Home / Romansa / Aku Padamu, Gus! / Menjadi Seorang Ibu

Share

Menjadi Seorang Ibu

last update Last Updated: 2022-11-24 22:41:48

Setelah bermalam di rumah sakit, akhirnya pagi ini aku diizinkan pulang. Alhamdulillah bayiku sehat, begitu juga denganku. Bertambahnya satu anggota keluarga di keluarga kami, membuat rumah menjadi ramai. Tangisan bayi selalu menggema setiap saat ketika buah hatiku menginginkan sesuatu.

“Dia belum bisa ngomong, Sayang,” ucap suamiku yang selalu membantuku mengurus bayi. “Dia cuma bisa nangis.”

“Aku takut, Mas.”

“Tenang, lama-lama kamu akan terbiasa. Aku akan selalu menjagamu, juga bayi kita.”

Terkadang aku takut ketika mendengar suara tangisan Meyda yang begitu kencang. Hatiku rasanya sakit melihat bayi kecil itu menangis hingga kulitnya memerah. Dia seperti sedang kesakitan dan aku tidak tahu bagaimana cara menenangkannya selain memberikan asi dan menimangnya. Beruntung pagi ini asiku sudah lancar.

Seperti saat ini misalnya. Baru saja aku selesai memberikan asi, Meyda tertidur pulas, tetapi saat aku meletakkannya di kasur, dia kembali bangun. Sepertinya dia tidak mau lepas denganku
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Shofie Widdianto
Jangan lupa tinggalkan komentar. Kalian juga bisa follow IG aku ... shofie_widdianto. Terima kasih .........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Aku Padamu, Gus!   Panik

    Aku mencoba menyusui Meyda, tetapi dia menolak dan menangis. Kepalanya digerakkan ke kanan dan kiri seperti sedang geleng-geleng. Aku semakin panik dibuatnya ketika tangisannya semakin kencang. “Sayang, kamu kenapa?” Aku mencoba menimangnya dengan berdiri, tetapi Meyda tetap menangis. Rasanya aku ingin menangis sekalian. Aku berjalan keluar, tetapi tidak ada seorang pun di rumah ini. Ke mana mereka? Baru saja suamiku izin keluar. Ke manakah dia? Apakah Mas Azam mengantarkan Abah dan Umi? Ya Allah, apa yang harus kulakukan? “Nenek! Kakek!” Aku berkeliling dari satu kamar ke kamar lain mencari keberadaan seseorang yang mungkin bisa membantuku, tetapi sepertinya memang tidak ada orang. Padahal mereka baru saja berkumpul di rumah ini beberapa jam. Secepat itukah mereka pergi meninggalkanku? Aku kembali ke kamar dan mencoba memberikan asi lagi kepada putri kecilku, beruntung dia mau menerimanya. Aku menahan napas ketika pertama kali dia menyedotnya dengan kencang. Sungguh luar biasa r

    Last Updated : 2022-11-27
  • Aku Padamu, Gus!   Firasat seorang Istri

    “Fia, kamu sudah makan?” tanya Umi. “Belum, Umi. Meyda rewel terus. Nggak seperti biasanya dia tidak mau lepas begini.” “Sini coba biar sama Umi dulu.“ Lima hari berlalu dan besok adalah acara aqiqahan Meyda. Entah mengapa semenjak Gus Azam pergi ke toko, Meyda seperti sedang gelisah. Padahal sebelumnya dia tidak apa-apa meski Abinya pergi ke pondok cukup lama. Aku takut terjadi sesuatu dengan suamiku. “Kenapa nggak mau diam, ya, Fia? Biasanya kalau ditimang langsung anteng.” Aku menggeleng. “Fia tidak tahu, Umi. Hari ini dia rewel, padahal tidak panas.” Mendadak perasaanku menjadi tidak enak. Gus Azam pamit ke toko untuk mengambil beberapa bahan yang akan digunakan untuk acara aqiqah besok, tetapi sudah dua jam dia pergi dan tidak kunjung pulang. “Ya sudah, kamu makan aja. Umi sudah siapkan sayur daun katuk, biar asi kamu makin lancar dan melimpah.” Aku segera makan selagi ada Umi yang membantu menggendong Meyda. Aku merasa tubuhku semakin kurus dan tidak terawat. Lingkar mata

    Last Updated : 2022-11-29
  • Aku Padamu, Gus!   Dia Masih Mencintai Suamiku

    “Sayang ... cup cup cup! Maaf Umi tinggal sebentar. Ada tamunya Abi.”Meyda menangis kencang hingga sekujur tubuhnya terlihat memerah. Putri kecilku terlahir dengan kulit yang putih, sepertinya dia mewarisi kulit Abinya. Berbeda dengan kulit putihku yang kudapat setelah mondok. Di pondok, kulitku menjadi putih karena jarang terkena sinar matahari. Aku hanya panas-panasan ketika pulang sekolah dan itu pun hanya sebentar. Meyda langsung terdiam setelah mendapatkan asi dariku. Sekarang aku sudah terbiasa jika menyusuinya. Tidak lagi terasa sakit meski lidahnya terasa sedikit kasar. Aku tersenyum melihatnya, seketika rasa khawatir itu menguap seketika. “Alhamdulillah Abi sudah pulang, Sayang, Umi jadi tenang sekarang.”Ibu menyusui tidak boleh stres karena bisa berakibat buruk. Aku harus bahagia supaya asi tetap lancar dan anak tetap sehat. Aku menyayangi Meyda lebih dari apa pun. Ah, beginikah rasanya menjadi seorang ibu?“Fia, aku boleh masuk?”Aku menoleh ke asal suara. Ternyata Usta

    Last Updated : 2022-12-02
  • Aku Padamu, Gus!   Masih Cinta

    “Apa aku perlu menikahimu supaya kamu tidak datang ke kehidupan Mas Azam?”“Omong kosong!”“Asal kamu tahu, aku sangat mencintai Shafia, tetapi aku tidak akan pernah membiarkan seorang pun masuk dan merusak kebahagiannya. Aku senang melihat dia bahagia bersama Mas Azam.”Aku menutup mulut mendengar percakapan mereka. Aku tidak menyangka jika Gus Anam masih memiliki perasaan itu padaku. Kupikir dia benar-benar sudah move on, tetapi ternyata aku salah. Aku harus segera kembali sebelum mereka melihatku. Aku mundur beberapa langkah dan kembali masuk ke kamar. Mereka tidak boleh melihatku. Setelah mendengar langkah kaki melewati kamarku, aku keluar seolah tidak terjadi apa-apa. Dengan langkah santai aku menuju ke kamar mandi. Ternyata di sana masih ada Ustazah Layla. “Ustazah sudah selesai?”“Sudah, silakan!” Kulihat matanya sedikit memerah meski dia sudah mencuci muka. Aku harus tenang supaya bisa menghadapi keadaan ini. Aku tidak boleh gegabah. Kupikir setelah menikah dan memiliki an

    Last Updated : 2022-12-02
  • Aku Padamu, Gus!   Berbohong

    “Maaf, aku lupa menutup pintunya, Sayang.” Gus Azam berjalan ke arah pintu kemudian menguncinya. Sudah menjadi kebiasaan kami selama bertahun-tahun tinggal di rumah ini. Menutup pintu kamar adalah hal yang sering terlupakan. Apalagi kami hanya tinggal berdua. Yang penting pintu depan rumah tertutup. Kecuali jika ada nenek dan kakek yang menginap, kami harus hati-hati. Namun, kali ini benar-benar di luar kendali. Manusia memang tempatnya khilaf dan lupa. “Kenapa dikunci, Mas? Masih ada Abah dan Umi. Nggak enak nanti dikira lagi ngapa-ngapain.”“Nggak apa-apa. Mau lanjutin yang tadi.”Baru saja Gus Azam mendekat, Meyda menangis kencang. Terlihat raut muka suamiku sedikit kecewa. Aku ingin tertawa, tapi kutahan. “Sabar, Mas. Tunggu aku sampai suci.”“Azam, Meyda kenapa?” Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Umi pasti khawatir mendengar cucunya yang menangis kencang seperti ini. “Digigit semut, Umi,” ujar Gus Azam sambil membuka pintu. Tanpa ada rasa bersalah, dia membohongi Umi.

    Last Updated : 2022-12-03
  • Aku Padamu, Gus!   Melamun

    “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”Semua orang mendadak wajahnya memucat. Hal ini membuatku seakan berhenti bernapas. Aku teringat kecelakaan tiga tahun lalu yang merenggut nyawa kedua orang tuaku. “Fia, Umi pergi dulu. Kalian di rumah saja. Doakan semoga mereka selamat.” Umi beranjak pergi bersama Gus Anam dan Abah. Dapat kulihat mata Gus Anam memerah, tetapi dia tidak terlihat sedih melainkan sebuah amarah. Semoga mereka bisa terselamatkan. “Assalamualaikum,” ucapnya sebelum keluar dari kamarku.Aku dan Gus Azam menjawab salamnya sebelum adik iparku lenyap di balik pintu. Selepas kepergian adiknya, Gus Azam memijat pelipisnya. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. “Ada apa, Mas?”“Tidak ada apa-apa. Kamu tidak perlu khawatir. Mas hanya pusing, nanti juga sembuh kalau sudah minum obat.”“Jangan minum obat terus, Mas. Apalagi tanpa resep dokter. Coba mas periksa aja kenapa akhir-akhir ini sering sakit kepala.”Dua bulan terakhir, suamiku sering mengalami sakit ke

    Last Updated : 2022-12-04
  • Aku Padamu, Gus!   Acara Aqiqahan

    Hari ini acara aqiqahan Meyda. Nanti malam ada acara pembacaan Al Barzanji. Barzanji adalah kitab sastra yang berisi sejarah Nabi dimulai dari kelahiran sampai wafatnya. Biasanya pembacaan Al barzanji hanya dilakukan di saat tertentu saja, seperti aqiqahan, khitan, dan walimatul ursy. Salah satu tujuannya yaitu menyambut kelahiran seorang bayi. “Mas, tolong ambilkan jilbabku!” “Sebentar. Mas pakai sarung dulu. Banyak sekali saudaramu yang datang.” “Kapan lagi mereka bisa berkumpul kalau tidak ada acara seperti ini, Mas?” Meski sebagai anak tunggal, aku memiliki banyak saudara sepupu. Mereka sama sepertiku yang kuliah di semester akhir. Sayang sekali aku harus cuti karena melahirkan. Beruntung aku hanya tinggal menyelesaikan tugas akhir saja. “Abah sama Umi katanya terlambat. Mereka menjenguk Kyai Abdullah dulu di rumah sakit.” “Iya, Mas. Alhamdulillah mereka masih bisa diselamatkan.” Tadi malam Gus Anam menghubungi kami. Dia mengatakan jika keluarga Kyai Abdullah selamat. Mereka

    Last Updated : 2022-12-08
  • Aku Padamu, Gus!   Percaya

    Dengan siapa Mas Azam berbicara? Kenapa sampai bisik-bisik? Aku mencoba menenangkan Meyda supaya diam, tetapi anakku tidak mau berhenti menangis. Gus Azam menoleh dan mematikan teleponnya. “Sayang, ka-kamu ngapain?” Gus Azam terlihat salah tingkah kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku. Aku merasa dia menyembunyikan sesuatu dariku. “Aku mau menyusui Meyda, Mas. Malu kalau di depan.” Gus Azam terlihat menarik napas panjang kemudian menuju ke arahku. “Sini biar sama Mas dulu. Kali aja dia ingin diajak jalan-jalan sama Abi.”Aku menyerahkan Meyda kepada suamiku. Benar saja putriku langsung diam. Mungkin dia memang sedang ingin bersama abinya. Entah mengapa aku rasanya selalu menaruh rasa curiga kepada suamiku. Beberapa hari aku tidak menjalankan ibadah sebagai muslim. Astaghfirullah, aku terlalu sibuk dengan dunia hingga lupa akan perintah-Nya. Aku masih bisa berzikir meski tidak melakukan salat. Ya Allah ampunilah hamba-Mu ini. Mungkin setan sedang mengganggu pikiranku karena j

    Last Updated : 2022-12-08

Latest chapter

  • Aku Padamu, Gus!   Endingnya

    “Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam

  • Aku Padamu, Gus!   Pantai Kidul

    Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring

  • Aku Padamu, Gus!   Frustasi

    Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati

  • Aku Padamu, Gus!   Surat Laporan

    Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di

  • Aku Padamu, Gus!   Tragedi

    “Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel

  • Aku Padamu, Gus!   Menginap

    Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.

  • Aku Padamu, Gus!   Waswas

    “Aku tidak kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pulang saja.” “Panggung utama sudah terlihat dan kamu ingin kembali?” Layla menggeleng. “Kita harus ke sana. Suami kita sudah menunggu.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya beberapa Minggu terakhir ini aku sering merasa diawasi ketika pergi keluar rumah. Aku pun meminta Gus Azam mengganti pagar depan rumah dengan yang lebih tinggi. Gerbang yang dulu hanya setinggi orang dewasa. Pakde Irul bilang yang penting orang tidak bisa masuk sembarangan. Pun kendaraan di dalamnya aman. “Hidup di desa itu dekat dengan banyak tetangga. Kalau gerbangmu terlalu tinggi, mereka tidak ada yang tahu jika kamu dalam kesusahan.” Memang benar yang dikatakan Pakde Irul waktu itu. Beruntung setelahnya Pak Rozaq dipenjara. Namun, aku tidak tahu apakah dia masih mendekam di penjara atau sudah bebas. Terkadang aku merasa takut jika mengingatnya. Hidupku sudah cukup berat selama ini. Aku yakin Allah tidak akan mengujiku lagi dengan cobaan yang berat

  • Aku Padamu, Gus!   Konsultasi

    “Cek ponsel kamu sekarang, Fia!”Aku segera mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Aku meletakkannya di meja kamar sejak sampai di sini pagi tadi. Aku penasaran dengan pesan Layla sampai dia merasa sangat malu. Apakah dia membahas tentang adegan ranjang? Ah tidak mungkin. Dia wanita yang cerdas. Dia tahu jika tidak boleh membahas masalah ranjang dengan seseorang. Itu sama halnya dengan membuka aib pasangan. Aku kembali menemui Layla setelahnya. Wajahnya terlihat semakin kusut. Apalagi saat dia menoleh ke arahku, terang-terangan aku tertawa melihat ekspresinya.“Tuh ‘kan malah ngetawain aku.” “Gimana nggak mau ketawa, lihat ekspresi wajah kamu itu bikin siapa aja gemas.”“Sayang, kalian bakal punya Bude yang menyebalkan.” Aku semakin terkekeh melihat Layla mengelus perutnya dan mengajak ngobrol kedua bayinya yang masih ada di dalam kandungan. Sebelum dia semakin marah, segera kubuka pesannya. Aku menutup mulut setelah membacanya. Namun, sepersekian detik aku tertawa.

  • Aku Padamu, Gus!   Hamil

    “Jangan, Sayang! Nanti kamu jatuh.” Kulihat dari jendela kaca dapur, suamiku sedang mengajak Meyda menyiram tanaman. Tangan Meyda tak henti-hentinya meminta apa yang abinya pegang. “Ta ta ta ta!” Aku tersenyum melihat Mas Azam mau membantu mengasuh Meyda ketika aku sedang sibuk di dapur. Bayi mungilku sudah merangkak. Di usianya yang menginjak delapan bulan, dia sudah mulai mengeluarkan kosakata yang hanya dimengerti oleh bayi. Aku sendiri sebagai ibunya belum bisa menerjemahkan bahasanya. “Sarapan sudah siap. Makan dulu, Abi.”“Wah, Umi sudah selesai masak.” Gus Azam berlari bersama Meyda di gendongannya. “Abi! Udah berapa kali Umi bilang jangan gendong Meyda di belakang. Dia belum bisa pegangan kuat, nanti bisa jatuh.”Bukannya berhenti, suamiku malah mengangkat tinggi-tinggi Meyda hingga putrinya terbahak-bahak. “Lihat! Umi marah, Sayang.” Suamiku pura-pura takut kemudian duduk memangku Meyda. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ayah dan anak itu. Kami sudah sepakat

DMCA.com Protection Status