Share

Kritis

last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-13 23:25:16
Aku melepas tangannya yang melingkar di perutku kemudian berbalik menatap ke arahnya. “Jelaskan padaku, Mas!”

“Abah sudah berjanji akan menjodohkan anaknya dengan Layla, anak dari Kyai Abdullah. Aku sudah menceritakannya padamu ‘kan?”

Aku mengangguk-angguk menyimak penjelasan suamiku. Ternyata perjodohan ini tidak bisa dibatalkan. Mereka sudah sepakat, tetapi suamiku sudah menikah dan tidak mau menikah lagi.

“Anam yang akan menikah dengan Layla. Dengan begitu Abah tidak memiliki beban lagi. Aku yakin Abah pasti bingung memikirkan semua ini. Apalagi Kyai Abdullah sedang memburuk keadaannya. Anam akan segera menikah dengan Layla supaya perjodohan itu terlaksana.”

“Tapi Ustazah Layla sukanya sama kamu, Mas.” Aku menggigit bibir bawahku untuk menahan rasa sakit di hati.

Mengetahui suamiku disukai wanita lain saja membuatku sesak. Apalagi jika dia menikah lagi? Kurasa aku tidak akan sanggup untuk hidup di dunia ini lagi.

“Dan aku hanya mencintaimu. Selamanya hanya kamu.”

“Janji?” Aku
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Non Ifaku
selama ini aku jd silent reader. tp di part ini aku gemes bgt sm Layla. wanita berpendidikan tinggi tp kurang mampu mengendalikan perasaannya ( disini aku kategorikan nafsu, krn cinta Layla sdh seperti obsesi ). sbg sesama wanita dia bahkan tak peduli dgn perasaan Fia.
goodnovel comment avatar
Aminah Aminah
fiaaaaaaaa peluk jauh.........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Aku Padamu, Gus!   Tidak Ingin Dimadu

    “Aku tidak ingin poligami, Abah. Memiliki dua istri itu tidak mudah. Satu saja sering membuatku pusing.”Aku menyenggol lengan suamiku. Kenapa dia pakai acara bilang gitu segala di depan Abah dan Umi. Aku memang tidak mau dimadu, tetapi tidak harus menjadikanku sebagai kambing hitam.Di awal pernikahan kami, aku memang belum memiliki perasaan pada suamiku. Kupikir aku tidak akan sejauh ini, nyatanya menikah dengannya membuatku jatuh hati juga. Bahkan sudah ada anak di antara kami.“Abah mohon, Zam!”“Tidak bisa, Abah. Belum kering luka jahitan Fia dan Abah memintaku menikah?” Gus Azam menggeleng. “Aku tidak akan melakukannya, Abah!”Mendadak keadaan menjadi hening. Semua orang diam dalam pikirannya masing-masing hingga Gus Anam mengeluarkan suara. Apakah dia akan mengatakan jika dia ingin menikahi Ustazah Layla untuk menyelamatkan keluarga kecilku?“Biarkan Anam yang menikahi Layla, Abah. Bukankah Abah hanya berjanji akan menjadikan Layla sebagai menantu? Menikah denganku juga bisa me

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-14
  • Aku Padamu, Gus!   Terlalu Buru-buru

    “Aku pergi dulu, Mas. Mungkin lebih baik aku segera menemui Layla,” ucap Gus Anam kemudian beranjak dari duduknya.Setelah berbincang cukup lama dengan kakaknya, Gus Anam akhirnya memutuskan untuk segera ke rumah sakit menemui Ustazah Layla. Dia harus segera melamar gadis itu supaya mau menikah dengannya. Gus Anam memang tidak mencintainya, tetapi dia sudah memantapkan diri untuk menyempurnakan separuh agama bersama Ustazah Layla. “Aku menikahinya dengan niat ibadah, Mas. Aku juga ingin memiliki keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah seperti kalian.”“Jika kamu sudah memilih, Mas hanya bisa mendoakan.” Gus Azam menepuk bahu sang adik kemudian memeluknya. “Semoga berhasil.”Gus Anam pergi sendiri ke rumah sakit. Dia bilang ingin memastikan dulu kepada Ustazah Layla sebelum meminta Abah dan Umi melamarnya secara langsung. Awalnya aku tidak menyetujuinya, tetapi setelah mengetahui niat baiknya, tidak ada alasan untuk melarangnya. Aku teringat kelakuan adik iparku ketika kuliah dulu.

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-15
  • Aku Padamu, Gus!   Mertua Jahat

    “Lepas!” ucapku ketiga Gus Azam menarik kasar lenganku. “Aku ini istrimu, Mas? Kenapa kamu sembunyikan semuanya dariku? Sudah tiga tahun kita menikah, tetapi kenapa kamu tidak pernah jujur padaku? Kamu anggap aku ini apa, Mas?”“Fia, maafkan Mas. Bukannya aku tidak jujur padamu. Aku hanya ingin mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya.”Suamiku selalu mengatakan jika dia harus menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya, tetapi jika aku tidak mendengarnya secara langsung, apakah dia akan jujur padaku? Bahkan kepada keluarganya saja dia tidak pernah jujur. “Sampai kapan, Mas? Sampai kamu tiba-tiba pergi meninggalkanku?” Pecah sudah tangisku. Selama ini kutahan agar tidak menangis karena ibu menyusui tidak boleh terlalu stres. “Aku tidak ingin kehilanganmu, Mas!”Gus Azam merengkuh tubuhku dalam peluknya. “Aku tidak akan meninggalkanmu. Semua ini bisa diobati, Sayang. Aku akan sembuh.”Penyakit Gus Azam bisa dikatakan belum parah, tetapi jika keterusan dan dibiarkan akan membua

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-16
  • Aku Padamu, Gus!   Kecelakaan

    Aku memunguti pecahan piring yang jatuh di depanku, tetapi jariku tertancap beling. Ah, rasanya perih sekali. Terlihat darah mengalir di ujung jari telunjukku. Rasanya tanganku seperti kesemutan. Beruntung aku selalu sedia plester luka yang kuletakkan di atas kulkas. Aku segera membersihkan lukanya kemudian memberikan obat dan menutupnya dengan plester. Meski sudah kubereskan piringnya, entah mengapa perasaanku masih gelisah. Aku berjalan ke depan melihat Meyda. Dia masih aman bersama Abah dan Umi. Segera kuambil ponsel dan menghubungi suamiku. Semoga apa yang kutakutkan tidak terjadi padanya. Panggilan terhubung, tetapi tidak ada jawaban darinya. Mungkin saja dia masih di jalan. Aku beristighfar beberapa kali supaya pikiranku tenang, tetapi perasaanku semakin kacau. Hal-hal negatif mulai membayangiku. “Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa dengan suamiku.”Aku duduk di sisi ranjang sambil sesekali melihat layar ponsel. Tiba-tiba nama Gus Azam muncul di layar ponsel. Aku segera m

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-18
  • Aku Padamu, Gus!   Tentang Lamaran

    Setelah menunggu selama satu jam, akhirnya Gus Azam pulang dibopong Abah dan Gus Anam. Setelah menjawab salam dari mereka, aku memeluk suamiku. “Jangan menangis! Mas baik-baik saja.” Diusapnya pelan kepalaku. Melihatnya selamat seperti ini membuatku lega meski ada beberapa luka di bagian tubuhnya. “Apa yang terjadi, Mas?” tanyaku setelah dia duduk di kursi. Abah dan Gus Anam juga mengikuti kami duduk di ruang tamu. Tampaknya mereka juga belum mendapatkan penjelasan dari Gus Azam. “Aku menabrak orang gila, Sayang. Dia tiba-tiba berlari berdiri di depan motor Mas. Kecelakaan pun tak bisa dihindari.”“Keadaannya sekarang bagaimana, Mas?”“Dia tidak apa-apa. Hanya siku dan lutut yang berdarah. Setelah diobati, Mas meminta Faiz untuk mengantarkan orang itu pulang ke rumah. Beruntung warga sekitar masih mengenalnya dan tahu di mana rumahnya.”“Syukurlah kalau begitu, tapi kenapa malah Mas Azam yang terluka parah?”“Mas banting setir,” ucapnya terkekeh. Aku bersyukur karena suamiku ma

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-19
  • Aku Padamu, Gus!   Kangen

    Sehari setelah Gus Anam melamar Ustazah Layla, hari ini Abah dan Umi akan melamarkannya secara langsung. Kyai Abdullah baru saja pulang dari rumah sakit. Acara lamaran sederhana dilakukan di kediaman rumah Ustazah Layla.“Mas nggak ikuta?” tanyaku pada suamiku. “Mas di rumah saja. Bukankah sudah pasti kalau Anam diterima. Kalau Mas ikut, takunya malah Mas yang dikira mau melamar Layla.”Benar juga kata suamiku. Mungkin lebih baik dia memang di rumah bersama kami. Gus Azam hari ini masih perlu banyak istirahat. Luka di tubuhnya belum mengering. Dia memakai celana pendek supaya lututnya tidak terluka lagi. Aku yang mengerjakan semua pekerjaan rumah. Aku memintanya momong Meyda kali ini. “Mas, jangan dibkin ketawa terus! Nanti Meyda menangis!”“Tenang aja. Yang penting dia tidak menangis.”Merawat seorang bayi memang butuh kesabaran ekstra. Dia belum bisa mengungkapkan keinginannya agar dimengerti orang dewasa. Dia hanya tertawa, tersenyum, dan menangis. Namun, sebagai ibu kandungnya

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-20
  • Aku Padamu, Gus!   Mas Faiz

    Aku menangis kencang hingga membuat Meyda terbangun. Kini aku bingung antara anak dan suamiku. Gus Azam pingsan dan Meyda menangis, tetapi tidak ada orang di rumah. Kuletakkan kepala suamiku dengan pelan di lantai. Segera kuambil Meyda dan menimangnya. Aku bingung harus melakukan apa sekarang. “Mas! Bangun!”Aku menepuk-nepuk pipi suamiku, tetapi dia bergeming. “Ya Allah, sadarkanlah suamiku. Mas Azam, bangun! Kami membutuhkanmu, Mas!”Aku tidak mungkin menghubungi Gus Anam. Dia pasti masih sibuk. Akhirnya kuputuskan menghubungi Mas Faiz. Aku akan memintanya datang ke rumah. Kuambil ponsel dan meminta anak buah suamiku untuk segera datang. “Tutup saja tokonya, Mas. Mbak mohon segera datang ke rumah. Mas Azam pingsan.”“Tenang, Mbak. Aku akan segera ke rumah.”Kututup telepon dan kembali menggoyangkan bahu Gus Azam, tetapi tidak ada respon sama sekali. Kuletakkan jari telunjukku di hidungnya, beruntung dia masih bernapas. Meyda yang kutimang sedari tadi kembali tidur. Dia hanya ka

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-21
  • Aku Padamu, Gus!   Rumah Sakit

    “Bagaimana keadaan Azam, Fia?” tanya Umi setelah aku keluar dari ruangan dokter. Ada Gus Anam beserta Abah dan Umi yang menunggu bersama Mas Faiz. Meyda pun sudah digendong sama Umi. Sepertinya mereka sudah cukup lama sampai di sini. “Mas Azam baik-baik saja, Umi. Hanya kecapekan.”“Kecapekan?” Umi tampak berpikir.Selama ini memang Gus Azam jarang sekali sakit kecuali kecelakaan. Dia lelaki yang kuat atau lebih tepatnya selalu berusaha menjadi lelaki yang kuat. Dia tidak pernah menunjukkan kelemahannya sampai sakit ini menyerang tubuhnya. “Mas Azam kecapekan?” Gus Azam tertawa. “Dia tidak seperti itu. Capek tidak akan membuatnya pingsan seperti ini.”Bagaimana mungkin dia tahu semua itu? Tatapan mata Gus Anam seolah ingin mengulitiku. Dia pasti tahu jika aku sedang berbohong. Mungkin lebih baik aku diam saja. “Nam, jangan seperti itu sama Fia. Lihatlah dia ketakutan melihatmu.”Benar kata Umi. Aku ketakutan melihat wajah adik iparku. Dia seolah ingin menerkam dan memangsaku hidup

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-22

Bab terbaru

  • Aku Padamu, Gus!   Endingnya

    “Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam

  • Aku Padamu, Gus!   Pantai Kidul

    Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring

  • Aku Padamu, Gus!   Frustasi

    Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati

  • Aku Padamu, Gus!   Surat Laporan

    Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di

  • Aku Padamu, Gus!   Tragedi

    “Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel

  • Aku Padamu, Gus!   Menginap

    Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.

  • Aku Padamu, Gus!   Waswas

    “Aku tidak kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pulang saja.” “Panggung utama sudah terlihat dan kamu ingin kembali?” Layla menggeleng. “Kita harus ke sana. Suami kita sudah menunggu.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya beberapa Minggu terakhir ini aku sering merasa diawasi ketika pergi keluar rumah. Aku pun meminta Gus Azam mengganti pagar depan rumah dengan yang lebih tinggi. Gerbang yang dulu hanya setinggi orang dewasa. Pakde Irul bilang yang penting orang tidak bisa masuk sembarangan. Pun kendaraan di dalamnya aman. “Hidup di desa itu dekat dengan banyak tetangga. Kalau gerbangmu terlalu tinggi, mereka tidak ada yang tahu jika kamu dalam kesusahan.” Memang benar yang dikatakan Pakde Irul waktu itu. Beruntung setelahnya Pak Rozaq dipenjara. Namun, aku tidak tahu apakah dia masih mendekam di penjara atau sudah bebas. Terkadang aku merasa takut jika mengingatnya. Hidupku sudah cukup berat selama ini. Aku yakin Allah tidak akan mengujiku lagi dengan cobaan yang berat

  • Aku Padamu, Gus!   Konsultasi

    “Cek ponsel kamu sekarang, Fia!”Aku segera mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Aku meletakkannya di meja kamar sejak sampai di sini pagi tadi. Aku penasaran dengan pesan Layla sampai dia merasa sangat malu. Apakah dia membahas tentang adegan ranjang? Ah tidak mungkin. Dia wanita yang cerdas. Dia tahu jika tidak boleh membahas masalah ranjang dengan seseorang. Itu sama halnya dengan membuka aib pasangan. Aku kembali menemui Layla setelahnya. Wajahnya terlihat semakin kusut. Apalagi saat dia menoleh ke arahku, terang-terangan aku tertawa melihat ekspresinya.“Tuh ‘kan malah ngetawain aku.” “Gimana nggak mau ketawa, lihat ekspresi wajah kamu itu bikin siapa aja gemas.”“Sayang, kalian bakal punya Bude yang menyebalkan.” Aku semakin terkekeh melihat Layla mengelus perutnya dan mengajak ngobrol kedua bayinya yang masih ada di dalam kandungan. Sebelum dia semakin marah, segera kubuka pesannya. Aku menutup mulut setelah membacanya. Namun, sepersekian detik aku tertawa.

  • Aku Padamu, Gus!   Hamil

    “Jangan, Sayang! Nanti kamu jatuh.” Kulihat dari jendela kaca dapur, suamiku sedang mengajak Meyda menyiram tanaman. Tangan Meyda tak henti-hentinya meminta apa yang abinya pegang. “Ta ta ta ta!” Aku tersenyum melihat Mas Azam mau membantu mengasuh Meyda ketika aku sedang sibuk di dapur. Bayi mungilku sudah merangkak. Di usianya yang menginjak delapan bulan, dia sudah mulai mengeluarkan kosakata yang hanya dimengerti oleh bayi. Aku sendiri sebagai ibunya belum bisa menerjemahkan bahasanya. “Sarapan sudah siap. Makan dulu, Abi.”“Wah, Umi sudah selesai masak.” Gus Azam berlari bersama Meyda di gendongannya. “Abi! Udah berapa kali Umi bilang jangan gendong Meyda di belakang. Dia belum bisa pegangan kuat, nanti bisa jatuh.”Bukannya berhenti, suamiku malah mengangkat tinggi-tinggi Meyda hingga putrinya terbahak-bahak. “Lihat! Umi marah, Sayang.” Suamiku pura-pura takut kemudian duduk memangku Meyda. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ayah dan anak itu. Kami sudah sepakat

DMCA.com Protection Status