“Ini kuncinya, Bu! Saya langsung pulang, ya!” pamit Andre seraya mengembalikan kunci mobil Elma.“Bapak naik apa?” tanya Elma meski merasa sungkan.“Gampang, ada banyak ojek di pengkolan sana, hehehe … saya cabut, ya! Kalau ada apa-apa, jangan segan telpon saya! Itu janji saya pada Alva, bukan? Menjaga Bu Elma!”“Terima kasih, Pak Andre!”Pria itu langsung pergi menemui dua anggota Alva yang berjaga tak jauh dari rumah Elma. Memerintahkan keduanya agar menjaga Elma dan anak-anaknya dengan baik, baru menghilang dengan naik sebuah ojek.Sedangkan Elma langsung masuk ke dalam rumah. Benar dugaan Andre. Elma termangu di ambang pintu tengah, saat menyaksikan banyak saudaranya dari kampung telah berkumpul di ruangan itu.Yang paling membuatnya bingung adalah, saat melihat kedua mertuanya, juga orang tua Riris ada di antara mereka. Bukankah kemarin mereka semua digelandang ke kantor polisi? Kenapa sekarang ada di rumahnya bareng keluarga Elma dari kampung?“Eh, mamak Vita …! Kau sudah pul
“Kam yang dulu begitu baik, lembut, sopan, sayang pada keluarga, tiba-tiba bisa berubah kejam dan tak berperikemanusiaan begitu? Tega kam membiarkan orang-orang tua ini mendekam di dalam tahanan. Di mana otakndu, Elma?”“Itu … gara-gara laki-laki itu!” teriak Risda menyela. Elma tersentak kaget, namun masih berusaha tenang.“Dia sudah berselingkuh dengan laki-laki itu! Makanya dia minta pisah dengan Binsar!” lanjutnya dengan wajah garang dan tatapan nyalang menunjuk tepat ke wajah Elma.“Iya, kami melihat dengan mata kepala kami sendiri, bagaimana laki-laki yang bernama Alva itu masuk ke dalam kamarnya! Bayangkan, tak ada rasa malunya, laki-laki itu mengantar dia masuk ke dalam kamar!” Ibu Riris menimpali.“Harga diri kami sudh tercoreng! Perempuan ini sudah kami beli! Tetapi dia berani memasukkan laki-laki ke daalm rumah ini! Kami, selaku keluarag pihak suami, mengatakan dnegan tegas bahwa, kami tidak terima! Perempuan ini harus membayar mahal atas perbuatannya. Bayar secara adat!”
“Kau memasukkan laki-laki ke dalam kamarmu di depan mata kami waktu itu! Karena kami marah dan menegurmu, llau preman itu memukuli kami! Kau malah menelpon polisi. Dengan menyogok polisi, polisi itu malah menggelandang kami ke tahanan, seolah kami yang bikin keributan! Kau tak bisa mungki lagi, Perempuan murahan!” Ayah Riris ikut berdiri, menuduh dengan segenap kalimat yang paling kasar. Kalimat dusta karangan.“Elma! Kau …. Kau sudah buat malu ayah aku di kuburan sana! Ayah kau menangis darah karena malu liat tingkahmu ini, Elma!” teriak Rudang meremas reams rambutnya sendiri. Air ludahnya yang berwarna merah karena sirih muncrat ke mana-mana.“Kam tidak bisa mengelak lagi, Elma. Ada saksi, dan bukti.” Rustam berkata lemah.“Kau bayar setengah milyar, atau kau cabut gugatanmu terhadap Binsar dan Riris!” Ayah Binsar kembali mengancam.“Maaf, saya menganggu!” Tiba-tiba Titian menerobos masuk.“Siapa kau! Ini masalah keluarga, keluar!” Lagi-lagi Ayah Binsar berteriak seraya menunjuk ke
“Jaga mulutmu!”Lagi-lagi, kedua ibu-ibu yang sudah bonyok tadi hendak menyerbu Rudang. Tetapi langsung digagalkan oleh para lelaki di situ.“Aku akan tuntut kau! Pencemaran nama baik kau itu! Iya, kami akui memang si Binsar ada niat hendak menikahi si Riris. Karena Riris itu pariban kandungnya! Tapi mereka tak pernah berselingkuh di depan si Elma!” teriak ayah Binsar.“Ada buktinya di hape si Arfan! Aku sudah liat sendiri, seperti apa sepasang manusia tak berotak itu berciuman di depan Elma saat di rumah sakit, menceritakan bagaimana si Riris lebih hebat melayani si Binsar di tempat tidur, lalu menyuntikkan racun mematikan ke selang infus Elma!”“Mana buktinya! Mana hape yang kau bilang itu?” Ayah Riris menunjuk geram wajah Rudang.“Sama Arfan! Hapeku ini tak bisa nyimpan video. Cuma bisa nelpon dan SMS!”“Artinya kau tak bisa buktikan, kan? Kau akan kupenjarakan! Rustam, kau tangani perempuan gila ini! Sama gilanya dia seperti permainnya si Elma rupanya! Satu keturunan, wajarlah!”
“Tak ada pertimbangan! Vita dan Tampan akan kami bawa jika kau usir kami Elma!” “Ya, tak ada lagi yang perlu dipertimbangkan! Keluar kalian!!” Elma meninggikan suaranya. Serempak empat orang pendukung keluarga Binsar yang semuanya laki-laki tiba-tiba berdiri, lalu setengah berlari ke halaman samping rumah. Mereka kembali dengan menyeret Vita. Tampan mereka gendong dengan kencang. Membawa kedua anak Elma menuju Avanz* yang mesinnya telah menyala. “Apa yang kalian lakukan? Lepaskan anak-anakku!” Elma mengejar. “Hey, bod*t! Penculik! Tolong penculik!” Rudang berteriak ikut berlari ke halaman. Keluaga dari pihak Elma perempuan dua orang ditambah Rustam, berusaha merebut Vita dan tampan. Peristiwa rebut rebutan pun terjadi. Tentu saja tenaga perempuan kalah total. Apalagi pihak Binsar ditambah empat orang, yaitu orang tua Binsar dan orang tua Riris. Elma dan Titian berjuang menahan pintu mobil yang hendak di tutup dari dalam. Vita dan Tampan menjerit-jerit di bawah cengkraman pri
“Maaf, saya hanya bercanda, kok. Jangan dipikirin, Abang!” pintanya merasa bersalah. “Oh, jadi cuma bercanda, ya?” “Eh, bukan! Sebenarnay serius, sih. Tapi saya dengar Abang sepertinya susah gitu setelah mendengar ucapan saya. Maaf, saya seperti ngemis, gitu, ya? Maaf, ya, Bang! Saya itu merasa nyaman aja sama Abang. Tapi, kalau Abang merasa terganggu, saya akan hentikan rasa ini. Sekali lagi, maafkan saya, ya, Bang!” “Bukan begitu, Dek Tian. Tapi, anak-anak! Dek Tian tau, kan, kalau ada anak-anak?” “Tau. Masalahnya apa?” “Aku tidak mau cari istri, Dek. Tapi aku mau cari ibu buat mereka. Kalau memnag tidak ada, lebih baik aku menduda saja selamnya. Maaf, bagiku saat ini, anak adalah nomor satu. Maaf, ya, Dek Tian!” “Saya siap jadi ibu buat mereka,” sela Titian cepat. Hening. Tak terdengan jawaban dari ujung sana. Hanya desah nafas Arfan yang terdengar begitu berat dan tak teratur. “Ya, udah, lupain aja. Sepertinya berat banget, ya, bagi Abang! Saya malu. Saya sudha meren
Bab 118. Wajah Masam Roseline “Apa? Bunuh diri!?” Arfan melonjak kaget. “I-iya. Perempuan sukar ditebak, Bang! Di depan kita dia bilang gak apa-apa. Padahal di belakang nyari pisau cater lalu potong urat nadinya. Apalagi kalau dia cintanya dari hati, wah, gawat. Perempuan itu selalu lebih mengedepankan perasaan. Itu sebabnya mereka lebih gampang terkena depresi, kalau udah depresi, wah gak mikir panjang, bunuh di …. Bang! Bang Arfan …!” Anto menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Dia yang nanya, dijelasin, malah ditinggal, waneh …!” gerutunya lalu melanjutkan melayani pelanggan. Sedikitpun dia tak tahu apa yang terjadi di hati Arfan. Rencananya untuk memberi kejutan buat Titian terancam gagal total. Bom hampir meledak di dada pria itu. Seolah tinggal hitungan detik saja. Suara detik berlalu bahkan terdengar begitu menghentak di dalam dada. Informasi yang dia dengar dari mulut Anto tak ubah pemicunya. Pria itu setengah berlari masuk ke dalam rumah, mengangguk sopan kepada para ta
“Hay, senang bertemu kamu, Sayang!” Titian mengulurkan tangan. “Pa, ayo, disuruh makan sama Bik Uda!” Gadis remaja itu melenggang pergi setelah mengucap kalimat itu. Dia mengacuhkan wanita yang dia pikir telah mencuri hati papanya. Tangan Titian mengambang di udara. “Selin! Kembali!” Arfan lepas kontrol. Untuk pertama kalinya dia berteriak pada putri kesayangan. “Bang, biarin, gak apa-apa!” Titian menenangkan. Namun, Arfan makin terbakar saat Roseline juga tetap tak memperdulikan teriakannya. “Selin! Kembali Papa bilang! Satu … dua … Ti—“ Gadis itu sontak berbalik, berjalan cepat-cepat menghampiri mereka dengan wajah ditekuk dan bibir dipanjangkan beberapa senti. “Minta maaf!” perintah Arfan masih dengan mata melotot. Roseline terlihat ragu, sesekali dia melirik Titian dengan tatapan sinis. Jari jemarinya saling memilin. “Kapan pernah Papa ngajari kamu bersikap tidak sopan pada orang lain, ha! Pernah?” bentak Arfan lagi. Roseline membisu. Titian merasa bersalah. Pasti ga
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka
“Elma …! Kau ngomong apa! Menikah apa?! Aku tidak mau …!” teriak Alva histeris. Elma tak menghiraukan. Langkahnya makin panjang keluar dari kamar.“Kak El, aku juga enggak mau nikah sama Bang Alva!” Nirmala ikut berteriak. Namun, dia tak bisa mengejar Elma. Dia maish sibuk mengenakan seragam sekolahnya kembali.“Elma … tunggu!” Alva menangkap lengan Elma dari belakang. Terpaksa Elma menghentikan langkah. Namun, detik berikutnya sebuah tamparan langsung dia layangkan tepat di pipi Alva.“Sudah kubilang, jangan pernah sentuh aku lagi! Aku jijik padamu, paham!” tegasnya lalu meneruskan langkah.Alva terperangah, meraba pipinya yang panas. Elma sedang benar-benar marah. Dia bisa berbuat apa sekarang? Tak ada, selain pasrah.“Aku akan buktikan kalau aku tidak bersalah,” ucapnya lirih. Sebuah tekat terpatri di dalam benak. Semua ini akan bisa diusut tuntas. Akan dia buktikan kalau dia bukan pria bejat seperti anggapan Elma saat ini.“Bang Al, saya harus meningglkan Abang! Saya akan setiri
Elma berdiri kaku di ambang pintu, menatap nanar pemandangan di atas ranjang. Suaminya berbaring dengan tanpa busana sehelai benang. Hanya ujung kain sepre yang menutup bagian selangkangan.Sementara Nirmala, gadis yang selama ini sudah menumpang hidup di rumahnya. Dia biayai pendidikanya, dia tanggung makan dan biaya hidupnya. Saat ini, dia dapati tengah berda di satu ranjang yang sama dengan suaminya. Dalam keadaan sama. Bahu, pundak dan dada atas gadis itu terlihat tanpa penutup apapun juga. Hanya sehelai selimut tipis yang menutupi batas kaki hingga wilayah dada.“Kalian?” lirihnya tercekat. Hilang suara di kerongkongan. Langit serasa runtuh, kini ambruk menimpa dirinya. Searas seluruh tubuhnya remuk. Redam, tak lagi berbentuk. Elma merasakan sakit, sangat sakit, tapi entah di bagian mana.Entah dengan kekuatan apa, dia akhirnya berhasil menggerakkan kakinya. Meski tungkainya terasa tak bertenaga. Elma merasa tubuhnya ringan, melayang, tubuhnya lalu menghampiri kedua sosok yang
“Nirmala bangun! Nirmala …! Banguuuun!” Alva mengguncang bahu polos Nirmala. Panik yang melanda pria itu membuat dia bingung harus berbuat apa sekarang. Pacu jantungnya semakin tidak karuan. Bingung, takut, khawatir, marah, kecewa, bercampur dan mengaduk perasaannya.“Eeeehm …, di mana ini? Palaku sakit banget, mataku sepat ….” racau Nirmala masih saja terpejam. Hanya bibirnya yang bergerak gerak saat berusaha berucap.“Buka mata kamu! Lihat apa yang terjadi ini, Nirmala! Bangun!” perintah Alva meski dia sendiri hanya mampu bersuara tanpa bisa bergerak. Otaknya serasa buntu untuk memerintahkan anggota badan untuk berbuat sesuatu meski hanya untuk mengenakan pakaiannya kembali.“Astaga! Apa yang telah terjadi ini sebenarnya? Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku ada di kamar ini?” Alva memukul mukul keningnya.“Oooough …! Ini di mana?” Nirmala menguap panjang, lalu mengulet lagi hendak melanjutkan tidur.“Bangun Nirmala! Kita dalam masalah besar!” sergah Alva sekali lagi menggunca