Ternyata benar, Mama Wardah sakit vertigo. Penyakit lama yang sesekali suka kambuh. Natha juga ternyata sedang ada urusan ke luar kota sehingga ibu mertuaku itu hanya tinggal berdua saja dengan asisten rumah tangga. Khawatir jika terjadi sesuatu, maka aku dan Kevan memutuskan untuk menginap di rumah Mama Wardah selama beberapa waktu, merawatnya hingga keadaannya membaik.
Kevan pun akhirnya bercerita jika malam itu dia hanya mengantar Sandra saja, lalu segera pulang ke rumah ibunya karena ketika sedang dalam perjalanan, asisten rumah tangga ibunya menelpon, mengabarkan kondisi ibu mertuaku itu menurun.
Kevan segera membawa ibunya ke IGD dan tak sempat mengabari karena kebetulan ponselnya lowbat. Dia tak membawa charger karena ketika pulang memang dalam kondisi emosi, sehingga tas beserta isinya ia tinggal di resto.
Setelah kejadian dengan ibunya Sandra, akhirnya Kevan mulai menyadari bahwa ucapanku mengenai Sandra itu benar
"Prenagen di rumah masih ada nggak Ma?" Sebuah suara membuatku menoleh. Tepat di sebelah kiri. Satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu yang sedang mengandung dan satu anak laki-laki lucu berusia sekitar lima tahun.Aku dan Kevan sedang belanja bulanan saat ini di Carrefour. Dan keluarga manis ini berhasil mencuri perhatian ketika aku sedang mengantri di kasir. Kevan sedang mencari sesuatu yang tertinggal di deretan rak."Masih kok Pa, masih cukup. Nanti aja beli lagi," jawab si ibu yang sedang hamil tua ini. Dapat terlihat aura bahagia dari wajahnya. Dia tak berhenti tersenyum. Betapa manis keluarga ini. Aku menyukainya."Folamil kamu masih ada, Ma?" tanya si suami lagi sembari mengelus-elus perut istrinya. Aku masih sibuk memperhatikan. Keluarga ini begitu hangat, membuat siapapun yang berada di sekitar mereka pasti akan menoleh dan menyunggingkan senyuman."Oh iya. Vitaminku
Tak lama setelah kami berbelanja, Kevan pergi lagi. Entah kemana. Dia bilang ada yang harus diurus dan baru pulang setelah malam sudah sangat larut. Mungkin karena kelelahan, dia langsung merebahkan diri di sofa ruang keluarga. Sudah satu minggu ini Kevan seperti ini, menyibukkan diri dengan segala pekerjaan. Aku tahu ada sesuatu yang mengusik hatinya namun aku tak tahu pasti masalah apa yang sedang ia hadapi. Karena dia selalu menghindar jika aku mulai menyinggung tentang hal itu. "Kev, kalo ngantuk jangan tidur disitu. Langsung masuk kamar gih." Dia bergeming dan tak mengikuti ucapanku. "Kev.""Bentar, Ay. Sebentar aja."Kevan mengucapkan itu sembari menutup matanya. Tak biasanya Kevan begini. Dia kenapa ya?Merasa khawatir, maka aku pun
Aku membuka mata ketika merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kening cukup lama. Rasanya aneh ketika menyadari Kevan yang melakukan itu. Lalu yang terjadi sekarang dia sedang membelai pipiku dan tersenyum dengan manis ketika menyadari aku sedang menatapnya panik."Panas kamu udah turun belum?" tanyaku menyentuh keningnya, menyadari dia sakit semalam, tak bisa tidur dengan tenang karena panas tinggi.Bertahun-tahun aku bersahabat dengannya tapi baru semalam merasakan kekhawatiran yang berlebihan seperti itu. Mungkin karena kami tinggal serumah bahkan satu tempat tidur dan melihatnya sakit secara langsung membuat kepanikan ikut melanda atau karena sebagian hatiku sudah diisi olehnya? Entahlah, aku tak tahu pasti. Tapi yang kutahu merawat suami termasuk tugas istri kan?"Aku udah nggak panas lagi. Maaf ya Ay, kamu jadi nggak tidur semaleman." Dia mengambil anak rambut yang menutup sebagian wajahku dan menyematkannya di bali
"Ante, Aya!" teriakan seorang bocah lucu yang sudah akrab di telinga ini membuatku menoleh. Aku tersenyum menyambut anak itu yang sedang berlari menghampiri sembari memegang boneka kesayangan."Eh, Ayu." Aku menciumi anak itu ketika dia sudah berada dalam pelukanku.Rambutnya yang wangi khas shampoo anak-anak membuatku semakin gemas untuk memberikan ciuman kecil pada puncak kepalanya. "Kok main sendirian?" tanyaku kemudian."Ndak cendilian ante. Ada Adek (Nggak sendirian Tante. Ada adek)." Dia menunjuk boneka perempuan yang tempo hari selalu dianggapnya sebagai anaknya sendiri itu."Oh iya main sama adek ya? Masih nangis nggak adeknya?""Ndak Ante. Udah iem. Udah mimik cucu adi (Nggak Tante. Udah diem. Udah minum susu tadi).""Eh ada mbak Aya. Ayu pasti lagi gangguin Tante Aya ya? Ngajak main terus." Mas Agung, Papa Ayu sudah berada di hadapan kami sekarang. Dia tersenyum
Anak-anak dan dunianya. Sudah satu bulan ini aku terbiasa dengan hal itu. Dekat dengan Ayu membuatku lebih mengenal lagi dunia mereka. Aku menjadi tahu apa saja kesukaan anak empat tahun itu dan apa ketakutan terbesarnya.Dia suka frozen, suka kinderjoy, suka yupi, dia phobia jarum suntik dan dia juga sangat takut dengan darah. Pernah satu kali ia terjatuh dan menangis histeris setelah melihat ada darah pada kakinya. Aku berusaha menenangkan dan memeluk dengan sayang. Dia berhenti menangis dan tersenyum dengan sangat manis setelah itu. Aku tahu ada bagian dalam diri Ayu yang hilang, sesuatu yang sulit ia pahami. Dia merindukan satu sosok dalam hidupnya... kehadiran seorang ibu.Lewat suster yang menjaga Ayu, aku menjadi tahu penyakit yang diderita istri Mas Agung. Hipokalemia, penyakit yang disebabkan karena kurangnya kalium dalam tubuh. Ketika sedang mengandung calon adik Ayu, dia terjatuh dan menjadi berbahaya karena ternyata ib
"Itu Ayu kenapa ya? Tumben rewel kayak gini?" tanyaku ketika mendengar suara tangisan Ayu. Kulirik jam dinding, pukul sepuluh malam. Dia tak biasanya begini. Aku menoleh pada Kevan yang baru keluar dari kamar mandi. Dia baru saja selesai bercukur. Dia terlihat lebih ganteng dan segar dengan tampilan barunya. Tapi aku tak mempedulikan itu, karena perhatianku sedang teralih oleh suara tangisan Ayu kini."Ngantuk kali mau tidur," sahut Kevan santai bersiap-siap naik ke atas tempat tidur."Tapi biasanya nggak gini, Kev? Udah setengah jam Ayu nangis. Aku nggak tega."Dia mengembuskan napas pelan. "Ya terus kamu mau ngapain? Udah ada bapaknya, Ay."Aku diam walaupun dalam hati rasanya tak tenang. Mendengar seorang balita menangis dengan keras di malam yang sudah larut ini membuat naluriku ikut terketuk. Jika tak ada Kevan, mungkin aku sudah berlari ke rumah sebelah. Memeluk Ayu dan memastikan ia baik-baik saja.
Sesampainya di rumah sakit, Ayu segera mendapatkan perawatan. Menurut hasil pemeriksaan bocah itu positif gejala typus. Dan dia harus dirawat. Pantas saja suhu tubuhnya tinggi dan dia tak kunjung berhenti menangis semalaman.Aku saja yang setua ini merasa menderita sewaktu typusku kembali menyerang. Apalagi anak sekecil itu yang masih belum mengerti tentang sakit yang ia rasakan. Dari tempatku berada aku dapat melihat Ayu yang terlihat pucat dengan jarum infus yang menempel pada pergelangan tangannya. Jangan ditanya bagaimana usaha kami mendiamkannya ketika para suster berusaha memasang jarum infus itu pada nadinya. Butuh usaha ekstra dan kesabaran."Terima kasih Mbak, sudah mau mengantar Ayu. Maaf sudah merepotkan," ujar Mas Agung ketika Ayu sudah tertidur. Dia duduk di sisi pembaringan sedangkan aku dan Kevan duduk di sofa."Sama-sama, Mas. Saya nggak merasa direpotkan. Yang penting Ayu sembuh. Susternya Ayu kemana ya, M
"Ay!!!! Sumpah gue kangen banget sama lo!" teriak Lintang begitu sampai rumahku. Dia memelukku sangat lama untuk melepas kerinduan kami berdua. Sudah berapa bulan aku tak bertemu dengannya karena kesibukan masing-masing."Aaaahhhh... gue juga Tang. Kangen banget! Sok sibuk sih lo." Kami berpelukan macam teletubbies. Biasanya Kevan akan ikut-ikutan mengganggu. Tapi untuk kali ini jangan harap. Dia juga sepertinya tahu diri untuk tidak ikut dalam aktivitas kami ini.Sebetulnya sih permasalahan pangsit bakso tadi pagi, Kevan sudah menyiapkannya untukku dan dia simpan di dapur. Pangsit bakso yang dia makan itu memang miliknya tapi sengaja dia melakukan itu untuk menjahiliku. Walaupun pangsit bakso itu aman tetap saja aku masih kesal dengannya. Dia rese dan menyebalkan. Jadi sejak pagi aku sengaja mendiamkannya."Tumben laki lo nggak ikutan meluk-meluk. Kalian berantem?" tanyanya tiba-tiba, menyadari sesuatu yang tak bias
Mukjizat itu akhirnya terjadi ketika satu bulan Kevan tak sadarkan diri. Aku tertegun dan langsung menekan bel kala Kevan tiba-tiba menggerakan jemarinya dan perlahan-lahan membuka mata. Dia mengerjap dan seperti orang linglung, mungkin merasa bingung tiba-tiba ada di rumah sakit. Ingatannya selama tiga bulan sebelum kecelakaan itu terjadi, menghilang. Dia mengingatku, dia tahu aku istrinya. Namun ketika Lintang mengatakan, "Congrats ya, Kev. Lo mo jadi bapak. Aya hamil, tuh." Jawaban Kevan membuat semua orang tertegun. "Kamu hamil sama siapa?" Sorot matanya kosong dan tanpa ekspresi. "Ya sama lo lah. Kan lo suaminya," jawab Lintang ceplas ceplos. Butuh waktu bagiku untuk menjelaskan pada Kevan bagaimana aku hamil anaknya. Karena dalam ingatannya, dia belum berhasil menjadi laki-laki normal. Dia masih gay seperti yang dulu. Menurutnya suatu hal membingungkan melihatku hamil. Dia tak menuduhku berselingkuh namun masih belum menerima keberadaan anak
Terhitung satu minggu sudah Kevan tak sadarkan diri. Dan selama itu pula aku harus menjadi wanita hamil yang tangguh, mau tak mau. Jika wanita hamil seringkali manja, maka aku tak boleh seperti itu. Sepertinya anak dalam perutku ini mengerti kondisi kedua orang tuanya sehingga dia cukup membantuku dengan kondisinya yang tak rewel. Bahkan rasa mual yang dulu sering menyerang kini menguap dengan sendirinya. Aku juga tak mengalami ngidam. Bagaimana mungkin ngidam, untuk makan saja seringkali aku harus diingatkan. Keadaan Kevan membuatku seperti lupa rasa lapar.Terkadang aku merasa bersalah. Anak ini seharusnya mendapat asupan makanan yang cukup, tapi aku malah mengabaikannya. Orang-orang sekelilingku yang seringkali mengingatkan untuk tak terlalu banyak pikiran. Tapi dengan kondisi seperti ini bagaimana caraku mengenyahkan segala beban ini? Bagaimana caraku agar tak banyak berpikir? Siapa yang tak bersedih jika suami yang ia cintai tak sadarkan diri seperti ini?Bisnis K
Setibanya di gedung bercat putih itu, aku menyusuri lorong rumah sakit layaknya orang gila. Karena selama dalam perjalanan tadi, aku terus menerus menangis. Mungkin mataku sudah sembab sekarang, hidungku juga sudah memerah. Namun, aku tak peduli. Karena hanya kepastian kondisi Kevan yang kupedulikan saat ini, bukan yang lain. Beberapa orang yang berpapasan melihatku dengan pandangan aneh. Aku tak peduli. Dimana suamiku. Aku ingin melihat dia. Aku ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja. Suamiku tak kenapa-kenapa. Setelah bertanya pada resepsionis dan dia tunjukkan letak ruang ICU. Maka di sinilah aku sekarang. Aku diminta menunggu karena seseorang yang katanya bernama sama dengan suamiku itu sedang dalam proses pemindahan dari IGD menuju ICU. Aku tak begitu jelas bagaimana kondisinya. Namun infomasi yan
"Ya udah Ay, ini bentar lagi aku mau jalan. Tiga jam lagi mungkin aku sampe rumah. See you, Sayang." Pada layar ponsel yang sedang kugenggam, lelaki itu tersenyum padaku dari dalam mobil. Dia sedang berada di Bandung sekarang, dan akan pulang ke rumah setelah urusan bisnis yang sedang dikerjakannya selama satu minggu ini selesai.Komunikasi yang kami lakukan hanya sebatas video call seperti ini. Tapi itu cukup untuk mengobati kerinduanku. Dia belum sempat bercukur. Wajahnya mulai ditumbuhi bulu-bulu halus. Membuat dia menjadi sedikit lebih, seksi?"Oke Kev, kamu ati-ati ya. Kalo capek istirahat aja dulu. Jangan dipaksain nyetirnya." Bagian bawah mata yang menghitam cukup menjelaskan dia kurang istirahat akhir-akhir ini. Sebetulnya aku khawatir Kevan melakukan perjalanan seorang diri dari Bandung-Jakarta dengan kondisi yang terlihat lelah. Tapi bukan Kevan namanya jika ia tak keras kepala. Aku sudah berusaha membujuk
"Heh, lo udah berhasil ya sama Kevan?" tanya Lintang tiba-tiba ketika aku sedang main ke rumahnya."Berhasil apaan?""Berhasil itu ... begituan. Iya yah?" tudingnya cepat tanpa basa basi. Aku jadi heran. Darimana dia tahu ya? Apa bentuk wanita yang sudah tak perawan itu terlihat dari luar? Seingatku dadaku masih begini saja bentuknya. Berat badanku juga tak mengalami perubahan yang berarti. Bibirku juga masih aman. Tak terlihat seperti gagal operasi. Lantas dari mana Lintang tahu?Jika sampai Kevan pelaku utamanya, aku dapat memastikan pintu kamar akan tertutup untuknya selama satu minggu."Apaan sih, Tang. Nggak ah." Bukan maksudku untuk berbohong. Tapi rasanya malu mengakui kenyataan itu. Entahlah aku tak terbiasa berbagi urusan ranjang dengan orang lain, meskipun itu sahabatku sendiri."Alah pake malu sama gue. Ngaku aja kenapa?""Kevan cerita lagi sama lo?" Aku betul-b
Aku membuka mata dan melihat satu wajah yang sedang tertidur dengan pulas berada di sampingku. Sudut bibirku tertarik hingga terbentuk seulas senyuman. Rasanya tak menyangka apa yang sudah terjadi semalam. Seperti mimpi di siang hari bolong. Tapi bercak darah semalam cukup menjelaskan segala sesuatunya. Aku tak lagi perawan.Kevan si Pelaku itu, dialah sosok yang telah mengambil keperawanku. Dia sahabat sekaligus suamiku, sosok yang dulunya sangat menyebalkan dan seringkali membuat kesal itu semalam berbagi peluh denganku.Kevan melakukannya dengan sangat lembut dan berhati-hati. Bahkan ketika aku menitikkan air mata pun dia sempat menghentikan gerakannya. Lelaki itu berpikir aku menangis karena rasa sakit yang kurasakan. Memang sakit tapi aku menangis bukan karena itu. Rasa haru lebih menyelimuti hatiku. Bagaimana tidak, sesuatu yang selama ini menjadi pergumulan kami pada akhirnya menemukan jalan untuk dilalui. Dan itu terasa indah untuk
Kamu masih lama Ay pulangnya?Sebuah chat whatsapp masuk. Dari Kevan. Akhir-akhir ini (lebih tepatnya setelah kami terbuka tentang perasaan masing-masing) Kevan menjadi lebih protektif. Dia seringkali bertanya jika aku pergi lumayan lama dari biasanya. Hanya sekedar menanyakan kemana dan jam berapa pulang saja, sih. Tapi itu termasuk kemajuan, Kevan yang dulu tak pernah seperti itu. Nggak sih, kayaknya. Kenapa?Aku membalas pesannya dan kutekan tombol send.Ya udah aku tunggu. Fotoin dong Ay kamu lagi ngapain.Kevan makin mirip ababil yang sedang jatuh cinta kan? Sedikit-
"Ayo Kev, kita masuk," ajakku. Kevan nampak ragu. Dia berkali-kali menggaruk tengkuknya. Ada keragu-raguan dari sorot mata dan gelagatnya. "Kenapa?" tanyaku kemudian. Heran akan sikapnya ini. "Aku takut." Dia diam sebentar. "Nanti kalo adek kecilku dipegang-pegang gimana?" lanjutnya lagi. Tapi dapat terlihat, dia sedang tak bercanda kali ini. Tak ada sorot mata iseng dan jahil seperti biasanya. Tak ada senyum menyebalkan yang seringkali menjadi andalan.Aku mengernyit, bingung. "Kenapa dipegang-pegang?" Dia diam sebentar. Dengan ragu menjelaskan ketakutannya. "Kan masalahku emang disitu. Biasanya orang kalo sakit aja yang dipegang bagian yang sakitnya kan?"Aku mendengkus. "Kev, kita ini m
"Aaaaaahhh.... uuuuhhhhh, aaaaahhh, uhhhhhhh!" Telingaku meremang, hatiku berdebar, napasku tercekat.Bukan ... jangan salah. Itu bukan suaraku. Lantas itu suara siapa? Jelas itu suara cewek. Asalnya dari kamar. Dan dia ... dia mendesah! Jantungku berdetak berkali-kali lipat. Jangan bilang Kevan membawa seorang wanita dan mereka ... mereka mesum di kamar kami.Shit!Aku menggeleng dengan cepat membayangkan hal itu terjadi. Sejak kapan Kevan bisa? Ups ... bukan maksudku meremehkan. Tapi kita semua tahu bagaimana Kevan 'kan? Dia sejak kapan bisa? Aku saja yang sudah dia nikahi selama dua tahun belum pernah ia sentuh. Lalu tiba-tiba dia membawa seorang perempuan ke rumah. Ini gila! Entah aku yang gila atau Kevan yang gila. Oh, sepertinya Kevan yang gila! Dia gila membawa wanita lain ke rumah kami, bahkan masuk hingga kamar!Dengan perasaan campur aduk, aku buru-buru melangkah menuju ke tempat suara itu berasal. Kamar kami. Suara desahan itu semakin terdengar