"Tapi Aisyah...!" Jesica memegang pundakku.Mas Adam menghembuskan nafas berat. "Tiara Aisyah Kurniawan mulai detik ini kamu bukan lagi istriku. Aku talak kamu."Bulir bening kembali mengalir dari sudut netra. Aku menangis bukan karena menyesal dengan keputusanku. Tapi karena aku tak mampu memenuhi amanat terakhir ayah. "Maafkan Aisyah, ayah,"gumamku."Terima kasih telak mentalakku Mas, maaf aku mundur dari pernikahan ini." Kuhapus air mata yang sadari tadi jatuh tanpa bisa kubendung. "Jangan pergi Aisyah, maafkan aku yang merusak hubungan kalian." Jesica memegang tanganku erat. "Aku yang harusnya minta maaf sudah menjadi orang ketika dalam hubungan kalian.""Mas Adam kenapa diam saja?" Jesica mengguncang-guncangkan tubuh mantan suamiku itu. Mas Adam masih terpaku, diam membisu dengan pandangan kosong. Aku tahu kamu hanya sandiwara Mas. Sudahlah, ini semua keinginan kamu bukan? "Apa kamu tidak memikirkan kesehatan Umi Mas, bagaimana kalau beliau tahu Aisyah sudah kamu ceraikan?"
Astaghfirullah... Kuelus dada yang terasa sesak. Bagaimana mungkin aku penyebab sakitnya Umi, sedang akulah korban di sini. "Maksud kamu apa Mas? Kamu menuduhku?" ku tatap tajam matanya. Sudah hilang rasa hormatku untuknya. Seorang lelaki yang tak bisa mempertanggung jawabkan kesalahannya, sangat tak pantas dia disebut laki-laki. "Kalau kamu gak cerita sama Umi, gak mungkin Umi bisa sakit seperti ini!"matanya melotot. Deru nafas kian memburu, amarah sudah menutupi logikanya. Hingga tak bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar. "Kamu mengkambing hitamkan aku, Mas. Setelah apa yang kamu perbuat kepadaku.""Memang ini semua salah kamu, kamu sengaja menceritakan kepada Umi. Kamu ingin balas dendam padaku, jadi kamu manfaatkan Umi. Iya kan? Ngaku kamu!"ucapnya sambil mengarahkan jari telunjuk tepat di depan wajahku. Ya Allah lelaki macam apa yang dijodohkan Ayah padaku? Ku tahan amarah, aku tak ingin membuat keributan di rumah sakit. Banyak pasien yang sedang sakit, aku
Ya Allah, baru di sini seorang diri saja sudah banyak di komentarin, bagaimana kalau mereka tahu aku sudah di madu dan di talak. Pasti diriku akan menjadi bulan-bulanan mereka. Kuatkan hamba Ya Allah. "Mbak Aisyah mau beli apa?"tanya Bu Fatimah. Lega rasanya Bu Fatimah bertanya, setidaknya aku tak perlu menjawab semua pertanyaan Bu Rahayu. Walau pun cepat atau lambat mereka akan mengetahui statusku. Tapi setidaknya tidak sekarang. "Nasi putih dua bungkus ya Bu, lauknya gulai ayam sama tempe goreng saja."Tak butuh lama, pesananku telah siap, tak lupa aku membayarnya. "Saya permisi dulu ibu-ibu. Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam..." jawab mereka serempak. Tinggal di perkampungan memang harus kuat. Kuat mendengarkan omongan orang. Karena baik dan buruknya kehidupan kita akan selalu menjadi bahan perbincangan mereka. Ku pindah satu bungkus nasi ke dalam piring, tak lupa diberi gulai ayam di atasnya. Aroma gulai menyeruak masuk ke dalam hidung. Gulai yang biasanya mengundang rasa
Baru pertama kali melihat wanita secantik dia. Bukan karena kecantikan yang dapat di lihat mata, tapi kecantikan yang terpancar dari dalam. Aisyah namanya, wanita muslim yang seketika membuatku jatuh cinta. Hari demi hari aku semakin mengenalnya walau dia selalu menjaga jarak padaku. Seperti ada batasan antara aku dan dia. Apa karena perbedaan agama diantara kami. Aku juga tak tahu apa alasannya. Aisyah wanita yang sangat taat pada Tuhannya. Tak pernah sekalipun dia melewatkan ibadah wajib maupun sunah. Dan aku sendiri,setiap minggu tak pernah absen ke gereja. Kami bagai berjalan dengan arah yang berlawanan. Akankah bisa bersatu dengan dinding yang berdiri tegak diantara kami. "Aisyah makan siang yuk." ajakku saat tiba di butik. "Aku puasa Dan." tolak nya. Ini bukan ramadhan tapi kenapa dia berpuasa? Setahuku hanya bulan Ramadhan saja seorang muslim wajib berpuasa. Ingin bertanya tapi malu juga. "Oke, aku keluar dulu ya."masih ingin berbincang tapi perut tidak bisa di ajak kompr
Hari ini ingin ku ungkapkan perasaanku kepada Aisyah. Karena aku tak rela dia dimiliki orang lain. Sengaja aku mengajaknya makan siang bersama di sebuah restoran dekat butik. Tak berapa lama Aisyah datang, kami segera menyantap makanan yang sudah ku pesankan untuknya.Ku keluarkan semua isi hatiku. Jantungku tak henti-hentinya berdetak dengan kencang setiap mengeluarkan kata dari mulut ini. "Kalau aku mencintaimu, haruskah aku mengorbankan Tuhanku?"ku tatap Aisyah tajam. Uhuk...uhuk...Aisyah terbatuk, mungkin syok dengan yang aku ucapkan. "Maksud kamu apa Dan?" "Aku mencintai kamu Ais, sejak pertama bertemu di rumah adam aku jatuh hati padamu. Apa aku salah mencintai kamu?"Sesaat kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Aku takut jika Aisyah marah dan menghindariku. "Aku masih gak mengerti dengan ucapanmu tentang mengorbankan Tuhanmu, apa kamu...?"Aisyah menjeda ucapannya. "Iya, aku seorang nasrani Ais, dan aku mencintai wanita muslim. Dan itu kamu."Aisyah seperti syok, di
Kubuka mata perlahan walau berat. Sorot cahaya menyilaukan mata. Aroma minyak kayu putih menyeruak masuk ke indra penciuman. "Kamu sudah sadar Ais?" Kutoleh sumber suara. Daniel berdiri di sampingku, sorot kekhawatiran nampak di matanya. "Aku di mana,Dan?" Kulihat sekelilingku, ruangan bernuansa putih. Dengan aroma obat menyeruak di seluruh ruangan dan berbagai alat medis tertata rapi. Aku ingat-ingat, ya, tadi di rumah sakit setelah dari ruang rawat inap umi aku berjalan sempoyongan di koridor, setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi. "Kamu masih di IGD,Ais, tapi kamu pingsan di koridor rumah sakit. Lalu ku bawa kamu ke mari. Dan sudah hampir satu jam kamu tak sadarkan diri," ucapnya sambil membantuku duduk. Satu jam, ternyata aku pingsan lumayan lama. Pasti Daniel khawatir padaku. "Terima kasih,Dan.""Diminum dulu, setelah itu kita periksa kondisi kamu." Daniel menyodorkan sebotol air mineral padaku. Ku teguk seperempatnya. "Kamu sudah enakan?" tanyanya dengan raut cemas. "Al
Mobil berjalan meninggalkan rumah sakit. Kendaraan berlalu lalang menimbulkan kemacetan di jalan kota. "Kita langsung pulang atau mau makan dulu Ais?" tanya Daniel memecah keheningan diantara kami. "Pulang saja Dan, aku tak nafsu makan."Daniel hanya mengangguk kemudian fokus melajukan mobil.Kupejamkan mata karena kepala masih terasa berputar-putar. "Aisyah, kita sudah sampai." tepukan pelan di pundak membangunkanku. Tak terasa mataku terlelap karena pusing hingga tak sadar telah sampai. Lho, kenapa berhenti di halaman rumah Mas Adam? Astaga, aku belum cerita pada Daniel. "Ayo turun Aisyah!" ucap Daniel setelah membuka pintu mobil. "Aku tidak tinggal disini lagu Aisyah. Bisa tolong antarkan aku pulang.""Oke." Daniel kembali menutup pintu dan melajukan mobil meninggalkan rumah Mas Adam. "Kamu sudah tak tinggal di rumah Adam?" tanya Daniel sambil melirik ku dari kaca spion. "Tidak Dan, aku tinggal di rumah peninggalan orang tuaku.""Bersama suami kamu? Bagaimana kalau suami ka
Tok ... Tok ... Tok.... Suara kaca jendela di ketuk dari luar. Daniel membuka pintu. Menanyakan pada lelaki berkulit hitam apa keperluannya."Masih lama tidak Mas?tempatnya mau dipakai mobil lain." ucap tukang parkir.Sebuah mobil berwarna hitam masih berhenti di pinggir jalan karena halaman depan minimarket sudah penuh dengan mobil dan motor."Maaf Mas." Daniel memberikan uang parkir dan melajukan perlahan kendaraan roda empat miliknya.Kami masih diam, jalan terasa lambat. Entah perasaanku atau memang laju mobil lebih lambat dari tadi.Sepuluh menit dalam diam hingga mobil Daniel memasuki kampung tempat tinggalku."Habis ini belok kanan Dan, rumahnya bercat hijau dengan pohon mangga di depannya." terangku. Daniel mengangguk lalu memutar mobil ke arah kanan."Terima kasih Dan." ucapku saat mobil berhenti tepat di depan rumah."Maaf aku gak bisa turun Ais, takut menimbulkan fitnah bagi kamu."Tak menyangka Daniel berfikir sejauh itu. Memang benar akan timbul fitnah jika mereka melihat
Tok ... Tok ... Tok.... Kuketuk pintu rumah Jesica dengan hati berdebar tak menentu. Semoga saja niat baikku disambut baik oleh Jesica dan keluarganya."Assalamu'alaikum...." ucapku."Waalaikumsalam" jawaban dari dalam rumah. Suara yang dulu sangat kurindu. Dialah wanita yang mati-matian ku perjuangkan meski akhirnya kulukai hatinya perlahan.Pintu di buka dari dalam, Jesica terlihat terkejut saat melihat diriku berdiri tepat di depan pintu. Menatapnya dengan rasa rindu.Rindu ingin memeluknya, meski kutahu dia tak akan mau ku sentuh. Mungkin dia jijik dengan diriku. Lelaki yang tega melukai hatinya. Menggoreskan luka di sanubarinya.Dengan penuh amarah dia berusaha menutup pintu. Namun terganjal kakiku. Sakit saat kaki beradu dengan pintu. Tapi akhirnya tahu tak sesakit hati Jesica."Jesica, tolong buka pintunya. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan dan meminta maaf padamu." ucapku mengiba."Untuk apa kamu kemari?" tanyanya ketus sambil perlahan membuka pintu.Alhamdulillah, akhirn
Pov AdamTiga puluh menit menatap gedung yang penuh kenangan. Perusahaan yang susah payah ku bangun kini hilang begitu saja. Kenapa hidupku menderita seperti ini?Mengambil ponsel dari saku celana. Memesan taxi dari aplikasi online. Tujuanku saat ini adalah rumah masa kecilku dulu. Semoga Abi mengizinkanku tinggal di sana. Bukankah aku anak kandungnya, pasti beliau akan menerimaku meski aku telah mengecewakannya.Sebuah mobil berhenti tepat di hadapanku.Mobil dengan warna putih dan plat yang sama seperti di aplikasi."Dengan Pak Adam?" tanya driver itu."Iya Pak, sesuai aplikasi ya!" ku masukkan koper ke dalam mobil dan menjatuhkan bobot di atas kursi belakang kemudi."Baik Pak."Kendaraan roda empat yang ku tumpangi melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya kemacetan ibu kota. Mobil berwarna putih ini berhenti saat lampu merah menyala. Pandanganku tertuju pada segerombolan pengamen dan pengemis di trotoar jalan.Ya Allah, apa nasibku akan sama seperti mereka?Tak punya tempat t
Pov Adam"Maaf Dam, Abi sudah tak memiliki apapun. Semua harta benda bukan lagi milik Abi."Ucapan Abi bagai halilintar di siang bolong. Bagaimana mungkin harta benda Abi hilang begitu saja? Atau ini hanya akal-akalan Abi saja?Astaga, aku harus bagaimana?Kupijit pelipis yang terasa berdenyut.Menyambar kunci mobil di atas meja. Berjalan sedikit berlari menuju mobil yang terparkir. Aku harus ke rumah Abi, memastikan apa yang barusan kudengar hanya omong kosong belaka. Abi pasti hanya bercanda padaku.Melajukan kendaraan roda empatku dengan kecepatan tinggi. Kuterjang semua yang ada di hadapanku.Tak perduli klakson kendaraan lain berbunyi seperti tengah memprotesku.Yang aku ingin segera sampai di rumah Abi.Keluar dari mobil disambut terik mentari yang menusuk kulit. Melangkahkan kaki masuk kedalam rumah yang tak dikunci. Sepi, sunyi tak ada lagi kehangatan yang selalu kurasakan saat berada di rumahku. Yang terasa hanya kenangan pahit saat kehilangan wanita yang sangat ku cintai, Umi.
Aku duduk di teras rumah seorang diri, tak ada lagi istri apalagi anak. Hidupku kini terasa begitu sunyi.Kemana hilangnya kebahagiaan yang dulu kurasakan?Baru kemarin kurasakan hidupku begitu sempurna. Dan kini berbalik seratus delapan puluh derajat. Kesepian dan sengsara.Apa ini benar sebuah karma? atau hanya cobaan dari Sang Pencipta.Ku pijat pelipis yang terasa berdenyut. Memikirkan nasib perusahaan dan pernikahan yang sedang diujung tanduk.Para investor mulai mencabut kucuran dananya hanya karena sebuah video. Padahal sudah pernah ku jelaskan. Namun nyatanya semua sia-sia belaka.Mereka pikir aku adalah lelaki yang tak bertanggung jawab karena menelantarkan anak dan istri. Bahkan tega meninggalkan Jesica yang tengah sakit. Mereka tak pernah melihat dari sudut pandang ku. Andai mereka jadi sepertiku, mungkin akan bertindak sama seperti yang kulakukan."Ini tehnya Pak." Bibi meletakkan secangkir teh di atas meja."Terima kasih,Bi," Kuseruput teh hangat. Sedikit memberi ketenanga
Aku duduk di ruang tunggu bersama Daniel. Menunggu seorang suster memanggil namaku. Sudah dua puluh menit kami menunggu. Hingga membuatku merasa bosan. "Nyonya Tiara Aisyah Kurniawan." panggil seorang suster. Berjalan memasuki ruang periksa dokter dengan tangan digandeng Daniel. "Selamat siang Dok...." sapaku kepada dokter Asih, dokter yang menangani ku saat hamil si kembar dulu. "Selamat siang, Bu Aisyah apa kabar?Bagaimana keadaan si kembar?" tanyanya basa-basi. Mungkin dia masih ingat kalau aku pasiennya dulu. "Alhamdulillah sehat dok.""Nah, gitu dong Pak. Kalau istrinya periksa kandungan di temani. Jangan seperti dulu. Kasihan istrinya." ucap dokter Asih membuatku dan Daniel saling pandang. Mungkin wanita di hadapanku ini mengira jika dulu ayah si kembar adalah Daniel. Daniel hanya mengangguk. Menjelaskan secara rinci juga tak mungkin. "Saya belum tahu istri saya hamil atau tidak dok. Tapi sudah telat satu minggu." ucap Daniel. "Baik Pak, biar saya periksa terlebih dahul
Aku duduk di teras sambil menyuapi Mukhlas dan Mukhlis. Ya, sekarang mereka sudah bisa makan bubur saring karena usia mereka sudah delapan bulan. Kedua buah hatiku dengan lahap memakan bubur saring dengan hati ayam dan brokoli. Mereka menyukai bubur buatan sendiri dibandingkan bubur kemasan. Ini membuat PR untukku agar lebih kreatif dalam membuat makanan agar mereka tak bosan. "Suapan terakhir sayang," ucapku pada Mukhlas.Mukhlas menutup mulut rapat-rapat sama seperti Mukhlis. Mungkin keduanya sudah kenyang. Karena hanya satu sendok yang tersisa. Suara mobil berhenti di depan rumah. Lelaki yang kini menemani hari-hariku keluar dari mobil dengan wajah sumringah. "Mbak Sari, tolong bersihkan bekas makan yang menempel di pipi ya." Mbak Sari mengangguk lalu mendorong stroller masuk ke dalam rumah. Meninggalkan diriku di teras rumah. "Assalamu'alaikum,Sayang." Daniel mendekat. Bau terasi terdeteksi oleh indera penciuman. Semakin lama semakin mendekat. Kenapa Daniel baunya seperti ini
Aku menata pakaian ke dalam koper. Tak terasa sudah tiga hari kami menghabiskan waktu untuk berbulan madu. Rasa rindu pada si kembar kian menggebu. Meski setiap hari melakukan videocall namun rinduku masih belum terobati kalau belum bertemu."Sudah selesai sayang?" tanya Daniel yang baru keluar dari kamar mandi. Handuk hanya melilit bagian pinggangnya.Ku tatap suamiku yang masih bertelanjang dada. Ada debaran tak menentu saat melihat Daniel seperti itu.Lelaki yang sudah sah menjadi imamku berjalan mendekat. Dan lagi desiran hangat memenuhi sekujur tubuh. Degup jantung kian berdetak kencang."Kenapa lihatin seperti itu?Mau?" wajahnya kini hanya berjarak beberapa senti dari wajahku.CUPSatu kecupan mendarat di bibir. Ah, Daniel selalu seperti itu.Membuatku melayang ke angkasa."Aku baru selesai mandi lho,Yang, rambut juga masih basah," ucapku manja."Ih, kamu pikiranya ke situ terus. Mau lagi ya?" mengerlingkan mata, menggoda."Apaan sih?" Kututup wajah ini yang mulai bersemu merah.D
Jarum jam sudah menunjukkan angka empat. Ku matikan laptop dan segera berjalan menuju pintu."Pak." panggilan Luna menghentikan langkahku."Ada apa?""Kita ada meeting sebentar lagi."Ya Allah, aku sampai lupa kalau akan meeting. Bagaimana ini? Kalau aku tak datang Papi akan marah besar."Tolong atur jadwal lagi, saya ada keperluan mendesak." ucapku lalu meninggalkannya begitu saja.Aku berjalan menuju lift,netra melihat setiap sudut kantor.Karyawan masih banyak yang berlalu lalang. Dan tersenyum saat aku melewatinya.Bagaimana jika perusahaan ini bangkrut? Mereka akan kerja dimana untuk menghidupi keluarganya? Ya Allah, isi semua karena aku tak fokus hingga investor terbesar membatalkan kerjasamanya.Ya Allah, kenapa ujian bertubi-tubi menimpaku?Apa karena aku kurang bersedekah?Atau karena aku tega menyakiti hati Aisyah?"Pak..." panggilan seseorang menyentakku dari lamunan."I-iya." ucapku terbata."Maaf Pak, apakah ada yang bisa saya bantu? Saya lihat dari tadi Bapak berdiri di
Pov AdamAda nyeri di sanubari saat melihat Aisyah duduk di pelaminan bersanding dengan Daniel. Sesak dada untuk bernafas pun rasanya susah. Harusnya aku yang ada di sana bukan Daniel. Persis lagu yang barusan aku nyanyikan.Berjalan mendekat, bukan untuk memberi selamat tapi untuk melihat Aisyah lebih dekat. Pandangan tak suka nampak jelas terlihat di wajah Om Bram, ayah sahabatku."Santai saja Om, aku hanya ingin melihat ibu dari anak-anakku lebih dekat," batinku.Semakin dekat dengan Aisyah,entah kenapa jantung kian berdetak kencang. Dengan perasaan yang sulit ku artikan.Kenapa aku justru merasakan benih cinta mulai mekar saat bunga itu telah tumbuh subuh di halaman rumah orang lain?Kenapa cinta ini terlambat? Saat dia telah pergi aku baru menyadari dia begitu berarti.Kutatap wajah ibu dari kedua anakku. Dia sungguh cantik mempesona. Dan kenapa aku baru menyadarinya? Kemana saja diriku selama ini?"Selamat ya, jaga Aisyah baik-baik. Sebelum aku mengambilnya kembali," ucapku pela