“Bang Arfan tak mungkin mau menceraikan Kakak! Karena aku tahu. dia itu laki-laki idiot tapi begitu tergila-gila pada Kakak!” “Kau yakin?” “Sangat yakin.” “Tapi, terus terang. Sebenarnya justru itu yang aku tunggu.” “Maksud Kakak?” “Sebenarnya, sudah beberapa kali aku minta cerai darinya. Aku bosan hidup miskin, dan yang paling penting, aku tak perbah cinta sama dia. Aku merasa hambar. Apalagi masalah ranjang. Dia itu tak pernah bisa memuaskan aku.” “Hemh, gak pernah puas kok, bisa punya anak dua?” “Kau tidak paham maksudku, Binsar! Apa perlu aku jelaskan secara mendetail? Lebih baik kita praktekkan saja langsung. Ayolah, kita ulangi yang tadi! Daripada stres! Kita lupakan sejenak beban pikiran kita.” Rosa menyibak selimut yang menutup tubuh polosnya, lalu berjalan tampa sungkan ke arah Binsar. Tangannya langsung mengalung di leher sang pria. “Maaf, Kak! Sepertinya aku tidak bisa melanjutkan. Kepalaku sakit!” tolak Binsar. Namun, bukan Rosa namanya bila dia tak berhasil m
“Alva? Kau?” “Eh, Bang Arfan? Abang dari mana? Kenapa Bu Elma ditinggal sendirian?” Alva langsung bangkit. “Aku tadi di dalam, tapi mendapat telpon dari istriku, jadi aku bawa ke luar. Takut Elma terganggu.” “Oh, Istri Abang nelpon? Ada apa?” Alva mengerutkan kening, sengaja menyelidiki situasi ini. “Rosa kehabiasan uang. Dia minta ditransfer segera. Aku akan bangunkan Elma, takut Rosa kenapa-napa.” “Buat apa bangunkan Bu Elma?’ “Pakai uang Elma dulu, aku tidak punya uang sepeserpun.” Alva tercekat! Pria itu memutar otak, memikirkan cara menghalangi niat pria lugu ini. Tapi, bagaimana caranya? Dia teringat video yang sempat dia rekam tadi di penginapan kawasan Bandar Baru. Saat Rosa main kuda-kudaan dengan Binsar. Haruskah dia buka topeng si istri durjana itu sekarang? Apakah ini saat yang tepat bila video itu dia tunjukkan? Bagaimana kalau Arfan pingsan saat melihatnya? Atau tiba-tiba darah tingginya kumat, Arfan lalu drop, stroke, atau … aaach, Alva tak bisa membayangk
Entah apa jawaban dari sana. Arfan tak mengaktifkan loud speaker ponselnya. Namun, kalimat Arfan berikutnya sungguh membuat Alva kaget tak percaya. “Dua puluh juta? Sinting, kau, Dek! Pulang kau sekarang! Entah buat apa kau uang sebanyak itu! Mau apa kau rupanya, ha!” teriak Arfan makin kencang. Alva tak habis pikir. Pasti si Binsar yang telah mempengaruhi Rosa agar meminta uang sebanyak itu. “Apa? Mau buka usaha? Yang udah gak waras nya, kau Rosa!” senggak Arfan. “Kita itu akan pulang ke kampung lagi bila Elma sudah keluar dari rumah sakit! Buat apa kau buka usaha di dekat rumah Bapak Uda kau itu? Kita balik ke kampung, Dek! Tidak cocok kita tinggal di kota ini! Di kampung kita udah hidup tenang, kan? Biarpun aku capek kerja di kebun dan di sawah, badanku gosong dipanggang sinar matahari, tak apa! Yang penting kita hidup tenang! Kita bahagia!” bujuk Arfan akhirnya merendahkan volume suaranya. “Pulang kau, cepat! sekarang juga harus pulang, pokoknya!Kalau kau tidak pulang, ak
Arfan menoleh kepada Alva.”Tolong transfer lima juta lagi! Begitu Elma bangun, dia akan segera mengganti uangmu!" perintahnya tanpa sungkan sedikitpun.Alva meraih ponsel miliknya, menyalakan benda itu, mengutak-atiknya sebentar, lalu …. “Sebelum aku transfer lagi, tolong lihat dulu Video ini, Bang!”Alva memutuskan untuk membongkar kebejatan istri Arfan. Keputusan yang sangat terpaksa. Dia siap dengan segala resikonya. Daripada Arfan memaksa transfer uang lagi. Semoga pria polos tapi bucin ini tidak kena serangan jantung saat melihat kenyataan yang sebenarnya.“Maaf, Bang! Saya tidak bermaksud merendahkan istri Abang!” ucapnya seraya menunjukkan layar ponsel kepada Arfan. Suara desahan dan erangan bersahutan sepasang manusia langsung terdengar dari benda pipih itu.“Apa ini?” gumam Arfan dengan wajah memucat. Matanya tertuju tepat ke layar ponsel. “Ini sipa? Ini … ini Rosa? Sama siapa? Ini aku? Apakah laki-laki ini aku?”Bagai orang tolol Arfan sempat kebingungan. Posisi si pria ya
Arfan tersenyum tipis. Pria itu lalu menelpon istrinya. “Sayang? Abang sudah bicara dengan Elma. Dia setuju meminjami Abang seratus juta. Kamu mau buka usaha di kampung, kan, Sayang!” “Se se seratus juta?” teriak Rosa tergagap dari ujung sana. “Iya, Sayang! Abang berhasil merayu dia. Tapi, kamu buka usahanya di kampung, ya!” “Ya, udah enggak apa-apa! Di kampung juga boleh. Transfer sekarang, ya, Abang! Adek tunggu, nih!” “Tapi, kata Elma, uangnya gak usah di transfer. Dia mau nyerahinnya langsung sama kamu! Dia juga mau ngasi sedikit nasihat buat kamu, Dek. Biar kamu bertanggung jawab untuk usaha kamu nanti! Kamu tidak tersinggung, kan, Sayang?” “Ya, enggaklah! Gak masalah meski si Elma menasehati aku, sampai berbuih mulutnya pun tak apa-apa. Asal duitnya ada!” “Gak boleh ngomong, gitu, Sayang!” “Eh, iya. Maaf. Lupa kalau Elma itu adek kamu! Jadi gimana, Bang?” “Kamu datang ke rumah sakit, ya! Ambil uangnya, lalu kamu duluan pulang kampung! Aku pulang dua hari lagi, setelah
“Jangan lupa bawa uang bayar ongkos taksinya!” perintah Rosa mengingatkan. “Hem!” Arfan memutuskan panggilan, lalu menoleh kepada adiknya. “El, aku pinjam mobil kamu, ya?” pintanya dengan wajah dingin. “Abang mau ke mana? Di luar ada kak Rosa, kan? Kenapa tidak disuruh masuk saja?” tanya Elma penasaran. “Ya, aku ada urusan sebentar dengan Rosa. Sekalian, em, aku pinjam uang kamu dulu seratus ribu, isi bensin. Dan dua ratus ribu buat ongkos taksi Rosa menuju kemari tadi!” “Tadi sudah saya isi full minyak mobilnya, Bang!” Alva menyela. “Hem terima kasih! Kapan kapan pasti aku ganti. Aku utang lima juta seratus ribu sama kamu!” kata Arfan datar. Elma mengeluarkan lima lembar kertas berwarna merah dari dalam amplop coklat. “Pakai saja, Bang!” titahnya menyerahkan uang itu kepada sang kakak. “Terima kasih!” Arfan menepuk pelan pundak Alva, meraih kunci mobil di dekat kepala Elma, lalu berjalan tergesa menyongsong sang istri pengkhianat. Alva sama bingungnya dengan Elma. Sikap
“Kamu tunggu di warung seberang itu saja! Nanti aku telon begitu aku dapat uangnya! Kamu udah janji mau bawa aku pergi beberapa hari, kan? Kita akan segera berangkat begitu uangnya aku dapat!” kata Rosa penuh semangat. “Iya, Sayang! Kamu mau kita ke mana, hem?” “Kita bulan madu ke Danau Toba, ya, Sayang! Kamu udah janji mau muaskan aku tujuh hari tujuh malam, kan?” rengek Rosa kembali bergelayut di lengan kekar Binsar. “Ya, tentu, Sayang! Bawa uang seratus jutanya, ya!” jawab Binsar seraya mengecup kening Rosa. Itu tak luput dari perhatian Arfan. Pria itu membeku menyaksikan tingkah sepasang manusia tak tau malu itu. Keduanya tak menyadari kalau Arfan telah berdiri tegak di teras rumah sakit, terhalang para pengunjung yang ramai berlalu lalang. “Sudah, sana! Nanti kita lanjut, ya! Tunggu aku di warung itu!” Rosa melepas rangkulan, mengukir senyum penuh birahi kepada sang adik ipar. “Ya, Sayang! Sukses, ya! Oh, iya, jangan bersikap agresif juga pada suamimu! Aku tidak akan kuat
“A … Abang!” pekik Rosa terperanjat kaget. ‘Ini belum seberapa Rosa, kau akan lebih kaget, dengan apa yang akan aku lakukan sesaat lagi!’ Arfan bermonolog. “Abang dapat ini dari Alva, ya?” lirih wanita itu gemetar. Untuk pertama kalinya, dia merasa begitu ketakutan melihat sikap suaminya. Padahal Arfan terlihat begitu tenang. Tak ada kemarahan sedikitpun tergambar dari wajahnya. “Tidak penting Abang dapat dari mana, Abang hanya ingin kau mempraktekkannya dengan abang! Mau, kan?” “Abang? Abang ini sedang marah atau bagaimana? Aku bingung, Abang?” Rosa makin mengkerut di sudut ranjang. “Abang tidak marah. Abang malah bersyukur karena sudah tahu permainan seperti apa yang kau sukai. Mau mencobanya dengan Abang, kan?” tutur Arfan tetap dengan nada sangat tenang. “Tidak! Abang pasti sedang marah! Abang pasti mau memukulku, Abang pasti ingin menyiksaku, iya, kan?” “Tidak, aku tidak marah. Sini, Sayang! Kenapa ke sudut situ! Aku susah mau megang kamu, kan?” Arfan mulai menghampir
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka
“Elma …! Kau ngomong apa! Menikah apa?! Aku tidak mau …!” teriak Alva histeris. Elma tak menghiraukan. Langkahnya makin panjang keluar dari kamar.“Kak El, aku juga enggak mau nikah sama Bang Alva!” Nirmala ikut berteriak. Namun, dia tak bisa mengejar Elma. Dia maish sibuk mengenakan seragam sekolahnya kembali.“Elma … tunggu!” Alva menangkap lengan Elma dari belakang. Terpaksa Elma menghentikan langkah. Namun, detik berikutnya sebuah tamparan langsung dia layangkan tepat di pipi Alva.“Sudah kubilang, jangan pernah sentuh aku lagi! Aku jijik padamu, paham!” tegasnya lalu meneruskan langkah.Alva terperangah, meraba pipinya yang panas. Elma sedang benar-benar marah. Dia bisa berbuat apa sekarang? Tak ada, selain pasrah.“Aku akan buktikan kalau aku tidak bersalah,” ucapnya lirih. Sebuah tekat terpatri di dalam benak. Semua ini akan bisa diusut tuntas. Akan dia buktikan kalau dia bukan pria bejat seperti anggapan Elma saat ini.“Bang Al, saya harus meningglkan Abang! Saya akan setiri
Elma berdiri kaku di ambang pintu, menatap nanar pemandangan di atas ranjang. Suaminya berbaring dengan tanpa busana sehelai benang. Hanya ujung kain sepre yang menutup bagian selangkangan.Sementara Nirmala, gadis yang selama ini sudah menumpang hidup di rumahnya. Dia biayai pendidikanya, dia tanggung makan dan biaya hidupnya. Saat ini, dia dapati tengah berda di satu ranjang yang sama dengan suaminya. Dalam keadaan sama. Bahu, pundak dan dada atas gadis itu terlihat tanpa penutup apapun juga. Hanya sehelai selimut tipis yang menutupi batas kaki hingga wilayah dada.“Kalian?” lirihnya tercekat. Hilang suara di kerongkongan. Langit serasa runtuh, kini ambruk menimpa dirinya. Searas seluruh tubuhnya remuk. Redam, tak lagi berbentuk. Elma merasakan sakit, sangat sakit, tapi entah di bagian mana.Entah dengan kekuatan apa, dia akhirnya berhasil menggerakkan kakinya. Meski tungkainya terasa tak bertenaga. Elma merasa tubuhnya ringan, melayang, tubuhnya lalu menghampiri kedua sosok yang
“Nirmala bangun! Nirmala …! Banguuuun!” Alva mengguncang bahu polos Nirmala. Panik yang melanda pria itu membuat dia bingung harus berbuat apa sekarang. Pacu jantungnya semakin tidak karuan. Bingung, takut, khawatir, marah, kecewa, bercampur dan mengaduk perasaannya.“Eeeehm …, di mana ini? Palaku sakit banget, mataku sepat ….” racau Nirmala masih saja terpejam. Hanya bibirnya yang bergerak gerak saat berusaha berucap.“Buka mata kamu! Lihat apa yang terjadi ini, Nirmala! Bangun!” perintah Alva meski dia sendiri hanya mampu bersuara tanpa bisa bergerak. Otaknya serasa buntu untuk memerintahkan anggota badan untuk berbuat sesuatu meski hanya untuk mengenakan pakaiannya kembali.“Astaga! Apa yang telah terjadi ini sebenarnya? Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku ada di kamar ini?” Alva memukul mukul keningnya.“Oooough …! Ini di mana?” Nirmala menguap panjang, lalu mengulet lagi hendak melanjutkan tidur.“Bangun Nirmala! Kita dalam masalah besar!” sergah Alva sekali lagi menggunca