“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”Semua orang mendadak wajahnya memucat. Hal ini membuatku seakan berhenti bernapas. Aku teringat kecelakaan tiga tahun lalu yang merenggut nyawa kedua orang tuaku. “Fia, Umi pergi dulu. Kalian di rumah saja. Doakan semoga mereka selamat.” Umi beranjak pergi bersama Gus Anam dan Abah. Dapat kulihat mata Gus Anam memerah, tetapi dia tidak terlihat sedih melainkan sebuah amarah. Semoga mereka bisa terselamatkan. “Assalamualaikum,” ucapnya sebelum keluar dari kamarku.Aku dan Gus Azam menjawab salamnya sebelum adik iparku lenyap di balik pintu. Selepas kepergian adiknya, Gus Azam memijat pelipisnya. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. “Ada apa, Mas?”“Tidak ada apa-apa. Kamu tidak perlu khawatir. Mas hanya pusing, nanti juga sembuh kalau sudah minum obat.”“Jangan minum obat terus, Mas. Apalagi tanpa resep dokter. Coba mas periksa aja kenapa akhir-akhir ini sering sakit kepala.”Dua bulan terakhir, suamiku sering mengalami sakit ke
Hari ini acara aqiqahan Meyda. Nanti malam ada acara pembacaan Al Barzanji. Barzanji adalah kitab sastra yang berisi sejarah Nabi dimulai dari kelahiran sampai wafatnya. Biasanya pembacaan Al barzanji hanya dilakukan di saat tertentu saja, seperti aqiqahan, khitan, dan walimatul ursy. Salah satu tujuannya yaitu menyambut kelahiran seorang bayi. “Mas, tolong ambilkan jilbabku!” “Sebentar. Mas pakai sarung dulu. Banyak sekali saudaramu yang datang.” “Kapan lagi mereka bisa berkumpul kalau tidak ada acara seperti ini, Mas?” Meski sebagai anak tunggal, aku memiliki banyak saudara sepupu. Mereka sama sepertiku yang kuliah di semester akhir. Sayang sekali aku harus cuti karena melahirkan. Beruntung aku hanya tinggal menyelesaikan tugas akhir saja. “Abah sama Umi katanya terlambat. Mereka menjenguk Kyai Abdullah dulu di rumah sakit.” “Iya, Mas. Alhamdulillah mereka masih bisa diselamatkan.” Tadi malam Gus Anam menghubungi kami. Dia mengatakan jika keluarga Kyai Abdullah selamat. Mereka
Dengan siapa Mas Azam berbicara? Kenapa sampai bisik-bisik? Aku mencoba menenangkan Meyda supaya diam, tetapi anakku tidak mau berhenti menangis. Gus Azam menoleh dan mematikan teleponnya. “Sayang, ka-kamu ngapain?” Gus Azam terlihat salah tingkah kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku. Aku merasa dia menyembunyikan sesuatu dariku. “Aku mau menyusui Meyda, Mas. Malu kalau di depan.” Gus Azam terlihat menarik napas panjang kemudian menuju ke arahku. “Sini biar sama Mas dulu. Kali aja dia ingin diajak jalan-jalan sama Abi.”Aku menyerahkan Meyda kepada suamiku. Benar saja putriku langsung diam. Mungkin dia memang sedang ingin bersama abinya. Entah mengapa aku rasanya selalu menaruh rasa curiga kepada suamiku. Beberapa hari aku tidak menjalankan ibadah sebagai muslim. Astaghfirullah, aku terlalu sibuk dengan dunia hingga lupa akan perintah-Nya. Aku masih bisa berzikir meski tidak melakukan salat. Ya Allah ampunilah hamba-Mu ini. Mungkin setan sedang mengganggu pikiranku karena j
Setelah penyembelihan seekor kambing tadi pagi, malam ini adalah puncak acaranya. Pembacaan Al barzanji dimulai selepas Isya. Tamu undangan hadir tepat waktu, pun Abah dan Umi akan langsung berangkat ke Jakarta bersama Gus Anam. Acara selesai pukul setengah sembilan. Umi beberapa kali menciumi Meyda sebelum pergi seolah tidak ingin terpisah dengan cucunya. Meyda juga seolah tidak mau pisah dengan neneknya. Setiap kali diberikan kepadaku, dia selalu menangis. Namun, dia tenang jika bersama neneknya. “Gimana ini, Zam? Boleh ikut Umi ke Jakarta?” tanya Umi. “Boleh, wisudanya Anam ditunda 2 tahun lagi,” jawab suamiku sambil terkekeh. “Enak aja. Aku nggak mau lama-lama di sana.”Gus Anam melanjutkan kuliah S2 di Jakarta, berbeda dengan suamiku yang hanya lulusan S1. Adik iparku sudah mendapatkan amanah dari Abah jika dia yang akan meneruskan kepengurusan pondok pesantren. Gus Azam hanya akan membantu seperti sebelumnya.Gus Azam menjadi kepala madrasah Aliyah di pesantren Abah, tetapi
Pagi ini kami sudah bersiap ke rumah sakit untuk kontrol. Satu minggu setelah melahirkan, dokter meminta kami untuk melakukan pemeriksaan terhadap ibu dan anak. Aku juga meminta Gus Azam supaya mau melakukan pemeriksaan. Akhir-akhir ini dia sering sakit kepala, tetapi dia menghiraukannya. “Mas sudah biasa sakit kepala seperti ini, Sayang. Nanti juga sembuh.”“Nanti kapan, Mas? Aku antar ke dokter, ya?”Gus Azam menggeleng. “Tidak usah. Mas tidak apa-apa.”Dia selalu mengatakan tidak apa-apa, tetapi dapat kulihat dari raut wajahnya jika dia sering terlihat kesakitan. Meski dia bilang migrain, nyatanya sakit itu membuatku tidak nyaman. Aku tidak tega melihat suamiku seperti itu. Terkadang aku takut jika dia meninggalkanku lebih dulu. Aku terlalu bergantung padanya. Hari ini aku memaksanya untuk melakukan pemeriksaan. Aku tidak mau jika tiba-tiba dia sakit keras dan meninggalkanku. Terkadang aku berpikir jika dunia ini seperti sinetron. Aku belum siap menjadi janda jika suamiku meningg
“Fia, tenanglah! Meyda terbangun mendengar tangisanmu.” Aku bahkan melupakan anak yang sedari tadi berada dalam dekapanku. Dia menangis kencang mendengar perdebatan kami. “Maaf, Dokter. Kami permisi dulu.” Aku segera membawa Meyda keluar dan mencari tempat untuk memberikan asi. Aku sudah menyiapkan satu botol susu untuknya sebelum ke rumah sakit. Aku masih belum terbiasa memberikan asi langsung jika berada di tempat umum. Aku mencari tempat duduk yang sedikit sepi karena tidak ingin mengganggu orang. “Kamu marah?” tanya Gus Azam. Aku diam seribu bahasa. Istri mana yang tidak marah mengetahui suaminya berbohong? “Sayang, minum susunya, ya!” Meyda menggeleng ke kanan dan kiri, tidak mau meminum susu memakai empeng. Ini pertama kalinya aku memeras ASI untuk Meyda. “Dia tidak akan diam jika ibunya masih marah dengan suaminya.” Aku menoleh ke arah Gus Azam yang duduk di sampingku. “Apa hubungannya?” “Meyda itu buah hati kita. Dia bisa merasakan jika kedua orang tuanya sedang tidak
Hari ini Umi sudah pulang dari Jakarta. Pagi-pagi sekali beliau sudah datang diantar Gus Anam. Sedangkan Abah tidak bisa ikut karena ada kajian di masjid. “Umi kangen banget sama Meyda, Zam. Umi udah nggak sabar mau mandiin cucu.”Umi terlihat bahagia menggendong Meyda yang sudah dilepaskan bajunya. Dia sudah siap dimandikan. “Umi udah nggak pantas dipanggil Umi lagi, sekarang sudah jadi Mbah Putri.” Gus Azam mencium pipi uminya kemudian kabur. “Azam! Tapi benar juga, ya. Sekarang Umi sudah jadi Simbah.”Aku geleng-geleng melihat kelakuan suamiku. Dia masih terlihat manja jika bersama uminya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Umi jika tahu anaknya sedang sakit. Ketika Umi memandikan Meyda, aku mempersiapkan pakaian untuk Meyda. Setelah semua siap, aku mengambil beberapa baju kotor suamiku. Dia bilang ada beberapa sarung di kamar tengah yang digunakan untuk salat di sana. Juga beberapa mukena yang habis dipakai saudara ketika acara aqiqahan kemarin. Ketika aku hendak
Aku melepas tangannya yang melingkar di perutku kemudian berbalik menatap ke arahnya. “Jelaskan padaku, Mas!” “Abah sudah berjanji akan menjodohkan anaknya dengan Layla, anak dari Kyai Abdullah. Aku sudah menceritakannya padamu ‘kan?” Aku mengangguk-angguk menyimak penjelasan suamiku. Ternyata perjodohan ini tidak bisa dibatalkan. Mereka sudah sepakat, tetapi suamiku sudah menikah dan tidak mau menikah lagi. “Anam yang akan menikah dengan Layla. Dengan begitu Abah tidak memiliki beban lagi. Aku yakin Abah pasti bingung memikirkan semua ini. Apalagi Kyai Abdullah sedang memburuk keadaannya. Anam akan segera menikah dengan Layla supaya perjodohan itu terlaksana.” “Tapi Ustazah Layla sukanya sama kamu, Mas.” Aku menggigit bibir bawahku untuk menahan rasa sakit di hati. Mengetahui suamiku disukai wanita lain saja membuatku sesak. Apalagi jika dia menikah lagi? Kurasa aku tidak akan sanggup untuk hidup di dunia ini lagi. “Dan aku hanya mencintaimu. Selamanya hanya kamu.” “Janji?” Aku
“Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam
Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring
Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati
Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di
“Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel
Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.
“Aku tidak kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pulang saja.” “Panggung utama sudah terlihat dan kamu ingin kembali?” Layla menggeleng. “Kita harus ke sana. Suami kita sudah menunggu.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya beberapa Minggu terakhir ini aku sering merasa diawasi ketika pergi keluar rumah. Aku pun meminta Gus Azam mengganti pagar depan rumah dengan yang lebih tinggi. Gerbang yang dulu hanya setinggi orang dewasa. Pakde Irul bilang yang penting orang tidak bisa masuk sembarangan. Pun kendaraan di dalamnya aman. “Hidup di desa itu dekat dengan banyak tetangga. Kalau gerbangmu terlalu tinggi, mereka tidak ada yang tahu jika kamu dalam kesusahan.” Memang benar yang dikatakan Pakde Irul waktu itu. Beruntung setelahnya Pak Rozaq dipenjara. Namun, aku tidak tahu apakah dia masih mendekam di penjara atau sudah bebas. Terkadang aku merasa takut jika mengingatnya. Hidupku sudah cukup berat selama ini. Aku yakin Allah tidak akan mengujiku lagi dengan cobaan yang berat
“Cek ponsel kamu sekarang, Fia!”Aku segera mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Aku meletakkannya di meja kamar sejak sampai di sini pagi tadi. Aku penasaran dengan pesan Layla sampai dia merasa sangat malu. Apakah dia membahas tentang adegan ranjang? Ah tidak mungkin. Dia wanita yang cerdas. Dia tahu jika tidak boleh membahas masalah ranjang dengan seseorang. Itu sama halnya dengan membuka aib pasangan. Aku kembali menemui Layla setelahnya. Wajahnya terlihat semakin kusut. Apalagi saat dia menoleh ke arahku, terang-terangan aku tertawa melihat ekspresinya.“Tuh ‘kan malah ngetawain aku.” “Gimana nggak mau ketawa, lihat ekspresi wajah kamu itu bikin siapa aja gemas.”“Sayang, kalian bakal punya Bude yang menyebalkan.” Aku semakin terkekeh melihat Layla mengelus perutnya dan mengajak ngobrol kedua bayinya yang masih ada di dalam kandungan. Sebelum dia semakin marah, segera kubuka pesannya. Aku menutup mulut setelah membacanya. Namun, sepersekian detik aku tertawa.
“Jangan, Sayang! Nanti kamu jatuh.” Kulihat dari jendela kaca dapur, suamiku sedang mengajak Meyda menyiram tanaman. Tangan Meyda tak henti-hentinya meminta apa yang abinya pegang. “Ta ta ta ta!” Aku tersenyum melihat Mas Azam mau membantu mengasuh Meyda ketika aku sedang sibuk di dapur. Bayi mungilku sudah merangkak. Di usianya yang menginjak delapan bulan, dia sudah mulai mengeluarkan kosakata yang hanya dimengerti oleh bayi. Aku sendiri sebagai ibunya belum bisa menerjemahkan bahasanya. “Sarapan sudah siap. Makan dulu, Abi.”“Wah, Umi sudah selesai masak.” Gus Azam berlari bersama Meyda di gendongannya. “Abi! Udah berapa kali Umi bilang jangan gendong Meyda di belakang. Dia belum bisa pegangan kuat, nanti bisa jatuh.”Bukannya berhenti, suamiku malah mengangkat tinggi-tinggi Meyda hingga putrinya terbahak-bahak. “Lihat! Umi marah, Sayang.” Suamiku pura-pura takut kemudian duduk memangku Meyda. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ayah dan anak itu. Kami sudah sepakat