Tidak sulit menemukan kekasih Endah. Sebab pemuda bernama Dino itu menampakan dirinya di depan kafe tempat Endah dan Monik sering nongkrong. Begitu Monik turun dari mobil pemuda itu langsung menghampiri.
“Kamu temannya Endah, kan?”
Monik melirik sedikit dan terus berjalan. Ia melewati begitu saja dengan Adit mengekor di belakang.
Tangan kekar Dino menyambar pergelangan tangan Monik. Gadis itu dengan segera menepisnya. Ekspresinya mengatakan betapa jijik dirinya mendapatkan perlakuan ini.
Dengan cepat Dino mengatasi keterkejutannya atas ekspresi Monik. “Kalian sering kulihat bersama.” Ia melirik ke arah Adit. “Belakangan dengan dia juga.”
“Lalu?”
“Kamu pasti tahu dia di mana, kan? Beritahu aku!” tegas Dino.
Ia memandang tepat ke mata Monik dan Adit.
Monik mengeluh, menyibak poninya dan berjalan menjauh. Namun, ia sempat mendekati Adit dan berbisik, menyuruh teman seperjuangannya itu untuk membereskan semuanya.
“K
Endah menemukan benda itu di dalam sebuah kardus tanpa sengaja. Ia menyebutnya sebagai hadiah dari Tuhan. Karena benda yang ditemukan bisa menjadi alat untuk meloloskan diri dari penyekapan ini. Ia harus keluar dan memperingatkan Reno. Entah apa rencana Monik dan Adit yang sedang berjalan, ‘memperingatkan’ akan membuat Reno waspada.Namun, ia tidak menemukan kemajuan di dalam kegelapan. Walau matanya sudah beradaptasi dengan gelap gudang, tetapi berusaha menjebol pintu dengan garpu tetap saja sulit. Delapan sekrup yang harus dilepaskan menjadi jumlah yang banyak kini.Ibu jari dan telunjuk yang dipakai untuk memelintir garpu sebagai alat pemutas terasa ngilu. Akhirnya garpu yang tak diketahui bentuknya tetapi memiliki besi yang cukup tebal tersebut jatuh ke lantai. Endah baru menyelesaikan sebuah sekrup saja dan masih separuh jalan dengan yang lainnya.Jika aku bisa menanggalkan gagang pintu ini, ada kemungkinan mencopot semuanya dan kabur,
Seluruh tubuhnya sakit. Ia bisa merasakan seluruh tubuhnya berdenyut. Ia ingat setiap tempat yang ditendang oleh Adit, terasa berdenyut dan nyeri. Endah berusaha mengangkat tubuhnya, tetapi dengan cepat ia terjatuh lagi.Apa yang harus aku lakukan? Endah bertanya dalam hati.Ia memejamkan matanya kembali dan segera direnggut ke dalam kegelapan dan mimpi buruk. Selama itu ia gelisah, merintih lirih dan memohon ampun. Saat terjaga lagi, ruangan tempatnya berbaring masih sama. Bahkan posisi tubuhnya begitu juga. Sekarang tubuhnya terasa lumayan bertenaga kini.Saat ia duduk untuk kedua kalinya, kepala endah tidak lagi pusing. Ia bisa melihat dengan jelas semua. Ruangan tidak lagi berombang-ambing di matanya.Ada sebuah ranjang di tengah kamar. Di depannya sebuah meja dan kursi tersusun rapi. Sebuah lemari buku ada di sisi lainnya. Lemari buku itu kosong dan terlihat berdebu.Ini bukan tempat sebelumnya, batin Endah.Di tempat
Kenapa malah ke rumah? Sena berujar panik setelah menuruni tangga dan mendengar suara Reno sedang bicara dengan mamanya. Ia masih belum siap bertemu dengan pemuda tersebut sekarang. Kepala Sena celingak-celinguk dan tidak menemukan sebuah lubang untuk bersembunyi. Ia berharap jadi tokoh Alice dalam dongeng dan meminum cairan pengecil. “Lho, Sena … kenapa di sini?” Ratih muncul. Suara Reno di ruang tamu juga menghilang. Sena membuka matanya sebelah untuk mengintip dan lega melihat hanya sang mama yang berdiri menatapnya keheranan. Rasa heran yang muncul di hati Ratih juga tak lama bersemayam, dengan segera ia tahu apa yang terjadi pada putrinya dan tersenyum kecil. Masa pubertas yang harusnya dirasakan Sena saat SMA cukup lama tertunda karena kasus bullying. Sekarang melihat sang anak panik tanpa sebab, menjadi hiburan tersendiri buat Ratih. “Reno jemput kamu. Kamu ada jadwal kampus, kan hari ini? Nanti jam sebelas di jemput Pak Sarmin
Kampus sama sekali tidak seperti biasanya di mata Sena. Orang-orang yang seharusnya berjalan dengan santai hari ini berlarian. Atau bergerombol sambil membisikan sesuatu. “Ada apa, ya?” tanya Sena bergumam pelan. Adit yang mendengar pertanyaan Sena sama sekali tidak menjawab. Sebagai gantinya ia bersiul-siul kecil sepanjang jalan. “Kamu tidak usah mengantarku sampai ke kelas,” larang Sena. Akan tetapi, mereka hanya berjarak beberapa ratus meter lagi saja. Sena mengucapkan terima kasih pada Adit yang bahkan tak menanggapi sama sekali ucapan tersebut. Ia merasa pemuda tersebut tengah senang untuk alasan yang tidak bisa dimengertinya. Ia pandangi punggung Adit yang menjauh dan kemudian menghilang karena berbelok. Hampir saja Sena menabrak Uno saat berbalik. Ia tersenyum menyapa dengan ramah. Seperti biasa Uno tergagap membalas. “Se-na?” Uno memanggil kembali setelah Sena berjalan meninggalkannya di pintu kelas dan menuju kursinya sendiri.
Sial! Sial! Sial! Sebenarnya apa yang terjadi!Reno memeganggi kepalanya erat-erat. Banyak pertanyaan terbetik di dalam kepalanya. Kenapa ada Endah di dalam bagasi? Kapan orang jahat itu memasukkan Endah? Untuk apa Endah dibunuh? Begitu banyak pertanyaan sehingga kini ia merasa sakit.Frustrasi karena tidak mendapatkan jawaban apapun, Reno berteriak dan memukul dinding beton. Beberapa narapidana lain yang lebih dulu berdekam di dalam jeruji meliriknya dengan kesal. Tentu tindakan Reno sudah membuat mereka kesal. Pria dengan tubuh paling besar dan tato terbanyak melirik Reno tajam. Namun, lirikan tersebut sama sekali tidak diindahkan Reno. Ia sama sekali tak sadar ada siapa saja di sekitarnya kini.“Boleh kami mengunjunginya?”Pemilik suara yang tak lama setelah itu muncul di ujung lorong dan bergegas mendekat ke arah Reno.“Kak, aku tidak salah.”Dari dalam sel terdengar dengusan pelan. Mungkin para
Kemarin malam, papanya Monik mengeluh soal Sena. Gadis itu hampir seharian tak bisa berkonsntrasi terhadap peran yang harus didalami. Kebanyakan ia melamun dan tidak sadar dengan apa yang sedang dikerjakan. Itu membuat sang produser frustrasi karena proses syuting jadi terkendala.Bagian di mana ia merasa lebih tahu apa yang sedang terjadi ketimbang produser kenamaan tersebut sedikit menyenangkan hati Monik. Ia masih marah dan dendam ketika papanya lebih memilih Sena.“Dia cuma lebih muda dariku setahun, bisa disebut itu pembangkangan, kan?” celoteh Monik tanpa ingin dibalas.Akan tetapi, ia tahu apa efek menyebut nama Sena dengan nada mengejek seperti itu di dekat sang papa.“Aku tahu dia professional. Masalahnya pasti bukan tetek bengek macam permasalahan remaja.”Rasa kesal Monik mulai terpupuk kembali. Semakin ada alasan untuk membuat Sena lebih merasa terpuruk lagi. Ia ingin membuktikan pada papanya jika Sena sama saja
Gadis kecil berambut lurus sebahu itu berlarian di taman. Anak-anak yang lain mengikutinya dengan riang di belakang. Beberapa ada yang hanya tertarik untuk bermain. Yang lain juga karena terpesona dengan kecantikannya. Sifatnya yang angkuh karena mengetahui kelebihannya itu sangat ketara terlihat. Ia dengan berani memilih siapa teman yang boleh dekat dengannya dan yang tidak.“Mama …!”Momen inilah yang selalu membuat Monik bersinar. Momen ketika mamanya melambai dan menyerukan namanya. Gadis kecil yang ponggak tersebut menjadi anak biasa. Bukan lagi si sombong yang mendapatkan segalanya. Atau anak nakal yang hampir mengatur teman-temannya.“Kamu senang berada di sini?”Monik mengangguk. Tentu saja ia senang. Di sini dirinya adalah ratu yang tidak bisa diinterupsi. Ia mendapatkan semua keiinginannya.“Ya,” jawab Monik riang.Ia memegang jemari mamanya dengan erat. Bernyanyi kecil seperti anak-anak l
Reno sudah mendekam di balik jeruji selama tiga hari. Tidak ada kabar yang disampaikan padanya, baik oleh Mama atau Rayna. Gadis cantik itu sesekali terlihat di rumah dengan mata sembab dan begitu Sena ingin mendekati maka datang orang lain yang mengalihkan perhatiannya. Saat ia sadar Rayna sudah tidak lagi terlihat.Yang mengiringinya pergi ke lokasi syuting dua hari ini juga Mama. Perempuan yang sudah melahirkannya itu menatap dengan khawatir setiap kali Sena mengajukan pertanyaan. Maka setiap kali terjadi, ada nyeri di dadanya yang tak bisa diterjemahkan.“Capek, Sena?” tanya Mama sambil mengelus rambutnya yang lurus.Ia habis dimarahi Tora lagi. Pria tersebut mengatakan jika Sena tak maskimal dalam berakting. Ia memandang sang mama dan tersenyum. Mungkin Mama akan segera sadar jika itu bukan senyum tulus Sena, tetapi ia hampir tak peduli.“Lepas minggu ini, Senam au liburan?”Sena berpaling, menatap kerumunan kru yang te
“Pokoknya kalian harus pulang pada jam yang sudah dijanjikan, Oke?” Rayna sekali lagi memberi peringatan dengan wajah cemas.Pertunangan Sena dan Reno diumumkan tadi siang. Reno sudah mendapat peringatan untuk tidak membawa Sena tanpa pemberitahuan dan izin dari Ratih. Namun, mereka berdua berhasil membujuk Rayna untuk bisa memberi waktu kabur. Rayna jelas menolaknya, sebab kemarahan Ratih cukup mengerikan.“Kalian bisa membuatku terbunuh kalau tidak menurut,” renggek Rayna kembali. Ia belum melepaskan tangannya dari ujung baju Sena.“Iya, Kak, kami akan kembali jam 10 malam nanti. Ini cuma nonton bioskop kok. Janji.” Setelah pertunangan, Rayna meminta Sena memanggilnya Kakak. Begitu panggilan tersebut meluncur dari mulut Sena, Rayna meloncat seperti anak kecil. Ia begitu bahagia karena bisa mendapatkan adik perempuan.“Adik laki-laki itu memang bagus, tapi aku tidak mungkin menanyakan padanya pakaian manis. Tidak
“Apapun yang terjadi jangan merasa kasihan padanya!”Ratih mengatakan itu dengan sangat meyakinkan ketika akan berangkat. Namun, saat sudah sampai di rumah sakit dan memastikan jika mayat yang ditemukan memang Monik, tak urung dirinya menangis juga.Sena dilarang masuk ke dalam. Yang masuk untuk memeriksa hanya Reno, Ratih, dan Monik. Mereka sebelum masuk diberi peringatan oleh polisi. Sebab yang mereka saksikan cukup mengerikan.“Mama baik-baik saja?” Sena bertanya dengan cemas.Ratih mengeleng. “Tidak bisa dibilang baik-baik saja jika harus menyaksikan pemandangan seperti itu. Menyebalkan mengakuinya, tapi itu mengerikan.”Di sampingnya Rayna mengangguk membenarkan. “Pilihan tepat untuk meninggalkanmu di luar. Aku pikir akan kesulitan menelan makanan untuk beberapa lama setelah ini.”Sena tahu hal itu benar. Wajah tiga orang di depannya ini terlihat pucat. Sena jadi bertanya-tanya apa yang su
Apa sudah berhenti? Seluruh tubuhnya benar-benar remuk rasanya. Bukan hanya itu seluruh kekuatannya seolah tersedot keluar. Monik berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Ia berlari di gang dan kebingungan sendiri. Gang yang dimasuki ternyata rumit seperti labirin.Ketika ia merasa sudah berada di luar gang, ia tergangga dan menyadari jika bukannya menemukan jalan, tempat itu hanya bangunan-bangunan kotor. Beberapa orang preman duduk di depan bangunan dan terlihat tertarik melihat kedatangan Monik.“Tersasar, Dek?” tanya salah satu preman dengan tato yang tak jelas di bahunya.Monik mengabaikan pertanyaan itu. Ia menutup hidungnya karena bau air selokan semakin kuat karena hembusan angin. Ia memaki dalam hati karena asal lari dan tidak melihat ke mana arah tujuan jalan tersebut. Mungkin ia bisa kembali dan berbelok di arah lain pada belokan sebelumnya.“Sombong.”Karena terlalu berkonsentrasi berpikir, Monik tidak
Tidak ada yang berhasil! Tidak ada! Monik melarikan kendaraannya dengan kencang. Syukurlah ia berhasil kabur dari kejaran dan tak berpapasan dengan salah satu petugas keamanan di rumah sakit. Saat penguman pencarian seorang gadis dengan cadar warna hitam disampaikan melalui pengeras suara, Monik telah melewati satpam gerbang dan masuk ke dalam mobil. Ia melihat satpam yang menyadari keberadaannya mendekat dan melajukan mobil dengan cepat.Ada sesuatu yang meloncat ke atas mobil Monik. Ia kaget dan memanting stir tiba-tiba ke kiri. Mobilnya menghantam pembatas jalan dan kepalanya dengan keras terbentur setir. Semuanya tiba-tiba menjadi gelap selama sesaat. Akan tetapi, Monik cepat menguasai diri. Ia harus segera keluar dari mobil jika tidak ingin tertangkap. Polisi pasti sedang mengejarnya saat ini. Untunglah suasana jalanan sedang sepi.Seluruh persendian Monik terasa sakit. Namun, ia memaksakan diri untuk berjalan terus. Ia singah di toilet taman untuk member
Ratih memeluk putri tunggalnya erat-erat. Sesuai instruksi polisi ia bergerak ke rumah sakit pada malam hari. Seharian ini ia selalu mengontak Rayna menanyakan apa yang sedang dilakukan Sena. Sampai sore, ia tidak mendapat kabar kalau ada orang yang tidak dikenal mendekati putrinya. Namun, Rayna melaporkan Sena sukses membuat Reno bertekuk lutut.Saat itu Ratih hanya bisa membatin, Seperti itulah kekuatan seorang wanita yang sedang jatuh cinta.“Apa semuanya baik-baik saja, Sayang?”Ratih tahu tidak seharusnya menanyakan hal ini pada Sena. Ia sudah bertekad untuk membuat putrinya merasa aman. Ia juga sudah mengatakan pada Rayna kalau tidak perlu membuat Sena merasa cemas tentang kedatangan Monik ke rumah. Saat ini ia ke rumah sakit untuk membujuk Sena tinggal di sini semalam, kalau perlu sampai Monik tertangkap.Rasanya tempat Reno di rawat adalah daerah paling aman karena ada seorang polisi dan juga banyak orang yang be
“SENA!”Sena kaget karena Reno berteriak dan mengapai. Ia langsung menangkap tangan pemuda yang matanya masih terpejam tersebut. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.“Reno?” Ragu-ragu Sena menguncang bahu pemuda itu. Ia berharap yang dilakukan bisa membuat Reno tersadar. Akan tetapi, kemungkinan juga tidak. Reno masih dalam pengaruh obat bius.Reno mengenggam jemari Sena erat-erat. Seolah-olah Sena akan menghilang ketika tangannya dilepaskan. Sena tersenyum senang. Ia senang karena dirinya memiliki posisi sepenting itu di dalam hati Reno. Ia harap dirinya tidak hanya berkhayal saja.Rayna mengetuk pintu dari luar, lalu menjulurkan kepalanya. Ia tersenyum-senyum mendekati Sena. Ia tak menyangka adiknya yang bodoh sampai mengenggam tangan Sena tanpa sadar.“Heemmm!” Rayna terbatuk sedikit mengoda.Sena terkejut dan berusaha melepaskan genggaman tangan Reno. Tentu saja hal tersebut tidak berh
Tidak ada yang bisa membujuk Sena jika sudah bertekad. Sama seperti saat ia memutuskan tidan mengatakan apa yang sedang terjadi dalam kehidupan SMA-nya. Seperti saat ia diam saja diperlakukan tidak mengenakan oleh Adit. Atau saat Monik mengancamnya dahulu saat Reno berada di penjara. Begitu juga dengan sekarang. Tidak ada yang bisa mengubah keputusannya untuk datang ke rumah sakit dan tampak mengerikan di kamera. Ia sama sekali tidak peduli.Akan tetapi, lobi rumah sakit sepi. Sepertinya kabar ini belum sampai ke telinga para pencari berita. Mereka pasti masih terlalu fokus pada kematian Tora.“Reno ada di kamar VVIP. Aku sudah menduga kamu akan langsung kemari.”Sena memeluk Rayna segera. Kakak perempuan Reno tersebut selalu berhasil membaca situasi dengan baik saat Sena tidak bisa. Ia melepaskan pelukannya segera dan masuk ke ruangan rawat Reno.Kemeja yang digunakan Reno tidak dikancingkan. Perban melilit bagian perut dan sedikit dadanya. M
Walau berada pada bagian belakang kantor polisi, Sena bisa tahu kalau semua petugas sedang sibuk sekarang. Ia tidak mendengar kabar kalau ada orang penting akan datang ke daerah ini. Namun, kalau bukan alasan tersebut, lalu kenapa kantor yang telah ditinggali beberapa hari ini kalang kabut begini. Setelah hanya bisa mengamati dari sudut yang tidak nyaman dan mendengar kebisingkan yang ditimbulkan oleh orang-orang di depan, seorang petugas muncul dari ujung lorong menuju tempat Sena. Ia membuka kunci terali dan meminta Sena untuk mengikuti dirinya keluar. Sena tidak membantah. Sejak ia berada di dalam penjara, ia tak punya keinginan untuk membantah perintah orang. Sebenaranya sejak lama ia selalu ketakutan untuk melawan, walau akhirnya bisa melakukan hal tersebut. “Apa saya akan diinterogasi lagi?” tanya Sena. Polisi tersebut hanya mendorong pintu hingga terbuka. “Silakan masuk Nona, Anda akan tahu lebih jelasnya di dalam.” Sena tidak bisa berh
Rayna mengangkat ponselnya dengan kesal. Ia belum berhasil membujuk Ratih untuk makan. Ia sedang meminta bantuan Reno yang masih ada di kantor polisi meminta izin untuk membiarkan Sena bicara sebentar di telepon. Namun, sepertinya izin tersebut belum bisa di dapatkan setelah satu jam berlalu.“Ya, halo?” sapanya tanpa mengurangi sedikit pun aura kekesalannya.“Kamu baik-baik saja?” tanya seorang lelaki di telepon. Rayna menjauhan ponsel sedikit untuk melihat siapa pemanggil yang pura-pura akrab dengannya ini. Setelah tahu jika yang menghubunginya Fariq, ia menghirup napas dalam dulu sebelum kemudian mulai bicara kembali. “Maaf … hariku benar-benar sama sekali tidak terkendali. Ada apa?” tanya Rayna cepat.“Kamu sudah menghidupkan televisi?”Rayna tidak banyak bertanya. Ia segera berlari menuju ruang tengah dan menyambar remote TV. Dalam sekali tekan ia segera melihat berita berduka cita. Mata Rayna la