Bohong itu seperti candu,sekali melakukan kebohongan seterusnya akan melakukan lagi dan lagi. Hingga suatu saat kebohongan itu terbongkar dengan sendirinya. Mungkin saat ini Mas Adam bernafas lega, tapi suatu saat bom itu akan meletus dan membakar sekelilingnya. Bila saat itu terjadi aku harus siap dengan segala hal buruknya. Mas Adam asyik bercengkrama bersama umi dan abi di ruang keluarga. Ada rasa sedih saat aku melihat pemandangan itu. Teringat kebersamaan aku dan ayah dulu. Semoga Ayah tenang di sana. Maafkan Aisyah belum sempat membahagiakan Ayah. Tak terasa bulir bening mengalir dari sudut netra.Berjalan perlahan menuju dapur, piring kotor bekas makan malam tadi sudah menumpuk di wastafel. Segera aku bereskan,karena aku ingin segera merebahkan badan di kasur empuk. "Umi, Abi, Aisyah ke kamar dulu ya.""Iya Aisyah..." jawab umi dan abi serempak. Perlahan kulangkahkan kaki menuju kamar tamu yang sekarang menjadi kamar pribadiku. Rasa lelah membuatku ingin segera masuk ke dal
"Mas, Mas Adam, tolong..."Samar-samar terdengar suara Aisyah meminta tolong.Mata ini masih saja terpejam. Malas membuka mata dan melihat Aisyah tertawa puas karena bisa mengalahkanku.Aku masih kesal karena dengan curang Aisyah merebut kasur empukku. Harusnya aku yang tidur di ranjang, ini kan kamarku tapi kenapa dia yang berkuasa. Menyebalkan!"Mas, Mas Adam, aku gak bisa nafas!" panggil Aisyah lagi. Tapi kini suaranya melemah.Sudahlah tidak usah acting, aku tahu kamu cuman bersandiwara. Tapi saja masih segar bugar kok. Tapi kalau beneran gimana ya?"Bahaya kalau Aisyah kenapa-kenapa. Bisa habis di marahi Abi dan Umi," batinku.Segera kubuka mata. Lho, kenapa gelap? jangan-jangan mati lampu lagi. Kenapa juga mati lampu malam-malam begini pak PLN."Kamu di mana,Ais?" Aku berjalan perlahan sambil meraba kanan kiri, jangan sampai aku tersandung dan jatuh."Di si-ni Mas," jawabnya tersengal.Ada apa sebenarnya dengan Aisyah?Kenapa nafasnya tersengal seperti itu?Jangan-jangan dia saki
Kami duduk di kursi masing-masing. Sarapan kali ini Umi yang memasak. Sebenarnya sempat kularang, tapi beliau kekeh ingin memasak. Katanya rindu membuat sarapan untuk Mas Adam."Kok rapi banget Ais, mau ke mana?" Umi menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Maaf Umi, sebenarnya Aisyah sudah bekerja di butik satu bulan ini. Bosan di rumah sendirian,Mi,"dustaku. Sebenarnya alasan utama karena aku tak ingin terlalu bergantung dengan Mas Adam. Aku sendiri tak tahu sampai kapan aku bisa mengandalkan nafkah dari suamiku itu. Sedang rumah tangga ini belum jelas kemana arahnya. "Kenapa tidak bekerja di perusahaan Adam saja,Nak?" tanya Abi heran. "Aisyah tidak berbakat bekerja di perusahaan Mas Adam bisa, takutnya malah menyusahkan Mas Adam." Mas Adam terlihat tegang. Takut ya Mas, kalau aku keceplosan? "O, ya sudah, yang terpenting kamu nyaman dan tidak kelelahan. Umi dan abi ingin segera menimang cucu." ucap Umi. Uhuk... Uhuk... Aku dan Mas Adam tersedak secara bersamaan. Tengg
[Oke...]Akhirnya ku balas pesan dari Daniel. Entah apa yang terjadi selanjutnya aku tak ambil pusing. Jarum jam sudah menunjukkan angka dua belas. Sudah saatnya untuk makan siang. Segera ku sambar tas di atas meja. Berjalan perlahan meninggalkan ruang kerjaku. "Aisyah...!" suara yang satu bulan ini bersamaku di kantor ini. "Iya Bu, ada perlu dengan saya?""Bisa bicara sebentar?""Bisa Bu," aku berjalan memasuki ruang pemilik butik ini. "Ada perlu apa Bu?" tanyaku sambil menjatuhkan bobot tepat di kursi yang berhadapan dengannya. "Jangan panggil ibu, mbak saja.""Tapi Bu, itu tidak sopan.""Ini jam istirahat, aku bukan ibu kamu Aisyah.Kalau berdua panggil mbak saja. Mengerti Ais?""Iya Bu, eh mbak..."Mulut ini terasa kelu, bingung mau panggil apa? Bu atau mbak. Susah juga membiasakan memanggil mbak, karena terbiasa memanggil Bu. "Apa kamu ingin makan di luar bersama Daniel?" Ku naikkan sebelah alisku.Bingung, kenapa Bu Bella bisa tahu kalau aku akan makan siang bersama Daniel.
Uhuk ... uhuk...Apa-apaan ini? Kuminum jus jeruk yang ada di hadapanku.Perlahan ku atur nafas, berharap apa yang aku dengar barusan hanya salah saja. "Maksud kamu apa Dan?" "Aku mencintai kamu Ais, sejak pertama bertemu di rumah adam aku jatuh hati padamu. Apa aku salah mencintai kamu?"Kuatur lagi rasa yang tak menentu. Kenapa Daniel mencintai wanita yang sudah bersuami. Aku juga sih yang salah tak berkata jujur. Nah sekarang bingung kan mau ngomong apa! "Aku masih gak mengerti dengan ucapanmu tentang mengorbankan Tuhanmu, apa kamu...?" tak kulanjutkan ucapanku. Entah mengapa mulut ini terasa terkunci. "Iya, aku seorang nasrani Ais, dan aku mencintai wanita muslim. Dan itu kamu."DEG...! Jadi selama ini Daniel yang aku kenal berbeda keyakinan denganku. Ku pikir saat mbak Bella menjadi mualaf, Daniel pun juga sama. Ternyata tidak.Ya Robb, Kenapa jadi serumit ini? Apa ini maksud Mbak Bella untuk membantu Daniel. Ah, aku semakin tak mengerti! "Ais..."kutatap wajahnya tampann
Hari ini tepat empat bulan usia pernikahan kami. Hari demi hari Mas Adam mulai berubah menjadi sosok suami yang perhatian. Tapi entah kenapa aku belum bisa mempercayainya, mungkin karena kejadian tempo hari saat dia menyebut nama Jesica setelah kami selesai memadu kasih. Sakit rasanya suami menyebut nama wanita lain. Tapi ku coba berfikir positif, membuang segala prasangka buruk yang ada. Mungkin orang bilang aku wanita bodoh, menerima suami yang masih mencintai kekasihnya. Tapi bukankah semua orang punya masa lalu.Dan kini Mas Adam berjanji melupakannya dan merajut asa bersamaku. Tak ada salahnya kan memberi kesempatan? Selagi keduanya mau sama-sama berjuang mempertahankan mahligai pernikahan, maka tak ada alasan untuk berpisah bukan? **** Tumpukan berkas laporan kupelajari satu persatu. Banyak yang harus ku laporkan segera. Tok... Tok ... Tok.... "Masuk!" Aku masih asyik menatap layar komputer dan memasukan satu persatu data ke dalamnya. "Aisyah...." Suara yang dulu selalu
Aku bersandar di tembok, menikmati sentuhan air dingin yang jatuh membasahi tubuh. Menangisi nasib yang terasa pahit. Biarlah kamar mandi menjadi saksi sakitnya sanubari. Kenapa Engkau begitu tak adil padaku? Apa salah diri ini? Hingga Engkau murka, dan memberikan ujian bertubi-tubi. Astaghfirullah... Aku beristighfar berkali-kali di dalam hati. Ampuni hamba karena telah berburuk sangka kepadaMu. Bukankah Allah tak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hambanya. Mungkin bagi Engkau, aku masih mampu menjalani segala cobaan ini. Bukankah di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Terlalu lama di kamar mandi membuat tubuh ini menggigil kedinginan. Tak seharusnya aku menangisi bahkan menyiksa diriku sendiri. Kupakai baju tidur panjang dan segera merebahkan tubuh di atas ranjang dengan selimut tebal yang menutupi tubuh. Belum sempat mata ini terpejam, suara ketukan pintu membuatku membuka mata kembali. dengan langkah gontai kubuka pintu kamar. Sepasang pengantin baru ber
"Tapi Aisyah...!" Jesica memegang pundakku.Mas Adam menghembuskan nafas berat. "Tiara Aisyah Kurniawan mulai detik ini kamu bukan lagi istriku. Aku talak kamu."Bulir bening kembali mengalir dari sudut netra. Aku menangis bukan karena menyesal dengan keputusanku. Tapi karena aku tak mampu memenuhi amanat terakhir ayah. "Maafkan Aisyah, ayah,"gumamku."Terima kasih telak mentalakku Mas, maaf aku mundur dari pernikahan ini." Kuhapus air mata yang sadari tadi jatuh tanpa bisa kubendung. "Jangan pergi Aisyah, maafkan aku yang merusak hubungan kalian." Jesica memegang tanganku erat. "Aku yang harusnya minta maaf sudah menjadi orang ketika dalam hubungan kalian.""Mas Adam kenapa diam saja?" Jesica mengguncang-guncangkan tubuh mantan suamiku itu. Mas Adam masih terpaku, diam membisu dengan pandangan kosong. Aku tahu kamu hanya sandiwara Mas. Sudahlah, ini semua keinginan kamu bukan? "Apa kamu tidak memikirkan kesehatan Umi Mas, bagaimana kalau beliau tahu Aisyah sudah kamu ceraikan?"
Tok ... Tok ... Tok.... Kuketuk pintu rumah Jesica dengan hati berdebar tak menentu. Semoga saja niat baikku disambut baik oleh Jesica dan keluarganya."Assalamu'alaikum...." ucapku."Waalaikumsalam" jawaban dari dalam rumah. Suara yang dulu sangat kurindu. Dialah wanita yang mati-matian ku perjuangkan meski akhirnya kulukai hatinya perlahan.Pintu di buka dari dalam, Jesica terlihat terkejut saat melihat diriku berdiri tepat di depan pintu. Menatapnya dengan rasa rindu.Rindu ingin memeluknya, meski kutahu dia tak akan mau ku sentuh. Mungkin dia jijik dengan diriku. Lelaki yang tega melukai hatinya. Menggoreskan luka di sanubarinya.Dengan penuh amarah dia berusaha menutup pintu. Namun terganjal kakiku. Sakit saat kaki beradu dengan pintu. Tapi akhirnya tahu tak sesakit hati Jesica."Jesica, tolong buka pintunya. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan dan meminta maaf padamu." ucapku mengiba."Untuk apa kamu kemari?" tanyanya ketus sambil perlahan membuka pintu.Alhamdulillah, akhirn
Pov AdamTiga puluh menit menatap gedung yang penuh kenangan. Perusahaan yang susah payah ku bangun kini hilang begitu saja. Kenapa hidupku menderita seperti ini?Mengambil ponsel dari saku celana. Memesan taxi dari aplikasi online. Tujuanku saat ini adalah rumah masa kecilku dulu. Semoga Abi mengizinkanku tinggal di sana. Bukankah aku anak kandungnya, pasti beliau akan menerimaku meski aku telah mengecewakannya.Sebuah mobil berhenti tepat di hadapanku.Mobil dengan warna putih dan plat yang sama seperti di aplikasi."Dengan Pak Adam?" tanya driver itu."Iya Pak, sesuai aplikasi ya!" ku masukkan koper ke dalam mobil dan menjatuhkan bobot di atas kursi belakang kemudi."Baik Pak."Kendaraan roda empat yang ku tumpangi melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya kemacetan ibu kota. Mobil berwarna putih ini berhenti saat lampu merah menyala. Pandanganku tertuju pada segerombolan pengamen dan pengemis di trotoar jalan.Ya Allah, apa nasibku akan sama seperti mereka?Tak punya tempat t
Pov Adam"Maaf Dam, Abi sudah tak memiliki apapun. Semua harta benda bukan lagi milik Abi."Ucapan Abi bagai halilintar di siang bolong. Bagaimana mungkin harta benda Abi hilang begitu saja? Atau ini hanya akal-akalan Abi saja?Astaga, aku harus bagaimana?Kupijit pelipis yang terasa berdenyut.Menyambar kunci mobil di atas meja. Berjalan sedikit berlari menuju mobil yang terparkir. Aku harus ke rumah Abi, memastikan apa yang barusan kudengar hanya omong kosong belaka. Abi pasti hanya bercanda padaku.Melajukan kendaraan roda empatku dengan kecepatan tinggi. Kuterjang semua yang ada di hadapanku.Tak perduli klakson kendaraan lain berbunyi seperti tengah memprotesku.Yang aku ingin segera sampai di rumah Abi.Keluar dari mobil disambut terik mentari yang menusuk kulit. Melangkahkan kaki masuk kedalam rumah yang tak dikunci. Sepi, sunyi tak ada lagi kehangatan yang selalu kurasakan saat berada di rumahku. Yang terasa hanya kenangan pahit saat kehilangan wanita yang sangat ku cintai, Umi.
Aku duduk di teras rumah seorang diri, tak ada lagi istri apalagi anak. Hidupku kini terasa begitu sunyi.Kemana hilangnya kebahagiaan yang dulu kurasakan?Baru kemarin kurasakan hidupku begitu sempurna. Dan kini berbalik seratus delapan puluh derajat. Kesepian dan sengsara.Apa ini benar sebuah karma? atau hanya cobaan dari Sang Pencipta.Ku pijat pelipis yang terasa berdenyut. Memikirkan nasib perusahaan dan pernikahan yang sedang diujung tanduk.Para investor mulai mencabut kucuran dananya hanya karena sebuah video. Padahal sudah pernah ku jelaskan. Namun nyatanya semua sia-sia belaka.Mereka pikir aku adalah lelaki yang tak bertanggung jawab karena menelantarkan anak dan istri. Bahkan tega meninggalkan Jesica yang tengah sakit. Mereka tak pernah melihat dari sudut pandang ku. Andai mereka jadi sepertiku, mungkin akan bertindak sama seperti yang kulakukan."Ini tehnya Pak." Bibi meletakkan secangkir teh di atas meja."Terima kasih,Bi," Kuseruput teh hangat. Sedikit memberi ketenanga
Aku duduk di ruang tunggu bersama Daniel. Menunggu seorang suster memanggil namaku. Sudah dua puluh menit kami menunggu. Hingga membuatku merasa bosan. "Nyonya Tiara Aisyah Kurniawan." panggil seorang suster. Berjalan memasuki ruang periksa dokter dengan tangan digandeng Daniel. "Selamat siang Dok...." sapaku kepada dokter Asih, dokter yang menangani ku saat hamil si kembar dulu. "Selamat siang, Bu Aisyah apa kabar?Bagaimana keadaan si kembar?" tanyanya basa-basi. Mungkin dia masih ingat kalau aku pasiennya dulu. "Alhamdulillah sehat dok.""Nah, gitu dong Pak. Kalau istrinya periksa kandungan di temani. Jangan seperti dulu. Kasihan istrinya." ucap dokter Asih membuatku dan Daniel saling pandang. Mungkin wanita di hadapanku ini mengira jika dulu ayah si kembar adalah Daniel. Daniel hanya mengangguk. Menjelaskan secara rinci juga tak mungkin. "Saya belum tahu istri saya hamil atau tidak dok. Tapi sudah telat satu minggu." ucap Daniel. "Baik Pak, biar saya periksa terlebih dahul
Aku duduk di teras sambil menyuapi Mukhlas dan Mukhlis. Ya, sekarang mereka sudah bisa makan bubur saring karena usia mereka sudah delapan bulan. Kedua buah hatiku dengan lahap memakan bubur saring dengan hati ayam dan brokoli. Mereka menyukai bubur buatan sendiri dibandingkan bubur kemasan. Ini membuat PR untukku agar lebih kreatif dalam membuat makanan agar mereka tak bosan. "Suapan terakhir sayang," ucapku pada Mukhlas.Mukhlas menutup mulut rapat-rapat sama seperti Mukhlis. Mungkin keduanya sudah kenyang. Karena hanya satu sendok yang tersisa. Suara mobil berhenti di depan rumah. Lelaki yang kini menemani hari-hariku keluar dari mobil dengan wajah sumringah. "Mbak Sari, tolong bersihkan bekas makan yang menempel di pipi ya." Mbak Sari mengangguk lalu mendorong stroller masuk ke dalam rumah. Meninggalkan diriku di teras rumah. "Assalamu'alaikum,Sayang." Daniel mendekat. Bau terasi terdeteksi oleh indera penciuman. Semakin lama semakin mendekat. Kenapa Daniel baunya seperti ini
Aku menata pakaian ke dalam koper. Tak terasa sudah tiga hari kami menghabiskan waktu untuk berbulan madu. Rasa rindu pada si kembar kian menggebu. Meski setiap hari melakukan videocall namun rinduku masih belum terobati kalau belum bertemu."Sudah selesai sayang?" tanya Daniel yang baru keluar dari kamar mandi. Handuk hanya melilit bagian pinggangnya.Ku tatap suamiku yang masih bertelanjang dada. Ada debaran tak menentu saat melihat Daniel seperti itu.Lelaki yang sudah sah menjadi imamku berjalan mendekat. Dan lagi desiran hangat memenuhi sekujur tubuh. Degup jantung kian berdetak kencang."Kenapa lihatin seperti itu?Mau?" wajahnya kini hanya berjarak beberapa senti dari wajahku.CUPSatu kecupan mendarat di bibir. Ah, Daniel selalu seperti itu.Membuatku melayang ke angkasa."Aku baru selesai mandi lho,Yang, rambut juga masih basah," ucapku manja."Ih, kamu pikiranya ke situ terus. Mau lagi ya?" mengerlingkan mata, menggoda."Apaan sih?" Kututup wajah ini yang mulai bersemu merah.D
Jarum jam sudah menunjukkan angka empat. Ku matikan laptop dan segera berjalan menuju pintu."Pak." panggilan Luna menghentikan langkahku."Ada apa?""Kita ada meeting sebentar lagi."Ya Allah, aku sampai lupa kalau akan meeting. Bagaimana ini? Kalau aku tak datang Papi akan marah besar."Tolong atur jadwal lagi, saya ada keperluan mendesak." ucapku lalu meninggalkannya begitu saja.Aku berjalan menuju lift,netra melihat setiap sudut kantor.Karyawan masih banyak yang berlalu lalang. Dan tersenyum saat aku melewatinya.Bagaimana jika perusahaan ini bangkrut? Mereka akan kerja dimana untuk menghidupi keluarganya? Ya Allah, isi semua karena aku tak fokus hingga investor terbesar membatalkan kerjasamanya.Ya Allah, kenapa ujian bertubi-tubi menimpaku?Apa karena aku kurang bersedekah?Atau karena aku tega menyakiti hati Aisyah?"Pak..." panggilan seseorang menyentakku dari lamunan."I-iya." ucapku terbata."Maaf Pak, apakah ada yang bisa saya bantu? Saya lihat dari tadi Bapak berdiri di
Pov AdamAda nyeri di sanubari saat melihat Aisyah duduk di pelaminan bersanding dengan Daniel. Sesak dada untuk bernafas pun rasanya susah. Harusnya aku yang ada di sana bukan Daniel. Persis lagu yang barusan aku nyanyikan.Berjalan mendekat, bukan untuk memberi selamat tapi untuk melihat Aisyah lebih dekat. Pandangan tak suka nampak jelas terlihat di wajah Om Bram, ayah sahabatku."Santai saja Om, aku hanya ingin melihat ibu dari anak-anakku lebih dekat," batinku.Semakin dekat dengan Aisyah,entah kenapa jantung kian berdetak kencang. Dengan perasaan yang sulit ku artikan.Kenapa aku justru merasakan benih cinta mulai mekar saat bunga itu telah tumbuh subuh di halaman rumah orang lain?Kenapa cinta ini terlambat? Saat dia telah pergi aku baru menyadari dia begitu berarti.Kutatap wajah ibu dari kedua anakku. Dia sungguh cantik mempesona. Dan kenapa aku baru menyadarinya? Kemana saja diriku selama ini?"Selamat ya, jaga Aisyah baik-baik. Sebelum aku mengambilnya kembali," ucapku pela