Home / Rumah Tangga / Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas! / Bab 1. Kesibukan Sebagai Menantu

Share

Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!
Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!
Author: YOZA GUSRI

Bab 1. Kesibukan Sebagai Menantu

Author: YOZA GUSRI
last update Last Updated: 2023-07-29 13:42:09

"Elena, kamu di mana? Kenapa piring yang ada di atas meja masih kurang?" 

Baru saja duduk untuk menyendok opor ayam, suara ibu mertua kembali terdengar. Aku menarik napas. Bibir pun berkata "iya, Bu!" Aku sedikit berteriak agar Ibu Mertua dapat mendengar. 

Tanpa menunggu lama, aku langsung berdiri dan berjalan tergesa-gesa sambil mengangkat piring yang sudah tersusun rapi. Sebelum mengangkat, aku menghitung terlebih dahulu, piring ini berjumlah dua belas. Sangat berat, tetapi tidak mungkin aku mengangkat dalam jumlah yang sedikit. Ibu mertua pasti akan mengomel jika melihatku mengangkat piring hanya sedikit.

Aku pikir sudah cukup, ternyata belum. Ibu mertua kembali menyuruh untuk menambah piring yang ada di atas meja hidangan. 

"Elena, kenapa kue yang ada di kamar belum dikeluarkan? Kamu kerja jangan lelet. Tidak lama lagi keluarga besar Mas Raim datang." Kali ini Mbak Intan yang berteriak. Dia adalah kakak kesayangan Mas Daris. 

"Iya, Mbak." Aku menjawab ucapan Mbak Intan dengan suara yang tak kalah besar agar Mak Intan dapat mendengar.

Sejak kemarin aku sangat sibuk. Melakukan aktivitas tiada henti. Bahkan semalam hanya tidur dua jam karena harus menyiapkan keperluan hari ini. Tidak ada waktu untuk bersantai. Di saat semua orang sudah terlelap, aku masih sibuk dengan aktifitas masak memasak yang harus dituntaskan.

Aku membawa aneka macam kue yang sudah tersedia di piring. Kembali melangkah dengan tergesa-gesa. Tidak ingin membuat Mbak Intan berteriak lagi memanggil namaku.

"Mbak, hiasan rambut aku mana?" 

Baru saja masuk dalam rumah untuk menuju ke dapur, suara Lona terdengar. Aku berhenti tepat di depan pintu kamar Lona. Dia sedang berdiri tepat depan pintu dengan rambut yang masih terurai.

Aku mengerutkan alis. Tidak paham dengan perkataan adik Mas Daris ini. 

"Hiasan rambutku mana, Mbak? Aku cari di plastik yang Mbak kasih kemarin kok nggak ada." Lona kembali berujar.

"Memangnya kemarin kamu suruh aku beli hiasan rambut? Kemarin kamu hanya nyuruh aku beli masker dan keperluan make-up yang kurang. Kenapa tanya ke aku?" 

Dasar orang aneh. Kemarin Lona tidak menyuruhku membeli hiasan rambut. Dia pasti lupa. Aku tidak mau disalahkan karena memang aku tidak salah.

"Ya Ampun, Mbak! Kamu ya! Pasti uangnya kamu ambil!" Lona nampak murka. Dia bahkan ingin mencakar wajahku tetapi aku menahan tangannya dengan satu tanganku yang kosong.

"Ada apa ini?" Suara ibu mertua terdengar tidak jauh dari tempatku berdiri.

"Mbak Elena mencuri uangku, Bu. Kemarin aku kasih uang ke Mbak Lena untuk belikan hiasan rambut. Tetapi dia malah pura-pura tidak tahu. Uangku juga tidak dikembalikan." 

Aku langsung melangkah. Teriakan ibu mertua terdengar nyaring di telinga. Apa mereka tidak malu, suara amukannya didengar orang? Saat ini rumah sedang ramai. Mungkin urat malu mereka sudah putus. 

Aku tidak peduli dengan bahasa kasar yang keluar dari bibir Lona. Enak saja menuduhku telah mencuri. Padahal uang yang kemarin dikasih ke aku saja masih kurang. Aku bahkan membelikan keperluannya yang kurang memakai uangku sendiri. 

Aku melangkah menuju dapur. Tadi Mbak Intan kembali menyuruhku. Kalau aku terlalu lama menggubris ucapan Lona, pasti Mbak Intan akan marah karena lama menunggu.

"Kenapa sih, gerakanmu terlalu lelet? Bisa dipercepat, nggak? Mereka tidak lama lagi akan tiba. Makanan di atas meja belum beres." Mbak Intan menatapku dengan penuh emosi.

Aku tak mampu untuk banyak berkata. Masih kah pergerakanku dianggap lambat? Dari tadi aku kesana-kemari. Satu persatu orang memanggil namaku. Satu persatu menyuruh. Bahkan sejak subuh, aku belum istirahat. Sekedar meluruskan badan pun tak bisa. Kenapa aku masih disalahkan? Dasar manusia-manusia tak punya hati.

"Kenapa masih berdiri di sini? Pergi ambil opor ayam di dapur!" Suara Mbak Intan mengagetkan aku yang masih berdiri di sampingnya. 

Aku kembali melangkah. Sungguh, kaki ini sudah sangat lelah. Rasanya ingin beristirahat.

Aku mengambil opor ayam sesuai perintah Mbak Intan, lalu membawanya ke depan rumah, tempat acara akan dilaksanakan. Saat opor ayam sudah berada di atas meja, aku berdiri sejenak melihat sekeliling. Pesta pertunangan yang sangat indah. Padahal biasanya yang terjadi di kampung ini, acara pertunangan dibuat seadanya di dalam rumah tanpa dekorasi. 

Acara hari ini sangat berbeda denganku dulu. Aku maklumi, yang terjadi padaku memang berbeda. Tanpa pertunangan dan tanpa acara megah meriah diacara pernikahan. Aku menarik napas. Berusaha untuk tidak mengenang kejadian di masa itu

"Elena! Kue yang di meja masih kurang! Tambah dua piring lagi!"

Aku tersadar ketika mendengar suara ibu mertua. Mata langsung melihat ke atas meja. Lalu melangkah masuk ke dalam rumah, tanpa menggubris perkataan ibu mertua. Aku melangkah dengan tergesa ke dalam rumah karena tidak ingin dikatakan lelet lagi. 

"Mbak, kue di atas meja kurang dua piring lagi. Ibu menyuruhku untuk menambah. Ini Mbak kuenya," ujarku sambil tersenyum pada Mbak Intan yang sedang berdiri sambil merapikan meja hidangan. 

Aku menyerahkan kue yang ada di tangan untuk dirapikan ke atas meja. Mbak Intan memalingkan wajah dan langsung mengambil kue yang aku beri tanpa membalas senyum. Perlahan garis bibir kembali pada semula. Seharusnya tidak perlu tersenyum. Sejak menikah dengan Mas Daris, Mbak Intan memperlakukan aku dengan sangat tidak baik. Bahkan sekedar tersenyum pun tak sudi. Ya, sejak menikah. Aku belum pernah melihat senyum diwajahnya. Aku bersikap ramah padanya karena hari ini banyak orang. Aku juga harus menjaga nama baik Mas Daris, jangan sampai ada yang menganggapku istri jutek karena tidak tersenyum.

Rombongan keluarga Mas Raim — Calon tunangan Lona, sudah datang. Aku langsung masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Tidak mungkin menjamu keluarga calon tunangan adik iparku dengan pakaian lusuh yang menempel dibadan. Aku juga belum sempat mandi. Walau bagaimana pun, aku istri Mas Daris. Setidaknya, harus berpenampilan menarik seperti yang lain.

Setibanya di kamar, aku membuka lemari. Mencari baju yang layak untuk di pakai hari ini. Tak terelakkan, pikiranku teringat pada kejadian satu minggu yang lalu. 

"Daris, ini baju untuk kamu." Aku tersenyum ceria saat ibu mertua memberikan kantung hitam pada Mas Daris. Saat itu kami semua sedang berada di ruang keluarga. 

"Kamu tidak dapat baju, Elena. Hanya Daris dan Caca yang ibu belikan. Ternyata kain yang ibu beli tidak cukup kalau kamu juga harus dijahitkan baju," ujar ibu mertua tanpa raut bersalah.

Aku tersenyum ceria, menutupi rasa sakit. Aku sebenarnya mampu membeli, bahkan untuk baju yang lebih bagus. Hanya saja tidak mungkin aku melakukan itu. 

Related chapters

  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 2. Hari Pertunangan Lona

    "Tidak apa-apa. Aku tidak boleh sedih. Aku harus bersyukur. Meskipun ibu tidak menjahitkan baju untuk aku, setidaknya Caca dijahitkan. Caca bisa pakai baju yang sama dengan Mas Daris, Mbak Intan, ibu dan juga ayah."Saat baru saja keluar dari kamar, namaku kembali dipanggil. Aku pikir di panggil oleh Ibu mertua, ternyata Mbak Intan yang memanggil. Suara mereka memang mirip. Terkadang aku sulit membedakan jika mendengar teriakan memanggil tanpa melihat wajah. "Kamu dari mana, Lena? Di dapur ada banyak piring kotor. Kenapa belum dicuci?" ujar Mbak Intan dengan pelan sambil berdiri di depanku."Aku baru selesai mandi dan ganti baju yang tadi aku pakai Mbak. Tidak enak pada keluarga besar tunangan Lona kalau aku belum mandi dan memakai pakaian beraroma masakan." Aku berkata sambil membentuk garis senyum canggung di bibir. "Ngapain kamu mandi? Tugas kamu 'kan di dapur. Memangnya siapa yang katakan kamu akan ikut menjamu keluarga besar Mas Raim? Tugas kamu itu di dapur, Elena. Tidak perlu

    Last Updated : 2023-07-29
  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 3. Suami Pemarah

    Apa Mas Daris merasa malu dengan baju yang aku pakai? Apa karena aku juga tidak berdandan seperti yang lain? Jika keadaan memungkinkan, aku juga sebenarnya ingin pakai baju dan bermake-up seperti yang lain. Aku bisa membeli sendiri baju dan alat make up. Bila perlu aku menyewa MUA termahal di sini. Hanya saja jika melakukan itu, semua orang di Rumah ini akan tahu kalau sebenarnya aku diam-diam bekerja. Mereka mungkin akan tahu jika aku punya tabungan tanpa sepengetahuan Mas Daris. Selama ini yang mereka tahu, aku seorang istri yang hanya bisa meminta uang ke suami. Mereka juga hanya tahu kalau aku perempuan lemah yang tidak bisa melakukan apapun selain mengurus rumah."Ibu, aku lapar." Terdengar suara Caca. Tutur manja khas anak kecil. Aku tersadar dan langsung melihat jam di dinding dapur. Ya Allah, aku bahkan tidak menyadari jika Caca sudah ada di sampingku. Sejak kapan dia di sini? Apa dia melihatku yang sedang diam melamun? Semoga saja tidak. Dia anak yang cerdas, selalu saja ada

    Last Updated : 2023-07-29
  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 4. Malaikat Kecil Penguatku

    Aku menatap Caca yang terlihat lahap. Merasa beruntung memiliki anak yang sejak kecil sangat mengerti keadaan ibunya. Tidak pernah merengek meminta sesuatu saat ibunya tidak mampu memberikan.Aku masih menemani Caca yang makan dengan lahap. Nanti saja lanjut mencuci piring. Aku juga butuh mengistirahatkan kaki yang rasanya sudah sangat lelah. "Boleh tambah?" Caca berkata dengan gaya gemas dan malu-malu. Aku langsung mencium pipi anak semata wayangku, lalu berkata, "boleh, Sayang. Tunggu ya, ibu tambahkan nasinya." "Jangan lupa dengan kuahnya … Enak, Bu." Caca berkata saat aku berdiri. "Iya, Nak," ucapku lalu melangkah dengan hati yang teriris. Hanya dengan kuah opor ayam, Caca sudah makan dengan lahap. Ayam di dalam panci masih banyak. Tetapi aku tidak berani mengambilkan untuk Caca."Elena, kamu ngapain?" Aku terkejut ketika mendengar suara memanggil namaku. Tangan yang sedang mengambil kuah opor ayam di panci, terhenti. Kepala menoleh melihat lelaki yang berdiri di pintu dapur.

    Last Updated : 2023-07-29
  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 5. Gugurkan Kandungan!

    Air mata mulai tergenang di kelopak sambil menatap Mas Daris. Setiap kali merayu untuk melakukan hubungan haram, Mas Daris selalu berjanji akan menikahi ku. Kalimat manis yang keluar dari bibirnya membuat hati luluh dan melakukan segala pintanya.Kamarku menjadi saksi dosa kami. Hampir setiap kali Tante Mita dan Om Bima keluar daerah, Mas Daris ke rumah dan kami melakukannya. Ya, melakukan aktivitas terlarang. Dia memanfaatkan saat rumah sedang kosong untuk merayuku. Setiap kali selesai melayani nafsu laknat, aku selalu menyesal dan takut, hingga hidup tak pernah tenang. Takut akan hamil, takut ibu tahu kelakuanku, takut masa depan hancur, takut Tante Mita dan Om Bima tahu kelakuanku. Takut membuat orang-orang kecewa padaku. Hingga akhirnya ketakutan itu terjadi. Aku hamil saat duduk di bangku SMA, menjelang ujian kelulusan sekolah. Terlalu dini! Tetapi semua sudah terjadi."Kamu yang pertama merayuku, Mas! Hingga akhirnya aku luluh dan mau melayani kamu. Kamu juga sering memaksa aku,

    Last Updated : 2023-07-29
  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 6. Cobaan Terberat

    Saat itu aku tidak berniat lagi untuk menyuruh Mas Daris masuk ke dalam rumah. Entah apa tujuannya datang, aku sudah tidak peduli. Aku hanya memikirkan janin dalam kandungan. Takut jika dia memaksa untuk menggugurkan malaikat tak bersalah dalam rahimku. Aku sudah berbuat dosa yang fatal, tak ingin lagi menambah dosa. Tidak mau menjadi pembunuh. "Kita bicara di dalam. Tidak enak bicara di pintu seperti ini." Suara Bas milik Mas Daris seolah menghipnotis. Tanpa berkata, aku bergeser dari depan pintu, berdiri ke samping. Mas Daris seakan mengerti pergerakanku, dia pun masuk ke dalam rumah, dengan gaya lambat. Aku pun menutup pintu."Aku minta maaf sudah marah-marah ke kamu."Perkataan Mas Daris yang pelan saat itu membuatku mengerutkan alis. Apa dia sedang kerasukan jin baik? Kenapa tiba-tiba datang dan mengatakan maaf?"Aku akan bertanggung jawab. Aku tidak bisa kehilangan kamu, Elena. Aku tak ingin hubungan kita berakhir. Aku tak bisa hidup tanpa kamu." Mas Daris berkata sambil menatap

    Last Updated : 2023-07-29
  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 7. Tak Ada Tempat Untuk Pulang

    Setelah ijab kabul, aku di bawa oleh Mas Daris untuk tinggal di rumahnya. Beberapa hari tinggal di Rumah Mas Daris, aku tetap mendapatkan perlakuan buruk. Bahkan saat ada Mas Daris pun, aku tetap di hina. Mas Daris tak membantu, dia hanya diam saja dengan alasan, tak ingin membuat masalah lagi karena dia telah mempermalukan keluarganya. Apapun kalimat jahat yang keluar dari bibir orang tua dan keluarganya, Mas Daris hanya menyuruhku bersabar. Pernikahan ternyata tak seindah yang aku bayangkan. Aku pikir setelah Mas Daris bertanggung jawab, aku akan merasakan hidup yang sangat bahagia. Ternyata itulah awal dari penderitaan. Semua orang menganggap aku lah yang bersalah. Aku perempuan murahan, tidak lebih baik dari seorang pelacur."Ayah marah lagi? Apa Ayah bicara kasar lagi ke ibu, makanya sekarang ibu menangis?" Suara Caca menyadarkan lamunan dan menghentikan Isak tangis. Aku menatap, tangan kecilnya sedang menghapus air mataku. Jika bukan karenanya, mungkin aku sudah tidak kuat menj

    Last Updated : 2023-07-29
  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 8. Tamparan Di pipiku

    Bunyi ketukan pintu menyadarkan aku. Terdengar suara mas Daris dari balik pintu. Apa mungkin tadi dia belum puas untuk marah? Apa dia masih ingin melanjutkan amarahnya? Apa mungkin dia belum puas berkata kasar?Aku menghapus bening yang terus berjatuhan. Di sampingku masih ada Caca, malaikat kecil penguatku. Aku berdiri, membawa Caca untuk duduk di kasur, lalu membuka pintu. Tidak ingin membuat orang di luar kamar bertanya-tanya, jika melihat Mas Daris lama berdiri di depan pintu kamar. "Mata kamu kenapa? Menangis?" tanya Mas Daris sambil menatap lekat. Tak perlu dijawab, Mas Daris pasti sudah tahu jawabannya. Keadaanku sudah sangat acak-acakan. Rambut yang tidak rapi dan baju yang kusut. Aku berjalan ingin duduk di kasur. Tidak mau menjawab pertanyaan Mas Daris karena di sini ada Caca. Tidak ingin pula Caca melihat Mas Daris dan aku bertengkar. Caca pasti akan takut. Aku semakin terpukul jika melihat Caca menangis histeris."Kenapa kamu menangis? … Kenapa kamu terlalu cengeng, Elen

    Last Updated : 2023-07-29
  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 9. Berusaha Bahagia

    ***"Bu, kita mau kemana? Kenapa pakai baju bagus?" tanya Caca dengan lembut. Mungkin dia heran karena aku memakaikan baju yang dibeli saat lebaran. "Hari ini kita pergi jalan-jalan, sayang." Aku memakaikan baju di badan Caca dengan terburu. Kami harus keluar dari sekarang. Saat ini di Rumah hanya ada aku dan Caca. Semua orang sedang berada di pasar dan akan pulang ke Rumah di malam hari. Kebetulan ini hari minggu. Biasanya jika hari Minggu, pasar akan tetap ramai hingga malam. Jika ada yang melihatku keluar rumah dengan berpakaian rapi, pasti akan ada banyak lontaran pertanyaan."Kalau ada yang tanya kita ke mana, katakan saja kalau kita mau ke Rumah Nenek." Setelah Caca sudah rapi, aku pun mengganti baju. Memakai celana hitam dan baju marun. Rambut di ikat, tak lupa masker yang menutupi wajah. Aku melihat pantulan diri depan cermin. Benar kata Mas Daris, aku kini sangat gemuk. Sudah lama tidak menimbang badan. Tak tahu berapa kenaikan berat badanku saat ini. Setelah melahirkan

    Last Updated : 2023-09-01

Latest chapter

  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 34. Memilih Hidup Tanpa Pasangan

    Terlalu banyak hal yang membuatku kaget. Bagaimana tidak, aku mendapat informasi dari ibu jika Mas Daris masuk penjara karena telah menjadi pelaku pembunuhan. Seperti mimpi, aku sungguh sulit untuk percaya. Yang lebih mengagetkan, kata ibu, perempuan yang dibunuh adalah perempuan yang telah Mas Daris hamili. Apa selama hidup denganku Mas Daris selingkuh? Atau dia menjalin hubungan dengan perempuan itu setelah aku pergi dari rumah. Tetapi bisakah aku membenarkan jika Mas Daris selingkuh. Tiga tahun setelah pernikahan kami, Mas Daris sudah sangat jarang meminta melakukan aktivitas ranjang layaknya pasangan suami istri. Bisa saja dia melakukan bersama selingkuhannya tanpa sepengetahuanku. Ya, aku sangat mengenal Mas Daris, dari sejak kami pacaran, dia memiliki nafsu yang sangat sulit dikendalikan. Bagaimana mungkin berubah? Jika bukan melakukan denganku, pasti dia melakukan dengan selingkuhannya. Hanya saja sekarang bisa ketahuan karena perempuan itu telah hamil. Handphone ku berd

  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 33. Di Usir dari Rumah (POV Daris)

    “Dia siapa lagi, Daris? Vina yang mana? Anak siapa? Apa kamu berulah lagi, Daris?” ujar Ayah, pelan namun tegas. Mba Intan mundur dari hadapanku. Dia lalu duduk di samping ibu. Begitu pun dengan Lona. Dia pun duduk di samping Mba Intan, sambil melipat tangan di depan dada. Aku terdiam, tak punya nyali untuk menjawab pertanyaan Ayah. Tidak mungkin aku jujur jika telah menghamili Vina. Tak mungkin aku berkata jika telah berselingkuh di belakang Elana. Kedua orang tuaku pasti akan lebih murka. “Vina siapa yang kamu maksud, Daris? Yang perempuan pelacur itu?” Suara Mba Intan membuatku melihatnya. Nama Vina di kampung ini hanya satu. Sudah jelas jika Mba Intan bisa menebak, Vina mana yang aku maksud. Dalam hati kecil masih ingin berbohong, tetapi takut jika nanti akan menjadi masalah besar. Setelah cukup lama terdiam, aku akhirnya hanya mengangguk sebagai jawaban. Kepala menunduk, tak kuasa melihat wajah ayah dan ibu. Mereka jelas pasti bertanya-tanya. Ada apa dan apa hubungan Vina

  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 32. Bukan Elena Pelakunya (POV Damar)

    “Jadi selama ini ulah kamu, Vani? Dasar wanita iblis! Jangan bermimpi untuk aku menikahi kamu! Kita tidak akan pernah menikah sampai kapan pun!” ujarku dengan sangat marah. Bagaimana tidak, selama ini dia lah yang membuat masalah dalam keluargaku. Dia yang membuat semua pelanggan ibu di Pasar lari ke orang lain. Dia yang membuat orang tuaku bangkrut. Aku sungguh tidak bisa memaafkan perbuatannya. Gara-gara ulah nya, aku bahkan sudah menuduh Elena, seperti yang dikatakan oleh Pak Udin. Ternyata dukun sialan itu hanya asal bicara. Selama ini, bukan Elena pelakunya. “Kenapa, kamu mau marah? Ya silahkan marah saja! Kamu dan keluargamu pantas mendapatkan itu. Kamu terlalu sombong. Kalian layak untuk jatuh miskin!” Vani berkata sambil tersenyum. Bahkan di akhir ucapannya, dia tertawa. Seolah menghinaku. “Kurang ajar kamu, Vina! Aku akan membalas semua perbuatan kamu. Aku tidak akan membiarkanmu hidup. Aku akan membunuhmu!” Aku mencengkram kedua tanganku dengan kuat. Sebenarnya ingin me

  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 31. Ternyata Cintaku Dulu Terbalas

    Seluruh makanan yang baru saja memenuhi perut rasanya ingin aku muntahkan saat ini juga. Perkataan yang sungguh membuat mual. Aku ingin berucap, tetapi takut jika kalimat kasar yang keluar dari bibirku. Hati pasrah, membiarkan Roni yang berucap dan aku menjadi pendengar. “Apa kabar, Elena?” Kenapa rasanya merinding ditatap seperti ini oleh Roni. Suaranya yang lembut, membuat bibir pun tak kuasa untuk berucap. Ada apa ini? “Aku tahu kalau kamu dan suamimu hanya menikah siri. Aku juga tahu kalau dia sudah menjatuhkan talak pada kamu. Makanya sekarang aku berani untuk datang lagi … menikahlah denganku!” Mataku terbelalak. Bibir pun bersuara, “maksud kamu apa, Roni? Jangan buat lelucon. Omong kosong apa yang baru saja kamu ucapkan. Ada apa? Dulu sewaktu SMA belum cukup menghina dan membully ku, sehingga sekarang ingin menikahi ku dan kembali menyiksaku. Sebenarnya niat kamu apa, Roni? Dulu, aku tidak pernah mau berurusan dengan kamu. Tetapi kamu selalu saja berbuat ulah padaku. Sekar

  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 30. Tutur Kata Roni

    “Om kenapa membela ibu?” tanya Caca dengan wajah cemberut. Aku kembali melirik Roni. Dia tersenyum lembut pada Caca. “Anak manis, makan lah! Dan jangan banyak bicara lagi. Okey, Cantik.” Caca hanya cemberut, tanpa membalas ucapan Roni. Sedangkan Roni, dia hanya tersenyum manis melihat respon Caca atas perkataannya. Aku kembali fokus dengan bakso yang ada dihadapan. Kini aku merasa canggung. Caca mengikuti perintah untuk diam dan hanya makan. Sedangkan Roni, dia juga tidak mengucap sepatah kata lagi. Aku sedikit menyesal telah menyuruh Caca diam. Jika saja dia tetap cerewet, situasi tidak akan secanggung ini. Setelah makan, rasanya aku ingin langsung pulang saja. Besok saja aku membeli handphone, setelah mengantar Caca ke sekolah barunya. Jangan sampai Roni mengikuti kami seperti yang dulu dia lakukan padaku. Roni sudah selesai makan, tetapi dia masih saja duduk. Belum mengangkat kaki dari warung ini. Kalau saja tidak ada Caca dihadapanku, sudah pasti mulutku akan berkata kasar p

  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 29. Si Makhluk Pengganggu

    Lelaki ini, setelah kembali bertemu dia terlihat sangat aneh. Selalu saja tersenyum manis saat bertemu denganku. Bukan seperti saat di sekolah dulu. Lelaki yang sangat aku benci karena selalu mengejek dan membully. Padahal aku tak pernah mengusik hidupnya. Setelah membayar di kasir, aku langsung melangkah. Tetapi lagi dan lagi di usik oleh seorang Roni. Aku menatapnya tajam, sedangkan dia membalas dengan senyuman indah di wajahnya. “Awas aku mau lewat!” ujarku sambil menampilkan wajah tak bersahabat. Roni terus saja menghalangi langkahku. “Bagaimana kabarmu? Kenapa tidak jadi mengambil rumah yang pernah kita lihat?” tanya Roni dengan wajah yang terus saja tersenyum. Tanpa menjawab, aku langsung melangkah. Kebetulan Roni tidak menghalangi karena ada pelanggan lain yang ingin ke kasir. Aku membenci keadaan ini. Bertemu lagi dengan Roni adalah mimpi buruk. Kenapa aku tidak bisa hidup tenang? Apa dosaku terlalu besar, sehingga Tuhan tidak ingin mengampuni, sehingga selalu saja mengirim

  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 28. Curhatan Putri Kecilku

    “Yuk kita makan! Caca mau makan apa? Pakai baju ini saja, nggak usah diganti. Ibu senang lihat Caca pakai baju ini.” aku berkata dengan kedua tangan dipinggang mungil Caca. “Makan bakso boleh nggak, Bu,” ujar Caca dengan pelan. Dia seperti ragu mengatakan keinginannya. “Boleh, Sayang. Caca boleh makan apapun hari ini. Pokoknya hari ini tuh hari spesial untuk anak ibu yang cantik.” Tanganku dengan lembut mengusap puncak kepala Caca. Kami bergegas meninggalkan Rumah. Aku langsung mengendarai mobil ketika Caca sudah masuk dan duduk. Sepanjang jalan dia terus saja bernyanyi. Tampak aura bahagia di wajahnya. “Bu, kok ibu bisa membeli rumah bagus? Bahkan lebih bagus dari pada rumah nenek. Ibu ‘kan tidak bekerja. Aku sudah cerita ke ayah kalau kita sering pergi jalan jalan ke mall. Terus ayah kelihatannya bingung ketika aku ucapkan makasih padanya … Kok aku curiga ya, kalau sebenarnya semua uang yang dipakai saat jalan-jalan bukan uang dari ayah.” Selama berucap, Caca terlihat me

  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 27. Awal Kebahagiaan 

    *** “Ini rumah siapa, Ibu.” Aku berhenti melangkah ketika mendengar suara malaikat kecilku. Suara yang sungguh sangat dirindu. Suara yang menjadi penyemangat, aku masih berjuang untuk hidup hingga saat ini. Aku mendekat ke arah Caca yang terlihat enggan untuk melangkah. Aku terduduk, menjadikan lutut sebagai tumpuan. Garis bibir tertarik untuk membentuk senyum. “Ini rumah kamu, sayang. Ini rumah Caca. Sini masuk! Kenapa hanya berdiri di pintu,” ujarku lembut sambil merapikan Caca yang berantakan. Caca tidak menjawab. Dia sepertinya masih terheran aku membawanya ke rumah. Tidak salah jika dia bertanya-tanya. Mata Caca tak menatapku. Dia terus melihat ke langit langit yang terdapat lampu yang sangat indah. Rumah ini bercat putih, dengan interior yang mewah. Aku memang sengaja menjemput Caca ketika rumah ini sudah layak untuk menjamu anak istimewaku. Aku pun berdiri sambil menggenggam tangan mungil yang masih saja terlihat kaget sekaligus kagum dengan apa yang di hadapannya. Bi

  • Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!   Bab 26. Mengikuti Keinginan Ibu (POV Daris)

    Setelah ibu masuk kamar, aku langsung berdiri dan melangkah keluar rumah. Sekarang sudah jam sepuluh, waktunya untuk menjemput Caca. Kasian anak itu jika menunggu lama. Sedangkan ayah, beliau masih saja duduk di sofa ruang tamu. Aku yakin jika pikirannya saat ini juga sangat kacau. Ayah hanya termenung. Aku kasihan melihat ayah dan ibu yang merasa terpuruk. Tadi selama ibu histeris, ayah hanya diam saja. Mungkin ayah tidak tahu harus melakukan apa dan mungkin saja ayah ingin membantah saat ibu mengatakan jika akan mengusir Caca dari rumah, tetapi ayah tidak punya nyali. Selama ini aku tidak pernah melihat ayah membantah ibu. “Kemana anak itu?” lirihku sambil melihat sekeliling sekolah TK. Sekolah sudah sepi. Biasanya Caca menungguku dekat gerbang sekolah. Tetapi, saat ini tidak ada. Aku terus saja menengokkan kepala ke kanan dan kiri. Tetapi tanda tanda keberadaan Caca tak kunjung terlihat. Aku mulai sedikit panik. “Bu, anak saya kemana ya?” tanyaku pada seorang guru yang ba

DMCA.com Protection Status