Sayup-sayup terdengar muadzin sedang mengumandangkan azan subuh. Kubuka mata, berjalan perlahan ke kamar mandi. Bukan untuk mandi, hanya untuk berwudhu dan segera melaksanakan ibadah sholat subuh.
Kutengadahkan tangan, meminta pada Sang Pemilik hati untuk menyatukan hatiku dan Mas Adam. Karena sesungguhnya Dialah yang mampu membolak-balikan hati hambanya. Bukan karena aku mulai mencintainya, tapi karena sebuah ikatan suci tak layak dijadikan permainan. Tak mengenal dan tak mencintai bukan berarti dengan gampang menjadi alasan untuk berpisah.
Sedikit lega yang kurasakan saat dapat mencurahkan isi hati kepada Sang Pemilik kehidupan.
Ku lipat mukenah, lekas ku buka pintu kamar. Berjalan menaiki anak tangga, membangunkan Mas Adam untuk menjalankan ibadah wajib.
Tok... Tok....
"Mas shalat subuh dulu." Hening tak ada jawaban. Jangan-jangan Mas Adam masih tidur lagi.Tok... Tok....
"Subuh dulu mas." Tak ada sahutan, sepertinya Mas Adam memang masih tidur pulas.Klik
Knop pintu kuputar,kuraba kepala.Astaga, aku lupa belum pakai hijab. Walau sebenarnya tak berdosa jika Mas Adam melihatku tanpa hijab. Tapi rasanya masih tak rela jika harus menampakkan rambut di depan lelaki yang tak pernah menganggap aku sebagai istrinya.
Putar badan, segera aku berlari menuju kamar. Terserah Mas Adam bangun atau belum. Yang penting aku sudah berusaha membangunkan. Kalaupun tak bangun, resiko ditanggung penumpang.Eh,di tanggung Mas Adam maksudnya.
Kutumis bawang putih, cabai, merica dan bumbu yang lain yang telah ku haluskan , tak lupa ku masukkan ayam yang sudah kupotong kecil-kecil. Bau wangi masakan menyebar di dalam ruangan. Membuat cacing di perut meronta-ronta meminta haknya.
"Ais masak apa?" tanya Mas Adam yang sudah ada di sampingku.
"Rica-rica ayam."
"Wah, pasti enak ya, bikin tambah lapar nih." Mas Adam mengibaskan tangannya, mencium aroma masakan yang menggiyurkan.
Tak berapa lama, makanan siap di santap. Lekas ku siapkan makanan di atas meja. Tak lupa teh hangatnya.
"Kalau mau sarapan dulu, silahkan Mas. Aku mandi dulu."kutinggalkan Mas Adam yang sudah mulai memindahkan makanan ke piringnya.
Gak ada basa-basinya Mas Adam ini, nunggu sebentar apa susahnya sih?
Huft, sabar-sabar apalah arti diriku di hadapan Mas Adam, hanya istri yang tak di harapkan.****
Rebahan di dalam kamar sambil menulis novel di sebuah aplikasi online. Lumayan untuk mengisi kejenuhan, lumayan juga dapat mengisi kantong yang kosong.
Alhamdulillah dari menulis, bisa memenuhi kebutuhanku. Inilah pekerjaan yang ku lakoni setelah lulus kuliah. Sebenarnya sudah banyak lamaran yang ku kirim ke perusahaan tapi sayang belum ada yang menerima, alasannya karena aku belum berpengalaman. Walau nilai bagus tapi tetap saja kalah dengan yang lebih berpengalaman.
Rasa haus membuatku beranjak dari posisi ternyamanku.Berjalan perlahan menuju dapur untuk mengambil air minum.Tak kulihat keberadaan Mas Adam setelah sarapan tadi. Rumah tambah semakin sepi, apa mungkin Mas Adam kembali tidur? Karena mobil masih terparkir rapi di garasi.
Ragu, kulangkahkan kaki menaiki anak tangga. Kuketuk perlahan pintu kamar Mas Adam,tak ada respon. Kubuka, Mas Adam juga tak ada di dalam kamar. Berjalan mendekati pintu, ingin segera turun ke bawah. Tak enak masuk ke dalam kamar orang. Walau sebenarnya kamar suami sendiri.
Kreeekk...
Pintu kamar mandi di buka, Mas Adam berjalan keluar sambil memegangi perutnya. Wajahnya terlihat pucat. Apa dia sakit?"Maaf Mas, masuk ke kamar kamu tanpa izin."
"Hem..." ucapnya tanpa menoleh. Berjalan sedikit sempoyongan. Dan...
BRUUGG...
Mas Adam jatuh tepat di atasku, niat hati ingin menahan agar Mas Adam tak terjatuh. Tapi badan Mas Adam terlalu berat, hingga akhirnya kami berdua jatuh di lantai.
Sejenak Mas Adam menatapku tanpa berkedip, ada desiran entah apa aku tak mengerti, jantung semakin berdetak tak menantu. Baru kali ini aku dekat dengan laki-laki tanpa jarak.
"Berat Mas..." Kusingkirkan tangan menindih ku.
"Apanya yang berat, Ais?" Mas Adam masih diam tanpa merubah posisinya. Lama-lama gepeng kalau Mas Adam tak segera berdiri.
"Badan kamu yang berat Mas,"
"Maaf, maaf," Mas Adam berdiri dan segera membantuku. Tak sengaja mata kita saling bertemu, lagi dan lagi ada desiran yang mengalir ke seluruh tubuh. Segera kualihkan pandangan, Mas Adam justru menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Terlihat salah tingkah setelah adegan itu.
"Kamu sakit Mas? kok pucat gitu? hampir pingsan lagi." Ku tempelkan telapak tanganku di dahinya.
"Gak panas Mas."
"Ya jelas tak panas, orang yang sakit perutnya."
Duuuttt... duuuttt...
Suara bom atom keluar dari tubuh Mas Adam. Segera kututup hidung sebelum keracunan. Mas Adam kembali berlari ke kamar mandi.
"Kamu ngeracunin aku ya!" tuduhnya.
"Maksud kamu?" tanyaku keheranan.
"Habis makan rica kamu, aku jadi seperti ini. Buang air besar berkali-kali.Kamu sengaja bikin aku sakit perut? Karena kamu cemburu sama Jesica?"Mas Adam menatapku tajam.
Cemburu?
Gak salah dengar aku? Aku bukannya cemburu, hanya tak suka dengan kelakuan Mas Adam. Sudah tahu punya istri masih saja pacaran dengan wanita lain. Di depanku lagi bermesraan. Memang keterlaluan dia."Aku gak cemburu ya Mas, emang aku suka pedas."
"Alasan kamu, kalau mau masak tanya sama aku, mau di masakin apa? Atau kamu memang marah sama aku,iya kamu? "ucapnya ketus.
"Akukan gak tahu, Mas Adam sukanya apa?Jadi aku masak ya sesuai kesukaanku. Makannya bilang dong mau di masakin apa!"jawabku ngegas.
"Aduh, aduh, sakit..."Mas Adam memegangi perutnya dengan kedua tangan.
Kutelan saliva yang menempel di tenggorokan. Merasa bersalah dengan Mas Adam, gara-gara masakanku dia jadi sakit begini. Padahal aku cuman memasukkan lima belas biji cabai rawit. Memang sengaja agak pedas, sesuai hati yang sedang panas.
"Maaf Mas, aku buatkan teh hangat dulu ya Mas." Berjalan dengan cepat menuju dapur. Kasihan juga melihat Mas Adam seperti itu.
"Diminum teh hangatnya, Mas." Kuberikan secangkir teh hangat pada Mas Adam. Tak butuh waktu lama teh di dalam cangkir tinggal setelahnya. "Buka mulutnya Mas!" Kuberikan sendok yang berisi nasi dan telur dadar. "Gak mau makan, nanti kamu racunin lagi!"ucapnya menyilangkan kedua tangan di dada. Kumasukan sendok ke mulut, segera ku kunyah dan kutelan. "Puas Mas?""Ha..." Kumasukan nasi ke dalam mulutnya yang sedang terbuka lebar, tak perduli Mas Adam mau bilang apa. "Buruan telan dan habiskan, setelah itu minum obat. Pakai air putih ya, jangan teh."Tanpa protes dan banyak bicara Mas Adam menghabiskan makanan. Sekali-sekali anteng, kan tambah cakep Mas. Ups...! "Buat istirahat Mas," Kubawa piring dan gelas ke lantai bawah. "Ais..."Kutoleh ke belakang. Mas Adam menatapku. Tatapannya membuat jantungku berdebar, kaki ku gerak-gerakkan karena salah tingkah. "Terima kasih." Seulas senyum tergambar jelas di wajahnya. Senyum ketulusan. ****Tok... Tok... Tok.... "Sebentar..." Aku be
Sebuah pernikahan pada hakikatnya adalah menyatukan dua hati, dua pikiran dan dua karakter untuk satu tujuan kebahagiaan. Tapi jika dalam sebuah pernikahan tak ada yang bisa di satukan, mampukah kebahagiaan itu tercapai? Ah, kurasa tidak! Apakah aku kuat menjalani biduk rumah tangga yang penuh kepura-puraan? Apakah aku sanggup bertahan? Atau aku akhiri saja, karena masih banyak kebahagiaan di luar sana. Pikiran-pikiran itu selalu menghantuiku. Meski lelah, aku akan bertahan. Aku tak mau mengecewakan ayah, umi dan abi. Apakah aku terlalu bodoh bila memilih berjuang. Walau kurasa itu sangat sulit. Ku rebahkan tubuh ini di atas ranjang, mencoba memejamkan mata. Tapi bayang-bayang Mas Adam sedang bermesraan dengan Jesica menari-nari di benakku.Tiap kali ku tutup mata, bayangan itu selalu hadir. Jarum jam sudah menunjukkan angka tiga, tapi mata ini tetap saja enggan terpejam. Akhirnya kuputuskan untuk shalat tahajud dan bertadarus. Samar-samar terdengar adzan subuh berkumandang, ku
"Masuk mbak." Daniel membukakan pintu mobil. "Saya duduk di belakang saja ya Mas," ucapku tak enak hati. Bukan niat tak sopan, aku hanya takut menimbulkan fitnah. Terlebih statusku sekarang adalah seorang istri, meski tak diakui Mas Adam. "Lho, kenapa mbak? Saya bukan sopir lho." Daniel menatapku, seakan keberatan jika aku duduk di belakang. "Takut jadi fitnah Mas, Mas Daniel kan bukan mahram saya. Kalau Mas Daniel tidak mau, saya bisa naik tadi online kok Mas." Kutundukkan kepala. Sungguh aku benar-benar tak enak hati. "Oke, baiklah." Daniel membuka pintu bagian belakang. "Terima kasih Mas.""Kembali kasih." Sulas senyum tergambar di wajahnya. Sepanjang perjalanan Daniel terus saja bercerita. Dari status lajangnya sampai kesibukannya sehari-hari. Daniel, tipe orang yang mudah bergaul dengan siapapun. Termasuk orang yang baru dia kenal, seperti diriku ini. "Mbak Aisyah benar sepupunya Adam?" tanyanya sambil terus menyetir. "Em, i-iya Mas." jawabku tergagap. Ya Allah maafkan
Sesaat situasi menjadi hening, Bu Bella seperti memberikan ruang untukku merangkai kata. Sejujurnya aku masih dilema, bingung antara berkata jujur atau diam saja. Ya Allah, aku harus bagaimana? "Ada yang ingin kamu tanyakan?"Bu Bella menyatukan ketua alisnya. "Em, itu, anu...." Suara ini seperti berhenti ditenggorokan. Ternyata jujur tak semudah yang aku bayangkan. Padahal biasanya lancar-lancar saja. "Apa sih mbak? Kok gugup gitu."Daniel tak sabar dengan apa yang akan kukatakan. "Sebenarnya saya su...." Kriiingg ... Kriiingg .... Ponselku berbunyi, satu panggilan masuk dari nomor baru. "Maaf Bu, saya angkat telepon dulu, sepertinya penting." Aku berjalan keluar ruangan. "Assalamu'alaikum...,"ucapku. "Waalaikumsalam, kamu di mana Tiara Aisyah Kurniawan." Suara yang sangat familiar. "Em, ini di butik kakaknya Mas Daniel, kemarin aku ditawari pekerjaan di butik kakaknya.Kamu lupa Mas?" "Siapa yang memberi izin kamu bekerja?" ucap Mas Adam ketus. "Bukankah tempo hari Mas bil
Pov AdamTak pernah terbayangkan olehku akan menjalani takdir seperti ini. Terpaksa menikahi wanita yang tak kucinta, bahkan baru bertemu saat ijab qobul. Aku menyetujui pernikahan ini karena paksaan abi dan Umi. Sungguh aku tak ingin menjadi anak durhaka karena melawan permintaan kedua orang tuaku. Ijab qobul berlangsung di ruang rawat inap di salah satu rumah sakit di kotaku. Tiara Aisyah Kurniawan wanita yang kini menjadi istriku. Ku akui dia memang cantik tapi tak akan menggantikan sosok Jesica di hatiku. Selesai ijab qobul,ayah Aisyah meninggal dunia. Tangis histeris dari wanita yang kini sah menjadi istriku memenuhi penjuru ruangan. Aku tau pasti sakit kehilangan seseorang yang kita cintai. Mungkin ini yang dia dan aku rasakan. Dia kehilangan sosok cinta pertamanya, dan aku kehilangan impian menikahi wanita yang ku cinta. *Hampir sepuluh hari usia pernikahan kami, tapi sampai detik ini aku belum pernah memberikan nafkah batin untuk Aisyah. Bukan karena aku tak tertarik denga
Lagi-lagi keheningan menyelimuti perjalanan kami. Jarak yang tinggal beberapa kilo meter terasa sangat lama. Ponsel belum juga di kembalikan padaku. Tulisanku belum sempat ku simpan, awas saja kalau sampai hilang atau terhapus. Kebayangkan susah-susah merangkai kata, menjadikan tulisan itu hidup dan tinggal sedikit lagi selesai,tapi tiba-tiba hilang begitu saja. Sungguh aku akan membuat perhitungan padamu Mas Adam, jika tulisanku sampai hilang. Mobil berhenti di carport,segera aku keluar meninggalkan Mas Adam yang asih diam membisu. Memasuki rumah, segera aku mandi karena badan sudah lengket. Krucuuk ... krucuuk....Cacing di perut sudah meronta-ronta meminta haknya.Aku ingat, seharian baru memasukkan makanan satu kali saja, pantas saja aku sudah kelaparan begini. Tak butuh lama untuk memasak nasi goreng kesukaanku. Dua piring nasi goreng dengan telur ceplok di atasnya siap di santap. Tanpa menunggu Mas Adam, kumasukan nasi goreng ke dalam mulut. Tak perduli dia sudah makan atau
[MAS PULANG, SEKARANG!]Send... Pesan itu centang dua, tapi belum di baca juga. Mas Adam, kamu dimana? Satu menit, lima menit, hingga sepuluh menit Mas Adam masih tak membalas pesanku padahal sudah centang biru. Ah, beginilah nasibnya istri tak dianggap. Nah, kalau di pikir kenapa jadi aku yang takut? Bukankah Mas Adam yang harus takut. Kebohongan ini bermula darinya, maka dialah yang harus mengakhirinya. Entah bagaimana akhirnya hanya Allah yang tahu. ****"Diminum Abi, Umi." Kuletakkan dua cangkir teh hangat di atas meja. "Makasih ya Aisyah." Umi dan Abi mulai menyeruput teh hangat yang kubuatkan. "Adam di mana, kok gak keliatan?"Kutelan saliva,dan tangan ini memainkan ujung hijab yang kukenakan. Aku sendiri bingung mau menjawab apa. Jujur takut salah, diam lebih salah lagi. "Aisyah tidak tahu umi, tadi bilangnya cuman keluar sebentar."dustaku."Padahal hari libur, tapi justru pergi sendiri. Harusnya kamu diajak. pengantin baru kok di tinggal-tinggal, iya kan,Bi?" Umi menyen
Bohong itu seperti candu,sekali melakukan kebohongan seterusnya akan melakukan lagi dan lagi. Hingga suatu saat kebohongan itu terbongkar dengan sendirinya. Mungkin saat ini Mas Adam bernafas lega, tapi suatu saat bom itu akan meletus dan membakar sekelilingnya. Bila saat itu terjadi aku harus siap dengan segala hal buruknya. Mas Adam asyik bercengkrama bersama umi dan abi di ruang keluarga. Ada rasa sedih saat aku melihat pemandangan itu. Teringat kebersamaan aku dan ayah dulu. Semoga Ayah tenang di sana. Maafkan Aisyah belum sempat membahagiakan Ayah. Tak terasa bulir bening mengalir dari sudut netra.Berjalan perlahan menuju dapur, piring kotor bekas makan malam tadi sudah menumpuk di wastafel. Segera aku bereskan,karena aku ingin segera merebahkan badan di kasur empuk. "Umi, Abi, Aisyah ke kamar dulu ya.""Iya Aisyah..." jawab umi dan abi serempak. Perlahan kulangkahkan kaki menuju kamar tamu yang sekarang menjadi kamar pribadiku. Rasa lelah membuatku ingin segera masuk ke dal
Tok ... Tok ... Tok.... Kuketuk pintu rumah Jesica dengan hati berdebar tak menentu. Semoga saja niat baikku disambut baik oleh Jesica dan keluarganya."Assalamu'alaikum...." ucapku."Waalaikumsalam" jawaban dari dalam rumah. Suara yang dulu sangat kurindu. Dialah wanita yang mati-matian ku perjuangkan meski akhirnya kulukai hatinya perlahan.Pintu di buka dari dalam, Jesica terlihat terkejut saat melihat diriku berdiri tepat di depan pintu. Menatapnya dengan rasa rindu.Rindu ingin memeluknya, meski kutahu dia tak akan mau ku sentuh. Mungkin dia jijik dengan diriku. Lelaki yang tega melukai hatinya. Menggoreskan luka di sanubarinya.Dengan penuh amarah dia berusaha menutup pintu. Namun terganjal kakiku. Sakit saat kaki beradu dengan pintu. Tapi akhirnya tahu tak sesakit hati Jesica."Jesica, tolong buka pintunya. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan dan meminta maaf padamu." ucapku mengiba."Untuk apa kamu kemari?" tanyanya ketus sambil perlahan membuka pintu.Alhamdulillah, akhirn
Pov AdamTiga puluh menit menatap gedung yang penuh kenangan. Perusahaan yang susah payah ku bangun kini hilang begitu saja. Kenapa hidupku menderita seperti ini?Mengambil ponsel dari saku celana. Memesan taxi dari aplikasi online. Tujuanku saat ini adalah rumah masa kecilku dulu. Semoga Abi mengizinkanku tinggal di sana. Bukankah aku anak kandungnya, pasti beliau akan menerimaku meski aku telah mengecewakannya.Sebuah mobil berhenti tepat di hadapanku.Mobil dengan warna putih dan plat yang sama seperti di aplikasi."Dengan Pak Adam?" tanya driver itu."Iya Pak, sesuai aplikasi ya!" ku masukkan koper ke dalam mobil dan menjatuhkan bobot di atas kursi belakang kemudi."Baik Pak."Kendaraan roda empat yang ku tumpangi melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya kemacetan ibu kota. Mobil berwarna putih ini berhenti saat lampu merah menyala. Pandanganku tertuju pada segerombolan pengamen dan pengemis di trotoar jalan.Ya Allah, apa nasibku akan sama seperti mereka?Tak punya tempat t
Pov Adam"Maaf Dam, Abi sudah tak memiliki apapun. Semua harta benda bukan lagi milik Abi."Ucapan Abi bagai halilintar di siang bolong. Bagaimana mungkin harta benda Abi hilang begitu saja? Atau ini hanya akal-akalan Abi saja?Astaga, aku harus bagaimana?Kupijit pelipis yang terasa berdenyut.Menyambar kunci mobil di atas meja. Berjalan sedikit berlari menuju mobil yang terparkir. Aku harus ke rumah Abi, memastikan apa yang barusan kudengar hanya omong kosong belaka. Abi pasti hanya bercanda padaku.Melajukan kendaraan roda empatku dengan kecepatan tinggi. Kuterjang semua yang ada di hadapanku.Tak perduli klakson kendaraan lain berbunyi seperti tengah memprotesku.Yang aku ingin segera sampai di rumah Abi.Keluar dari mobil disambut terik mentari yang menusuk kulit. Melangkahkan kaki masuk kedalam rumah yang tak dikunci. Sepi, sunyi tak ada lagi kehangatan yang selalu kurasakan saat berada di rumahku. Yang terasa hanya kenangan pahit saat kehilangan wanita yang sangat ku cintai, Umi.
Aku duduk di teras rumah seorang diri, tak ada lagi istri apalagi anak. Hidupku kini terasa begitu sunyi.Kemana hilangnya kebahagiaan yang dulu kurasakan?Baru kemarin kurasakan hidupku begitu sempurna. Dan kini berbalik seratus delapan puluh derajat. Kesepian dan sengsara.Apa ini benar sebuah karma? atau hanya cobaan dari Sang Pencipta.Ku pijat pelipis yang terasa berdenyut. Memikirkan nasib perusahaan dan pernikahan yang sedang diujung tanduk.Para investor mulai mencabut kucuran dananya hanya karena sebuah video. Padahal sudah pernah ku jelaskan. Namun nyatanya semua sia-sia belaka.Mereka pikir aku adalah lelaki yang tak bertanggung jawab karena menelantarkan anak dan istri. Bahkan tega meninggalkan Jesica yang tengah sakit. Mereka tak pernah melihat dari sudut pandang ku. Andai mereka jadi sepertiku, mungkin akan bertindak sama seperti yang kulakukan."Ini tehnya Pak." Bibi meletakkan secangkir teh di atas meja."Terima kasih,Bi," Kuseruput teh hangat. Sedikit memberi ketenanga
Aku duduk di ruang tunggu bersama Daniel. Menunggu seorang suster memanggil namaku. Sudah dua puluh menit kami menunggu. Hingga membuatku merasa bosan. "Nyonya Tiara Aisyah Kurniawan." panggil seorang suster. Berjalan memasuki ruang periksa dokter dengan tangan digandeng Daniel. "Selamat siang Dok...." sapaku kepada dokter Asih, dokter yang menangani ku saat hamil si kembar dulu. "Selamat siang, Bu Aisyah apa kabar?Bagaimana keadaan si kembar?" tanyanya basa-basi. Mungkin dia masih ingat kalau aku pasiennya dulu. "Alhamdulillah sehat dok.""Nah, gitu dong Pak. Kalau istrinya periksa kandungan di temani. Jangan seperti dulu. Kasihan istrinya." ucap dokter Asih membuatku dan Daniel saling pandang. Mungkin wanita di hadapanku ini mengira jika dulu ayah si kembar adalah Daniel. Daniel hanya mengangguk. Menjelaskan secara rinci juga tak mungkin. "Saya belum tahu istri saya hamil atau tidak dok. Tapi sudah telat satu minggu." ucap Daniel. "Baik Pak, biar saya periksa terlebih dahul
Aku duduk di teras sambil menyuapi Mukhlas dan Mukhlis. Ya, sekarang mereka sudah bisa makan bubur saring karena usia mereka sudah delapan bulan. Kedua buah hatiku dengan lahap memakan bubur saring dengan hati ayam dan brokoli. Mereka menyukai bubur buatan sendiri dibandingkan bubur kemasan. Ini membuat PR untukku agar lebih kreatif dalam membuat makanan agar mereka tak bosan. "Suapan terakhir sayang," ucapku pada Mukhlas.Mukhlas menutup mulut rapat-rapat sama seperti Mukhlis. Mungkin keduanya sudah kenyang. Karena hanya satu sendok yang tersisa. Suara mobil berhenti di depan rumah. Lelaki yang kini menemani hari-hariku keluar dari mobil dengan wajah sumringah. "Mbak Sari, tolong bersihkan bekas makan yang menempel di pipi ya." Mbak Sari mengangguk lalu mendorong stroller masuk ke dalam rumah. Meninggalkan diriku di teras rumah. "Assalamu'alaikum,Sayang." Daniel mendekat. Bau terasi terdeteksi oleh indera penciuman. Semakin lama semakin mendekat. Kenapa Daniel baunya seperti ini
Aku menata pakaian ke dalam koper. Tak terasa sudah tiga hari kami menghabiskan waktu untuk berbulan madu. Rasa rindu pada si kembar kian menggebu. Meski setiap hari melakukan videocall namun rinduku masih belum terobati kalau belum bertemu."Sudah selesai sayang?" tanya Daniel yang baru keluar dari kamar mandi. Handuk hanya melilit bagian pinggangnya.Ku tatap suamiku yang masih bertelanjang dada. Ada debaran tak menentu saat melihat Daniel seperti itu.Lelaki yang sudah sah menjadi imamku berjalan mendekat. Dan lagi desiran hangat memenuhi sekujur tubuh. Degup jantung kian berdetak kencang."Kenapa lihatin seperti itu?Mau?" wajahnya kini hanya berjarak beberapa senti dari wajahku.CUPSatu kecupan mendarat di bibir. Ah, Daniel selalu seperti itu.Membuatku melayang ke angkasa."Aku baru selesai mandi lho,Yang, rambut juga masih basah," ucapku manja."Ih, kamu pikiranya ke situ terus. Mau lagi ya?" mengerlingkan mata, menggoda."Apaan sih?" Kututup wajah ini yang mulai bersemu merah.D
Jarum jam sudah menunjukkan angka empat. Ku matikan laptop dan segera berjalan menuju pintu."Pak." panggilan Luna menghentikan langkahku."Ada apa?""Kita ada meeting sebentar lagi."Ya Allah, aku sampai lupa kalau akan meeting. Bagaimana ini? Kalau aku tak datang Papi akan marah besar."Tolong atur jadwal lagi, saya ada keperluan mendesak." ucapku lalu meninggalkannya begitu saja.Aku berjalan menuju lift,netra melihat setiap sudut kantor.Karyawan masih banyak yang berlalu lalang. Dan tersenyum saat aku melewatinya.Bagaimana jika perusahaan ini bangkrut? Mereka akan kerja dimana untuk menghidupi keluarganya? Ya Allah, isi semua karena aku tak fokus hingga investor terbesar membatalkan kerjasamanya.Ya Allah, kenapa ujian bertubi-tubi menimpaku?Apa karena aku kurang bersedekah?Atau karena aku tega menyakiti hati Aisyah?"Pak..." panggilan seseorang menyentakku dari lamunan."I-iya." ucapku terbata."Maaf Pak, apakah ada yang bisa saya bantu? Saya lihat dari tadi Bapak berdiri di
Pov AdamAda nyeri di sanubari saat melihat Aisyah duduk di pelaminan bersanding dengan Daniel. Sesak dada untuk bernafas pun rasanya susah. Harusnya aku yang ada di sana bukan Daniel. Persis lagu yang barusan aku nyanyikan.Berjalan mendekat, bukan untuk memberi selamat tapi untuk melihat Aisyah lebih dekat. Pandangan tak suka nampak jelas terlihat di wajah Om Bram, ayah sahabatku."Santai saja Om, aku hanya ingin melihat ibu dari anak-anakku lebih dekat," batinku.Semakin dekat dengan Aisyah,entah kenapa jantung kian berdetak kencang. Dengan perasaan yang sulit ku artikan.Kenapa aku justru merasakan benih cinta mulai mekar saat bunga itu telah tumbuh subuh di halaman rumah orang lain?Kenapa cinta ini terlambat? Saat dia telah pergi aku baru menyadari dia begitu berarti.Kutatap wajah ibu dari kedua anakku. Dia sungguh cantik mempesona. Dan kenapa aku baru menyadarinya? Kemana saja diriku selama ini?"Selamat ya, jaga Aisyah baik-baik. Sebelum aku mengambilnya kembali," ucapku pela