Roseline terbangun pagi ini karena sakit perut. Tadi malam dia tak mau makan malam karena merajuk. Akibatnya sekarang, perut kosongnya memberontak. Terasa perih yang amat sangat. Gadis itu melirik jam yang tergantung tepat di atas pintu kamar. Pukul enam kurang seperempat. Mungkin di dapur sudah tersedia sarapan, begitu pikirnya. Perlahan dia menyibak selimut yang menutup tubuh sebatas pinggang. Lalu bangkit perlahan. Roseline lalu mencuci wajah dan sikat gigi di kamar mandi yang tersedia di kamar tamu itu. Buru-buru mengeringkan wajah dengan handuk yang tergantung di belakang pintu kamar mandi, lalu berjalan dengan lemas keluar dari kamar. Namun, langkahnya segera terhenti saat melewati nakas di samping tempat tidur. Ponsel. Seketika dia lupa rasa sakit di perut untuk sesaat. Bayangan wajah tampan Alva bermain di benak. Kembali tubuh mungil itu duduk di bibir tempat tidur, setelah menyambar ponsel. Menyalakan benda pipih itu, lalu mulai menscroll chat yang masuk. Menca
Saat Ardho mencium aroma nasi goreng dan telur dadar, bocah laki-laki itu langsung datang ke dapur. Teringat masakan sang Mama, saat mereka masih berkumpul dulu. Bocah itu menikmati nasi goreng dengan meneteskan air mata. “Kenapa, sayang! Gak enak, ya? Kok nangis?” Seorang gadis menyuapinya dengan penuh kesabaran. Titian. “Enak, Tante! Enak banget!” jawab Ardho sambil mengunyah nasi di mulutnya. “Terus, kenapa nangis?” “Kangen sama Mama ….” “Cep, cep, Sayang! Sini peluk!” Titian memeluk dengan menahan haru. “Mama … Tante! Mama ilang!” “Iya, Sayang!” “Tadi malam ada Mama datang, tapi dia pakai topeng. Itu benaran Mama, kan, Tante? Kalau iya, kenapa dia gak peluk Ardho kayak gini? Kenapa dia marah-marah, Tante?” “Sabar, ya, Sayang! Sekarang peluk Tante saja dulu, ya! Anggap aja mama kamu, mau kan?” “Mau, tante!” “Iya, Sayang! Sekarang makan lagi, ya? Ak mulutnya, Tante suap lagi.” “Iya, Tante, ak!” Ardho membuka mulut masih dengan linangan air mata. “Jangan nangis, lagi,
Titian menatap Roseline dengan mata berkaca-kaca. “Sayang …,” lirihnya menahan haru. “Tante …. maafin Roseline, ya!” Tiba-tiba, gadis remaja itu bersimpuh di kaki Titian. Elma menyeka air bening yang mengembun di sudut mata, lalu berjalan dengan berjingkat agar tak bersuara. Dia tak ingin dua orang yang sedang berpelukan haru di meja makan itu mengetahui keberadaanya. Elma kembali ke kamarnya. Segera dia mengunci pintu kamar, lalu meraih ponsel miliknya. Menyalakan benda itu, lalu langsung menekan nomor Alva. “Ya, sayang? Ada apa ini, pagi-pagi sudah nelpon, kangen, ya? Sama, aku juga sangat merindukan kamu, Sayang.” “Saya mau bicara serius, Pak.” “Aku juga sedang bicara serius, El. Serius, aku sangat merindukanmu, sumpah!” “Ini tentang Titian.” “Titian lagi, apa lagi sekarang, Sayang!?” “Di mana orang tua Titian tinggal, Pak Alva tentu tau, secara Bapak pernah jadi pacarnya, iya, kan?” “Elma … kami belum sempat pacaran. Aku udah cerita bukan bagaimana kisah yang sebenar
“Oh, sedang ada discount besar-besaran, ya? Saya malah enggak tahu. Tapi, dalam rangka apa, ya, Pak, kok ada discount besar-besaran?” selidik Elma makin curiga. “Katanya dalam rangka syukuran karena istri dari pemilik Toko ini baru saja sembuh dari sakit kanker. Sebagai bentuk syukur, mereka sengaja buat harga discout selama dua hari. Mulai dari kemarin, dan dilanjut hari ini.” “Oh, begitu.” Kaget luar biasa. Ide siapa pula ini? Ini benaran toko cabang dia atau bukan, sih? Atas izin siapa toko ini membuat ada acara discount ini? “Rencananya mau beli apa, ini, Dek?” Pria itu menghentak kebingungan Elma. “Oh! Saya mau beli cat tembok merk yang paling bagus,” jawabnya asal. “Ya, banyak-banyak saja, Dek! Kalau saya, sih, untuk saya jual lagi. Lumayan beli di sini dapat discount lima puluh persen. Saya jual lagi dapat untung dobel, hehehe. Tapi beginilah harus antri. Padahal masih pagi, tapi pembeli udah banyak yang antri.” “Tapi, Bang, barang-barangnya kok udah ludes, ya!
“Toko ini akan saya isi lagi penuh! Besok pagi harus beroperasi kembali. Kau benahi toko ini agar kembali seperti sedia kala. Kau selesaikan smeua urusan dnegn pelanggan yang orderannay belum sempat dikirim karen akehabisan barang! Beri mereka pemahaman bahwa discount lima puluh persen itu adalah penipuan. Kau bisa?” “Ta ta tapi, Buk?” “Kenapa, kau ragu melakukannya? Pokoknya kau harus bisa mengembalikan toko ini seperti sedia kala! Kuberi kau waktu dua minggu! Setelah dua minggu, toko ini akan aku serahkan pada abangku dan calon istrinya. Kau akan aku tarik ke Medan, menjadi kasir di toko pusat! Kau bersedia?” “A aku aku … aku akan kerja di Medan? Di toko pusat?” Nara melonjak kaget. Kaget karena sedikitpun tak menyangka. Setelah berbuat kesalahan bukannya dipecat, malah akan dipindahkan ke toko pusat. Tetapi syaratnya begitu berat. Memperbaiki toko ini selama dua minggu ke depan. Mampukah dia? Rasanya itu tak mungkin. Pelanggan pasti banyak komplen karena orderan mereka
“Selamat pagi! Tak ada yang meninggalkan tempat ini! Anda semua harus kami bawa ke kantor polisi!” Beberapa petugas berseragam memasuki ruangan toko. Pegangan para karyawan toko di tangan Elma spontan dilepas. “Kenapa ada polisi? Bapak-bapak ada apa ke sini!” Sang kasir berteriak. “Siapa kau sebenarnya? Suruhan Nara, iya?” Gadis itu berdiri tegak di hadapan Elma. “Kau mau tau siapa aku? Tunggu di kantor polisi! Kau akan tahu siapa aku!” jawab Elma dingin. “Aku akan adukan hal ini pada Bang Binsar! Tunggu saja!” ancam wanita itu sambil meronta-ronta saat polisi menggelandangnya. “Bu Elma tidak apa-apa?” tanya Yogi memastikan keadaan Elma. “Hem, Abang yang memanggil polisi?” “Iya, Bu, atas perintah Bang Alva!” “Saya bingung, ini. Saya harus ngurus toko ini. Siapa yang mengurus kasus ini di kantor polisis, ya? Bang Yogi bisa?” “Maaf, saya mendapat perintah dari Bang Alva, bahwa saya tak boleh meninggalkan Bu Elma sejengkal pun. Maaf sekali! Saya tidak bisa.” “Saya akan telpo
Flash Back“Pak Binsar!” Seorang petugas membuka jeruji besi.“Saya, Pak!” sahut Binsar langsung bangkit lalu berjalan terburu. “Terima kasih, Pak!” ucapnya begitu bersemangat.Tanpa berkata-kata, petugas membawa pria itu ke sebuah ruangan khusus. Ruangan yang disediakan untuk para tahanan menemui tamu atau keluarga yang datang menjenguk.“Hey, Anda rupanya, aku sudah menduga, Anda akan datang sebelum sidang besok!” sapa Binsar semringah begitu melihat tamu yang menjenguknya. Parlindungan Pasasibu, seorang pengacara andal. Pengacara yang ditunjuk oleh orang tua Riris.Namun, wajah semringah Binsar berubah datar, kala melihat reaksi sang pengacara. Pria empat puluh tahun itu terlihat tegang. Wajah ditekuk, rahang mengeras dan sorot mata yang begitu tajam. Kenapa?“Hey, Bro! Ada apa ini! Kenapa tegang begitu? Ada masalah?” Binsar menghenyakkan tubuh di bangku keras yang disediakan di ruangan itu.“Penipu!” umpat Parlindungan tiba-tiba. Sorot mata kian tajam menunjukkan kebencian yang
“Duduk di sini!” perintah petugas kepada Riris menunjuk kursi kosong agak jauh dari Binsar.Riris menurut dengan wajah ditekuk karena kecewa. Tapi otaknya berjalan lancar. Sebuah ide dia pikirkan.“Maaf, Bu! Boleh saya berbicara dengan Bang Binsar, ya! Ada yang ingin saya bicarakan, penting sekali! Boleh, ya!” pintanya mulai mengarang. Ada hal penting yang ingin dia sampaikan kepada sang selingkuhan. Kabar gembira. Baginya, tentu saja.“Tidak bisa! Duduk saja! Jam delapan tepat sidang akan dimulai! Lima belas menit lagi! Harap disiplin!” tegas petugas.“Ibu, tolong beri waktu lima menit saja! Pentiiiiiing sekali! Saya tidak akan macam-macam! Janji! Ini masalah masa depan saya! Tolong, ya, izinin ya, Bu! Toh, Petugas juga nungguin di sini, kan? Boleh, ya!” lirihnya memelas.Kedua petugas wanita itu saling tatap. “Ya, sudah! lima menit!” ucapnya kemudian.“Terima kasih, Bu!” ucap Riris bangkit lalu berjalan ke mendekati kursi Binsar.“Abang! Aku kangen!” ucapnya dengan nada khas m
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka
“Elma …! Kau ngomong apa! Menikah apa?! Aku tidak mau …!” teriak Alva histeris. Elma tak menghiraukan. Langkahnya makin panjang keluar dari kamar.“Kak El, aku juga enggak mau nikah sama Bang Alva!” Nirmala ikut berteriak. Namun, dia tak bisa mengejar Elma. Dia maish sibuk mengenakan seragam sekolahnya kembali.“Elma … tunggu!” Alva menangkap lengan Elma dari belakang. Terpaksa Elma menghentikan langkah. Namun, detik berikutnya sebuah tamparan langsung dia layangkan tepat di pipi Alva.“Sudah kubilang, jangan pernah sentuh aku lagi! Aku jijik padamu, paham!” tegasnya lalu meneruskan langkah.Alva terperangah, meraba pipinya yang panas. Elma sedang benar-benar marah. Dia bisa berbuat apa sekarang? Tak ada, selain pasrah.“Aku akan buktikan kalau aku tidak bersalah,” ucapnya lirih. Sebuah tekat terpatri di dalam benak. Semua ini akan bisa diusut tuntas. Akan dia buktikan kalau dia bukan pria bejat seperti anggapan Elma saat ini.“Bang Al, saya harus meningglkan Abang! Saya akan setiri
Elma berdiri kaku di ambang pintu, menatap nanar pemandangan di atas ranjang. Suaminya berbaring dengan tanpa busana sehelai benang. Hanya ujung kain sepre yang menutup bagian selangkangan.Sementara Nirmala, gadis yang selama ini sudah menumpang hidup di rumahnya. Dia biayai pendidikanya, dia tanggung makan dan biaya hidupnya. Saat ini, dia dapati tengah berda di satu ranjang yang sama dengan suaminya. Dalam keadaan sama. Bahu, pundak dan dada atas gadis itu terlihat tanpa penutup apapun juga. Hanya sehelai selimut tipis yang menutupi batas kaki hingga wilayah dada.“Kalian?” lirihnya tercekat. Hilang suara di kerongkongan. Langit serasa runtuh, kini ambruk menimpa dirinya. Searas seluruh tubuhnya remuk. Redam, tak lagi berbentuk. Elma merasakan sakit, sangat sakit, tapi entah di bagian mana.Entah dengan kekuatan apa, dia akhirnya berhasil menggerakkan kakinya. Meski tungkainya terasa tak bertenaga. Elma merasa tubuhnya ringan, melayang, tubuhnya lalu menghampiri kedua sosok yang
“Nirmala bangun! Nirmala …! Banguuuun!” Alva mengguncang bahu polos Nirmala. Panik yang melanda pria itu membuat dia bingung harus berbuat apa sekarang. Pacu jantungnya semakin tidak karuan. Bingung, takut, khawatir, marah, kecewa, bercampur dan mengaduk perasaannya.“Eeeehm …, di mana ini? Palaku sakit banget, mataku sepat ….” racau Nirmala masih saja terpejam. Hanya bibirnya yang bergerak gerak saat berusaha berucap.“Buka mata kamu! Lihat apa yang terjadi ini, Nirmala! Bangun!” perintah Alva meski dia sendiri hanya mampu bersuara tanpa bisa bergerak. Otaknya serasa buntu untuk memerintahkan anggota badan untuk berbuat sesuatu meski hanya untuk mengenakan pakaiannya kembali.“Astaga! Apa yang telah terjadi ini sebenarnya? Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku ada di kamar ini?” Alva memukul mukul keningnya.“Oooough …! Ini di mana?” Nirmala menguap panjang, lalu mengulet lagi hendak melanjutkan tidur.“Bangun Nirmala! Kita dalam masalah besar!” sergah Alva sekali lagi menggunca