Vita merasa rindunya sedikit terobat. Rindu pada sosok seseorang yang begitu memanjakan dirinya selalu. Mereka selalu bersama enam bulan yang lalu. Alva. Vita merindukan pria itu. Entah kenapa, dia seolah melihat sosok Alva pada diri sang tamu. Kerinduan membucah syahdu. Bocah empat tahun itu tak mampu menepis rasa, yang begitu menyeruak di dalam kalbu. Betapa Vita ingin menyentuh tangan pria itu. Betapa sang bocah ingin bergelayut di lengan itu. Bermanja di pangkuan, lalu berceloteh tentang kerinduan. Namun, dia tak punya nyali untuk itu. Sama hal dengan Elma. Wanita itu terperangah. Alva ada di hadapannya. Alva versi setengah baya. Siapa pria dewasa ini? “Jadi, kamu yang bernama Elma?” Suara Bariton terdengar begitu tegas. Tatapan tajam menukik bagai menghujam tepat di manik mata Elma. Bibir yang menghitam karena kebanyakan mengkonsumsi cerutu itu, menyungging senyum miring, begitu sinis. “Cantik! Lumayan!” sergahnya meneliti penampilan Elma dari ujung kepala hingga ke ujun
Andre mencengkram lengan pria paruh baya itu, lalu bersiap menyeretnya dengan kasar. Tetapi, hati nurani Elma menolak untuk itu. Biar bagaimanapun, Zul adalah ayah kandung dari Alva, pria yang snagat dicintainya. Tak tega jika Andre berlaku terlalu aksar terhadapnya. “Lepaskan, Bang! Jangan!” sergahnya kemudian. Zul menatapnya lama. Kaget dengan sikap wanita yang sangat dibencinya itu. “Biar bagaiamanpun, beliau adalah Papa Abang! Jangan kasar! Sebagai anak, kita tak boleh mengasari orang tua. Papa Anda akan pergi sendiri. Tak perlu diseret. Silahkan Pak Zul, tingalkan rumah saya! Dan tentang ancaman Anda tadi, semoga Anda berpikir seribu kali sebelum melaksanakannya. Karena saya tidak sendiri. Anak-anak Anda sellau melindungi saya tanpa saya minta. Termasuk Anyelir, dia akan siap menuntut Anda secara hukum, meskipun Anda adalah Papa kandungnya.” Elma berkata dengan nada begitu tenang. Suaranya yang memang merdu, lembut mendayu-dayu membuat Zul sempat terpana. Begitu lembut, namun
“Apa?” Sontak Alva berdiri, menoleh ke arah Elma. “Vita, bilang sama Bibik, buatkan minum untuk Oom, Sayang!” titahnya sengaja mengusir Vita secara halus. “Papa … Om Alva ini Papanya Vita, Mama!” sanggah Vita cepat. “Oh, iya, Papa.” Gadis kecil itu segera berlari kecil ke belakang. “Papa marahin kamu? Jawab dengan jujur!” Alva langsung mengintrogasi begitu Vita berlalu. “Tidak apa-apa, kita duduk, yuk!” ajak Elma mengalihkan pembicaraan. “Jawab dulu! Papa marahin kamu?” “Pak Alva, sabar! Biar bagaimanapun dia adalah Papanya Bapak. Aku juga tidak sakit hati. Dan tadi, Bang Andre sudah menegur beliau. Jadi, tolong jangan dipermasalahkan lagi, ya!” “Bang Andre?” Alva mengernyitkan kening. “Iya. Sebenarnya aku kasihan juga melihat Om Zul. Dia sepertinya sedih sekali. Kata Anyelir dia agak depresi juga karena kehilangan kalian berdua. Bapak dan Bang Andre.” “Kalau dia masih juga egois dan tak mau berubah, aku tak akan pernah menaruh rasa iba. Biarkan saja!” “Al! Kamu ke sini,
Elma sedang menikmati sarapannya saat terdengar keributan dari arah toko. Buru-buru dia menelan kunyahan roti di mulut, lalu meneguk habis susu mengandung kolagen di gelasnya. Gegas, Elma berjalan menuju toko. Seorang pria dia dapati tengah mengamuk di depan meja kerja Nara. Pria itu bahkan menunjuk-nunjuk wajah Nara penuh emosi. “Maaf, ada apa ini, Pak?” tegur Elma menghentikan keributan. “Begini, Bu Elma. Pak Sona ini mengorder material pasir, sertu, batu mangga dan batu kelapa. Tapi belum kita kirim karena gudang masih kosong. Sudah saya pesan sejak empat hari yang lalu, tapi pemasok belum ada yang mengirim.” Nara langsung menjelaskan. “Anak buah Ibu ini tidak becus kerjanya! Sudah dua hari pesanan saya tak diantar juga. Proyek saya terpaksa terhenti! Padahal anggota saya butuh makan! Janjinya segera diantar … segera di antar! Tapi mana buktinya! Kalau memang tidak bisa melayani pembeli, tutup saja tokonya! Kalau tokonya sudah bangkrut, bangkrut sendiri saja! Jangan susah
“Aku mau ngancurin Bang Alva juga! Kak Anyelir juga, pokoknya seluruh keluarganya! Perusahaan itu milik Papa aku! Karena Papa aku meninggal, dialihkan kepada Om Zul. Janji Kakek jika kami udah dewasa, Bnag Alva akan nikahin aku, dan perusahaan akan kembali ke tanganku! Buktinya mana! Bang Alva nolak nikahin aku, perusahaan gak jadi diserahin ke aku!” curhat Nayra meluapkan semua kekecewannya. “Sabar, Sayang! pelan-pelan perusahaan akan kembali ke tangan kamu! Saat ini, itu yang sedang kita usahakan, bukan? Kalau tidak, buat apa Abang balik ke Medan ini, coba? Ini buat kamu, Sayang! Tapi, ingat, kamu juga harus janji sama Abang!” Beny berusaha menghibur dan menguatkan. “Janji apa lagi, Abang! Aku gak sama dengan keluarga istri Abang! Tukang ingkar janji semua! Bahkan janji mereka terhadap jenazah Papaku sebelum dikuburkan dahulu pun mereka ingkari. Gak takut kuwalat, kan? Aku akan balas sakit hati Papa aku!” sungut Nayra lagi. “Ya, aku hanya ragu, misalnya nanti aku sudah berhasil
Bab 141. Restu dari Orang Tua Alva Buat Elma “Sepertinya kau begitu tergila-gila pada perempuan itu? Mama jadi curiga, jangan-jangan dia sudah pelet kamu!” Riani menghentak suasana yang tegang di kamar itu menjadi tambah panas. Alva tersentak kaget, pria itu hanya terdiam, tak bisa berkata-kata lagi. Ibunya sudah sakit parah. Sakit di jiwa, bukan di fisik ternyata. Buktinya, tak ada dokter yang bisa menemukan penyakit fisiknya. Begitu pikirnya. Nyatanya, Riani sama sekali tak seperti dugaan Alva. Wanita itu bahkan sedang menangis saat ini. Tangis penyesalan yang tak dia tunjukkan lewat air mata apalagi sedu sedan. Bahkan dia sudah menangis sejak kedatangan Alva kemarin sore. Anyelir telah menjelaskan semua padanya lewat telepon. Saat itu Alva masih di kamar mandi Elma, menjelang pulang ke rumah orang tuanya. Anyelir menunggu di mobil di halaman rumah Elma. “Bagaimana, An? Alva mau pulang ke sini, kan, Nak?” tanya Riani khawatir. “Mau, Ma, setelah dibujuk Elma. Elma berusaha
“Sayang! Peluk nenek, Nak!” “Mama?” Gadis kecil itu mendongah, menatap wajah Zul yang masih menahan lengannya. “Pergilah, Sayang!” titah Zul penuh haru. Vita berjalan pelan, tetapi bukan ke arah ke arah Riani. Kaki kecilnya mengarah kepada Alva. “Papa … kenapa tadi malam gak datang?” tanyanya langsung memeluk leher Alva. Entah mengapa, dia tak respek sedikitpun melihat Riani. Meski wajah wanita itu tersenyum ramah kepadanya, namun, Vita tetap dapat melihat kelicikan begitu nyata. “Maaf, ya, Sayang! Papa jagain nenek. Liat, nih! Neneknya sakit, kan?” Alva memeluk tubuh mungil Vita. Mengelus kepala dan punggungnya dengan penuh kasih sayang. “Nenek?” Vita menoleh ke arah ranjang. “Ya, pergilah! Nenek memanggil Vita, kan?” “Takut! Nenek marahin Mama. Tuh, Mama sedih.” Semua yang ada di ruangan itu terdiam. Riani menolah ke arah Elma. Benar yang dibilang Vita. Riani memang belum menjawab sapaan Elma meski sepatah. “Elma! Maafkan Ibu, ya!” ucapnya kemudian. “Ibu! Gak perlu
Elma menghentikan langkah. Ditolehnya wajah semringah Riani sekali lagi. Tiba-tiba hatinya bergemuruh. Ada rasa iba menyeruak. Tak tega bila wanita itu akan menjerit dan bahkan terkapar nanti bila tau yang sebenarnya siapa Nayra. Dilema. Elma menekan pelipis yang tiba-tiba berdenyut. Pilih mana, sekarang atau nanti bila semuanya sudah terlambat? Bimbang, Elma mengehentak napas dengan kasar. “Kenapa, Nak Elma? Ada yang masih mengganjalkah? Utarakan saja, asalkan kamu tak merubah kesepakatan, Ibu siap mendengarkan,” kata Riani tetap tersenyum. “Ibu sepertinya sudah begitu sehat, benar begitu?” “Iya, Nak. Ibu merasa sehat sekali setelah bertemu denganmu ini. Terlebih setelah kau menyanggupi permintaan Ibu. Sekali lagi terima kasih, ya, Nak!” “Begini, sebenarnya saya tak tega mengatakan ini pada Ibu, takut Ibu syok lalu kenapa-napa. Tetapi, karena saya lihat Ibu sudah begitu sehat, saya jadi terpikir untuk mengatakan ini sekarang. Saya justru lebih khawatir, keadaannya akan lebih
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka
“Elma …! Kau ngomong apa! Menikah apa?! Aku tidak mau …!” teriak Alva histeris. Elma tak menghiraukan. Langkahnya makin panjang keluar dari kamar.“Kak El, aku juga enggak mau nikah sama Bang Alva!” Nirmala ikut berteriak. Namun, dia tak bisa mengejar Elma. Dia maish sibuk mengenakan seragam sekolahnya kembali.“Elma … tunggu!” Alva menangkap lengan Elma dari belakang. Terpaksa Elma menghentikan langkah. Namun, detik berikutnya sebuah tamparan langsung dia layangkan tepat di pipi Alva.“Sudah kubilang, jangan pernah sentuh aku lagi! Aku jijik padamu, paham!” tegasnya lalu meneruskan langkah.Alva terperangah, meraba pipinya yang panas. Elma sedang benar-benar marah. Dia bisa berbuat apa sekarang? Tak ada, selain pasrah.“Aku akan buktikan kalau aku tidak bersalah,” ucapnya lirih. Sebuah tekat terpatri di dalam benak. Semua ini akan bisa diusut tuntas. Akan dia buktikan kalau dia bukan pria bejat seperti anggapan Elma saat ini.“Bang Al, saya harus meningglkan Abang! Saya akan setiri
Elma berdiri kaku di ambang pintu, menatap nanar pemandangan di atas ranjang. Suaminya berbaring dengan tanpa busana sehelai benang. Hanya ujung kain sepre yang menutup bagian selangkangan.Sementara Nirmala, gadis yang selama ini sudah menumpang hidup di rumahnya. Dia biayai pendidikanya, dia tanggung makan dan biaya hidupnya. Saat ini, dia dapati tengah berda di satu ranjang yang sama dengan suaminya. Dalam keadaan sama. Bahu, pundak dan dada atas gadis itu terlihat tanpa penutup apapun juga. Hanya sehelai selimut tipis yang menutupi batas kaki hingga wilayah dada.“Kalian?” lirihnya tercekat. Hilang suara di kerongkongan. Langit serasa runtuh, kini ambruk menimpa dirinya. Searas seluruh tubuhnya remuk. Redam, tak lagi berbentuk. Elma merasakan sakit, sangat sakit, tapi entah di bagian mana.Entah dengan kekuatan apa, dia akhirnya berhasil menggerakkan kakinya. Meski tungkainya terasa tak bertenaga. Elma merasa tubuhnya ringan, melayang, tubuhnya lalu menghampiri kedua sosok yang
“Nirmala bangun! Nirmala …! Banguuuun!” Alva mengguncang bahu polos Nirmala. Panik yang melanda pria itu membuat dia bingung harus berbuat apa sekarang. Pacu jantungnya semakin tidak karuan. Bingung, takut, khawatir, marah, kecewa, bercampur dan mengaduk perasaannya.“Eeeehm …, di mana ini? Palaku sakit banget, mataku sepat ….” racau Nirmala masih saja terpejam. Hanya bibirnya yang bergerak gerak saat berusaha berucap.“Buka mata kamu! Lihat apa yang terjadi ini, Nirmala! Bangun!” perintah Alva meski dia sendiri hanya mampu bersuara tanpa bisa bergerak. Otaknya serasa buntu untuk memerintahkan anggota badan untuk berbuat sesuatu meski hanya untuk mengenakan pakaiannya kembali.“Astaga! Apa yang telah terjadi ini sebenarnya? Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku ada di kamar ini?” Alva memukul mukul keningnya.“Oooough …! Ini di mana?” Nirmala menguap panjang, lalu mengulet lagi hendak melanjutkan tidur.“Bangun Nirmala! Kita dalam masalah besar!” sergah Alva sekali lagi menggunca