Setelah selesai acara tujuh harian ayah, Mas Adam memboyongku tinggal di rumahnya. Sebenarnya Abi dan Umi mengharapkan kami tinggal di rumah beliau tapi Mas Adam tak mau.
"Tinggal bersama Umi,ya, Dam?"pinta Umi saat membantuku berkemas.
"Adam ingin hidup mandiri Mi, biarkan kami saling mengenal. Iya kan Aisyah?" Mas Adam melirikku. Tepatnya memintaku mengatakan iya kepada Umi.
"Iya mi, Mas Adam benar, Aisyah janji akan sering-sering main ke rumah Umi." Umi memelukku erat.Pelukan hangat, mengingatkan sosok bunda yang telah tiada saat aku duduk di bangku sekolah dasar.
Aku bahagia memiliki mertua seperti Umi dan Abi. Mereka sangat menyayangiku, aku seperti memiliki kedua orang tua. Mungkin ini alasan ayah memintaku menikah dengan anak temannya. Agar ayah tenang meninggalkanku. Meski sikap suamiku berbanding terbalik dengan Umi dan Abi.
Mas Adam mengantarkan Umi dan Abi, baru setelah itu menuju rumah Mas Adam.Aku duduk di belakang bersama Umi. Umi masih saja memelukku. Dari Umi aku mendapatkan kembali hangatnya kasih sayang seorang ibu, yang sudah lama ku rindukan.
Sampai juga di rumah Umi, rumah model Jawa dengan halaman yang luas. Ku pandangi dengan takjub rumah yang bernuansa Jawa modern itu.
"Turun dulu ya Dam." pinta Umi.
"Besok saja ya mi, kasihan Aisyah pasti capek."
"Iya yang pengantin baru," Umi tersenyum menatapku.
Umi dan Abi akhirnya masuk ke dalam rumah. Mobil Mas Adam belum beranjak dari halaman Umi.
"Kok belum jalan Mas?"
"Pindah depan, memangnya aku supir kamu?" ucapnya ketus.
Segera aku turun dan duduk di depan, di sebelah Mas Adam.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan tak ada sepatah kata yang keluar dari kami. Aku memilih melihat pemandangan luar dan Mas Adam sendiri fokus mengemudikan mobil.
Tak lama kami berhenti tepat di depan rumah lantai dua.Rumah bercat mocca dipadu coklat.Bunga-bunga berjajar rapi. Di pojok rumah ada sebuah kolam ikan kecil nan indah.
Klik...
Kreeekk... Pintu rumah di buka. Ku bawa tas dan koper ke teras."Assalamu'alaikum..." kaki melangkah memasuki rumah Mas Adam. Mata melotot, mulut terbuka lebar. Baru kali ini aku menginjakkan kaki di rumah sebagus ini.
Aku memang tak tahu latar belakang Mas Adam seperti apa. Apa pekerjaannya? Di mana dia tinggal? Wajahnya pun aku tak tahu.
"Ayah boleh meminta sesuatu padamu Ais?" Ayah menggenggam tanganku erat. Sorot matanya ingin mengatakan hal yang sangat serius.
"Ayah meminta apa? Apapun yang ayah minta sebisa mungkin akan Aisyah penuhi yah."
Ayah terdiam sejenak, mengatur setiap kata yang akan ia keluarkan.
"Ayah ingin kamu menikah dengan anak sahabat ayah. Dia anak yang baik, mapan, berpendidikan tinggi."
"Tapi yah, Aisyah ingin membahagiakan ayah terlebih dahulu. Ingin bekerja dan memenuhi semua keinginan ayah. Aisyah ingin menabung untuk berangkat ke mekah bersama ayah." tolakku.
"Ayah mohon Ais, anggap saja ini permintaan terakhir ayah. Setelah ini ayah tak akan meminta apapun dari kamu. Ayah akan sangat bahagia bila kamu mau menikah dengan Adam, anak sahabat ayah."
Ya memang benar apa yang di katakan ayah. Pernikahanku adalah permintaan terakhirnya. Beliau tak akan meminta apapun lagi. Karena Ayah telah berpulang.
"Ngapain bengong? Kaget ? Belum pernah lihat rumah sebagus ini?" ucapan Mas Adam angkuh.
Aku hanya terdiam, malas menjawab ucapan yang tak penting dari mulutnya.
"Bukankah ini ya alasan kamu mau dijodohkan denganku. Orang yang baru kamu kenal disaat pernikahan."
"Apa maksud Mas? aku gak ngerti!"
"Gak usah sok gak tahu apa-apa. Kamu mau menikah denganku karena hartaku kan? Aku sudah hafal muka-muka orang miskin seperti kamu ini!" sindirnya.
Astaghfirullah...
Ku elus dadaku yang terasa sesak, bagaimana mungkin aku mengincar hartanya kalau kenal orangnya saja tidak.
"Ya Allah Mas, aku tak sepicik itu. Aku mau menikah dengan Mas karena menuruti permintaan ayah. Bagaimana mungkin aku mau mengincar harta Mas, kalau aku sendiri tak mengenal Mas. Lihat wajah Mas saja, waktu ijab qobul." terangku.
"Halah munafik...!" Mas Adam berjalan menuju lantai atas meninggalkanku yang terpaku di tempat.
Ya Allah, kenapa dia harus menjadi suamiku?
Kenapa aku tak berjodoh dengan Putra saja Ya Robb.Astaghfirullah...
Ampuni hamba ya Allah karena belum bisa menerima takdir yang telah Engkau tetapkan.Berjalan perlahan ke lantai atas sambil membawa tas yang begitu berat. Tak ada perhatian sama sekali, membiarkan istrinya membawa tas yang begitu berat sendiri.
"Mas..." Mas Adam menatapku tajam. Sorot kebencian tergambar jelas di matanya.
"Siapa yang suruh kamu bawa barang-barang kamu ke kamarku?"teriaknya.
Ku hembuskan nafas perlahan, mengontrol emosi yang sudah di ubun-ubun. Kalau saja Mas Adam bukan suamiku, sudah ku maki dia. Sayang, dia telah menjadi suamiku dan aku berada di rumahnya. Mau tak mau aku harus menahan emosi di dada.
"Lalu aku harus tidur di mana Mas?"Ku tahan bulir bening yang akan menetes. Aku tak boleh lemah. Jangan pernah kamu menangis di hadapan lelaki angkuh macam dia.
Mas Adam berjalan menuruni anak tangga, kuikuti setiap langkahnya. Mas Adam berhenti di kamar dekat tangga.
"Kamu tidur di ruang tamu. Ingat, jangan sekali-kali masuk ke dalam kamarku!"
"Maksud Mas kita pisah kamar?"
"Ya, tak sudi aku sekamar denganmu. Melihatmu saja aku tak selera."
Ya Allah nyeri hati ini mendengar ucapan dari seseorang yang telah bergelar suamiku.
Apakah aku sangat menjijikan?Tanpa banyak bicara, ku bawa tas ke dalam kamar tamu. Segera ku kunci pintu rapat-rapat. Tak ingin sampai Mas Adam masuk ke dalam kamar.
Ku jatuhkan tubuh di atas ranjang. Menangis tersedu-sedu di balik bantal. Rasanya aku tak sanggup menjalani biduk rumah tangga ini. Kenapa aku harus menikah dengan Mas Adam bukan dengan Putra.
Astaghfirullah...
Aku tahu perasaan ini salah Ya Allah, tapi sungguh aku tersiksa dengan pernikahan ini. Bukan rumah tangga seperti ini yang aku harapkan.Kupejamkan mata, berharap bisa tertidur dan saat bangun semua yang kurasakan ini hanyalah mimpi belaka.
Kriiingg ... Kriiingg.... Suara ponsel membangunkanku. Siapa yang meneleponku? Dari pada terus berbunyi, kuambil ponsel yang masih ada di dalam tas. Nama Putra terlihat di layar ponselku. Bingung antara menjawab teleponnya atau tidak, mengingat diri ini sudah memiliki suami. Meski Mas Adam tak menganggapku ada. Akhirnya kubiarkan bunyi ponsel berhenti dengan sendirinya. Aku belum sanggup mendengar suara Putra. Bagaimana mungkin aku dapat mendengar suara orang yang aku cintai setelah aku menancapkan belati di hatinya. TingSatu pesan masuk. Ku buka, benar saja Putra mengirim pesan setelah teleponnya ku abaikan. [Aisyah, tolong angkat teleponku. Aku ingin berbicara serius. ]Tak berselang lama, ponselku kembali berbunyi. Putra benar-benar ingin berbicara denganku. Apa dia sudah tahu kalau aku sudah menikah? "Assalamu'alaikum..." suara Putra sedikit bergetar. Apa dia habis menangis? Apa benar dia sudah tahu pernikahan siriku? Bagaimana aku bisa mengatakan pada Putra kalau sebenarny
"Mas Adam..." Mas Adam dan wanita itu menoleh ke arahku. Mas Adam membisu, wajahnya menegang seperti maling yang sedang ketahuan mencuri. Ada apa ini, dan apa hubungan mereka sebenarnya? Beberapa saat kami saling terdiam, sibuk dengan praduga masing-masing. "Siapa dia Mas?" matanya melirik ke arahku lalu berpindah ke Mas Adam."Perkenalkan nama saya Aisyah, saya is...""Dia sepupuku Jes," Mas Adam memotong ucapanku. DEG...! Sepupu? Ada gemuruh yang disini, di hati ini. Sebegitu malukah dia mengakuiku sebagai istri? Apa aku benar-benar tak dianggap? "Saya Jesica, pacar Mas Adam, senang berkenalan dengan kamu Aisyah." Jesica mengulurkan tangan. Ku sambut ulur tangannya dengan menahan gemuruh di dalam hati. Jadi ini alasan Mas Adam tak menyentuhku, bukan karena berduka atas meninggalnya ayah. Tapi karena cinta dan hatinya milik Jesica. Sekarang aku paham, akulah orang ketiga dalam hubungan mereka sekalipun aku istri pertama, tapi aku hadir di tengah-tengah hubungan mereka.
Sayup-sayup terdengar muadzin sedang mengumandangkan azan subuh. Kubuka mata, berjalan perlahan ke kamar mandi. Bukan untuk mandi, hanya untuk berwudhu dan segera melaksanakan ibadah sholat subuh. Kutengadahkan tangan, meminta pada Sang Pemilik hati untuk menyatukan hatiku dan Mas Adam. Karena sesungguhnya Dialah yang mampu membolak-balikan hati hambanya. Bukan karena aku mulai mencintainya, tapi karena sebuah ikatan suci tak layak dijadikan permainan. Tak mengenal dan tak mencintai bukan berarti dengan gampang menjadi alasan untuk berpisah. Sedikit lega yang kurasakan saat dapat mencurahkan isi hati kepada Sang Pemilik kehidupan. Ku lipat mukenah, lekas ku buka pintu kamar. Berjalan menaiki anak tangga, membangunkan Mas Adam untuk menjalankan ibadah wajib. Tok... Tok.... "Mas shalat subuh dulu." Hening tak ada jawaban. Jangan-jangan Mas Adam masih tidur lagi. Tok... Tok.... "Subuh dulu mas." Tak ada sahutan, sepertinya Mas Adam memang masih tidur pulas. KlikKnop pintu kuput
"Diminum teh hangatnya, Mas." Kuberikan secangkir teh hangat pada Mas Adam. Tak butuh waktu lama teh di dalam cangkir tinggal setelahnya. "Buka mulutnya Mas!" Kuberikan sendok yang berisi nasi dan telur dadar. "Gak mau makan, nanti kamu racunin lagi!"ucapnya menyilangkan kedua tangan di dada. Kumasukan sendok ke mulut, segera ku kunyah dan kutelan. "Puas Mas?""Ha..." Kumasukan nasi ke dalam mulutnya yang sedang terbuka lebar, tak perduli Mas Adam mau bilang apa. "Buruan telan dan habiskan, setelah itu minum obat. Pakai air putih ya, jangan teh."Tanpa protes dan banyak bicara Mas Adam menghabiskan makanan. Sekali-sekali anteng, kan tambah cakep Mas. Ups...! "Buat istirahat Mas," Kubawa piring dan gelas ke lantai bawah. "Ais..."Kutoleh ke belakang. Mas Adam menatapku. Tatapannya membuat jantungku berdebar, kaki ku gerak-gerakkan karena salah tingkah. "Terima kasih." Seulas senyum tergambar jelas di wajahnya. Senyum ketulusan. ****Tok... Tok... Tok.... "Sebentar..." Aku be
Sebuah pernikahan pada hakikatnya adalah menyatukan dua hati, dua pikiran dan dua karakter untuk satu tujuan kebahagiaan. Tapi jika dalam sebuah pernikahan tak ada yang bisa di satukan, mampukah kebahagiaan itu tercapai? Ah, kurasa tidak! Apakah aku kuat menjalani biduk rumah tangga yang penuh kepura-puraan? Apakah aku sanggup bertahan? Atau aku akhiri saja, karena masih banyak kebahagiaan di luar sana. Pikiran-pikiran itu selalu menghantuiku. Meski lelah, aku akan bertahan. Aku tak mau mengecewakan ayah, umi dan abi. Apakah aku terlalu bodoh bila memilih berjuang. Walau kurasa itu sangat sulit. Ku rebahkan tubuh ini di atas ranjang, mencoba memejamkan mata. Tapi bayang-bayang Mas Adam sedang bermesraan dengan Jesica menari-nari di benakku.Tiap kali ku tutup mata, bayangan itu selalu hadir. Jarum jam sudah menunjukkan angka tiga, tapi mata ini tetap saja enggan terpejam. Akhirnya kuputuskan untuk shalat tahajud dan bertadarus. Samar-samar terdengar adzan subuh berkumandang, ku
"Masuk mbak." Daniel membukakan pintu mobil. "Saya duduk di belakang saja ya Mas," ucapku tak enak hati. Bukan niat tak sopan, aku hanya takut menimbulkan fitnah. Terlebih statusku sekarang adalah seorang istri, meski tak diakui Mas Adam. "Lho, kenapa mbak? Saya bukan sopir lho." Daniel menatapku, seakan keberatan jika aku duduk di belakang. "Takut jadi fitnah Mas, Mas Daniel kan bukan mahram saya. Kalau Mas Daniel tidak mau, saya bisa naik tadi online kok Mas." Kutundukkan kepala. Sungguh aku benar-benar tak enak hati. "Oke, baiklah." Daniel membuka pintu bagian belakang. "Terima kasih Mas.""Kembali kasih." Sulas senyum tergambar di wajahnya. Sepanjang perjalanan Daniel terus saja bercerita. Dari status lajangnya sampai kesibukannya sehari-hari. Daniel, tipe orang yang mudah bergaul dengan siapapun. Termasuk orang yang baru dia kenal, seperti diriku ini. "Mbak Aisyah benar sepupunya Adam?" tanyanya sambil terus menyetir. "Em, i-iya Mas." jawabku tergagap. Ya Allah maafkan
Sesaat situasi menjadi hening, Bu Bella seperti memberikan ruang untukku merangkai kata. Sejujurnya aku masih dilema, bingung antara berkata jujur atau diam saja. Ya Allah, aku harus bagaimana? "Ada yang ingin kamu tanyakan?"Bu Bella menyatukan ketua alisnya. "Em, itu, anu...." Suara ini seperti berhenti ditenggorokan. Ternyata jujur tak semudah yang aku bayangkan. Padahal biasanya lancar-lancar saja. "Apa sih mbak? Kok gugup gitu."Daniel tak sabar dengan apa yang akan kukatakan. "Sebenarnya saya su...." Kriiingg ... Kriiingg .... Ponselku berbunyi, satu panggilan masuk dari nomor baru. "Maaf Bu, saya angkat telepon dulu, sepertinya penting." Aku berjalan keluar ruangan. "Assalamu'alaikum...,"ucapku. "Waalaikumsalam, kamu di mana Tiara Aisyah Kurniawan." Suara yang sangat familiar. "Em, ini di butik kakaknya Mas Daniel, kemarin aku ditawari pekerjaan di butik kakaknya.Kamu lupa Mas?" "Siapa yang memberi izin kamu bekerja?" ucap Mas Adam ketus. "Bukankah tempo hari Mas bil
Pov AdamTak pernah terbayangkan olehku akan menjalani takdir seperti ini. Terpaksa menikahi wanita yang tak kucinta, bahkan baru bertemu saat ijab qobul. Aku menyetujui pernikahan ini karena paksaan abi dan Umi. Sungguh aku tak ingin menjadi anak durhaka karena melawan permintaan kedua orang tuaku. Ijab qobul berlangsung di ruang rawat inap di salah satu rumah sakit di kotaku. Tiara Aisyah Kurniawan wanita yang kini menjadi istriku. Ku akui dia memang cantik tapi tak akan menggantikan sosok Jesica di hatiku. Selesai ijab qobul,ayah Aisyah meninggal dunia. Tangis histeris dari wanita yang kini sah menjadi istriku memenuhi penjuru ruangan. Aku tau pasti sakit kehilangan seseorang yang kita cintai. Mungkin ini yang dia dan aku rasakan. Dia kehilangan sosok cinta pertamanya, dan aku kehilangan impian menikahi wanita yang ku cinta. *Hampir sepuluh hari usia pernikahan kami, tapi sampai detik ini aku belum pernah memberikan nafkah batin untuk Aisyah. Bukan karena aku tak tertarik denga
Tok ... Tok ... Tok.... Kuketuk pintu rumah Jesica dengan hati berdebar tak menentu. Semoga saja niat baikku disambut baik oleh Jesica dan keluarganya."Assalamu'alaikum...." ucapku."Waalaikumsalam" jawaban dari dalam rumah. Suara yang dulu sangat kurindu. Dialah wanita yang mati-matian ku perjuangkan meski akhirnya kulukai hatinya perlahan.Pintu di buka dari dalam, Jesica terlihat terkejut saat melihat diriku berdiri tepat di depan pintu. Menatapnya dengan rasa rindu.Rindu ingin memeluknya, meski kutahu dia tak akan mau ku sentuh. Mungkin dia jijik dengan diriku. Lelaki yang tega melukai hatinya. Menggoreskan luka di sanubarinya.Dengan penuh amarah dia berusaha menutup pintu. Namun terganjal kakiku. Sakit saat kaki beradu dengan pintu. Tapi akhirnya tahu tak sesakit hati Jesica."Jesica, tolong buka pintunya. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan dan meminta maaf padamu." ucapku mengiba."Untuk apa kamu kemari?" tanyanya ketus sambil perlahan membuka pintu.Alhamdulillah, akhirn
Pov AdamTiga puluh menit menatap gedung yang penuh kenangan. Perusahaan yang susah payah ku bangun kini hilang begitu saja. Kenapa hidupku menderita seperti ini?Mengambil ponsel dari saku celana. Memesan taxi dari aplikasi online. Tujuanku saat ini adalah rumah masa kecilku dulu. Semoga Abi mengizinkanku tinggal di sana. Bukankah aku anak kandungnya, pasti beliau akan menerimaku meski aku telah mengecewakannya.Sebuah mobil berhenti tepat di hadapanku.Mobil dengan warna putih dan plat yang sama seperti di aplikasi."Dengan Pak Adam?" tanya driver itu."Iya Pak, sesuai aplikasi ya!" ku masukkan koper ke dalam mobil dan menjatuhkan bobot di atas kursi belakang kemudi."Baik Pak."Kendaraan roda empat yang ku tumpangi melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya kemacetan ibu kota. Mobil berwarna putih ini berhenti saat lampu merah menyala. Pandanganku tertuju pada segerombolan pengamen dan pengemis di trotoar jalan.Ya Allah, apa nasibku akan sama seperti mereka?Tak punya tempat t
Pov Adam"Maaf Dam, Abi sudah tak memiliki apapun. Semua harta benda bukan lagi milik Abi."Ucapan Abi bagai halilintar di siang bolong. Bagaimana mungkin harta benda Abi hilang begitu saja? Atau ini hanya akal-akalan Abi saja?Astaga, aku harus bagaimana?Kupijit pelipis yang terasa berdenyut.Menyambar kunci mobil di atas meja. Berjalan sedikit berlari menuju mobil yang terparkir. Aku harus ke rumah Abi, memastikan apa yang barusan kudengar hanya omong kosong belaka. Abi pasti hanya bercanda padaku.Melajukan kendaraan roda empatku dengan kecepatan tinggi. Kuterjang semua yang ada di hadapanku.Tak perduli klakson kendaraan lain berbunyi seperti tengah memprotesku.Yang aku ingin segera sampai di rumah Abi.Keluar dari mobil disambut terik mentari yang menusuk kulit. Melangkahkan kaki masuk kedalam rumah yang tak dikunci. Sepi, sunyi tak ada lagi kehangatan yang selalu kurasakan saat berada di rumahku. Yang terasa hanya kenangan pahit saat kehilangan wanita yang sangat ku cintai, Umi.
Aku duduk di teras rumah seorang diri, tak ada lagi istri apalagi anak. Hidupku kini terasa begitu sunyi.Kemana hilangnya kebahagiaan yang dulu kurasakan?Baru kemarin kurasakan hidupku begitu sempurna. Dan kini berbalik seratus delapan puluh derajat. Kesepian dan sengsara.Apa ini benar sebuah karma? atau hanya cobaan dari Sang Pencipta.Ku pijat pelipis yang terasa berdenyut. Memikirkan nasib perusahaan dan pernikahan yang sedang diujung tanduk.Para investor mulai mencabut kucuran dananya hanya karena sebuah video. Padahal sudah pernah ku jelaskan. Namun nyatanya semua sia-sia belaka.Mereka pikir aku adalah lelaki yang tak bertanggung jawab karena menelantarkan anak dan istri. Bahkan tega meninggalkan Jesica yang tengah sakit. Mereka tak pernah melihat dari sudut pandang ku. Andai mereka jadi sepertiku, mungkin akan bertindak sama seperti yang kulakukan."Ini tehnya Pak." Bibi meletakkan secangkir teh di atas meja."Terima kasih,Bi," Kuseruput teh hangat. Sedikit memberi ketenanga
Aku duduk di ruang tunggu bersama Daniel. Menunggu seorang suster memanggil namaku. Sudah dua puluh menit kami menunggu. Hingga membuatku merasa bosan. "Nyonya Tiara Aisyah Kurniawan." panggil seorang suster. Berjalan memasuki ruang periksa dokter dengan tangan digandeng Daniel. "Selamat siang Dok...." sapaku kepada dokter Asih, dokter yang menangani ku saat hamil si kembar dulu. "Selamat siang, Bu Aisyah apa kabar?Bagaimana keadaan si kembar?" tanyanya basa-basi. Mungkin dia masih ingat kalau aku pasiennya dulu. "Alhamdulillah sehat dok.""Nah, gitu dong Pak. Kalau istrinya periksa kandungan di temani. Jangan seperti dulu. Kasihan istrinya." ucap dokter Asih membuatku dan Daniel saling pandang. Mungkin wanita di hadapanku ini mengira jika dulu ayah si kembar adalah Daniel. Daniel hanya mengangguk. Menjelaskan secara rinci juga tak mungkin. "Saya belum tahu istri saya hamil atau tidak dok. Tapi sudah telat satu minggu." ucap Daniel. "Baik Pak, biar saya periksa terlebih dahul
Aku duduk di teras sambil menyuapi Mukhlas dan Mukhlis. Ya, sekarang mereka sudah bisa makan bubur saring karena usia mereka sudah delapan bulan. Kedua buah hatiku dengan lahap memakan bubur saring dengan hati ayam dan brokoli. Mereka menyukai bubur buatan sendiri dibandingkan bubur kemasan. Ini membuat PR untukku agar lebih kreatif dalam membuat makanan agar mereka tak bosan. "Suapan terakhir sayang," ucapku pada Mukhlas.Mukhlas menutup mulut rapat-rapat sama seperti Mukhlis. Mungkin keduanya sudah kenyang. Karena hanya satu sendok yang tersisa. Suara mobil berhenti di depan rumah. Lelaki yang kini menemani hari-hariku keluar dari mobil dengan wajah sumringah. "Mbak Sari, tolong bersihkan bekas makan yang menempel di pipi ya." Mbak Sari mengangguk lalu mendorong stroller masuk ke dalam rumah. Meninggalkan diriku di teras rumah. "Assalamu'alaikum,Sayang." Daniel mendekat. Bau terasi terdeteksi oleh indera penciuman. Semakin lama semakin mendekat. Kenapa Daniel baunya seperti ini
Aku menata pakaian ke dalam koper. Tak terasa sudah tiga hari kami menghabiskan waktu untuk berbulan madu. Rasa rindu pada si kembar kian menggebu. Meski setiap hari melakukan videocall namun rinduku masih belum terobati kalau belum bertemu."Sudah selesai sayang?" tanya Daniel yang baru keluar dari kamar mandi. Handuk hanya melilit bagian pinggangnya.Ku tatap suamiku yang masih bertelanjang dada. Ada debaran tak menentu saat melihat Daniel seperti itu.Lelaki yang sudah sah menjadi imamku berjalan mendekat. Dan lagi desiran hangat memenuhi sekujur tubuh. Degup jantung kian berdetak kencang."Kenapa lihatin seperti itu?Mau?" wajahnya kini hanya berjarak beberapa senti dari wajahku.CUPSatu kecupan mendarat di bibir. Ah, Daniel selalu seperti itu.Membuatku melayang ke angkasa."Aku baru selesai mandi lho,Yang, rambut juga masih basah," ucapku manja."Ih, kamu pikiranya ke situ terus. Mau lagi ya?" mengerlingkan mata, menggoda."Apaan sih?" Kututup wajah ini yang mulai bersemu merah.D
Jarum jam sudah menunjukkan angka empat. Ku matikan laptop dan segera berjalan menuju pintu."Pak." panggilan Luna menghentikan langkahku."Ada apa?""Kita ada meeting sebentar lagi."Ya Allah, aku sampai lupa kalau akan meeting. Bagaimana ini? Kalau aku tak datang Papi akan marah besar."Tolong atur jadwal lagi, saya ada keperluan mendesak." ucapku lalu meninggalkannya begitu saja.Aku berjalan menuju lift,netra melihat setiap sudut kantor.Karyawan masih banyak yang berlalu lalang. Dan tersenyum saat aku melewatinya.Bagaimana jika perusahaan ini bangkrut? Mereka akan kerja dimana untuk menghidupi keluarganya? Ya Allah, isi semua karena aku tak fokus hingga investor terbesar membatalkan kerjasamanya.Ya Allah, kenapa ujian bertubi-tubi menimpaku?Apa karena aku kurang bersedekah?Atau karena aku tega menyakiti hati Aisyah?"Pak..." panggilan seseorang menyentakku dari lamunan."I-iya." ucapku terbata."Maaf Pak, apakah ada yang bisa saya bantu? Saya lihat dari tadi Bapak berdiri di
Pov AdamAda nyeri di sanubari saat melihat Aisyah duduk di pelaminan bersanding dengan Daniel. Sesak dada untuk bernafas pun rasanya susah. Harusnya aku yang ada di sana bukan Daniel. Persis lagu yang barusan aku nyanyikan.Berjalan mendekat, bukan untuk memberi selamat tapi untuk melihat Aisyah lebih dekat. Pandangan tak suka nampak jelas terlihat di wajah Om Bram, ayah sahabatku."Santai saja Om, aku hanya ingin melihat ibu dari anak-anakku lebih dekat," batinku.Semakin dekat dengan Aisyah,entah kenapa jantung kian berdetak kencang. Dengan perasaan yang sulit ku artikan.Kenapa aku justru merasakan benih cinta mulai mekar saat bunga itu telah tumbuh subuh di halaman rumah orang lain?Kenapa cinta ini terlambat? Saat dia telah pergi aku baru menyadari dia begitu berarti.Kutatap wajah ibu dari kedua anakku. Dia sungguh cantik mempesona. Dan kenapa aku baru menyadarinya? Kemana saja diriku selama ini?"Selamat ya, jaga Aisyah baik-baik. Sebelum aku mengambilnya kembali," ucapku pela