayah. Takutnya nanti kita ketahuan. Aku nggak mau disuruh pisah lagi sama kamu.” Satya menjelaskan alasannya dia tidak kunjung menjawab telepon juga pesan dari Clara.Terdengar helaan napas panjang dan sedikit kasar dari seberang telepon.“Kapan sih kita bisa bebas pacarana lagi kayak dulu, Sayang? Aku capek begini terus.”Kali ini Satya yang mengembuskan napas panjang seraya mengusap wajahnya sedikit kasar.“Sabar dulu, Sayang. Aku juga lagi berusaha biar semua harta yang Ayah berikan untuk Ayumi bisa jatuh ke tanganku.” Satya memelankan cara bicaranya sambil menoleh ke arah sang Istri yang tengah berbaring memunggunginya di atas tempat tidur. Khawatir jika Ay
Tak ingin berdebat lagi, meski kesal, Ayumi pun menuruti apa yang diinginkan suaminya. Dia sendiri tak ingin peduli jika suaminya itu bohong padanya. Karena dia tahu jika Satya sebenarnya pergi berlibur dengan Clara. Bukan karena urusan bisnis.Makanya saat Satya memberitahunya, dia biasa saja. Justru malah kesal dibuatnya. Diam-diam dia menyadap aplikasi chat suaminya. Dan bodohnya, Satya tidak menyadari itu.Benar. Saat sampai di pertigaan jalan besar itu, Ayumi diturunkan di sana. Tanpa peduli bagaimana nanti istrinya sampai di apartemen, Satya langsung melajukan mobilnya ke arah bandara.“Astaghfirullah … sabarkan Ya Allah … lapangkan hatiku …,” gumam Ayumi menatap mobil suaminya yang semakin menjauh.Dia pun lantas mengeluarkan ponselnya dan memesan ojek online. Selang beberapa menit, ojek online pesanannya pun datang.“Mbak Ayumi?” tanyanya memastikan.“Iya, Mas betul. Mas Tono, ya.&rd
Setibanya di rumah sakit, Sita pun langsung mengentikan mobilnya tepat di depan pintu ruang IGD dan memanggil suster.“Sus, teman saya pingsan di mobil. Tolong, tolong!” pintanya dengan panik sampai tubuhnya gemetar. Sungguh, dia takut terjadi sesuatu pada Ayumi.“Baik, baik.”Suster pun bergegas membawa brankar dan memindahkan tubuh lemas Ayumi di atas brankar dan mendorongnya memasuki ruang IGD untuk segera dilakukan Tindakan.Saat Sita ingin ikut masuk, dia dicegah dan diarahkan untuk mendaftarkan Ayumi terlebih dahulu di bagian pendaftaran.“Maaf, Mbak. Mbak lebih baik daftarkan pasien dulu, ya. Biar kami lakukan penanganan pada pasien,” ujar suster yang menahan langkah Sita di ambang pintu masuk ruang IGD.“Oh, iya, Sus. Tapi tolong tangani sahabat saya, ya, Sus,” pinta sungguh-sungguh.“Iya, Mbak. Itu sudah menjadi tugas kami. Silakan!” telapak tangan suster tersebut me
Perempuan yang wajahnya tidak asing bagi Satya itu tersenyum dengan manis. Bahkan dia mengulurkan tangannya yang terlihat mulus meski bulu di tangannya sedikit panjang. Tidak mulus seperti perempuan pada umumnya. Namun, bagi Satya itu uniknya.“Ay,” panggilnya pelan dengan tatapan yang tak lepas dari perempuan yang baru saja menabraknya hingga tersungkur itu.“Sekali lagi saya minta maaf, ya, Mas.” Ucapan perempuan itu dan tepukan di bahu Satya membuat laki-laki berusia dua puluh delapan tahun itu mengerjapkan kedua matanya. Lamunannya pun tersadar.Dia mendadak seperti orang linglung. Setelah perempuan itu berlalu, dia baru sadar jika perempuan tadi sedikit mirip dengan sang Istri, Ayumi.“Sayang, kenapa kamu lihatin cewek tadi gitu banget sih? Udah mulai genit kamu, ya? Mana panggil-panggil nama Ayumi? Kamu sudah mulai cinta sama dia?”Satya pun mulai panik saat mendengar serentetan kalimat tanya yang dilontarkan oleh bibir tipis Clara.“Hei, tenang dulu,” katanya dengan lembut. Dia
Setelah beberapa kali berperang dengan hatinya, Sita pun akhirnya memberanikan diri untuk menjawab telepon dari Hadi Wijaya. Dia harus tahu bagaimana kondisi Ayumi yang sebagai anak mantunya sekarang. Ayumi tidak punya keluarga selain anak-anak dan pengurus di panti ashuan, dirinya, juga keluarga dari pihak suami.“Halo, assalamu’alaikum,” sapa Sita dengan suara yang sedikit gemetar.[“Wa’alaikumsalam. Ay, kok suara kamu ….”] Hadi Wijaya mulai bingung karena suara Ayumi yang biasanya terdengar lembut berubah menjadi sedikit grusukan dan sedikit cempreng.“Maaf, Pak Hadi. Ini Sita, temannya Ayumi,” jawabnya semakin cemas. Beberapa kali dia menoleh ke arah Ayumi. Berharap sahabatnya itu membuka mata dan bisa bicara sendiri dengan ayah mertuanya. Namun nyatanya, Ayumi masih tetap memejamkan kedua matanya. Padahal sudah satu jam lebih Ayumi tertidur.[“Oh, Sita. Kok ponsel Ayumi sama kamu? Di mana d
Satya pun tiba di rumah Clara dan langsung menemani kekasihnya itu berbelanja sekalian jalan-jalan di mall.“Maaf, ya. Kamu jadi nunggu lama,” ujarnya dengan perasaan bersalah. Kemudian mengecup kening Clara dengan lembut.“Memang macet banget tadi di jalan?”“Iya, Sayang. Tadi juga ada beberapa hal penting yang harus aku urus sebelum pulang. Maaf, ya,” katanya lagi sambil menatap wajah kekasihnya dengan harapan bisa dimaafkan.“Iya, iya. Aku maafkan. Tapi jadi kan kamu temani aku belanja?” tanyanya membalas tatapan Satya.“Jadi dong pasti! Kan aku memang sudah meluangkan waktu untuk kamu,” sahutnya dengan senyum merekah.“Tapi, istri kamu itu nggak tahu kan kalau kita pergi?” Dia kembali melayangkan pertanyaan dengan nada sinis.Satya menggeleng. Kemudian merangkul bahu Clara dengan mesra. “Nggak, Sayang. Ya udah yuk nanti keburu malam. Katanya mau belanja!” ajaknya dan langsung menuntunnya memasuki mobil.Mereka pun melaju kea rah mall besar yang menjual barang-barang branded kesuk
Ayumi sendiri memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan ojek online. Padahal, Satya menunggunya di mobil. Laki-laki itu merasa bersalah karena melihat Ayumi menangis.Entah kenapa, air mata Ayumi kali ini baru berhasil menggugah hatinya.Dia pun membuntuti Ayumi dari belakang saat ojek online yang ditumpangi istrinya itu tidak berbelok ke arah apartemen miliknya. Tapi ke panti asuhan tempat istrinya dibesarkan.“Ngapain dia ke sini?” gumamnya sambil terus memperhatikan langkah sang Istri yang turun dari motor dan memasuki area panti asuhan yang sekarang bisa menampung dua ratus orang lebih.Bangunannya sudah lebih besar dan lebih bagus karena sumbangan dari Hadi Wijaya yang merupakan donatur utama di panti asuhan tersebut.Satya pun ikut turun setelah memastikan Ayumi masuk. Kemudian diam-diam mengikuti langkah Ayumi yang langsung dikerubungi anak-anak kecil.Senyum Ayumi merekah setelah bertemu dengan anak-anak kecil yang ada di panti asuhan.“Mbak ada bawa mainan sama jajan buat
Sita pun menyusul Ayumi ke mobil yang ada di parkiran setelah membayar sejumlah uang di kasir. Dia menatap Ayumi yang tengah berjongkok di samping mobil dengan bahunya yang bergetar. Lalu mendekatinya.“Ay,” panggilnya pelan. Ayumi pun menolah dengan wajahnya yang basah karena air mata. Kemudian merengkuh sahabatnya ke dalam pelukannya. Dia membiarkan sahabatnya meluapkan kesedihannya selama beberapa saat. Hingga hampir sepuluh menit Ayumi baru reda tangisnya.“Balik ke kantor, yuk! Kita sudah terlambat,” katanya dengan terbata-bata. Karena masih menyisakan isak tangis.“Kamu nggak apa-apa? Atau mau aku antar ke apartemen saja? Biar kamu bisa istirahat,” tawar Sita menatap sahabatnya dengan cemas. Khawatir terjadi sesuatu dengan sahabat yang sudah dia anggap seperti saudara sendiri itu.Ayumi menggeleng pelan. Meski sorot matanya masih terlihat sayu juga sedikit bengkak karena baru saja menangis. “Aku nggak apa-apa kok, Ta. Udah, yuk!”Sita menganggukkan kepalanya. Lalu menekan kunci
Begitu juga dengan Sita. Dia tak kalah terkejutnya, sama halnya dengan Ayumi. Kedua matanya menatap wajah Aditya dengan perasaan heran juga penasaran denga napa yang menjadi alasan dokter muda itu batal menikah. Biar bagaimana pun, dia tahu banyak tentang kisah cinta mereka. Saling mengagumi dalam diam hingga menjalin kedekatan dan berniat meneruskan hubungan mereka ke hubungan yang lebih serius lagi. Sayang, orang tua Aditya tidak merestui hubungan keduanya hanya karena Ayumi dibesarkan di panti asuhan yang asal-usulnya saja tidak jelas. Dan berakhir dengan perjodohan Aditya dengan anak dari salah satu rekan bisnis ayahnya. “Kenapa, Mas?” Pertanyaan itu keluar secara spontan dari mulut Sita. Lalu perempuan itu membekap mulutnya yang lancing. “Maaf … ma-maksudku-“ “Tidak apa. Mungkin pertanyaan itu juga turut mewakili Ayumi,” sahutnya santai. Namun tatapannya terus mengarah pada Ayumi yang sejak tadi menundukkan kepalanya sambil memainkan jari-jemarinya yang lentik. Perempuan itu
Ayumi yang merasa sudah tidak sanggup lagi menahan perasaannya pun memilih mencurahkan apa yang terjadi dengan pernikahannya pada Sita.Karena dia yakin, sahabatnya itu bisa menjaga rahasia. Dia sudah mengenal Sita sejak mereka kecil dan hidup bersama di panti asuhan.Saling berbagi apapun yang mereka miliki. Dan saling berbagi keluh kesah. Dari kecil hingga mereka dewasa.“Ay, kamu nggak lagi bercanda kan?” Sita kembali malayangkan pertanyaan untuk memastikan apa yang dia dengar dari sahabatnya itu adalah hal kebenaran.Ayumi mengangguk lemah. “Aku sebenarnya sudah lelah dengan semua sandiwara ini, Ta. Tapi aku nggak tahu harus bagaimana,” jawab pelan. Nafsu makannya tiba-tiba lenyap entah ke mana.Pandangannya menerawang pada kedua angsa yang masih berenang bersama. Menikmati romansa yang tercipta tanpa merasa terganggu dengan suasana yang ada.“Sudah lima bulan kalian menikah dan kamu masih perawan? Apa Pak Satya sama sekali tidak penasaran? Tidak tertarik padamu? Itu mustahil, Ay!
Beberapa hari berlalu, Ayumi yang merasa sudah membaik pun masuk ke kantor karena jenuh di apartemen. Merasa bosan karena tidak ada tetangga atau siapapun yang bisa diajak untuk mengobrol. “Mau ke mana dandan rapi begitu?” tanya Satya dengan tatapan sinis. “Aku ikut ke kantor, ya, Mas. Bosan di rumah,” pintanya menatap suaminya dengan penuh harap. “Ck, ke kantor kok Cuma bosan. Ke kantor itu kerja,” cibirnya. Ayumi mengembuskan napas panjang. “Ya memang mau kerja, Mas. Kan selama beberapa hari ini aku juga kerja meski hanya di rumah.” Dia kembali menjadi Ayumi yang cerewet. Moodnya benar-benar kembali setelah bertemu dengan Aditya. Entah karena apa. “Ya sudah, ayo! Aku sudah telat,” tukasnya. Lalu berjalan terlebih dulu menuju lift. Ayumi pun mengikuti langkahnya dan mengunci pintu apartemennya terlebih dulu. Kemudian menyusul suaminya. Sesampainya di parkiran, mereka pun melangkah bersama menuju mobil. Meski tidak sempat bergendengan tangan dan bertukar kata mesra, tapi entah k
Aditya pun terkesiap dengan jawaban dan tingkah laku Satya. Karena baginya, apa yang katakana tadi adalah hal umum yang dia ucapkan juga pada pasien lain saat mereka telah selesai menjalani perawatan di rumah sakit.Cemburu? Mungkinkah? Memangnya dia tahu kalau aku pernah ada hubungan dengan Ayumi? Apa mungkin Ayumi yang memberitahunya?Dia hanya bisa menerka-nerka dalam hati. Hingga tepukan dari Hadi Wijaya membuatnya terkesiap.“Maafkan anak saya, Dok. Mungkin dia sedang cemburu karena istrinya diperhatikan oleh dokter tampan dan muda seperti Anda,” kekeh Hadi Wijaya.“Oh, maaf, Pak jika begitu. Tapi saya memang selalu mengingatkan hal tersebut pada semua pasien yang hendak pulang setelah dirawat di sini,” katanya sedikit tidak enak hati.“Nggak apa. Saya rasa itu juga hal yang wajar diucapkan oleh dokter. Kalau begitu saya pamit dulu. Terima kasih,” ucap Hadi Wijaya menjabat tangan Aditya.“Baik, Pak. Sama-sama dan hati-hati di jalan,” sahutnya dengan senyum ramah seperti biasa. La
Jelas saja dia tidak ingin berpisah dengan Ayumi. Karena jika berpisah, maka dia juga akan kehilangan harta kekayaan yang sudah ayahnya titipkan atas nama Ayumi.Jadi, dia ingin membebaskan istrinya menjalin hubungan dengan siapapun. Seperti dirinya yang menjalin hubungan dengan kekasihnya, Clara. Karena mereka hanya suami istri di atas kertas. Itu yang ada di pikiran Satya kali ini.“Lupakan!” tukasnya sambil mengibaskan telapak tangannya di depan wajahnya.“Aneh kamu, Mas,” sahut Ayumi.“Kamu kapan boleh pulang? Bosan aku di sini,” tanyanya menatap sang Istri yang menggelengkan kepalanya.“Nggak tahu. Tadi nggak tanya sama dokternya.”“Males!” sahutnya singkat. Lalu berdiri dari posisinya dan beranjak keluar ruangan untuk menghirup udara segar. Karena mendadak hatinya terasa sesak saat mengingat jika dokter muda itu adalah masa lalu dari Ayumi.Hai, kenapa kamu, Satya? Apa kamu sudah memiliki rasa pada istrimu sehingga kamu merasa cemburu saat istrimu dekat dengan masa lalunya?Ayum
Satya memperhatikan penampilan dokter muda yang memiliki mata sipit berkulit putih itu. Terlihat kalem dan berwibawa.“Iya,” sahutnya singkat. Dengan senyum yang dipaksakan.“Boleh saya duduk di sini?” tanyanya menunjuk satu kursi di hadapan Satya yang kosong.“Oh, boleh saja. Ini tempat umum. Tapi saya hanya menunggu kopi, setelahnya saya akan kembali ke ruang rawat istri saya,” katanya dengan menekankan kata dua kata terakhirnya.“Oh iya. Silakan. Ayumi memang harus lebih banyak istirahat. Dan jika ditemani dengan Anda pasti akan semakin sembuh,” katanya dengan senyum ramah.Aditya pun duduk di hadapan Satya. Namun, pelayan kantin memanggil Satya karena kopi pesanannya telah jadi. Dia pun bangkit dan mengambil kopi.“Saya permisi dulu,” katanya pada Aditya yang mengangguk sopan.“Ya, silakan,” sahutnya masih dengan senyum ramah. “Kamu beruntu