Reno mempersilakan Sena duduk. Meja yang terletak di depan dekat panggung. Setelah itu ditinggalkan Sena begitu saja, ia lalu mendekati Aditya.
“Kamu nggak mau ngobrol, Dit?”
Aditya menyesap cappucino lagi dan melirik ke arah meja. Walau sedikit ia masih bisa melihat wajah Sena. Gadis itu semakin cantik saja. Pertemuan terakhir mereka setahun lalu, tepat pada hari kelulusan. Hari itu Sena menangis, terluka karena sikap teman-temannya dan Adit. Andai saja Adit ikut menangis dan bukannya tertawa, hubungannya dengan Sena saat ini mungkin tak buruk.
Mungkin ia bisa seperti Reno, disambut dengan senyuman dan rona merah jambu di pipi.
“Cobalah mulai, Adit. Mungkin saja Sena telah lupa.”
Aditya membiarkan Reno pergi ke balik meja, menyiapkan minuman. Barulah ia bisa mendesah dan memejamkan mata. Jika Reno tahu apa yang sudah diperbuat Adit pada Sena, maka temannya itu pasti membencinya.
Adit melirik lagi. Mata Sena kini sedang berbinar memandang punggung Reno. Ada kebahagian yang terpancar. Dulu pancaran seperti itu hanya milik Adit.
Sena menekuri ponsel yang baru dikeluarkan. Beberapa teman SMA mulai mendekatinya. Seketika ia merasa risih. Ia benci mereka yang sok baik saat keadaannya telah menjadi seperti sekarang.
“Aku senang bisa bertemu denganmu,” kata gadis yang lebih dikenal Sena bernama Ratu.
Ia otak dari setiap perlakuan buruk pada masa putih-abu abunya.
“Benarkah? Aku sama sekali tidak merasa seperti itu.” Sena tersenyum miring.
Ratu terdiam sebentar dan melirik ke samping, meminta bantuan. Namun, bukan mendapatkan bantuan, ia malah ditolak dengan siku untuk tetap bicara.
“Ah, jangan berkata begitu. Saat itu kami hanya bercanda.” Ratu memukul bahu Sena pelan.
Kontak fisik itu membuat Sena merasa tak nyaman. Ia mengirimkan pesan pada Rayna yang duduk di meja lain, masih di dalam kafe, untuk mendekat. Basa-basi menjijikan ini harus segera disudahi. Sena tak ingin kehilangan kendali dan menghilangkan pamor cantik diri sendiri.
“Kalian melemparkan tasku ke atap. Menyiramku dengan air bekas pel dan menuduhku melakukan banyak hal yang tidak kumengerti. Jika ini candaan, maka sungguh buruk efek pendidikan yang kalian terima. Maaf, aku tidak menganggap perlakuan kalian sebagai candaan.” Tidak ada lagi senyuman di bibir Sena. Ia telah terlanjur kesal.
“Sena.”
Rayna telah sampai di sisi Sena. Ia menatap para gadis yang tengah berdiri di dekat majikannya yang lebih sensitif sejak kemarin.
Reno juga sampai dengan minuman untuk Sena. Ia kebingungan karena sang artis sudah bersiap pergi.
“Maaf, ya, Ren. Aku ada jadwal siang ini, senang bisa bertemu lagi denganmu.” Sena baru berniat berbalik saat ingat sesuatu yang menurutnya penting. “Boleh minta nomor ponselmu?”
“Ah, tentu.” Reno meletakan minuman di atas meja dan menerima ponsel yang diulurkan Sena.
Tak lama ia memasukan nomor ke ponsel dan kembali menyerahkan pada Sena.
“Kuharap aku tidak menganggumu nanti.” Sena tersenyum dan melirik sekitar sebelum berputar.
Ia terhenti melangkah saat menemukan siluet seseorang yang dikenal. Matanya menyipit, berusaha menilai. Namun, tarikan tangan Rayna menyentak dan membuyarkan konsentrasinya.
Reno diserbu dengan banyak pertanyaan tentang Sena yang tak bisa dijawab.
***
“Maafkan aku memaksamu untuk datang.”
Rayna akhirnya berani bicara setelah menimbang-nimbang cukup lama. Ia merasa bersalah karena pemaksaan yang dilakukan. Apalagi setelah menerima pesan dari adiknya. Sungguh sebuah keputusan yang tidak tepat membawa Sena berinteraksi dengan orang-orang di masa lalunya.
Mobil yang mereka naiki melaju melintasi jalanan yang sama sekali tak macet. Padahal jam istirahat kerja sedang berlangsung.
“Tidak apa. Aku senang karena ikut. Aku bisa mendapatkan nomor Reno.”
Walau suara Sena pelan, tetapi bisa didengar Rayna.
Rayna mengernyit mendengar nama Reno disebut-sebut. Reno? Ia lekas menoleh, tapi menghentikan dirinya untuk bertanya tentang hubungan Sena dan nama baru tersebut.
Tak lama mereka sampai di gedung lantai tiga tempat pemotretan akan diadakan. Saat pintu terbuka, Sena berlari lebih dulu melintasi orang-orang. Ia tidak ingin dikerubungi dan terlambat ke studio di lantai tiga. Rayna di belakangnya berusaha menyusul dengan kecepatan yang sama, walau sama sekali tak pernah berhasil.
Dua perias telah menanti Sena di ruang make up. Fotografer yang bertugas berteriak pada semua orang untuk bekerja lebih cepat. Seorang penata busana langsung menilai tubuh Sena dan merencanakan pakaian apa yang cocok untuk dipakai.
Sena duduk tenang di depan cermin persegi yang disekelilingnya lampu pijar putih bersinar. Wajahnya pertama disemprot dengan air mawar bercampur satu persen alkohol. Setelah kering, alas bedak ditambahkan terlebih dahulu secara merata. Tak lupa alisnya dilukis dengan cantik. Lipstik dipilih dengan warna natural berikut dengan perona pipi dan perangkat lainnya.
Satu jam kemudian, Sena telah mengatur gaya di latar dengan blitz yang berpijar setiap kali tombol kamera ditekan. Ia tersenyum dan memamerkan deretan deretan giginya yang telah diputihkan satu bulan sekali oleh dokter gigi langanan. Senyumnya yang menawan, membuat siapapun merasa tenang.
Rayna melirik jam. Pemotretan yang dilakukan Sena biasanya tak lebih dari dua jam. Sebentar lagi, majikannya bisa menghapus riasan dan pulang. Kadang-kadang ia merasa kasihan pada Sena yang sejak enam bulan lalu tak memiliki waktu istirahat cukup.
[Dia baik-baik saja, kan, Kak?]
Pesan W******p dari adiknya membuat Rayna mengalihkan pandangan sebentar.
[Ya, sepertinya Sena tidak terpengaruh.]
Rayna rupanya tak perlu menunggu lama. Pesan balasan langsung muncul.
[Syukurlah. Aku sempat khawatir tadi.]
Rayna mencebik geli. Ia selalu ingin tahu kenapa adiknya memiliki ketertarikan pada Sena. Hari ini terjawab sudah pertanyaan tersebut. “Kita memang memiliki pikiran yang sama,” gumamnya.
Sena telah selesai kini. Fotografer bertepuk tangan dan mengatakan pekerjaan Sena sangat baik. Tak lupa lelaki berperut buncit yang telah membidik Sena sejak dua jam lalu memuji para krunya. Sena juga melakukan hal yang sama dan berkali-kali mengucapkan terima kasih pada semua orang.
Gadis cantik dengan gaun warna biru—Sena hampir mencoba seluruh baju saat fitting dan akhirnya memutuskan empat pakaian yang ia kenakan—mendekati Rayna. Ia menadahkan tangan.
“Kenapa malah bengong, haus!” serunya.
Rayna mengangguk-angguk dan mengambil botol minuman dengan irisan lemon di dalamnya. Botol tersebut dengan cepat berpindah tangan. Isinya tandas setelah bibir Rayna menempel di mulut botol.
“Tidak ada jadwal lagi, kan, Mbak?” tanya Rayna.
Sena menyerahkan kembali botol pada Rayna dan menunggu jawaban dengan sabar.
Rayna membuka ponsel dan melihat cacatan di aplikasi jadwal. Tidak ada jadwal lagi sampai besok siang.
“Tidak ada Mbak. Besok siang harus berangkat ke lokasi syuting. Mmm … jam dua.”
Rayna mengangguk dan menjatuhkan diri di kursi samping. “Ah, aku ingin libur,” keluh Sena.
Wajahnya yang cantik terlihat cemberut. Ia tak duduk lama, sebab harus berganti pakaian dan pulang ke rumah.
Ia ingin lekas menjatuhkan diri di atas kasurnya. Tadi pagi jadwal tidurnya telah diganggu dengan keresahan keharusan pergi mengunjungi teman-teman lama.
Sena tidak buruk. Ia memiliki tinggi 165 centimeter, tubuh yang langsing, wajah bulat telur, hidung mancung, bibir tipis, rambut ikal bergelombang, mata yang jenih, serta berkulit putih. Ia adalah boneka cantik. Namun, entah kenapa ia selalu menjadi bulan-bulanan teman sekelasnya sejak SMA. Ia tak tahu persis kesalahan apa yang sudah diperbuat. Sebab begitu naik ke kelas dua, semuanya menjadi mimpi buruk. "Sena!" Teriakan itu yang pertama kali didengar saat memasuki halaman sekolah pada awal tahun pelajaran. Sena tersenyum. Sebab sebagai teman, ia merasa perlu bersikap demikian. Namun, ketika ia diapit dan di seret menuju samping sekolah, senyumnya menghilang. Pikirannya mulai berisi dugaan apa yang akan terjadi. Juga memikirkan berbagai alasan kenapa hal tersebut bisa terjadi. Seember air berpindah dari wadahnya, membasahi tubuh sena. Seluruh seragamnya basah, begitu pun dengan buku-buku di dalam tasnya. "Kamu tahu apa yang se
Apa kabar? Pesan dari nomor Reno membuat Sena langsung berdiri dari duduknya siang itu. Ia sama sekali tak menyangka jika Pemuda tersebut akan membalas pesannya. Pesan pertama yang dikirimkan Senas ama sekali tidak digubris. Pesan kedua juga begitu. Karena itu Sena malas berharap. Mungkin Reno terlalu sibuk mengurus kuliah dan restorannya dalam waktu bersamaan. Atau Reno menganggap pesan dari Senas ama sekali tidak penting. Baik. Pesan balasan dari Sena singkat, tetapi dilengkapi emoticon senyum. Namun, pada akhirnya Sena menyesali pemberian emoticon karena dianggap terlalu berlebihan. Ia kemudian menunggu balasan selanjutnya dengan tak sabar. Sayang sekali, sampai Sena dipanggil untuk pengambilan gambar selanjutnya untuk drama televisi yang dibintangi, pesan yang ditunggu tak pernah sampai. Karena hal tersebut mungkin, Sena melakukan kesalahan beberapa kali dalam pengamb
Perlombaan antar sekolah ini diadakan setiap tahun. Seperti tahun-tahun sebelumnya, semua sekolah selalu menyiapkan bahan-bahan terbaru dan ide-ide baru. Tahun lalu sekolah Sena dan Adit hanya mendapatkan juara dua saja, padahal sebelumnya mereka mendapatkan peringkat pertama.Karena itu, tahun ini Adit dan timnya menyiapkan semuanya dengan hati-hati. Mereka tidak mau ide mereka sampai bocor dan kemudian ditiru oleh sekolah lain.“Bisa jadi masalah jika benar Sena memberitahukan ide kita tanpa sadar.”Adit berpangku tangan di kursi sebelah kanan. Teman-temannya yang rata-rata dari kelas berbeda mengelilingi meja panjang tempat banyak kertas dan modul fotokopian berserakan.“Sena kan sudah bilang kalau orang itu sudah selesai dengan karyanya lebih dulu dari kita, nggak usah khawatir.” Reno akhirnya angkat bicara.Ia merasa heran pada Adit yang terlalu terobsesi dengan perlombaan, sampai berpikiran buruk terhadap
Sena tak lagi membalas pesan terakhir Reno. Rasanya menyebalkan membaca nama Adit dalam obrolan mereka. Semua keriangan dari obrolan sebelumnya menjadi lenyap seketika. “Loh, anak Mama kenapa?” tanya Mama Sena. Sena baru saja menuruni tangga manakala Mama menyapanya. Ia memilih tak menjawab, membiarkan pertanyaan-pertanyaan Mama mengema begitu saja. Di meja makan kini telah terhidang jus wortel dan tomat. Sejak didiagnosis menderita anemia, Mama selalu menyediakan jus tersebut di meja sarapan. Ia tak mau Sena pingsan tiba-tiba kembali saat sedang melakukan kegiatannya yang padat. “Drama yang terakhir sudah hampir kelar, kan, Sena?” Mami berhenti menyesap teh dan memandang wajah putri semata wayangnya. Sena mengernyit saat menelan tiga tegukan jus, meletakkannya pelan. “Ya, Ma.” “Kuliah kamu gimana?” Kesibukan yang padat setelah memenangkan ajang model dan menerima banyak tawaran, membuat Sena memang mengajukan cuti setelah dite
Tulisan Uno hampir tidak terbaca. Sena pikir jika Uno mungkin seharusnya menjadi dokter saja. Setelah berjuang selama dua hari, Sena akhirnya mampu menyalin semua catatan Uno. Reno: Aku lihat kamu kemarin di kampus? Sena tercenung sebentar mengingat-ingat di mana kira-kira Reno melihatnya. Yang ia ingat Reno mengambil jurusan bisnis di kampus. Sena: Di mana? Reno: Parkiran. Walau baru seminggu kuliah, Sena tahu jika gedung Jurusan Bisnis dan Biologi cukup berjarak sehingga parkiran mereka tidak mungkin menyatu. Apa mungkin saat Reno melihatnya, parkiran di depan gedung Fakultas Bisnis sedang penuh. Sena mengelengkan kepala, menghapus pikiran buruk yang mulai singah. Sena: Aku sedikit kesulitan dalam memulai, telat 13 bulan penuh. Sena menambahkan emotikon tertawa di akhir pesannya. Ia menunggu dengan tidak sabar balasan pesan dari pemuda itu. Sena: Kamu sibuk, ya? Sena kembali
“Maaf, ya, Nak, nyusahin kamu terus.”Wanita berusia hampir enam puluh tahun tersebut duduk di samping Adit. Tangan-tangannya yang keriput ada di dalam genggaman pemuda 19 tahun tersebut. Seno mewarisi hampir seluruh wajah wanita tersebut. Setelah diterpa berbagai penyakit dan masalah dalam rumah tangganya, kini wajah cantik itu terlihat lelah.“Mama nggak pernah nyusahin Adit. Jangan ngomong gitu lagi,” pintanya.Adit menepuk-nepuk pelan tangan yang masih dalam genggamannya. Ia memberi kekuatan pada sang ibu.Sebenarnya tugas untuk menemani Mami pergi ke rumah sakit adalah tanggung jawab Papi. Namun, lelaki yang pulang dan pergi sesuka hati itu mengabarkan tak bisa melakukannya tadi siang.“Mami harus cepat sembuh,” ungkap Adit dengan tenang.Ia sudah terbiasa menyimpan sendiri rasa sakit hati dan penyesalan untuk perlakuan Papi pada mereka. Sejak dulu hingga sekarang, ia tak mau memberi beban lebih pada
Adit bukan pria romantis. Selama Sena dan pemuda dengan hidung tinggi itu dekat, tak sekalipun mulutnya melontarkan rayuan. Walau tak jarang Adit mengatakan Sena cantik. Akan tetapi, menurut Adit itu karena memang seperti itu kelihatannya. Sena tak perlu merasa dipuji.Namun, Adit sering sekali tanpa pemberitahuan datang menjemput ke rumah untuk sekedar berangkat sekolah bersama. Kadang ia akan menelepon sebelum tidur hanya untuk berharap Sena tidur yang nyenyak.“Kenapa kamu tidak berdoa aku mimpi indah?” Sena bertanya suatu kali.Tiba-tiba saja Adit menelepon. Di luar hujan sedang lebat dan sesekali petir terdengar. Lama Adit diam di ujung telepon. Entah apa yang sedang dilakukan pemuda itu.“Adit, kamu masih di sana, kan?” tanya Sena akhirnya kesal.“Mmm ….” Adit bergumam sebagai jawaban. “Aku tahu seharusnya mengucapkan itu. Tapi, bukan itu yang kamu butuhkan saat ini. Semoga hujan cepat berhenti
Adit hanya sekilas melihat Sena. Waktu gadis itu melintas dengan setengah berlari menuju anak tangga. Ia baru keluar dari kelasnya sendiri yang lorongnya menghadap ke tangga utama. Saat gadis itu kemudian tersandung, Adit berusaha memburu, berharap waktu berhenti beberapa saat. Sehingga ia bisa menyelamatkan Sena kali ini. Namun, semua hanya harapa Adit saja. Pada kenyataannya waktu tidak pernah berhenti, tetap berjalan dengan konstan. Adit melihat sendiri bagaimana Sena berguling di tangga dan setengah sadar mencoba duduk dan dari pelipisnya keluar darah. “Sena! Kamu bisa mendengarku?” Adit adalah orang pertama yang sampai dan bertanya. Pandangan Senas ama sekali tak fokus. Gadis cantik teman SMAnya seperti orang linglung. Lama sampai didengar Adit jawaban atas pertanyaannya. Lalu setelahnya Sena ambruk, tak sadarkan diri. Dalam sekali tarikan napas, Adit mengakat Sena ke dalam gendongannya. Ia berjalan dengan hati-hati menuruni anak tangga dan seten
“Pokoknya kalian harus pulang pada jam yang sudah dijanjikan, Oke?” Rayna sekali lagi memberi peringatan dengan wajah cemas.Pertunangan Sena dan Reno diumumkan tadi siang. Reno sudah mendapat peringatan untuk tidak membawa Sena tanpa pemberitahuan dan izin dari Ratih. Namun, mereka berdua berhasil membujuk Rayna untuk bisa memberi waktu kabur. Rayna jelas menolaknya, sebab kemarahan Ratih cukup mengerikan.“Kalian bisa membuatku terbunuh kalau tidak menurut,” renggek Rayna kembali. Ia belum melepaskan tangannya dari ujung baju Sena.“Iya, Kak, kami akan kembali jam 10 malam nanti. Ini cuma nonton bioskop kok. Janji.” Setelah pertunangan, Rayna meminta Sena memanggilnya Kakak. Begitu panggilan tersebut meluncur dari mulut Sena, Rayna meloncat seperti anak kecil. Ia begitu bahagia karena bisa mendapatkan adik perempuan.“Adik laki-laki itu memang bagus, tapi aku tidak mungkin menanyakan padanya pakaian manis. Tidak
“Apapun yang terjadi jangan merasa kasihan padanya!”Ratih mengatakan itu dengan sangat meyakinkan ketika akan berangkat. Namun, saat sudah sampai di rumah sakit dan memastikan jika mayat yang ditemukan memang Monik, tak urung dirinya menangis juga.Sena dilarang masuk ke dalam. Yang masuk untuk memeriksa hanya Reno, Ratih, dan Monik. Mereka sebelum masuk diberi peringatan oleh polisi. Sebab yang mereka saksikan cukup mengerikan.“Mama baik-baik saja?” Sena bertanya dengan cemas.Ratih mengeleng. “Tidak bisa dibilang baik-baik saja jika harus menyaksikan pemandangan seperti itu. Menyebalkan mengakuinya, tapi itu mengerikan.”Di sampingnya Rayna mengangguk membenarkan. “Pilihan tepat untuk meninggalkanmu di luar. Aku pikir akan kesulitan menelan makanan untuk beberapa lama setelah ini.”Sena tahu hal itu benar. Wajah tiga orang di depannya ini terlihat pucat. Sena jadi bertanya-tanya apa yang su
Apa sudah berhenti? Seluruh tubuhnya benar-benar remuk rasanya. Bukan hanya itu seluruh kekuatannya seolah tersedot keluar. Monik berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Ia berlari di gang dan kebingungan sendiri. Gang yang dimasuki ternyata rumit seperti labirin.Ketika ia merasa sudah berada di luar gang, ia tergangga dan menyadari jika bukannya menemukan jalan, tempat itu hanya bangunan-bangunan kotor. Beberapa orang preman duduk di depan bangunan dan terlihat tertarik melihat kedatangan Monik.“Tersasar, Dek?” tanya salah satu preman dengan tato yang tak jelas di bahunya.Monik mengabaikan pertanyaan itu. Ia menutup hidungnya karena bau air selokan semakin kuat karena hembusan angin. Ia memaki dalam hati karena asal lari dan tidak melihat ke mana arah tujuan jalan tersebut. Mungkin ia bisa kembali dan berbelok di arah lain pada belokan sebelumnya.“Sombong.”Karena terlalu berkonsentrasi berpikir, Monik tidak
Tidak ada yang berhasil! Tidak ada! Monik melarikan kendaraannya dengan kencang. Syukurlah ia berhasil kabur dari kejaran dan tak berpapasan dengan salah satu petugas keamanan di rumah sakit. Saat penguman pencarian seorang gadis dengan cadar warna hitam disampaikan melalui pengeras suara, Monik telah melewati satpam gerbang dan masuk ke dalam mobil. Ia melihat satpam yang menyadari keberadaannya mendekat dan melajukan mobil dengan cepat.Ada sesuatu yang meloncat ke atas mobil Monik. Ia kaget dan memanting stir tiba-tiba ke kiri. Mobilnya menghantam pembatas jalan dan kepalanya dengan keras terbentur setir. Semuanya tiba-tiba menjadi gelap selama sesaat. Akan tetapi, Monik cepat menguasai diri. Ia harus segera keluar dari mobil jika tidak ingin tertangkap. Polisi pasti sedang mengejarnya saat ini. Untunglah suasana jalanan sedang sepi.Seluruh persendian Monik terasa sakit. Namun, ia memaksakan diri untuk berjalan terus. Ia singah di toilet taman untuk member
Ratih memeluk putri tunggalnya erat-erat. Sesuai instruksi polisi ia bergerak ke rumah sakit pada malam hari. Seharian ini ia selalu mengontak Rayna menanyakan apa yang sedang dilakukan Sena. Sampai sore, ia tidak mendapat kabar kalau ada orang yang tidak dikenal mendekati putrinya. Namun, Rayna melaporkan Sena sukses membuat Reno bertekuk lutut.Saat itu Ratih hanya bisa membatin, Seperti itulah kekuatan seorang wanita yang sedang jatuh cinta.“Apa semuanya baik-baik saja, Sayang?”Ratih tahu tidak seharusnya menanyakan hal ini pada Sena. Ia sudah bertekad untuk membuat putrinya merasa aman. Ia juga sudah mengatakan pada Rayna kalau tidak perlu membuat Sena merasa cemas tentang kedatangan Monik ke rumah. Saat ini ia ke rumah sakit untuk membujuk Sena tinggal di sini semalam, kalau perlu sampai Monik tertangkap.Rasanya tempat Reno di rawat adalah daerah paling aman karena ada seorang polisi dan juga banyak orang yang be
“SENA!”Sena kaget karena Reno berteriak dan mengapai. Ia langsung menangkap tangan pemuda yang matanya masih terpejam tersebut. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.“Reno?” Ragu-ragu Sena menguncang bahu pemuda itu. Ia berharap yang dilakukan bisa membuat Reno tersadar. Akan tetapi, kemungkinan juga tidak. Reno masih dalam pengaruh obat bius.Reno mengenggam jemari Sena erat-erat. Seolah-olah Sena akan menghilang ketika tangannya dilepaskan. Sena tersenyum senang. Ia senang karena dirinya memiliki posisi sepenting itu di dalam hati Reno. Ia harap dirinya tidak hanya berkhayal saja.Rayna mengetuk pintu dari luar, lalu menjulurkan kepalanya. Ia tersenyum-senyum mendekati Sena. Ia tak menyangka adiknya yang bodoh sampai mengenggam tangan Sena tanpa sadar.“Heemmm!” Rayna terbatuk sedikit mengoda.Sena terkejut dan berusaha melepaskan genggaman tangan Reno. Tentu saja hal tersebut tidak berh
Tidak ada yang bisa membujuk Sena jika sudah bertekad. Sama seperti saat ia memutuskan tidan mengatakan apa yang sedang terjadi dalam kehidupan SMA-nya. Seperti saat ia diam saja diperlakukan tidak mengenakan oleh Adit. Atau saat Monik mengancamnya dahulu saat Reno berada di penjara. Begitu juga dengan sekarang. Tidak ada yang bisa mengubah keputusannya untuk datang ke rumah sakit dan tampak mengerikan di kamera. Ia sama sekali tidak peduli.Akan tetapi, lobi rumah sakit sepi. Sepertinya kabar ini belum sampai ke telinga para pencari berita. Mereka pasti masih terlalu fokus pada kematian Tora.“Reno ada di kamar VVIP. Aku sudah menduga kamu akan langsung kemari.”Sena memeluk Rayna segera. Kakak perempuan Reno tersebut selalu berhasil membaca situasi dengan baik saat Sena tidak bisa. Ia melepaskan pelukannya segera dan masuk ke ruangan rawat Reno.Kemeja yang digunakan Reno tidak dikancingkan. Perban melilit bagian perut dan sedikit dadanya. M
Walau berada pada bagian belakang kantor polisi, Sena bisa tahu kalau semua petugas sedang sibuk sekarang. Ia tidak mendengar kabar kalau ada orang penting akan datang ke daerah ini. Namun, kalau bukan alasan tersebut, lalu kenapa kantor yang telah ditinggali beberapa hari ini kalang kabut begini. Setelah hanya bisa mengamati dari sudut yang tidak nyaman dan mendengar kebisingkan yang ditimbulkan oleh orang-orang di depan, seorang petugas muncul dari ujung lorong menuju tempat Sena. Ia membuka kunci terali dan meminta Sena untuk mengikuti dirinya keluar. Sena tidak membantah. Sejak ia berada di dalam penjara, ia tak punya keinginan untuk membantah perintah orang. Sebenaranya sejak lama ia selalu ketakutan untuk melawan, walau akhirnya bisa melakukan hal tersebut. “Apa saya akan diinterogasi lagi?” tanya Sena. Polisi tersebut hanya mendorong pintu hingga terbuka. “Silakan masuk Nona, Anda akan tahu lebih jelasnya di dalam.” Sena tidak bisa berh
Rayna mengangkat ponselnya dengan kesal. Ia belum berhasil membujuk Ratih untuk makan. Ia sedang meminta bantuan Reno yang masih ada di kantor polisi meminta izin untuk membiarkan Sena bicara sebentar di telepon. Namun, sepertinya izin tersebut belum bisa di dapatkan setelah satu jam berlalu.“Ya, halo?” sapanya tanpa mengurangi sedikit pun aura kekesalannya.“Kamu baik-baik saja?” tanya seorang lelaki di telepon. Rayna menjauhan ponsel sedikit untuk melihat siapa pemanggil yang pura-pura akrab dengannya ini. Setelah tahu jika yang menghubunginya Fariq, ia menghirup napas dalam dulu sebelum kemudian mulai bicara kembali. “Maaf … hariku benar-benar sama sekali tidak terkendali. Ada apa?” tanya Rayna cepat.“Kamu sudah menghidupkan televisi?”Rayna tidak banyak bertanya. Ia segera berlari menuju ruang tengah dan menyambar remote TV. Dalam sekali tekan ia segera melihat berita berduka cita. Mata Rayna la