“Maaf, saya hanya bercanda, kok. Jangan dipikirin, Abang!” pintanya merasa bersalah. “Oh, jadi cuma bercanda, ya?” “Eh, bukan! Sebenarnay serius, sih. Tapi saya dengar Abang sepertinya susah gitu setelah mendengar ucapan saya. Maaf, saya seperti ngemis, gitu, ya? Maaf, ya, Bang! Saya itu merasa nyaman aja sama Abang. Tapi, kalau Abang merasa terganggu, saya akan hentikan rasa ini. Sekali lagi, maafkan saya, ya, Bang!” “Bukan begitu, Dek Tian. Tapi, anak-anak! Dek Tian tau, kan, kalau ada anak-anak?” “Tau. Masalahnya apa?” “Aku tidak mau cari istri, Dek. Tapi aku mau cari ibu buat mereka. Kalau memnag tidak ada, lebih baik aku menduda saja selamnya. Maaf, bagiku saat ini, anak adalah nomor satu. Maaf, ya, Dek Tian!” “Saya siap jadi ibu buat mereka,” sela Titian cepat. Hening. Tak terdengan jawaban dari ujung sana. Hanya desah nafas Arfan yang terdengar begitu berat dan tak teratur. “Ya, udah, lupain aja. Sepertinya berat banget, ya, bagi Abang! Saya malu. Saya sudha meren
Bab 118. Wajah Masam Roseline “Apa? Bunuh diri!?” Arfan melonjak kaget. “I-iya. Perempuan sukar ditebak, Bang! Di depan kita dia bilang gak apa-apa. Padahal di belakang nyari pisau cater lalu potong urat nadinya. Apalagi kalau dia cintanya dari hati, wah, gawat. Perempuan itu selalu lebih mengedepankan perasaan. Itu sebabnya mereka lebih gampang terkena depresi, kalau udah depresi, wah gak mikir panjang, bunuh di …. Bang! Bang Arfan …!” Anto menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Dia yang nanya, dijelasin, malah ditinggal, waneh …!” gerutunya lalu melanjutkan melayani pelanggan. Sedikitpun dia tak tahu apa yang terjadi di hati Arfan. Rencananya untuk memberi kejutan buat Titian terancam gagal total. Bom hampir meledak di dada pria itu. Seolah tinggal hitungan detik saja. Suara detik berlalu bahkan terdengar begitu menghentak di dalam dada. Informasi yang dia dengar dari mulut Anto tak ubah pemicunya. Pria itu setengah berlari masuk ke dalam rumah, mengangguk sopan kepada para ta
“Hay, senang bertemu kamu, Sayang!” Titian mengulurkan tangan. “Pa, ayo, disuruh makan sama Bik Uda!” Gadis remaja itu melenggang pergi setelah mengucap kalimat itu. Dia mengacuhkan wanita yang dia pikir telah mencuri hati papanya. Tangan Titian mengambang di udara. “Selin! Kembali!” Arfan lepas kontrol. Untuk pertama kalinya dia berteriak pada putri kesayangan. “Bang, biarin, gak apa-apa!” Titian menenangkan. Namun, Arfan makin terbakar saat Roseline juga tetap tak memperdulikan teriakannya. “Selin! Kembali Papa bilang! Satu … dua … Ti—“ Gadis itu sontak berbalik, berjalan cepat-cepat menghampiri mereka dengan wajah ditekuk dan bibir dipanjangkan beberapa senti. “Minta maaf!” perintah Arfan masih dengan mata melotot. Roseline terlihat ragu, sesekali dia melirik Titian dengan tatapan sinis. Jari jemarinya saling memilin. “Kapan pernah Papa ngajari kamu bersikap tidak sopan pada orang lain, ha! Pernah?” bentak Arfan lagi. Roseline membisu. Titian merasa bersalah. Pasti ga
Arfan juga tidak stress. Jujur, diapun sangat merindukan Titian. Ingin mengobrol santai dengan gadis itu, meski tak berharap lebih untuk memiliki kelak. Dia merasa tak pantas untuk memiliki Titian. Tetapi, rasa di sanubari merayu untuk mendekat. Arfan menghenyakkan tubuhnya di kursi rotan, di halaman samping rumah megah Elma. Pria itu menghentak napas kasar, menatap langit yang kelam. Sekelam hatinya saat ini. “Roseline, Titian … aargh, sakit kepalaku mikiri kalian,” desahnya lirih. Roseline tengah duduk di ruang tamu. Sepertinya dia tengah menunggu seseorang. Entah siapa. Dari tadi dia gelisah, boleka-balik melirik ponsel di tangannya. Sambil berjaga-jaga, kalau-kalau sang Papa diam-diam menyusup ke kamar Titian. Sementara Elma tengah memeriksa laporan penjualan hari ini di kamarnya. Sebuah laptop menyala di hadapannya. Ponsel yang dia letak di samping tiba-tiba menyala. Seorang pria tampan menari-nari di layar. Senyum sontak terbit di bibir wanita itu. “Hay,” sapanya setel
Bab 121. Roseline dan Video Mesum Rosa “Mama? Seline dia itu mamamu?” Elma terperangah. “Kakak? Itu Mama?” Ardho yang tadi asik bermain dengan Tampan pun datang karena mendengar keributan. Dia mengenali suara ibunya, namun ragu saat melihat wanita itu menggunakan masker seperti cadar. “Papa jahat! Aku benci sama Papa! Aku benci sama Bik Uda! Aku benci sama kalian semua! Ardho, ayo ikut Kakak!” Roselin berlari ke kamar tamu. Mungkin hendak mengemasi pakaiannya untuk ikut sama ibunya. Ardho yang masih kebingunganpun menurut. Mengikuti Kakaknya menuju kamar tamu. Elma masih terkejut, wanita itu berjalan mendekati Rosa lalu berjongkok di hadapan wanita bercadar itu. “Ini benar Kak Rosa?” tanyanya seraya menyentuh ujung masker yang dikenakan wanita itu. “Jangan sentuh aku!!” teriak Rosa menepis tangan Elma. “Kenapa Kakak menutup wajah? Kenapa Kakak tiba-tiba menyerang Titian! Titian itu salah apa sama Kakak?” cecar Elma. “Kau masih bertanya dia salah apa?” Rosa berteriak.
Rosa merasa ditampar. Kalimat Roseline membuatnya tak berani lagi mengangkat wajah. Tapi saat Titian justru menjaga nama baiknya di mata anak-anak, dia merasa Titian sengaja cari muka. Rasa bencinya makin menggila. “Kenapa Tante bela Mama! Bukankah baru saja Mama jambakin rambut Tante! Harusnya Tante senang, dong, aku ngehujat Mama!” sinis Roseline di antara sedu sedannya. “Tidak, Sayang! Bukan itu masalahnya. Tante hanya tak ingin Selin sedih! Tante tak ingin Selin kecewa sama Mama Selin. Kita ke kamar, ya. Biar para orang tua nyelesein masalahnya! Selin anak yang baik, Tante yakin itu.” “Enggak mau!” Roseline menepis kasar tangan Titian. “Mama jahat! Selama ini dia udah jahatin Papa. Selalu kasar sama Papa. Kalau Selin tanya kenapa jahatin Papa, katanya karena Papa gak becus cari duit. Katanya dia tinggalin Papa karena Papa selingkuh, punya cewek lagi. Katanya Tante juga jahat, pencuri, pelakor! Padahal … Mama yang jahat, Tante! Kasihan Papa! Papa selalu dikasarin sama M
Bab 123. Syarat Dari Roseline, Titian Harus Segera Jadi Mamanya“Lepaskan, Abang! Sakit! Ingat, aku ini masih istrimu! Abang memnag sudah talak aku, tapi aku belum pegnag suart cerai. Apa buktinya kalau aku ini bukan istrimu lagi, ha!” teriak Rosa dengan langkah terseret paksa.“Tunggu surat ceraimu! Akan segera kuurus begitu aku panen jagung. Sekarang belum cukup uangku! Jangan pernah coba-coba kau dekati lagi anak-anakku! Paham!” tegas Arfan seraya mencampakkan tubuh wanita itu di teras, lalu kembali masuk ke dalam rumah. Pintu utama dia banting lalu menguncinya dari dalam.“Abang! Aku minta maaf … aku mohon, kita rujuk saja, Abang! Demi anak-anak! Aku mohon, Abang!”Rosa memelas. Anto sang penjaga gudang datang mendekat, Lutfi, anggota Alva yang mendapat giliran jaga malam ini, juga mendekat. Kedua pria itu lalu memegang tangan Rosa satu seorang. Keduanya mengangkat tubuh Rosa di ketiak, meletakkan wanita itu di trotoar jalan, tepat di depan toko, lalu mengunci pagar besi dar
“Dia apa? Kenapa dengan Papa?” cecar Roseline.“Papa kamu belum, maksud Tante, dia …. dia belum lamar Tante, bahkan Tante gak tau apakah papa kamu suka atau tidak sama Tante, gimana mau nikah?” jawab Titian pelan.“Ha? Jadi selama ini kalian tidak pacaran?” Roseline terbelalak.“Tidak,” sahut Titian jujur.“Lalu, buat apa Papa nyimpan foto Tante di ponselnya? Buat apa dia sering tatap-tatap foto itu? Oooo, aku tau sekarang, kalian berdua itu persis kayak teman sekelas aku. Saling suka tapi malu-malu, iya kan?!”“Papa kamu belum tentu suka sama Tante, Selin!”“Suka! Aku saksinya. Pokoknya Tante harus nikah sama Papa, titik!”“Tapi, Papa kamu belum lamar Tante, Sayang!”“Suruh, dong Tante, agar Papa lamar Tante! Pokoknya Tante harus jadi Mama kita, udah itu aja, sekarang Tante temui Papa sana! Rencanain tanggal pernikahannya, se … ce … pat … nya!!”Roseline mendorong tubuh Titian ke luar dari kamar. “Pokoknya besok pagi, aku harus udah dapat jawaban! Kalau tidak ada jawaban, aku
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka
“Elma …! Kau ngomong apa! Menikah apa?! Aku tidak mau …!” teriak Alva histeris. Elma tak menghiraukan. Langkahnya makin panjang keluar dari kamar.“Kak El, aku juga enggak mau nikah sama Bang Alva!” Nirmala ikut berteriak. Namun, dia tak bisa mengejar Elma. Dia maish sibuk mengenakan seragam sekolahnya kembali.“Elma … tunggu!” Alva menangkap lengan Elma dari belakang. Terpaksa Elma menghentikan langkah. Namun, detik berikutnya sebuah tamparan langsung dia layangkan tepat di pipi Alva.“Sudah kubilang, jangan pernah sentuh aku lagi! Aku jijik padamu, paham!” tegasnya lalu meneruskan langkah.Alva terperangah, meraba pipinya yang panas. Elma sedang benar-benar marah. Dia bisa berbuat apa sekarang? Tak ada, selain pasrah.“Aku akan buktikan kalau aku tidak bersalah,” ucapnya lirih. Sebuah tekat terpatri di dalam benak. Semua ini akan bisa diusut tuntas. Akan dia buktikan kalau dia bukan pria bejat seperti anggapan Elma saat ini.“Bang Al, saya harus meningglkan Abang! Saya akan setiri
Elma berdiri kaku di ambang pintu, menatap nanar pemandangan di atas ranjang. Suaminya berbaring dengan tanpa busana sehelai benang. Hanya ujung kain sepre yang menutup bagian selangkangan.Sementara Nirmala, gadis yang selama ini sudah menumpang hidup di rumahnya. Dia biayai pendidikanya, dia tanggung makan dan biaya hidupnya. Saat ini, dia dapati tengah berda di satu ranjang yang sama dengan suaminya. Dalam keadaan sama. Bahu, pundak dan dada atas gadis itu terlihat tanpa penutup apapun juga. Hanya sehelai selimut tipis yang menutupi batas kaki hingga wilayah dada.“Kalian?” lirihnya tercekat. Hilang suara di kerongkongan. Langit serasa runtuh, kini ambruk menimpa dirinya. Searas seluruh tubuhnya remuk. Redam, tak lagi berbentuk. Elma merasakan sakit, sangat sakit, tapi entah di bagian mana.Entah dengan kekuatan apa, dia akhirnya berhasil menggerakkan kakinya. Meski tungkainya terasa tak bertenaga. Elma merasa tubuhnya ringan, melayang, tubuhnya lalu menghampiri kedua sosok yang
“Nirmala bangun! Nirmala …! Banguuuun!” Alva mengguncang bahu polos Nirmala. Panik yang melanda pria itu membuat dia bingung harus berbuat apa sekarang. Pacu jantungnya semakin tidak karuan. Bingung, takut, khawatir, marah, kecewa, bercampur dan mengaduk perasaannya.“Eeeehm …, di mana ini? Palaku sakit banget, mataku sepat ….” racau Nirmala masih saja terpejam. Hanya bibirnya yang bergerak gerak saat berusaha berucap.“Buka mata kamu! Lihat apa yang terjadi ini, Nirmala! Bangun!” perintah Alva meski dia sendiri hanya mampu bersuara tanpa bisa bergerak. Otaknya serasa buntu untuk memerintahkan anggota badan untuk berbuat sesuatu meski hanya untuk mengenakan pakaiannya kembali.“Astaga! Apa yang telah terjadi ini sebenarnya? Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku ada di kamar ini?” Alva memukul mukul keningnya.“Oooough …! Ini di mana?” Nirmala menguap panjang, lalu mengulet lagi hendak melanjutkan tidur.“Bangun Nirmala! Kita dalam masalah besar!” sergah Alva sekali lagi menggunca