Happy reading
***
Matahari mulai terik saat Daffin memasuki kondominium. Sehari setelah kejadian Aluna memakinya di ruangan Raynold. Bukan maksud Daffin sengaja tidak mau pulang, tapi karena memang ada tuntutan pekerjaan mendadak yang harus dia kerjakan. Tiba-tiba saja presiden Australia datang untuk menyelesaikan masalah kerja sama dengan Canada, membuat Daffin membatalkan keinginan untuk pulang.
“Bagaimana keadaan rumah?” tanya Daffin pada Jack yang terus mengikuti langkahnya.
“Semuanya baik-baik saja mister, kecuali,” ucapan Jack terhenti, takut untuk melanjutkan.
“Aluna di kamar seharian?”
Tanpa Jack beri tahu Daffin sudah paham maksudnya, apalagi kalau bukan masalah tentang Aluna. Pelan-pelan Daffin mulai memahami sedikit tentang Aluna dan beberapa sikap istrinya itu.
“Iya mister, nona Aluna juga tidak mau keluar makan, terus-terusan mengurung diri,” jelas Jack memberikan informasi.
Happy reading***Sedari tadi Aluna tidak pernah menamppakkan wajah ramahnya, selalu tertekuk muram. Bahkan selama perkuliahan saja Aluna seperti enggan ikut kelas. Istri Daffin ini seolah seperti menumpang duduk selama di dalam kelas, hanya duduk dan mencoret asal bukunya tanpa berniat mendengar penjelasan dosen. Sampai sekarang, saat Aluna sudah duduk di bangku santai taman kampus dengan Salina saja Aluna masih berwajah muram.“Tahu gak sih kak,” ucap Salina mencoba membuka pembicaraan di antara mereka berdua. Ya coba bayangkan saja, sudah tiga puluh menit duduk berdua dengan cemilan ditengah-tengah, terus tidak ada yang bicara. Sedikit tidak enak bukan?“Apa?”Mendengar jawaban ketus Aluna membuat bibir Salina mencebik maju ke depan. Matanya bergerak ke sana-kemari mencari topik lain agar tidak canggung, karena Salina tahu kalau candaan yang akan dia lontarkan pasti tidak akan mempan.“Mau ikut nonton festiva
Happy reading***Mulut Daffin saja yang berkata akan bekerja dan ingin ditemani oleh Aluna. Nyatanya Daffin sedari tadi sama sekali tidak menyentuh pekerjaannya, sibuk menatap Aluna yang diam menonton ponsel di sofa. Banyak hal yang nerputar dalam otak Daffin, dan Aluna selalu menjadi obyek utama.“Kamu mau sampai kapan bermain ponsel terus?” Tidak tahan didiami terus-terusan membuat Daffin membuka suara.“Sampai kamu selesai bekerja,” sahut Aluna.Decakan keluar dari bibir Daffin melihat sikap acuh Aluna. Oke, Daffin akui dia tidak suka diperlakukan seperti sekarang oleh istrinya. Daffin lebih suka Aluna yang suka mengganggu dirinya, itu lebih baik dari pada diam dan seolah kehadirannya tidak ditanggapi.“Tadi aku minta ditemani bekerja Aluna.”Entah sejak kapan, tapi kita harus sadar perlahan Daffin mulai suka dengan kehadiran Aluna. Ya tidak tahu itu termasuk dalam kategori bagus atau tidak, yan
Happy reading *** Posisi Aluna yang lelap dengan balutan kemeja putih tanpa dalaman menjadi pemandangan Daffin di penutup hari. Rona wajah Aluna yang terkena pantulan sinar senja dari kaca ruang kantornya semakin mempercantik maha karya Tuhan yang tengah Daffin tatap. Tangan nakal Daffin tidak henti-hentinya mengelus pipi berisi milik istrinya, bahkan sesekali mencubit kecil. “Enggh,” erangan keluar dari bibir Aluna saat tidurnya benar-benar merasa diganggu. “Hai,” sapa Daffin saat kedua kelopak mata Aluna terangkat memperlihatkan bola mata cantik yang baru saja Daffin sadari. Oh kemana saja kamu Daffin, punya istri cantik begini kenapa baru sadar. “Sudah puas tidurnya?” “Iya,” balas Aluna dengan suara serak khas bangun tidur. “Kalau begitu ayo bangun, kita pergi dinner,” ajak Daffin. “Berdua?” “Iya berdua, aku dan kamu.” Blush. Rona bokong babi langsung muncul dikedua pipi Aluna, bangun-bangun l
Happy reading***Pagi-pagi buta Aluna sudah membuat kegaduhan, wanita itu dengan hati riang memiliki niat ingin menjadi istri berbakti pada suami. Ya katakana saja Aluna ingin menjadi istri sebenarnya, melayani suami saat di rumah.“Kok bedasih sama yang di internet?”Kening Aluna mengerut, sedikit aneh melihat pancake buatannya rada-rada coklat sementara yang di layar ponsel terlihar begitu cantik. Bukan coklat sih, lebih tepatnya…“Gosong.” Jack yang sedari tadi dijadikan asisten oleh Aluna berkomentar melihat hasil buatan mereka.“Ih shut! Bisa diam gak, ini tuh bukan gosong,” balas Aluna sewot.“Hanya sedikit gelap,” lanjutnya dengan nada bercicit kecil.Menggaruk bagian belakang kepala yang tidak gatal, Aluna sedikit tidak nyaman melihat pancake hasil buatannya. Espektasinya mengatakan akan enak, tapi setelah jadi dilihat saja mungkin tidak minat.“Sempat
Happy reading***“Huh… huh… huh…”Sudah limat menit mobil Daffin terparkir di area parkiran rumah sakit, tapi dari keduanya belum ada yang turun. Aluna sibuk menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlana.“Yakin kamu siap beriobat sekarang?” Daffin sedikit merasa kasihan pada Aluna, istrinya itu sedari tadi berusaha menenangkan diri tapi semakin menjadi keringat di pelipisnya.“Kalau belum siap kita pulang saja, berobatnya bisa lain kali saat kamu sudah siap.” Tidak mau terlalu memaksa, Daffin akan menerima kapan pun Aluna ingin mulai mengobati traumanya.“Aku udah siap kok, tapi sedikit grogi aja,” jawab Aluna, memberi anggukan kepala kalau dia sudah siap.“Huh…” Sekali lagi Aluna mengembuskan napas pelan, mengelus dada untuk mencoba sedikit tenang.“Yuk, aku siap.”Tap.Daffin mengambil tan
Happy reading***“Jadi kita mulai dari mana?” Raynold memulai pembicaraan pertama mereka. Duduk di depannya pasangan suami istri yang sudah pasti kalian tahu siapa.“Seharusnya aku yang bertanya, kamu akan mulai melakukan pengobatan dari mana?” balik Daffin bertanya.Kepala Aluna mengangguk membenarkan apa yang Daffin ucapkan, kan disini mereka yang pasien kenapa juga mereka yang ditanya. Cukup aneh sih sebenarnya teman Daffin ini.“Ya siapa tahu kalian sudah mengerti tahap-tahap konseling dengan psikolog.” Raynold mengangkat bahu santai.“Aku serahkan semuanya padamu,” balas Daffin memberi anggukan jika dia sudah menyetujui semua proses pengobatan pada istrinya.“Kamu?” Raynold menatap Aluna yang sedari tadi diam.“Saya?” Tunjuk Aluna pada dirinya sendiri dan langsung diangguki oleh Raynold.“Kalau bukan kamu memang siapa lagi pasien yang mau
Happy reading***“Sebelum aku masuk ke dalam nama-nama ini,” jeda Raynold pada kalimatnya, menatap bergiliran Aluna dan Daffin.“Tentu kamu sudah tahu bukan apa yang kamu alami Aluna?” tanya Raynold langsung to the point.“Bipolar,” jawab Aluna mencicit. Dia tahu penyakitnya apa, dia pernah melakukan pengobatan sebelumnya dan itu gagal.“Aku sudah melakukan pengobatan sebelumnya, tapi gagal dan kamu pasti sudah tahu dari biodata itu,” lanjut Aluna. Dia tidak perlu melakukan story telling tentang penyakitnya bukan, toh juga Raynold sudah mencari tahu lebih dulu bahkan mendapatkan informasi sangat jelas tentang penyakitnya.“So, aku tidak perlu melakukan psycoeducation bukan? Karena kamu pasti sudah mendapatkan pada psikolog sebelumnya.” Raynold sedikit merasa santai karena Aluna juga yang bisa bersahabat dari awal datang.“Iya,” jawab Aluna singkat. Dia sudah paha
Happy reading***“Siklotimia?”Tatapan Raynold tertuju pada Daffin karena pertanyaan pria itu. Suami Alun aitu tiba-tiba saja terfokus pada satu kata yang membuat dia sedikit merasa tidak suka.“Kenapa?” tanya Aluna, meraih tangan Daffin untuk digenggam.“Jelaskan aku apa itu siklotimia,” pinta Daffin pada Raynold.“Harus langsung kesana? Tidak mau aku jelaskan fase awal dari bipolar dulu?” Raynold malah balik bertanya. Ya dia tidak keberatan sih mau diminta untuk menjelaskan bagian yang mana, tapi takutnya Daffin akan susah mengerti jika dia menjelaskan secara acak.“Iya,” balas Daffin yakin.Raynold mengangguk, dia sejenak menatap Aluna lebih dulu. Bukan apa-apa, disini Aluna yang menjadi pasiennya sementara Daffin hanya berperan sebagai wali selama pengobatan berlangsung. Jadi ya Raynold harus lebih dulu bertanya pada paseinnya.“Silahkan.” Aluna
Happy reading***“Saya berterima kasih kepada seluruh tamu undangan, para investor yang telah menyempatkan diri hadir pada acara 12 tahun Royal Group.” Daffin berdiri di atas podium dalam acara ulang tahun perusahaan yang dirinya dan sang Papa rintis.Selesai dengan masa jabatan sebagai duta besar, Daffin benar-benar terjun dalam dunia bisnis dan mengambil alih perusahaan atas permintaan sang Papa. Ada begitu banyak kemajuan yang terjadi selama Daffin menjabat sebagai CEO Royal Group. Satu-persatu investor mulai mendekat dan mengajak kerja sama yang membuat Royal Group melebarkan sayap kesegala bidang. Malam ini sebagai pembuktian, Daffin yang berdiri dengan Aluna dan kedua buah hatinya dihadapan begitu banyak tamu undangan memaparkan keuntungan Royal Group selama satu tahun terakhir.“Tidak etis rasanya jika saya tidak membiarkan dewan direksi sekaligus pemegang saham terbesar di Royal Group hanya diam tanpa memberikan sambutan,” ucap Daffin, menoleh menatap Aluna yang masih terseny
Happy reading***“Sayang!”Daffin melambaikan tangan saat dirinya melihat Aluna celingak-celinguk menatap seisi ballroom. Jelas teriakan Daffin yang cukup menggelegar itu membuat banyak pasang mata menatap ke arah Aluna dan Alisia yang tengah berjalan menghampiri suami masing-masing.“Halo anak Papa.” Adnan langsung membawa Haresh ke dalam gendongannya.“Ini acara apa sebenarnya?” tanya Alisia yang masih belum tahu dirinya tengah menghadiri acara apa. “Teman kamu yang mana yang mengundang? Aku kenal mereka? Atau mereka kenal aku tidak?” cecar Alisia membuat suaminya terkekeh.“Bukan acara teman aku,” jawab Adnan, melirik Daffin yang tengah merapikan rambut Aluna. “Tapi acara kita,” lanjutnya.“Ha?” Aluna menatap kakaknya. “Kita?” Jujur Aluna semakin tidak mengerti dengan maksud acara kita.Baru saja Aluna ingin membuka mulut ada sep
Happy reading***Aluna sudah kelimpungan mengurus Ara dan Haresh, belum lagi Aziel yang sedari tadi terus merengek. Pagi-pagi kepalanya sudah dibuat pecah, mana Ara susah sekali diatur sejak Haresh datang. Kedua bocah itu hobi sekali berlari-lari membuat Aluna kewalahan untuk memasangkan pakaian.“Sini biar Aziel sama kakak.” Alisia muncul dengan gaun biru dongker miliknya.Mengembuskan napas lega, Aluna menganggukkan kepala lantas berjalan keluar kamar mencari Ara yang belum dikuncir rambutnya. Pagi ini mereka membagi tugas, tapi karena Gail tiba-tiba demam membuat Alisia haru benar-benar mengurus anaknya, jadilah Haresh Aluna yang mengurus.Aluna ingin menyumpah rasanya, tadi Daffin dan Adnan meminta mereka semua berdandan dengan rapi dan akan dijemput pukul sepuluh yang artinya tiga puluh menit lagi. Tidak ada penjelasan Daffin dan Adnan pergi begitu saja, menyerahkan tugas mengurus dan menyiapkan anak-anak pada istri masing-masing.
Happy reading***Daffin menahan tawanya saat menatap Aziel berjalan dengan sempoyongan. Bayi yang baru saja menginjak umur dua tahun itu tengah berjalan menghampiri Aluna yang tengah menguncir rambut Ara. Tersenyum lucu menatap putranya yang berjalan tertatih dengan menjaga keseimbangan tubuh. Jujur saja melihat Aziel yang pantatnya masih dilapisi popok dengan langkah sempoyongan membuat perut Daffin tergelitik.“Buahahahahaha…”Tawa Daffin tidak bisa ditahan lagi saat Aziel jatuh terduduk kala kakinya gagal menjaga keseimbangan tubuh. Anak laki-laki itu yang tahu tengah ditertawai langsung menangis kencang.“Hahaha…” bukannya berhenti tertawa Daffin malah menjadi-jadi, terpingkal-pingkal dengan melihat wajah memerah Aziel dengan air mata membanjiri wajah.“Daffin!” Aluna menatap tajam suaminya.“Haha… iya-iya.” Daffin mengangkat tangan, lekas bangun dari duduknya m
Happy reading***Semuanya mengerubungi si tampan yang berada pada ranjang khusus bayi. Anak laki-laki Daffin dan Aluna telah lahir dengan berat normal dan kondisi sehat. Alisia bahkan menangis saat dirinya yang diizinkan menggendong bayi Aluna pertama kali karena Daffin masih dalam kondisi bergetar setelah menemani Aluna melahirkan.“Lihat sayang, adiknya tampan sekali,” tunjuk Lisa yang tengah menggendong Ara. “Mirip banget sama Papa,” lanjutnya dengan senyum mengembang. Kepala Lisa mendunga menatap ke arah Aluna yang tengah istirahat karena tenaganya habis terkuras. Senyum bangga Lisa berikan pada Aluna walau kakaknya itu tidak melihat, Lisa bahagia kakaknya telah melewati rasa sakit saat melahirkan.“Mirip Ara ya adik kecilnya,” girang Ara melihat adiknya yang masih memejamkan mata.“Ih mirip tante tahu, tidak ada tuh mirip Ara sama sekali.” Salina menggelengkan kepala, waktunya menggoda Ara akhir
Happy reading***Alisia menggandeng Haresh dengan langkah terburu-buru melewati lorong rumah sakit, dibelakangnya ada Adnan dengan wajah panik. Suami Alisia itu sibuk menghubungi nomor telpon Daffin sejak sampai di rumah sakit. Sialnya, Daffin justru tidak mengangkat satu pun panggilan darinya.“Anak ini kemana sebenarnya,” gerutu Adnan, sudah ada puluhan panggilan hanya untuk Daffin saja tapi tak satu pun diangkat.“Gimana? Daffin ada angkat telpon?” tanya Alisia saat mereka sudah berada di depan salah satu ruangan VVIP rumah sakit.Adnan menggelengkan kepala. “Buru-buru diangkat, operator yang jawab terus,” ujarnya dengan napas berembus kasar. “Kita masuk saja dulu,” pinta Adnan. Menarik gagang pintu dan mendorong pelan.Pertama kali yang terlihat adalah Aluna yang meringis di atas ranjang rumah sakit, disamping Aluna ada kedua orang tua Daffin yang sudah terbang dari Australia ke Canada sej
Happy reading***Daffin dan Adnan berjalan masuk ke dalam kediaman baru milik Daffin dan Aluna. Semenjak masa jabatan Daffin sebagai duta besar berakhir, dia beserta semua keluarganya pindah dari kondominium, membeli rumah yang jaraknya cukup jauh dari rumah awal mereka. Walau tidak sebesar kondominium tapi rumah yang dibeli Daffin bisa dibilang cukup besar karena memiliki fasilitas yang lengkap. Rumah yang Daffin dan keluarganya tinggali sekarang adalah hasil dari bantuan dari Adnan yang mencarikan mereka rumah.“Aku suka rumah ini,” ujar Adnan saat melihat kolam renang yang mereka lewati untuk sampai ke ruang keluarga. “Untung saja kemarin kamu mau membeli rumah ini, jika tidak aku yang ambil,” canda Adnan yang dibalas kekehan oleh Daffin.“Terima kasih yang ke seratus kali,” ucap Daffin mengingat dia dan Aluna berterima kasih berkali-kali pada Adnan yang membantu mereka mencari rumah, dan mendapat harga diskon karen
Happy reading***Tepat seperti judul untuk bab ini, jam tujuh pagi Aluna dan Alisia tengah menikmati usapan lembut angin yang menerpa kulit mereka. Jalan-jalan pagi sekitaran komplek mereka memang menyenangkan, tak lupa juga dengan Haresh dan Ara yang menemani. Agenda mereka hari ini adalah piknik di taman komplek, hanya mereka berempat karena Daffin dan Adnan tengah keluar karena ada urusan bisnis.“Kandungan kamu gimana? Sehat kan?” Alisia mengusap perut Aluna yang sudah membuncit memasuki umur delapan bulan.“Sejauh ini kata dokter aku dan si kecil sehat-sehat saja,” jawab Aluna. “Semoga saja tidak ada hal buruk terjadi sampai satu bulan kedepan,” harap Aluna.Selama masa kehamilannya Aluna benar-benar menjaga dirinya dengan baik. Dia sama sekali tidak pernah mengerjakan hal berat, pekerjaan rumah pun hanya mencuci piring saja, selebihnya Aluna serahkan pada ART. Aluna terus memikirkan hal positif agar tidak
Happy reading***Tatapan tajam Alisia membuat Adnan sudah seperti buruh upah yang bekerja tiada henti, sejak pagi buta Adnan seperti setrikaan bolak balik mengangkat barang. Ingin rasanya Adnan mengeluh pada istrinya, tapi Alisia malah acuh dan lebih fokus bermain dengan Haresh. Memang nasib melawan istri, tidak ada yang akan membela apalagi kata-kata Alisia.“Ini itu buat adik kamu.” Adnan sih langsung angkat tangan.“Ini mau ditaruh di mana sayang?” tanya Adnan saat mendorong tempat tidur bayi yang memiliki roda.Alisia menatap seluruh isi kamar yang kata Daffin menjadi kamar sementara anak Daffin dan Aluna. “Di mana ya?” bingung Alisia saat tidak menemukan space yang tepat.Adnan mengembuskan napas, setidaknya dia bisa istirahat sebentar selama istrinya berpikir. “Kamu sih, banyak banget belinya,” ucap Adnan. No! Dia tidak mengeluh karena pengeluaran sang istri yang diluar nalar demi membel