“Tolong Mbok, angkat saja. Bilang aku lagi fokus nyetir. Terus kalau ibu mertuaku tanya aneh-aneh tidak usah dijawab. Mbok tinggal bilang Iya sama enggak. Jangan lupa di loudspeaker,” jawabku. Tidak menunggu lama Mbok Wati segera mengambil ponsel yang ada di dalam tasku dan menjawab telepon.“Halo ...” sapa Mbok.“Eh, pembantu burik. Kenapa kamu yang angkat telepon Nyonyamu. Barusan aku telepon di HP-mu enggak kamu angkat giliran aku telepon di HP Nyonyamu diangkat. Kurang ajar kamu ya, sudah berani pegang-pegang benda punya majikan kamu!” cerocos ibu mencaci maki Mbok.“Kalau Ibu tidak ada kepentingan lebih baik Mbok matikan saja ya, HP-nya. Kuping jadi budek dengerin Ibu ngoceh mulu. Ingat Bu, sudah tua nanti kena stroke, loh,” jawab Mbok. Aku terkekeh mendengarnya.“Ibu-Ibu! Kamu kira aku ini ibumu eh pembantu burik mikir dong kamu sama aku tuaan mana jangan panggil aku ibu. Panggil aku nyonya besar! Aku pecat baru terasa kamu,” makinya lagi.“Iya, Nyonya. Ada perlu apa Nyonya? I
“Oh, jadi rumah almarhum itu beda tempat ya, Bu? Pantas saja belum sampai,” celetuk Mbok. Aku mengangguk membenarkan.“Iya, Mbok, jauh beda kecamatan, tapi masih satu kabupaten. Terpisah sungai besar gitu, Mbok. Kalau rumah orang tuaku itu ‘kan bagian utara, nah kalau rumah bibi itu bagian selatan”.“Oh ... pantas aja perjalanan kita kok, sepertinya lebih lama dari biasanya. Ngomong-ngomong ini sudah mau sampai atau belum Bu?”“Kemungkinan 15 menit lagi sampai Mbok, jalanannya parah begini, rusak! Harusnya sih, sudah sampai dari 15 atau 30 menit yang lalu. Dari dulu jalanan di sini enggak pernah mulus seperti ini terus. Oh, ya, Mbok nanti Mbok di sana jangan katakan apa pun tentang rumah tanggaku sesuai kesepakatan kita semalam ya, Mbok. Aku yang akan katakan sendiri pada kedua orang tuaku. Itu pun kalau mereka menanyakan kalau tidak ya, sudah anggap saja semuanya baik-baik saja karena aku tidak mau orang tuaku jatuh sakit karena memikirkanku, Mbok.”“Siap, Bu, insya Allah akan Mbok
“Iya, Bu ... ini aku angkat teleponnya. Permisi ....” jawabku. Dengan tergesa-gesa aku ke kamar ruang depan di mana tasku diletakkan oleh mbok. Benar saja panggilan dari ibu tunggu dulu bukan hanya dari ibu, tapi juga dari Salsa. Ada apa lagi dia menghubungiku.“Halo ada apa Sa, kamu telepon. Ganggu orang aja!” jawabku sedikit membentak.“Woii, santai, Sist! Aku cuma mau kasih tahu Teh Lisa kalau ibu tadi itu nyusul. Apa sekarang sudah sampai sebab aku telepon ibu sama sekali enggak diangkat nomornya selalu sibuk,” jawab Salsa.“Kamu tanya? Kamu bertanya-tanya? Meneketehe dan ibu tidak ada bersamaku. Sudahlah Salsa aku sedang sibuk jangan kamu telepon-telepon lagi telepon saja terus ibumu itu. Lagi pula siapa yang nyuruh ibu nyusulin aku ke sini? Tidak ada, kan? Kurang kerjaan aja nyusulin aku jauh-jauh ke kampung. Baguslah kalau kamu khawatir sama ibu telepon dia dan suruh pulang!” jelasku.“Ih, apaan sih Teh Lisa ini ‘kok gitu amat jawabnya. Walau gimana pun juga ibu itu khawatir s
“Kenapa, Nak? Apa itu dari mertuamu, kok, kamu terlihat kesal begitu?” tanya ibu lagi. Rupanya beliau memperhatikanku. “Bukan, Bu. Ini WA dari Salsa. Biasalah dia itu WA minta uang,” jawabku asal. “Apa mertuamu tidak hubungi kamu, Nak, sampai Mbak Yuni yang kasih tahu ke Bapak?” Kali ini giliran bapak yang sepertinya khawatir pada besannya itu. “Enggak ada telepon, Pak. Lagi pula HP aku 'tuh lowbat semalam lupa ngecas karena saking capeknya banyak kerjaan terus aku tidur. Aku juga enggak bilang sama mertuaku kalau ada kemalangan di rumah bibi, tapi cuma aku bilang mau pulang kampung aja. Mungkin mertuaku khawatir makanya nyusul aku ke sini. Pas sudah sampai rumah bapak ternyata tidak ada orang,” jawabku jujur. “Iya, bisa jadi begitu, tapi kasihan sekali loh, mertuamu itu, Nak. Katanya Mbak Yuni dari pagi di rumah bapak.” “Biar sajalah, Pak. Kalau capek juga nanti beliau itu istirahat sendiri. Kan, tetangga kita baik semua, bisa numpang istirahat di rumah tetangga sebentar,” jawabk
“Makasih ya, Bu ... sudah percaya sama aku. Oh, ya, ayo kita ke depan! Enggak enak di kamar terus. Apalagi itu mulutnya Wak Sanah ‘kan kayak nenek lampir kalau ngata-ngatain aku. Dari dulu enggak peduli sedang dalam keadaan seperti apa,” ajakku.Sengaja agar aku segera keluar dari situasi rumit ini. Situasi di mana aku tidak ingin melakukan kebohongan-kebohongan selanjutnya demi menutupi kesalahanku pada ibu. Untungnya ibu mau. Gegas aku keluar terlebih dahulu agar beliau tidak merasa makin curiga padaku.“Tunggu, Lisa! Kamu enggak jadi telepon mertuamu?” cegah ibu. Aku langsung menggeleng.“Sudah aku WA, Bu. Pasti sebentar lagi juga beliau akan sampai, jadi kita tunggu saja.”“Beneran?”“Iya, Bu.”Aku langsung ikut duduk bersama saudaraku yang lain.“Ehh .... orang kota datang kapan, kok Uwak enggak lihat kamu?” Benar ‘kan, baru saja aku duduk bergabung Wak Sanah sudah kepo.“Sudah dari pagi di sini. Uwak aja yang nggak ngelihat yang lain juga ngelihat kok, tadi kita kami bertegur
Suasana makan siang jadi canggung. Ibu dan bapak sesekali melirikku. Entah khawatir atau ikut penasaran dengan ucapan Wak Sanah.Mas Eko benar-benar tidak tahu malu dia bermesraan di tempat umum apa urat malunya sudah hilang. Otak dia sepertinya sudah tergadaikan oleh pesona pelakor itu hingga mengabaikan hal-hal yang harusnya dijaga. Dasar laki-laki omes!Kalau sudah begini bagaimana aku bisa mengelak lagi jika bapak dan ibuku menanyakan kebenarannya. Wak Sanah juga bukannya ngomong baik-baik dulu berdua denganku yang ada malah buka rahasia begini, tapi tunggu Wak tadi bilang dia sudah mengadukan pada orang tuaku dan mereka tidak percaya.Mungkin mereka kira kami baik-baik saja makanya mengabaikan Wak Sanah, tapi setelah hari ini apa Ibu dan bapak akan diam saja pasalnya banyak kejanggalan yang aku tunjukkan.“Mbak Lisa dipanggil bapakmu,” kata Fitri sepupuku saat ini aku sedang membereskan piring bekas makan.“Iya, Fit, tolong ini dilanjutkan, ya?” jawabku lekas menemui bapak ya
****“Nak, bangun! Sudah asar waktunya salat dan mandi itu juga di depan ada mertuamu datang ke sini," panggil Ibu seraya mengguncang-guncang bahuku. Entah tadi aku terlelap jam berapa yang jelas saat ini keadaanku jauh lebih baik karena sudah tidur siang.“Mertuaku ke sini, Bu? Kok, dia tahu alamat sini,” jawabku kaget. Pasti habis ini akan ada masalah lagi. Astagfirullah ... ibu mertuaku kenapa sih, dia itu tidak mau mendengarkan apa yang aku perintahkan. Kenapa juga harus menyusul aku ke sini. Pasti ini ulah tetanggaku si Yuni yang memberitahu bahwa kami berada di kampung bibi.“Iya, sudah dari setengah jam yang lalu. Ibu juga sejak tadi bangunin kamu, tapi kamu enggak bangun-bangun. Sepertinya kamu sangat lelah. Ayo, tunaikan salat lalu temui ibu mertuamu. Beliau sedang makan sepertinya sangat kelaparan makannya banyak,” jawab ibu terkekeh.Dengan gontai aku terpaksa menuruti perintah ibu. Segera kuambil wudu lalu kutunaikan salat asar, meski hatiku bimbang, tapi aku berusaha untu
“Ibu ini ngomong apa ‘sih enggak jelas banget! Jangan menindasku atau Ibu akan menyesal! Kalau uangku terpakai untuk biaya kedua orang tuaku memangnya kenapa? ‘Kan aku yang nyari. Aku yang jadi TKI, aku yang nabung. Aku yang punya segalanya. ‘Kok Ibu yang protes. Perlu Ibu tahu ya, aku sama sekali tidak mau mengeluarkan uangku sepeser pun sebagai jaminan Mas Eko ke luar dari penjara. Tidak akan Bu! Kalau Ibu mau ngeluarin Mas Eko dari penjara ya, keluarin saja pakai uang Ibu sendiri. Ibu ‘kan masih punya tanah. Masih punya rumah di kampung. Tinggal Ibu jual saja ‘tuh sisanya buat ibu beli rumah kecil di pinggiran kota untuk tempat tinggal Ibu di hari tua. Lagi pula ya, Bu, aku tidak malu kok, kalau Mas Eko itu dipenjara karena ini murni kesalahan dia. Aku yakin keluarga besarku pun akan mendukung tindakanku dan asal Ibu tahu ya, kalau Ibu berani mengancam dan mengatakan orang tuaku yang tidak-tidak maka jangan salahkan aku kalau sampai aku bertindak lebih kejam dari ini. Ibu sudah tu
POV Lisa. ***“Ibu, aku ada di mana? Di mana Via da Bapak?” tanyaku pada ibu yang sedang mengaji di sampingkuAku pindai ruangan ini dan sekarang aku paham aku ada di mana seingatku memang aku pingsan rupanya aku dirawat di sini.“Alhamdulillah ... Nak, kamu sudah sadar. Bapak ada di luar. Via juga ada di luar sama Mbok. Alhamdulillah sadar, Ibu senang sekali. Kamu pingsan terlalu lama Lisa, sampai membuat Ibu khawatir. Jangan tinggalkan Ibu, ya, Nak, kita hadapi ini sama-sama kalau kamu sakit begini Ibu juga ikut sakit. Kalau kamu lemah, Ibu lemah tidak bisa berbuat apa-apa, tapi kalau kamu kuat menghadapi, Ibu akan jauh lebih kuat lagi. Lisa, maafkan Ibu. Sungguh maafkan Ibu selama ini tidak jadi orang tua yang perhatian padamu sampai-sampai masalah seperti ini harus kamu telan sendiri. Ayo, Sayang, bangkit anak Ibu yang cantik anak ibu yang kuat. Tetaplah bersama Ibu, tetaplah menjadi kebanggaan Ibu yang tidak pernah takut apa pun di luar sana. Ibu akan selalu ada di sampingmu sam
POV Lisa. ***“Ibu, nggak usah kebiasaan memotong pembicaraan orang lain. Kalaupun orang tuanya teh Ocha mau mengatakan sesuatu ya, biarkan saja dulu berbicara setelah selesai berbicara baru Ibu menyangkalnya tidak begini. Namanya nggak sopan,” kataku.“Mungkin ini akan terdengar aneh, tapi kami harus mengungkapkan kebenarannya. Neng Lisa maafkan Ibu selama ini menyembunyikan padahal sebenarnya awal dari kedatangan kami ke sini ingin memberitahukan kebenaran ini pada Neng Lisa, tapi yang ada banyak sekali kendala-kendalanya dan mungkin hari ini adalah kesempatan yang Tuhan berikan kepada kami untuk mengatakan sejujurnya. Perlu Neng Lisa dan keluarga tahu bahwa Ocha benar-benar istrinya ke dua Eko. Sedangkan Rara istri ketiganya Eko jelas,” bapaknya Teh Ocha.Ibuku jangan ditanya beliau langsung ambruk jatuh ke lantai,meski tidak pingsan, tapi aku yakin hatinya hancur mendengar kejujuran ini semua.“Kenapa begini? Kenapa rumah tangga anakku jadi begini sakit sekali aku mendengarnya. A
POV Lisa. *** “Lapor sana, lapor cepetan aku tidak akan pernah takut! Asal kamu tahu saja ya, perempuan murahan, pezina macam kamu bisa dipenjara. Perselingkuhan yang kamu lakukan dengan Eko bisa kena pasal dan kamu akan membusuk di penjara bersama Eko! Paham kamu?!” teriak ibuku tepat di depan wajahnya Rara sampai dia mundur matanya dan wajahnya merah aku tahu Rara ketakutan. “Jangan sok tahu Ibu tua. Aku dan A Eko itu melakukannya atas dasar suka dan sama suka, jadi tidak ada yang bisa memisahkan kami dan begitu dengan kamu tidak akan pernah bisa memenjarakan kami,” jawab Rara. “Dasar perempuan bodoh! Selain bodoh kamu juga norak. Perselingkuhan zaman sekarang bisa dipenjarakan. Oh, ya, aku baru tahu kalau ternyata seleranya Eko rendahan begini. Lihat besan selingkuhannya Eko bahkan tidak lebih baik daripada Lisa. Udik sudah seperti jemuran jalan nggak jelas begitu. Pokoknya aku mau Eko dan Lisa pisah,” ucap ibuku. “Terserah kamu saja Besan yang penting aku juga tetap pada pendi
POV Lisa. **** “Bahkan perempuan yang duduk di seberang Ibu yang diperkenalkan sebagai saudara itu adalah maduku,” kataku lagi. Perih sekali aku harus mengatakan jujur kepada kedua orang tuaku, tapi di sisi lain aku plong karena merasa berhasil mengeluarkan racun yang ada di dalam dadaku. “Apa!” teriak ibuku. “Be—san ... ini masuknya gimana, ya, tolong jelaskan pada kami!” bentak bapak. “Tidak ... ini pasti Lisa dan Besan sedang ngeprank kan, bentar lagi kan Ibu mau ulang tahun jadi pasti kalian bikin surprise kan?” kata ibuku sepertinya beliau memang belum bisa menerima kenyataan ini, tapi air mata sudah membasahi pipinya. “Tenang dulu Bu, kita minta penjelasan mengenai ini dari Besan dan juga Lisa,” sahut Bapak seraya mengusap bahu ibu. “Bapak, tahu ‘kan kalau mereka biasanya memang suka bikin kejutan begini. Bikin hati orang tua cemas ujung-ujungnya nge-prank seperti yang sering kita lihat di YouTube itu loh, Pak dan ujung-ujungnya kita dapat hadiah. Iya, kan, Lisa?” kata i
POV Lisa.****“Iya, Besan memang aku yang melarang Lisa untuk memberitahukannya pada kalian karena kami pikir bisa menyelesaikannya. Kasihan kalian juga kan, kalau terbebani dengan masalah anakku. Sudah kukatakan tadi bahwa anakku di sini posisinya bersalah Aku malu jika harus memberitahukan padamu. Aku juga yang mewanti-wanti Lisa agar tidak memberitahukan bukan kami tidak menghargai Besan, tapi sebenarnya malu," jawab ibu mertua aku beliau pasang muka sesedih mungkin.Bapak menatapku meminta penjelasan. Aku mengangguk saja karena memang aku tidak perlu menjelaskan apa-apa. Biarkan saja Ibu mendramatisir apa yang terjadi itu tidak akan pernah merubah keputusanku nantinya jadi aku bebaskan saja Ibu mengarang cerita.“Tapi, ya, enggak boleh gitu juga lah besan. Kita ini kan, keluarga jadi mau sekecil apa pun permasalahan kita harus berdiskusi apalagi ini sampai di penjara loh, si Eko dan sampai dihajar bahkan kritis begitu. Kita bisa menuntut yang menghajar Eko jangan mau kita diinjak
POV Lisa. ***“Ibu sama Bapak cuma berdua aja si Via nggak nangis kan, Bu," tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku muak mendengar ucapan manis mertuaku yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.“Eggak ... tadi sih, sama Mbok lagi mainan boneka. Happy kok, Ibu sama Bapak ke sini juga nggak sendiri sama saudara besan loh, tadi ketemu di depan rumah si Lisa. karena mereka kaget Eko ada di rumah sakit ya, sudah akhirnya kami ajak ke sini," jawab ibuku. Sementara Salsa dan mertuaku terlihat kaget aku pun sebenarnya iya, tapi mencoba bersikap biasa saja. Saudara yang dimaksud orang tuaku pasti itu Teh Ocha dan kedua orang tuanya kalau begitu moment ini sungguh sangat istimewa. Aku tidak akan menyia-nyiakannya. Saatnya aku membongkar kebusukan mertua dan suamiku di depan orang tuaku.“Saudara yang mana besan? “tanya mertuaku sok tidak tahu. Padahal dari matanya jelas terbaca beliau sangat panik.“Si Ocha sama orang tuanya tapi tadi lagi izin ke toilet katanya kebelet. Oh, ya, Eko sakit apa
POV Lisa. ***Aku benar-benar tidak menduga bahwa dia otaknya konslet bahkan lebih konslet dari Teh ocha. Ya, Tuhan beginikah selera suamiku? Selera seorang berpendidikan tinggi sungguh turun derajat sekali karena sewaktu dulu kuliah Mas Eko itu termasuk lelaki yang benar-benar pemilih kualitas perempuan giliran selingkuh kok, sama remahan rengginang begini. Astagfirullah dan itu menjadi sainganku kalau diladenin mungkin sampai lebaran monyet tidak akan berhenti. Ya, lebih baik aku diam saja malas ngeladenin orang-orang yang otaknya lebih konslet daripada Teh Ocha.“Diamkan kamu nggak usah balas ucapanku. Makanya kalau mau ngomong itu ngaca dulu kamu itu siapa? Ih ... malas banget meskipun kata Eko kamu adalah wanita yang paling berjasa dalam hidupnya, tapi kalau soal yang lain contohnya soal ranjang A Eko selalu memujiku bawa aku adalah yang terbaik,” kata Rara seraya mengibaskan rambut pirangnya.Astaghfirullahaladzim aku mimpi apa ya, bisa berhadapan dengan pelakor model begini. S
POV Lisa. ***“Puas kamu, Lisa, udah buat anak Ibu begini. Pokoknya kamu harus mempertanggungjawabkan semuanya. Lihatlah sekarang Eko kritis. Ibu benar-benar kecewa sama kamu," ucap mertuaku begitu melihat kedatanganku. Untung saja Via tidak aku ajak karena situasi di sini sangat tidak kondusif. Mertuaku bahkan berusaha menyerangku.“Puas banget tuh, aku kira datang ke sini Mas Eko tinggal nama ternyata masih ada orangnya, ya, meskipun dalam keadaan kritis," jawabku pasti mereka semua tidak akan pernah menyangka bahwa aku akan menjawab seperti itu bahkan orang-orang sampai melongo.“Apa kamu bilang, dasar ya, kamu itu istri nggak tahu diri suami sekarat malah Alhamdulillah, benar-benar ya kamu kurang seons otaknya pantas aja dia pergi ninggalin kamu lihatlah, Bu, menantu yang Ibu bangga-banggakan ternyata begitu kan? Licik dan jahat. Bahkan dia mendoakan suaminya meninggal," sahut Rara. Aku hanya tertawa saja mendengarkan ocehannya. Terserah mau ngomong apa aku tak peduli.“Teteh kay
POV Lisa. *** “Ya, mau bagaimana lagi Ibu juga khawatir, tapi kalau kita pergi malam ini lebih mengkhawatirkan keselamatan kita. Duh, tiba-tiba kepala Inu jadi pusing begini memikirkan sesuatu yang terjadi semuanya secara tiba-tiba,” keluh mertuaku. “Ayo, Mbok kita pergi dari sini aku nggak mau lagi mendengarkan perdebatan mereka!" ajakku pada Mbok, lalu kumatikan lampu agar mereka benar-benar pulang. “Tuh, kan, lampunya mati lagi, Bu. Sudahlah Ayo, kita pulang!" teriak Salsa. Sampai kamar aku menimbang-nimbang apa yang harus aku lakukan. Sejujurnya aku sedikit khawatir pada Mas Eko. Pasti sakit maag-nya kambuh lagi sampai dia dibawa ke rumah sakit begitu. Mas Eko itu orangnya milih-milih soal makanan sedangkan di penjara pasti makan seadanya dan Mas Eko nggak mau makan itu sebabnya dia sakit. “Apakah besok Ibu akan jenguk pak Eko?" tanya Mbok Wati. Aku menggeleng saja belum tahu apa yang akan aku lakukan besok. “Mbok, jadi curiga jangan-jangan Bapak dipenjara digebukin sama na