Happy reading
***
“Gimana pekerjaan kamu?” Adnan memulai pembicaraan pertama setelah mereka selesai memesan menu makan siang.
“Lancar, hanya beberapa kendala terkait masalah ekspor dan impor,” sahut Daffin.
“Kalau bingung tentang masalah itu, bisa bertanya pada Aluna.”
Adnan menatap adiknya yang sibuk bermain game masak-masakan dengan sang istri. Menggelengkan kepala tidak percaya, dua wanita itu masih saja memainkan game anak kecil padahal posisinya sudah menjadi istri.
“Aluna?” Daffin menatap bingung Adnan, kenapa kakak iparnya itu meminta dia untuk bertanya pada Aluna. Ya Daffin tahu kalau istrinya itu tamatan dari fakultas bisnis, tapi ada rasa tidak yakin saja.
“Istri kamu itu dulu sempat bekerja di kantor kementrian Luxembourg, menjadi asisten Menteri perekonomian dan perdagangan.”
“Iyakan Aluna?” tanya Adnan melanjutkan ucapannya.
“Iya,
Happy reading***Tidak ada lagi pekerjaan yang harus Daffin kerjakan, memutuskan untuk pulang setelah makan siang bersama, tentu dengan istrinya Aluna. Duduk berdua di dalam mobil dalam suasana hening. Sudah biasa, Daffin fokus pada jalanan sementara Aluna menyibukkan diri dengan ponselnya.“Kamu tahu dari mana kalau itu wanita selingkuhannya?”Seperti biasa, jelas Aluna akan memulai pembicaraan lebih dulu. Tidak betah untuk diam dalam waktu lama.“Hanya tahu saja,” balas Daffin mengangkat bahu.Aluna hanya ber-oh ria tanpa suara, ya dia tidak mau mengulik lebih lanjut. Bukan urusan Aluna juga kalau perdana Menteri Canada mau memiliki simpanan, toh juga tidak ada untungnya di Aluna.“Berarti semua yang berkecimpung di dunia politik banyak melakukan hal curang seperti yang dikatakan kak Alisia?”“Tidak semuanya orang harus dipukul rata memiliki sikap yang sama.” Daffin jelas tidak
Happy reading *** Tidak ada pembicaraan setelah permintaan Daffin atas diri Aluna semalam. Semuanya menjadi hening, tanpa ada ucapan selamat malam. Tidur saling memunggungi dengan Aluna yang memulai. “Kamu ada kuliah pagi ini?” Itu adalah kalimat pertama dari Daffin setelah saling mendiami semalam. “I’m free,” santai jawaban Aluna, tapi tidak ada tatapan pada lawan bicaranya. “Bisa temani aku hari ini?” tanya Daffin sedikit canggung. Bagaimana tidak canggung, mereka baru saja menyelesaikan sarapan pagi dengan kondisi sangat hening. Seandainya Daffin tidak memulai pembicaraan mereka, sudah pasti sampai nanti malam akan tetap saling mendiami. “Kemana?” “Menemui seseorang.” “Hah.” Mengembuskan napas berat, Aluna menundukkan kepala. Jujur dia sama sekali tidak bernafsu memakan sarapannya, sedari tadi hanya mengaduk-aduk tidak jelas. Satu suap pun belum Aluna makan. “Boleh aku bertanya beberapa hal?”
Happy reading***“Kenapa rumah sakit?”Pertanyaan pertama yang langsung keluar dari mulut Aluna setelah mobil yang dikendarai Daffin berhenti tepat di parkiran rumah sakit. Menatap heran suaminya yang ditanya malah diam saja, justru dengan santainya keluar dari mobil.“Daffin aku bertanya.” Aluna tentu menyusul langkah Daffin, berjalan di pelataran rumah sakit dengan kepala masih bertanya.“Kamu sakit?” lagi Aluna bertanya, bahkan sekarang dia memperhatikan wajah Daffin dengan lekat. Melihat apakah suaminya pucat atau lemas.“Tidak, aku sehat,” jawab Daffin santai. Menatap semua penjuru ruangan setelah kakinya menginjak lobi rumah sakit.“Ya terus buat apa kita ke sini? Kalau kamu gak sakit?”“Aku butuh jawaban.” Daffin masih sibuk menatap denah ruangan yang ternyata tujuannya ada di lantai dua.“Ayo.”Tap.Daffin menarik p
Happy reading***Sangat terlihat jelas bukan jika Aluna berbohong, tadi saja berkata tidak nyaman. Saat ditanya Daffin bibirnya malah berkata dia nyaman. Jelas bukan, jika ada yang tidak beres dalam diri Aluna.“Aku sudah terlanjur berjanji untuk bertemu dengan Raynol, jadi sebentar saja ya?” meminta dengan lembut, Daffin tidak mau sikap istrinya sampai membuat Raynold tersinggung. Memegang tangan Aluna dengan elusan penuh perasaan, Daffin menatap mata bening istrinya dalam.“Ya?” bertanya sekali lagi, Daffin tidak mau melepas tatap dari istrinya.“Terserah kamu.”Melepas tangan suaminya, Aluna memilih duduk dengan tubuh lurus menghadap ke depan. Kedua tangan dia lipat di depan dada, bodo amat jika sikapnya dianggap tidak sopan. Aluna tidak suka, dan dia paling benci dipaksa, tapi apa boleh buat Daffin yang meminta, jadi mau tidak mau Aluna turuti.“Maafkan sikapnya,” ucap Daffin menata
Happy reading***Bag.Bug.Dua kali pintu kamar dibanting dengan keras menimbulkan debuman. Pelaku yang tanpa bersalah tidak peduli mau pintu kamarnya rusak atau penghuni rumah akan merasa terganggu, lebih memilih langsung berbaring di atas ranjang.“AAAKHHH!”Aluna berteriak kencang, melampiaskan semua rasa dalam dirinya, marah, kesal, benci bercampur jadi satu. Dia tidak peduli jika semua pelayan Daffin akan terganggu dengan teriakannya.“Brengsek!” kedua kalinya Aluna memaki.“Dari mana dia tahu?”Tatapan Aluna menajam, menoleh menatap amplop coklat yang masih setia di tangannya. Tidak ada tatapan ramah yang Aluna berikan saat melihat amplop berisi biodatanya.“Sial! Kenapa semua masa lalu sialan itu harus ikut terungkap juga?”Tap.Merubah posisinya yang tadi telentang menjadi duduk bersila. Tidak perlu Aluna membacar semua lembaran itu, hany
Happy reading***Matahari mulai terik saat Daffin memasuki kondominium. Sehari setelah kejadian Aluna memakinya di ruangan Raynold. Bukan maksud Daffin sengaja tidak mau pulang, tapi karena memang ada tuntutan pekerjaan mendadak yang harus dia kerjakan. Tiba-tiba saja presiden Australia datang untuk menyelesaikan masalah kerja sama dengan Canada, membuat Daffin membatalkan keinginan untuk pulang.“Bagaimana keadaan rumah?” tanya Daffin pada Jack yang terus mengikuti langkahnya.“Semuanya baik-baik saja mister, kecuali,” ucapan Jack terhenti, takut untuk melanjutkan.“Aluna di kamar seharian?”Tanpa Jack beri tahu Daffin sudah paham maksudnya, apalagi kalau bukan masalah tentang Aluna. Pelan-pelan Daffin mulai memahami sedikit tentang Aluna dan beberapa sikap istrinya itu.“Iya mister, nona Aluna juga tidak mau keluar makan, terus-terusan mengurung diri,” jelas Jack memberikan informasi.
Happy reading***Sedari tadi Aluna tidak pernah menamppakkan wajah ramahnya, selalu tertekuk muram. Bahkan selama perkuliahan saja Aluna seperti enggan ikut kelas. Istri Daffin ini seolah seperti menumpang duduk selama di dalam kelas, hanya duduk dan mencoret asal bukunya tanpa berniat mendengar penjelasan dosen. Sampai sekarang, saat Aluna sudah duduk di bangku santai taman kampus dengan Salina saja Aluna masih berwajah muram.“Tahu gak sih kak,” ucap Salina mencoba membuka pembicaraan di antara mereka berdua. Ya coba bayangkan saja, sudah tiga puluh menit duduk berdua dengan cemilan ditengah-tengah, terus tidak ada yang bicara. Sedikit tidak enak bukan?“Apa?”Mendengar jawaban ketus Aluna membuat bibir Salina mencebik maju ke depan. Matanya bergerak ke sana-kemari mencari topik lain agar tidak canggung, karena Salina tahu kalau candaan yang akan dia lontarkan pasti tidak akan mempan.“Mau ikut nonton festiva
Happy reading***Mulut Daffin saja yang berkata akan bekerja dan ingin ditemani oleh Aluna. Nyatanya Daffin sedari tadi sama sekali tidak menyentuh pekerjaannya, sibuk menatap Aluna yang diam menonton ponsel di sofa. Banyak hal yang nerputar dalam otak Daffin, dan Aluna selalu menjadi obyek utama.“Kamu mau sampai kapan bermain ponsel terus?” Tidak tahan didiami terus-terusan membuat Daffin membuka suara.“Sampai kamu selesai bekerja,” sahut Aluna.Decakan keluar dari bibir Daffin melihat sikap acuh Aluna. Oke, Daffin akui dia tidak suka diperlakukan seperti sekarang oleh istrinya. Daffin lebih suka Aluna yang suka mengganggu dirinya, itu lebih baik dari pada diam dan seolah kehadirannya tidak ditanggapi.“Tadi aku minta ditemani bekerja Aluna.”Entah sejak kapan, tapi kita harus sadar perlahan Daffin mulai suka dengan kehadiran Aluna. Ya tidak tahu itu termasuk dalam kategori bagus atau tidak, yan
Happy reading***“Saya berterima kasih kepada seluruh tamu undangan, para investor yang telah menyempatkan diri hadir pada acara 12 tahun Royal Group.” Daffin berdiri di atas podium dalam acara ulang tahun perusahaan yang dirinya dan sang Papa rintis.Selesai dengan masa jabatan sebagai duta besar, Daffin benar-benar terjun dalam dunia bisnis dan mengambil alih perusahaan atas permintaan sang Papa. Ada begitu banyak kemajuan yang terjadi selama Daffin menjabat sebagai CEO Royal Group. Satu-persatu investor mulai mendekat dan mengajak kerja sama yang membuat Royal Group melebarkan sayap kesegala bidang. Malam ini sebagai pembuktian, Daffin yang berdiri dengan Aluna dan kedua buah hatinya dihadapan begitu banyak tamu undangan memaparkan keuntungan Royal Group selama satu tahun terakhir.“Tidak etis rasanya jika saya tidak membiarkan dewan direksi sekaligus pemegang saham terbesar di Royal Group hanya diam tanpa memberikan sambutan,” ucap Daffin, menoleh menatap Aluna yang masih terseny
Happy reading***“Sayang!”Daffin melambaikan tangan saat dirinya melihat Aluna celingak-celinguk menatap seisi ballroom. Jelas teriakan Daffin yang cukup menggelegar itu membuat banyak pasang mata menatap ke arah Aluna dan Alisia yang tengah berjalan menghampiri suami masing-masing.“Halo anak Papa.” Adnan langsung membawa Haresh ke dalam gendongannya.“Ini acara apa sebenarnya?” tanya Alisia yang masih belum tahu dirinya tengah menghadiri acara apa. “Teman kamu yang mana yang mengundang? Aku kenal mereka? Atau mereka kenal aku tidak?” cecar Alisia membuat suaminya terkekeh.“Bukan acara teman aku,” jawab Adnan, melirik Daffin yang tengah merapikan rambut Aluna. “Tapi acara kita,” lanjutnya.“Ha?” Aluna menatap kakaknya. “Kita?” Jujur Aluna semakin tidak mengerti dengan maksud acara kita.Baru saja Aluna ingin membuka mulut ada sep
Happy reading***Aluna sudah kelimpungan mengurus Ara dan Haresh, belum lagi Aziel yang sedari tadi terus merengek. Pagi-pagi kepalanya sudah dibuat pecah, mana Ara susah sekali diatur sejak Haresh datang. Kedua bocah itu hobi sekali berlari-lari membuat Aluna kewalahan untuk memasangkan pakaian.“Sini biar Aziel sama kakak.” Alisia muncul dengan gaun biru dongker miliknya.Mengembuskan napas lega, Aluna menganggukkan kepala lantas berjalan keluar kamar mencari Ara yang belum dikuncir rambutnya. Pagi ini mereka membagi tugas, tapi karena Gail tiba-tiba demam membuat Alisia haru benar-benar mengurus anaknya, jadilah Haresh Aluna yang mengurus.Aluna ingin menyumpah rasanya, tadi Daffin dan Adnan meminta mereka semua berdandan dengan rapi dan akan dijemput pukul sepuluh yang artinya tiga puluh menit lagi. Tidak ada penjelasan Daffin dan Adnan pergi begitu saja, menyerahkan tugas mengurus dan menyiapkan anak-anak pada istri masing-masing.
Happy reading***Daffin menahan tawanya saat menatap Aziel berjalan dengan sempoyongan. Bayi yang baru saja menginjak umur dua tahun itu tengah berjalan menghampiri Aluna yang tengah menguncir rambut Ara. Tersenyum lucu menatap putranya yang berjalan tertatih dengan menjaga keseimbangan tubuh. Jujur saja melihat Aziel yang pantatnya masih dilapisi popok dengan langkah sempoyongan membuat perut Daffin tergelitik.“Buahahahahaha…”Tawa Daffin tidak bisa ditahan lagi saat Aziel jatuh terduduk kala kakinya gagal menjaga keseimbangan tubuh. Anak laki-laki itu yang tahu tengah ditertawai langsung menangis kencang.“Hahaha…” bukannya berhenti tertawa Daffin malah menjadi-jadi, terpingkal-pingkal dengan melihat wajah memerah Aziel dengan air mata membanjiri wajah.“Daffin!” Aluna menatap tajam suaminya.“Haha… iya-iya.” Daffin mengangkat tangan, lekas bangun dari duduknya m
Happy reading***Semuanya mengerubungi si tampan yang berada pada ranjang khusus bayi. Anak laki-laki Daffin dan Aluna telah lahir dengan berat normal dan kondisi sehat. Alisia bahkan menangis saat dirinya yang diizinkan menggendong bayi Aluna pertama kali karena Daffin masih dalam kondisi bergetar setelah menemani Aluna melahirkan.“Lihat sayang, adiknya tampan sekali,” tunjuk Lisa yang tengah menggendong Ara. “Mirip banget sama Papa,” lanjutnya dengan senyum mengembang. Kepala Lisa mendunga menatap ke arah Aluna yang tengah istirahat karena tenaganya habis terkuras. Senyum bangga Lisa berikan pada Aluna walau kakaknya itu tidak melihat, Lisa bahagia kakaknya telah melewati rasa sakit saat melahirkan.“Mirip Ara ya adik kecilnya,” girang Ara melihat adiknya yang masih memejamkan mata.“Ih mirip tante tahu, tidak ada tuh mirip Ara sama sekali.” Salina menggelengkan kepala, waktunya menggoda Ara akhir
Happy reading***Alisia menggandeng Haresh dengan langkah terburu-buru melewati lorong rumah sakit, dibelakangnya ada Adnan dengan wajah panik. Suami Alisia itu sibuk menghubungi nomor telpon Daffin sejak sampai di rumah sakit. Sialnya, Daffin justru tidak mengangkat satu pun panggilan darinya.“Anak ini kemana sebenarnya,” gerutu Adnan, sudah ada puluhan panggilan hanya untuk Daffin saja tapi tak satu pun diangkat.“Gimana? Daffin ada angkat telpon?” tanya Alisia saat mereka sudah berada di depan salah satu ruangan VVIP rumah sakit.Adnan menggelengkan kepala. “Buru-buru diangkat, operator yang jawab terus,” ujarnya dengan napas berembus kasar. “Kita masuk saja dulu,” pinta Adnan. Menarik gagang pintu dan mendorong pelan.Pertama kali yang terlihat adalah Aluna yang meringis di atas ranjang rumah sakit, disamping Aluna ada kedua orang tua Daffin yang sudah terbang dari Australia ke Canada sej
Happy reading***Daffin dan Adnan berjalan masuk ke dalam kediaman baru milik Daffin dan Aluna. Semenjak masa jabatan Daffin sebagai duta besar berakhir, dia beserta semua keluarganya pindah dari kondominium, membeli rumah yang jaraknya cukup jauh dari rumah awal mereka. Walau tidak sebesar kondominium tapi rumah yang dibeli Daffin bisa dibilang cukup besar karena memiliki fasilitas yang lengkap. Rumah yang Daffin dan keluarganya tinggali sekarang adalah hasil dari bantuan dari Adnan yang mencarikan mereka rumah.“Aku suka rumah ini,” ujar Adnan saat melihat kolam renang yang mereka lewati untuk sampai ke ruang keluarga. “Untung saja kemarin kamu mau membeli rumah ini, jika tidak aku yang ambil,” canda Adnan yang dibalas kekehan oleh Daffin.“Terima kasih yang ke seratus kali,” ucap Daffin mengingat dia dan Aluna berterima kasih berkali-kali pada Adnan yang membantu mereka mencari rumah, dan mendapat harga diskon karen
Happy reading***Tepat seperti judul untuk bab ini, jam tujuh pagi Aluna dan Alisia tengah menikmati usapan lembut angin yang menerpa kulit mereka. Jalan-jalan pagi sekitaran komplek mereka memang menyenangkan, tak lupa juga dengan Haresh dan Ara yang menemani. Agenda mereka hari ini adalah piknik di taman komplek, hanya mereka berempat karena Daffin dan Adnan tengah keluar karena ada urusan bisnis.“Kandungan kamu gimana? Sehat kan?” Alisia mengusap perut Aluna yang sudah membuncit memasuki umur delapan bulan.“Sejauh ini kata dokter aku dan si kecil sehat-sehat saja,” jawab Aluna. “Semoga saja tidak ada hal buruk terjadi sampai satu bulan kedepan,” harap Aluna.Selama masa kehamilannya Aluna benar-benar menjaga dirinya dengan baik. Dia sama sekali tidak pernah mengerjakan hal berat, pekerjaan rumah pun hanya mencuci piring saja, selebihnya Aluna serahkan pada ART. Aluna terus memikirkan hal positif agar tidak
Happy reading***Tatapan tajam Alisia membuat Adnan sudah seperti buruh upah yang bekerja tiada henti, sejak pagi buta Adnan seperti setrikaan bolak balik mengangkat barang. Ingin rasanya Adnan mengeluh pada istrinya, tapi Alisia malah acuh dan lebih fokus bermain dengan Haresh. Memang nasib melawan istri, tidak ada yang akan membela apalagi kata-kata Alisia.“Ini itu buat adik kamu.” Adnan sih langsung angkat tangan.“Ini mau ditaruh di mana sayang?” tanya Adnan saat mendorong tempat tidur bayi yang memiliki roda.Alisia menatap seluruh isi kamar yang kata Daffin menjadi kamar sementara anak Daffin dan Aluna. “Di mana ya?” bingung Alisia saat tidak menemukan space yang tepat.Adnan mengembuskan napas, setidaknya dia bisa istirahat sebentar selama istrinya berpikir. “Kamu sih, banyak banget belinya,” ucap Adnan. No! Dia tidak mengeluh karena pengeluaran sang istri yang diluar nalar demi membel