Sial! Sial! Sial! Sebenarnya apa yang terjadi!
Reno memeganggi kepalanya erat-erat. Banyak pertanyaan terbetik di dalam kepalanya. Kenapa ada Endah di dalam bagasi? Kapan orang jahat itu memasukkan Endah? Untuk apa Endah dibunuh? Begitu banyak pertanyaan sehingga kini ia merasa sakit.
Frustrasi karena tidak mendapatkan jawaban apapun, Reno berteriak dan memukul dinding beton. Beberapa narapidana lain yang lebih dulu berdekam di dalam jeruji meliriknya dengan kesal. Tentu tindakan Reno sudah membuat mereka kesal. Pria dengan tubuh paling besar dan tato terbanyak melirik Reno tajam. Namun, lirikan tersebut sama sekali tidak diindahkan Reno. Ia sama sekali tak sadar ada siapa saja di sekitarnya kini.
“Boleh kami mengunjunginya?”
Pemilik suara yang tak lama setelah itu muncul di ujung lorong dan bergegas mendekat ke arah Reno.
“Kak, aku tidak salah.”
Dari dalam sel terdengar dengusan pelan. Mungkin para
Kemarin malam, papanya Monik mengeluh soal Sena. Gadis itu hampir seharian tak bisa berkonsntrasi terhadap peran yang harus didalami. Kebanyakan ia melamun dan tidak sadar dengan apa yang sedang dikerjakan. Itu membuat sang produser frustrasi karena proses syuting jadi terkendala.Bagian di mana ia merasa lebih tahu apa yang sedang terjadi ketimbang produser kenamaan tersebut sedikit menyenangkan hati Monik. Ia masih marah dan dendam ketika papanya lebih memilih Sena.“Dia cuma lebih muda dariku setahun, bisa disebut itu pembangkangan, kan?” celoteh Monik tanpa ingin dibalas.Akan tetapi, ia tahu apa efek menyebut nama Sena dengan nada mengejek seperti itu di dekat sang papa.“Aku tahu dia professional. Masalahnya pasti bukan tetek bengek macam permasalahan remaja.”Rasa kesal Monik mulai terpupuk kembali. Semakin ada alasan untuk membuat Sena lebih merasa terpuruk lagi. Ia ingin membuktikan pada papanya jika Sena sama saja
Gadis kecil berambut lurus sebahu itu berlarian di taman. Anak-anak yang lain mengikutinya dengan riang di belakang. Beberapa ada yang hanya tertarik untuk bermain. Yang lain juga karena terpesona dengan kecantikannya. Sifatnya yang angkuh karena mengetahui kelebihannya itu sangat ketara terlihat. Ia dengan berani memilih siapa teman yang boleh dekat dengannya dan yang tidak.“Mama …!”Momen inilah yang selalu membuat Monik bersinar. Momen ketika mamanya melambai dan menyerukan namanya. Gadis kecil yang ponggak tersebut menjadi anak biasa. Bukan lagi si sombong yang mendapatkan segalanya. Atau anak nakal yang hampir mengatur teman-temannya.“Kamu senang berada di sini?”Monik mengangguk. Tentu saja ia senang. Di sini dirinya adalah ratu yang tidak bisa diinterupsi. Ia mendapatkan semua keiinginannya.“Ya,” jawab Monik riang.Ia memegang jemari mamanya dengan erat. Bernyanyi kecil seperti anak-anak l
Reno sudah mendekam di balik jeruji selama tiga hari. Tidak ada kabar yang disampaikan padanya, baik oleh Mama atau Rayna. Gadis cantik itu sesekali terlihat di rumah dengan mata sembab dan begitu Sena ingin mendekati maka datang orang lain yang mengalihkan perhatiannya. Saat ia sadar Rayna sudah tidak lagi terlihat.Yang mengiringinya pergi ke lokasi syuting dua hari ini juga Mama. Perempuan yang sudah melahirkannya itu menatap dengan khawatir setiap kali Sena mengajukan pertanyaan. Maka setiap kali terjadi, ada nyeri di dadanya yang tak bisa diterjemahkan.“Capek, Sena?” tanya Mama sambil mengelus rambutnya yang lurus.Ia habis dimarahi Tora lagi. Pria tersebut mengatakan jika Sena tak maskimal dalam berakting. Ia memandang sang mama dan tersenyum. Mungkin Mama akan segera sadar jika itu bukan senyum tulus Sena, tetapi ia hampir tak peduli.“Lepas minggu ini, Senam au liburan?”Sena berpaling, menatap kerumunan kru yang te
Adit tahu betul jika kedatangannya sama sekali tidak diharapkan. Saat pintu terbuka di depannya, bola mata mama Sena seolah akan bergulir keluar. Namun, ia tetap saja memamerkan deretan gigi yqng rapi miliknya.“Sena ada, Tante?” tanyanya.Ia benar-benar berusaha kepercayaan dirinya sama sekali tidak terpengaruh dengan ekspresi kaget dan tidak suka yang berlebihan ini.Bukannya menjawab, Ratih segera menutup pintu. Adit dengan sigap menahan menggunakan sebelah tangannya. Dengan keangkuhan yang tiba-tiba mencuat dari kemarahan atas sikap buruk wanita di depannya ini, ia masuk tanpa lagi bertanya.“Sopan santunmu benar-benar sudah lenyap, ya?” sindir Ratih padanya.Adit duduk tanpa dipersilakan, punggungnya tegap dan buket bunga terletak dengan rapi di atas meja ruang tamu. “Tentu saja saya akan bersikap sopan pada orang yang memperlakukan saya dengan begitu pula.” Ia merasa berhak bertemu dengan Sena dan mama Sena
Monik meminta untuk diantarkan terlebih dahulu ke rumahnya. Namun, Adit tak membawa Sena pulang. Ia memutar mobil menuju tepian pantai. Deburan ombak dan koak burung menyambut indra pendengaran begitu pintu terbuka. Adit membiarkan Sena masih di dalam mobil tanpa meminta untuk keluar segera. Sena menempelkan kepalanya pada dashboard mobil, pandangannya buram, dan dadanya terasa sesak. Satu tetes air mata akhirnya jatuh juga. Ia sama sekali tak menyangka reaksi Reno akan seperti itu. Kalau tidak ada jeruji besi di antara mereka tadi, sudah pasti Sena disakit. Reno menatapnya dengan penuh kebencian. “Kamu baik-baik saja?” tanya Adit pelan. Sena memejamkan mata, mengingatkan diri bahwa tak bisa egois dan mengabaikan orang lain. Sambil memandangi ujung sepatu olahraga yang dikenakan, ia menghela napas dalam. Selanjutnya ia menoleh ke arah adit dan tersenyum. “Aku baik-baik saja,” ungkapnya tulus. “Mau coba jalan-jalan di pantai?” tanya Adit. Sena
Bagaimana Sena mendeskripsikan datangnya ingatan itu? Ia tak bisa. Sebab saat Adit mengatakan akan meminjamkan bahunya untuk bersandar, banyak gambar bagai bayangan slide film menyerbu masuk ke dalam kepalanya. Awalnya buram, tetapi semakin lama memandang wajah Adit semakin jelas saja tampak gambar itu.Karena itulah begitu Adit melepaskan genggaman tangannya dari jemari Sena, seluruh tubuh Sena bergetar. Ia ingin lari, tetapi bahkan tak sanggup menggerakan jemari kakinya. Ia ingin berteriak, tapi tak ada setitik suara yang berhasil keluar. Seluruh tubuhnya lumpuh untuk beberapa saat.Pada akhirnya Sena bisa berkata-kata, ia hanya meminta untuk pulang. Adit sedikit kaget mendengar permintaan Sena, tetapi memahami apa yang sudah terjadi tadi. Ia mengatarkan Sena dengan segera dan membiarkan begitu saja saat Sena memintanya segera pulang.Kenapa aku harus kehilangan ingatan? Sena menengadah menatap langit-langit kamarnya yang ditempel dengan stiker
Dada Reno naik turun. Ah, harusnya ia tidak meledak seperti itu. Ia bisa melihat jelas kekagetan Sena tadi begitu mendengar gelegar suaranya. Namun, hatinya sudah terlanjut benci melihat sosok Monik di belakang Sena. Kenapa Sena harus datang dengan gadis itu. Sena bisa saja datang sendiri.“Aku segera datang ke sini karena polisi menelepon! Kenapa kamu berteriak-teriak?” Rayna bertanya dengan napas pendek-pendek.Di pelipisnya mengalir peluh. Sepertinya ia berlari begitu mendapat panggilan dari kantor polisi tentangnya.“Ya … itu.” Reno berhenti sebentar. Ia berpikir untuk tidak melibatkan siapapun dalam masalah kali ini. Akan tetapi, rasanya percuma tidak melibatkan siapa-siapa saat kamu terkurung dalam sebuah ruangan berukuran 5x5 meter dengan batas jeruji besi. “Sena kemari.”“Kamu meneriakinya?” Wajah Rayna pucat.Pasti kakaknya kini membayangkan mendapatkan masalah dari kelakuan tidak desa
Kecepatan mobil Adit hampir 60 kilometer per jam. Kecepatan ini di dalam kota cukup berbahaya karena begitu banyak halangan seperti kendaraan lain dan lampu merah yang tidak bisa diprediksi waktunya. Namun, Adit sama sekali tidak peduli. Ia hanya ingin segera sampai dan berbicara dengan Monik secepatnya.“Sialan!” makinya saat ia terhenti ketiga kalinya di lampu merah. Jika saja antrian lampu merah ini pendek, maka ia pasti bisa menerobos.Namun, kini ia terhenti tepat di tengah-tengah dan tidak memiliki kesempatan menerobos. Ia tidak mau menambah masalah dengan menabrak hampir semua pengemudi motor di depannya.Monik: Ada apa?Akhirnya Monik membalas pesan Adit. Ia sudah mengirimi pesan sejak tadi—begitu keluar dari rumah Sena.Anda: Aku ada perlu denganmu? Kamu di mana?Monik: Di rumah
“Pokoknya kalian harus pulang pada jam yang sudah dijanjikan, Oke?” Rayna sekali lagi memberi peringatan dengan wajah cemas.Pertunangan Sena dan Reno diumumkan tadi siang. Reno sudah mendapat peringatan untuk tidak membawa Sena tanpa pemberitahuan dan izin dari Ratih. Namun, mereka berdua berhasil membujuk Rayna untuk bisa memberi waktu kabur. Rayna jelas menolaknya, sebab kemarahan Ratih cukup mengerikan.“Kalian bisa membuatku terbunuh kalau tidak menurut,” renggek Rayna kembali. Ia belum melepaskan tangannya dari ujung baju Sena.“Iya, Kak, kami akan kembali jam 10 malam nanti. Ini cuma nonton bioskop kok. Janji.” Setelah pertunangan, Rayna meminta Sena memanggilnya Kakak. Begitu panggilan tersebut meluncur dari mulut Sena, Rayna meloncat seperti anak kecil. Ia begitu bahagia karena bisa mendapatkan adik perempuan.“Adik laki-laki itu memang bagus, tapi aku tidak mungkin menanyakan padanya pakaian manis. Tidak
“Apapun yang terjadi jangan merasa kasihan padanya!”Ratih mengatakan itu dengan sangat meyakinkan ketika akan berangkat. Namun, saat sudah sampai di rumah sakit dan memastikan jika mayat yang ditemukan memang Monik, tak urung dirinya menangis juga.Sena dilarang masuk ke dalam. Yang masuk untuk memeriksa hanya Reno, Ratih, dan Monik. Mereka sebelum masuk diberi peringatan oleh polisi. Sebab yang mereka saksikan cukup mengerikan.“Mama baik-baik saja?” Sena bertanya dengan cemas.Ratih mengeleng. “Tidak bisa dibilang baik-baik saja jika harus menyaksikan pemandangan seperti itu. Menyebalkan mengakuinya, tapi itu mengerikan.”Di sampingnya Rayna mengangguk membenarkan. “Pilihan tepat untuk meninggalkanmu di luar. Aku pikir akan kesulitan menelan makanan untuk beberapa lama setelah ini.”Sena tahu hal itu benar. Wajah tiga orang di depannya ini terlihat pucat. Sena jadi bertanya-tanya apa yang su
Apa sudah berhenti? Seluruh tubuhnya benar-benar remuk rasanya. Bukan hanya itu seluruh kekuatannya seolah tersedot keluar. Monik berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Ia berlari di gang dan kebingungan sendiri. Gang yang dimasuki ternyata rumit seperti labirin.Ketika ia merasa sudah berada di luar gang, ia tergangga dan menyadari jika bukannya menemukan jalan, tempat itu hanya bangunan-bangunan kotor. Beberapa orang preman duduk di depan bangunan dan terlihat tertarik melihat kedatangan Monik.“Tersasar, Dek?” tanya salah satu preman dengan tato yang tak jelas di bahunya.Monik mengabaikan pertanyaan itu. Ia menutup hidungnya karena bau air selokan semakin kuat karena hembusan angin. Ia memaki dalam hati karena asal lari dan tidak melihat ke mana arah tujuan jalan tersebut. Mungkin ia bisa kembali dan berbelok di arah lain pada belokan sebelumnya.“Sombong.”Karena terlalu berkonsentrasi berpikir, Monik tidak
Tidak ada yang berhasil! Tidak ada! Monik melarikan kendaraannya dengan kencang. Syukurlah ia berhasil kabur dari kejaran dan tak berpapasan dengan salah satu petugas keamanan di rumah sakit. Saat penguman pencarian seorang gadis dengan cadar warna hitam disampaikan melalui pengeras suara, Monik telah melewati satpam gerbang dan masuk ke dalam mobil. Ia melihat satpam yang menyadari keberadaannya mendekat dan melajukan mobil dengan cepat.Ada sesuatu yang meloncat ke atas mobil Monik. Ia kaget dan memanting stir tiba-tiba ke kiri. Mobilnya menghantam pembatas jalan dan kepalanya dengan keras terbentur setir. Semuanya tiba-tiba menjadi gelap selama sesaat. Akan tetapi, Monik cepat menguasai diri. Ia harus segera keluar dari mobil jika tidak ingin tertangkap. Polisi pasti sedang mengejarnya saat ini. Untunglah suasana jalanan sedang sepi.Seluruh persendian Monik terasa sakit. Namun, ia memaksakan diri untuk berjalan terus. Ia singah di toilet taman untuk member
Ratih memeluk putri tunggalnya erat-erat. Sesuai instruksi polisi ia bergerak ke rumah sakit pada malam hari. Seharian ini ia selalu mengontak Rayna menanyakan apa yang sedang dilakukan Sena. Sampai sore, ia tidak mendapat kabar kalau ada orang yang tidak dikenal mendekati putrinya. Namun, Rayna melaporkan Sena sukses membuat Reno bertekuk lutut.Saat itu Ratih hanya bisa membatin, Seperti itulah kekuatan seorang wanita yang sedang jatuh cinta.“Apa semuanya baik-baik saja, Sayang?”Ratih tahu tidak seharusnya menanyakan hal ini pada Sena. Ia sudah bertekad untuk membuat putrinya merasa aman. Ia juga sudah mengatakan pada Rayna kalau tidak perlu membuat Sena merasa cemas tentang kedatangan Monik ke rumah. Saat ini ia ke rumah sakit untuk membujuk Sena tinggal di sini semalam, kalau perlu sampai Monik tertangkap.Rasanya tempat Reno di rawat adalah daerah paling aman karena ada seorang polisi dan juga banyak orang yang be
“SENA!”Sena kaget karena Reno berteriak dan mengapai. Ia langsung menangkap tangan pemuda yang matanya masih terpejam tersebut. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.“Reno?” Ragu-ragu Sena menguncang bahu pemuda itu. Ia berharap yang dilakukan bisa membuat Reno tersadar. Akan tetapi, kemungkinan juga tidak. Reno masih dalam pengaruh obat bius.Reno mengenggam jemari Sena erat-erat. Seolah-olah Sena akan menghilang ketika tangannya dilepaskan. Sena tersenyum senang. Ia senang karena dirinya memiliki posisi sepenting itu di dalam hati Reno. Ia harap dirinya tidak hanya berkhayal saja.Rayna mengetuk pintu dari luar, lalu menjulurkan kepalanya. Ia tersenyum-senyum mendekati Sena. Ia tak menyangka adiknya yang bodoh sampai mengenggam tangan Sena tanpa sadar.“Heemmm!” Rayna terbatuk sedikit mengoda.Sena terkejut dan berusaha melepaskan genggaman tangan Reno. Tentu saja hal tersebut tidak berh
Tidak ada yang bisa membujuk Sena jika sudah bertekad. Sama seperti saat ia memutuskan tidan mengatakan apa yang sedang terjadi dalam kehidupan SMA-nya. Seperti saat ia diam saja diperlakukan tidak mengenakan oleh Adit. Atau saat Monik mengancamnya dahulu saat Reno berada di penjara. Begitu juga dengan sekarang. Tidak ada yang bisa mengubah keputusannya untuk datang ke rumah sakit dan tampak mengerikan di kamera. Ia sama sekali tidak peduli.Akan tetapi, lobi rumah sakit sepi. Sepertinya kabar ini belum sampai ke telinga para pencari berita. Mereka pasti masih terlalu fokus pada kematian Tora.“Reno ada di kamar VVIP. Aku sudah menduga kamu akan langsung kemari.”Sena memeluk Rayna segera. Kakak perempuan Reno tersebut selalu berhasil membaca situasi dengan baik saat Sena tidak bisa. Ia melepaskan pelukannya segera dan masuk ke ruangan rawat Reno.Kemeja yang digunakan Reno tidak dikancingkan. Perban melilit bagian perut dan sedikit dadanya. M
Walau berada pada bagian belakang kantor polisi, Sena bisa tahu kalau semua petugas sedang sibuk sekarang. Ia tidak mendengar kabar kalau ada orang penting akan datang ke daerah ini. Namun, kalau bukan alasan tersebut, lalu kenapa kantor yang telah ditinggali beberapa hari ini kalang kabut begini. Setelah hanya bisa mengamati dari sudut yang tidak nyaman dan mendengar kebisingkan yang ditimbulkan oleh orang-orang di depan, seorang petugas muncul dari ujung lorong menuju tempat Sena. Ia membuka kunci terali dan meminta Sena untuk mengikuti dirinya keluar. Sena tidak membantah. Sejak ia berada di dalam penjara, ia tak punya keinginan untuk membantah perintah orang. Sebenaranya sejak lama ia selalu ketakutan untuk melawan, walau akhirnya bisa melakukan hal tersebut. “Apa saya akan diinterogasi lagi?” tanya Sena. Polisi tersebut hanya mendorong pintu hingga terbuka. “Silakan masuk Nona, Anda akan tahu lebih jelasnya di dalam.” Sena tidak bisa berh
Rayna mengangkat ponselnya dengan kesal. Ia belum berhasil membujuk Ratih untuk makan. Ia sedang meminta bantuan Reno yang masih ada di kantor polisi meminta izin untuk membiarkan Sena bicara sebentar di telepon. Namun, sepertinya izin tersebut belum bisa di dapatkan setelah satu jam berlalu.“Ya, halo?” sapanya tanpa mengurangi sedikit pun aura kekesalannya.“Kamu baik-baik saja?” tanya seorang lelaki di telepon. Rayna menjauhan ponsel sedikit untuk melihat siapa pemanggil yang pura-pura akrab dengannya ini. Setelah tahu jika yang menghubunginya Fariq, ia menghirup napas dalam dulu sebelum kemudian mulai bicara kembali. “Maaf … hariku benar-benar sama sekali tidak terkendali. Ada apa?” tanya Rayna cepat.“Kamu sudah menghidupkan televisi?”Rayna tidak banyak bertanya. Ia segera berlari menuju ruang tengah dan menyambar remote TV. Dalam sekali tekan ia segera melihat berita berduka cita. Mata Rayna la