“Jangan membantahku, Nara! Aku akan tetap di sini, mengabdi di toko Bu Elma ini! Aku bukan orang kaya, tapi hanya seorang pekerja toko!” Andre berusaha meyakinkan kekasihya. Nara terdiam. “Bang Andre! Ada telpon dari Asisten di rumah Abang!” Elma tiba-tiba masuk ke toko dengan terbesa-gesa. Keduanya dikejutkan dengan teriakan itu. Elma terlihat sangat panik. “Ada apa, Bu Elma?” tanya Andre ikut panik. “Bibik bilang, Pak Zul minum racun!” “Apa? Papa Abang minum racun?” pekik Nara menatap Andre. Yang ditatap hanya mengeditkan bahu. Acuh. Seolah berita itu sama sekali tak penting baginya. Hilang seketika sikap paniknya semula. “Ya, saat ini tak ada siapa-siapa di rumah selain para ART dan Kakek. Perawat Kakek sedang cuti katanya. Aku sudah telpon ambulan agar membawa Pak Zul ke rumah sakit,” jawab Elma masih tetap panik. “Sudah, kan? Ambulan akan membawa dia ke rumah sakit, kenapa Bu Elma masih panik?” tanya Andre, datar, begitu dingin. “Ini, bagaimana, ya? Mobil sa
Sinulingga larut di dalam nestapa. Kisah pedih masa lalu melintas mengaduk jiwa. Saat putra satu-satunya dipanggil Yang Kuasa. Ayah kandung Nayra. Remuk terasa jiwa dan raga. Pria itu sesegukan merenungi dosa. Karma apakah yang sedang dia jalani ini. Kenapa nasipnya begitu malang. Garis keturunannya akan terhapus dari muka bumi ini. Empat puluh hari Sinulingga berkabung. Seluruh keluarga terutama pihak Anak Beru Tua memberi kata penghiburan siang dan malam. Agar garis keturunan tidak terhapus seutuhnya, mereka menyarankan untuk menjodohkan Alva dengan Nayra saja. Lagipula secara adat mereka adalah pariban. Sudah seharusnya mereka dijodohkan. Darah sinulingga masih kental di tubuh keduanya. Darah Sinulingga akan tetap ada, dan diakui oleh seluruh masyarakat. Sang kakek merasa mendapat energy baru. Segera dilangsungkan sebuah pesta besar. Pernikahan adat pun dilangsungkan. Pernikahan antara Alva yang kala itu berusia tiga tahun, dengan Nayra dua tahun. CABUR BULUNG itu nama pernika
“Bang Yogi! Abang di mana?” tanya Elma melalui panggilan ponselnya. “Saya sudah di jakan menuju lokasi, Bu. Ibu langsung ke rumah sakit saja. Tidak usah ke rumah Bang Alva! Biar saya yang mengurus keberangkatan mobil ambulan dari lokasi.” “Baik, Bang! Saya langsung ke rumah sakit! Saya tungu di sana, ya!” “Sebentar, Bu Elma!” seru pria itu lagi saat Elma akan mengakhiri penggilan. “Ya, Bang?” “Tolong rahasiakan dulu peristiwa ini kepada Kak Anyelir, saya khawatir dia bertambah bingung dan panik. Masalah tak henti-henti datang dalam hidupnya. Saya berjanji, saya akan mengurus ini dengan sebaik-baiknya. Dengan dibantu Bu Elma tentu saja.” “Bang Yogi …,” gumam Elma sedikit terkejut. Kenapa Yogi, yang notabene adalah tenaga keamanan yang ditunjuk oleh Alva untuknya, malah begitu peduli pada Anyelir. Pria itu harusnya mengawal dia saat ini. Tetapi, malah sibuk membantu Anyelir. Ada apa sebenarnya antara Anyelir dan pria itu? “Bu Elma? Ibu setuju, kan?” Yogi memastikan dari seb
Bagaimana mungkin aku serahkan perusahaanku kepada perempuan seperti kamu! Perempuan murahan! Bahkan lont* sekalipun masih berpikir seribu kali biila yang memesan jasanya masih ada hubungan kekeluargaan dengannya. Sedang kau? Lihat dirimu, Nayra! Kakek menyesal pernah menjodohkan kau dengan Alva! Sangat menyesal!!” “Cukup!” Teriakan Nayra menggelegar. Namun sang Kakek tak menghiraukan. Nayra telah kesetanan, maka akan dia hadapi dengan cara seperti setan pula. pria sepuh itu kembali meneriaki sang cucu . “Ternyata kau lebih rendah daripada lont*! Nayra! Kau lebih rendah dari pada lont---“ Plak! “Cukup!” teriak Nayra sambil mendaratkan sebuah tamparan di pipi peyot sang Kakek. Kalimat Sinulingga terjeda. Pria itu terkejut luar biasa. Sama sekali tak menyangka kalau Nayra yang selalu dia puja-puja, tega menampar dirinya. “Dengar tua Bangka! Dengan izinmu atau tidak aku akan tetap menguasai perusahaan. Cepat tanda tangan!” Nayra kembali berteriak. Perempuan kalap itu memak
Nayra tetap berteriak meski sudah digelandang masuk ke dalam mobil polisi. Wajahnya basah airmata bercampur darah. Sinulingga menatap perih dari kursi rodanya. Hatinya bagai teriris. Sakit. Serasa ada yang hilang dari dirinya. Jantungnya, ya, jantungnya bagai di sayat-sayat hingga menjadi serpihan-serpihan debu. Pria itu meraung dalam bisu. Hanya airmatanya yang mengalir, di antara sedu pilu. “Kenapa Bu Elma ke sini? Katanya langsung ke rumah sakit?” Yogi memecah ketegangan. “Aku ditelpon Bibik di rumah ini, katanya Nayra menyandera Kakek. Aku pikir, Bang Andre tidak ke sini. Aku khawatir akan keselamatan kakek,” terang Elma sambil meneliti keadaan Sinulungga dengan netranya. Untuk mendekat, dia sungguh merasa sangat sungkan. Pria tua itu tidak menyukainya. Sebaliknya, ucapan Elma justru semakin membuat pria sepuh di kursi roda itu makin sesegukan. Kalimat Elma adalah belati yang paling tajam. Orang-orang yang dia benci, ternyata … adalah orang-orang yang peduli. Orang-orang
“Bila setahun ini, kau belum juga hamil, maka kau harus ihklas bercerai dengan Zulian! Paham!” tegas Sinulinga kala itu. Riani terpaksa menurut. Lima tahun sudah mereka diberi kesempatan. Jika hasilnya tetap gagal, Riani akan patuh.Itu membuat Zulian sakit hati. Cintanya yang begitu besar pada Riani ternyata tak cukup berarti. Riani ternyata lebih memilih keputusan sang papa, daripada mewujudkan sumpah setia. Padahal saat mereka memilih kawin lari, keduanya telah bersumpah bahwa apapun yang terjadi, mereka tak akan pernah berpisah. Ternyata Riani berniat ingkari sumpah.“Aku juga ingin punya anak, Abang! Abang tidak bisa ngasih aku anak, kan? Mau gimana lagi, Abang harusnya tau diri, dong!”Itu kalimat paling menyakitkan yang pernah Zulian dengar. Sejak saat itu, dia mulai membenci Riani. Ternyata seluruh keluarga besar sang istri begitu merendahkan dirinya. Kalau dulu, Riani masih selalu membela. Zulian mampu bertahan. Tetapi, bila Riani pun sudah merendahkan, maka tak ada
“Atau apa?” Ranita menantang. “Atau foto-foto di film ini akan kusebar luaskan!” ancam Zulian sambil menunjukkan satu rol film di tangannya. “Apa, kau? Kau ….” “Saat Kakak tidur tadi, aku meminjam kamera Kakak. Satu rol film aku habiskan untuk mengabadikan fose Kakak saat telanj*ng. Sory, aku menggunakan kamera kakak tanpa permisi!” (Jaman itu belum ada ponsel yang berkamera seperti saat sekarang.) “Bajingan kau! Buat apa kau fotoin aku dalam keadaan seperti itu? Kau maniak, Zulian! Kau sakit jiwa!” “Aku tidak maniak, Kak! Aku laki-laki normal. Aku hanya mencoba bertahan. Orang miskin dan lemah seperti aku, akan semakin tertindas bila tidak menggunakan otak dalam bertindak. Foto-foto ini akan aku jadikan senjata. Pokoknya bila Kakak berani macam-macam, aku akan menyebarkan foto-foto ini. Nama baik Kakak, Papa, perusahaan, akan hancur dalamm hitungan detik. jadi, berpikirlah sebelum bertindak! Saat ini, yang bisa Kakak lakukan hanyalah diam, ok!” “Serahkan rol film it
“Aku ke sini mau menjenguk Papamu, bukan melihat kau! Aku juga sama seperti kau! Mau muntah bila melihat mukamu yang angkuh itu!” ketus Rosma mendelik tajam. “Aku tidak izinkan Tante menjenguk Papa!” Alva menghadang. “Kau tak berhak melarangku! Kita masih keluarga! Jika kau ingin memutus tali kekeluargaan denganku, aku sangat mendukungmu! Tapi hubungan kekeluargaan antara aku dengan keluarga besar Sinulingga, kau tak berhak ikut campur!” “Ok, baik! Kuberi Tante waktu lima menit! Silahkan! Kebetulan aku juga mau ke toilet. Kuharap, begitu aku keluar dari toilet, Tante sudah tak ada lagi di ruangan ini! Jika sempat aku lihat masih ada Tante nanti di sini, jangan sakit hati bila aku terpaksa menyeret dan melemparkan Tante keluar! Paham!” Alva berjalan menuju kamar mandi yang tersedia di rungan itu. Perempuan dengan rambut dicat warna kuning itu hanya mendengus kasar. Tetapi hatinya ciut juga dengan ancaman pria itu. Kecewa dan kesal terasa mencekik sanubari. Setelah menghentak n
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka
“Elma …! Kau ngomong apa! Menikah apa?! Aku tidak mau …!” teriak Alva histeris. Elma tak menghiraukan. Langkahnya makin panjang keluar dari kamar.“Kak El, aku juga enggak mau nikah sama Bang Alva!” Nirmala ikut berteriak. Namun, dia tak bisa mengejar Elma. Dia maish sibuk mengenakan seragam sekolahnya kembali.“Elma … tunggu!” Alva menangkap lengan Elma dari belakang. Terpaksa Elma menghentikan langkah. Namun, detik berikutnya sebuah tamparan langsung dia layangkan tepat di pipi Alva.“Sudah kubilang, jangan pernah sentuh aku lagi! Aku jijik padamu, paham!” tegasnya lalu meneruskan langkah.Alva terperangah, meraba pipinya yang panas. Elma sedang benar-benar marah. Dia bisa berbuat apa sekarang? Tak ada, selain pasrah.“Aku akan buktikan kalau aku tidak bersalah,” ucapnya lirih. Sebuah tekat terpatri di dalam benak. Semua ini akan bisa diusut tuntas. Akan dia buktikan kalau dia bukan pria bejat seperti anggapan Elma saat ini.“Bang Al, saya harus meningglkan Abang! Saya akan setiri
Elma berdiri kaku di ambang pintu, menatap nanar pemandangan di atas ranjang. Suaminya berbaring dengan tanpa busana sehelai benang. Hanya ujung kain sepre yang menutup bagian selangkangan.Sementara Nirmala, gadis yang selama ini sudah menumpang hidup di rumahnya. Dia biayai pendidikanya, dia tanggung makan dan biaya hidupnya. Saat ini, dia dapati tengah berda di satu ranjang yang sama dengan suaminya. Dalam keadaan sama. Bahu, pundak dan dada atas gadis itu terlihat tanpa penutup apapun juga. Hanya sehelai selimut tipis yang menutupi batas kaki hingga wilayah dada.“Kalian?” lirihnya tercekat. Hilang suara di kerongkongan. Langit serasa runtuh, kini ambruk menimpa dirinya. Searas seluruh tubuhnya remuk. Redam, tak lagi berbentuk. Elma merasakan sakit, sangat sakit, tapi entah di bagian mana.Entah dengan kekuatan apa, dia akhirnya berhasil menggerakkan kakinya. Meski tungkainya terasa tak bertenaga. Elma merasa tubuhnya ringan, melayang, tubuhnya lalu menghampiri kedua sosok yang
“Nirmala bangun! Nirmala …! Banguuuun!” Alva mengguncang bahu polos Nirmala. Panik yang melanda pria itu membuat dia bingung harus berbuat apa sekarang. Pacu jantungnya semakin tidak karuan. Bingung, takut, khawatir, marah, kecewa, bercampur dan mengaduk perasaannya.“Eeeehm …, di mana ini? Palaku sakit banget, mataku sepat ….” racau Nirmala masih saja terpejam. Hanya bibirnya yang bergerak gerak saat berusaha berucap.“Buka mata kamu! Lihat apa yang terjadi ini, Nirmala! Bangun!” perintah Alva meski dia sendiri hanya mampu bersuara tanpa bisa bergerak. Otaknya serasa buntu untuk memerintahkan anggota badan untuk berbuat sesuatu meski hanya untuk mengenakan pakaiannya kembali.“Astaga! Apa yang telah terjadi ini sebenarnya? Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku ada di kamar ini?” Alva memukul mukul keningnya.“Oooough …! Ini di mana?” Nirmala menguap panjang, lalu mengulet lagi hendak melanjutkan tidur.“Bangun Nirmala! Kita dalam masalah besar!” sergah Alva sekali lagi menggunca