Satu bulan sudah usia pernikahan Darren. Akan tetapi, Darren masih harus bersabar dengan kondisi Thalita. Setiap harinya dengan telaten ia menyuapi, menghibur, dan setiap malam akan menemani sang istri bergadang. Pagi itu ada rapat penting di kantor, tetapi Darren bangun kesiangan. Dari kamar Thalita ia bergegas ke kamarnya untuk membersihkan diri. "Astaga! Kenapa sampai kesiangan begini, sih? Bagaimana kalau para investor itu kabur?" ucap Darren sambil tergesa membasuh badannya dengan sabun. Bisa saja dirinya hanya mencuci muka dan menggosok giginya saja. Akan tetapi, itu bukan tipe Darren. Ia harus tetap tampil bersih dan wangi. Handuk putih sudah ia lilitkan di pinggang. Gegas tangannya membuka pintu kamar mandi. Alangkah kagetnya kala ia mendapati Thalita tengah menatap foto pernikahannya. Foto yang terbingkai indah berukuran besar, tentu saja mencuri perhatian siapa saja yang melihat. "Sayang, kenapa ke sini?"Darren melihat pakaian kerjanya pun sudah tersedia di atas kasur.
Setelah cukup lama berendam, akhirnya Darren ke luar. Rupanya Thalita tertidur pulas terbungkus selimut tebal. Darren membawakan baju tidur untuknya dan ia simpan tepat di samping Thalita. Jarum jam sudah menunjuk pada angka tujuh. Waktunya makan malam, tetapi Thalita belum juga terbangun. Tangan Darren mengusap pipi bermaksud untuk membangunkan Thalita. Nihil, dengkuran halus terdengar. Terlihat tidur Thalita sangat tenang. Mungkin matanya lelah karena menangis, pikir Darren."Mana istrimu? Katanya sudah sekamar, benar itu?" tanya Sadewo. "Benar, Yah. Dan sekarang Thalita sudah tidur pulas.""Oh, syukurlah kalau sudah sekamar. Dengan kata lain dia sudah menerima pernikahan kalian, kan? Dan tentunya dia yang akan mengurusmu, bukan sebaliknya."Darren menghela napas. Ingin sekali dirinya membalas ucapan Sadewo. Akan tetapi, semua akan berujung keributan.Perhatian Darren kini teralih kepada Dokter Lily dan kedua perawatnya. "Sepertinya tugas kalian selesai dan tentunya bisa kembali
Siang itu Darren menemui rekan bisnisnya di sebuah restoran. Walaupun pikirannya kacau, tetapi dirinya harus bersikap profesional. Lagi-lagi pertemuan bisnis itu tidak membuahkan hasil. Bagaimana tidak? Ternyata pria yang ditemuinya itu adalah ayah dari Amanda. "Katanya Anda menolak kerjasamanya, ya?" Darren tersenyum samar. "Iya. Maaf, karena putri Anda sudah lancang menghina istri saya."Pria paruh baya itu terkejut karena tidak menyangka Darren sudah menikah. "Wah, apa saya yang ketinggalan berita?""Kami belum melaksanakan pesta karena kesibukan masing-masing."Pria paruh baya itu kembali berkata, bahwasanya semula dirinya memang ingin menjodohkan sang putri dengan Darren. Akan tetapi, harapannya itu kini pupus sudah. "Tapi, semoga saja dengan kita bekerja sama, Anda bisa dekat dengan putriku. Jadi istri kedua pun tak masalah sepertinya."Pria itu terus saja memuji kecantikan, kepintaran, dan keahlian putrinya. Darren mengernyit. Ucapan pria itu sungguh membuatnya merasa muak
Setelah tiba di rumah sakit yang dituju, Dokter segera mengecek kondisi Darren. Hasilnya adalah Darren dianjurkan untuk dirawat."Papa pulang saja. Jangan khawatirkan Ge. Ge baik-baik saja, kok.""Kamu ini, kalau baik-baik saja tidak mungkin dirawat!"Darren tersenyum. "Papa beri kabar ayahmu dulu."Tangan Abimanyu hendak merogoh ponsel, tetapi Darren mencegahnya. "Jangan!""Kenapa? Kalau sesuatu terjadi denganmu, Papa yang akan disalahkan nanti.""Dan Thalita juga akan ayah salahkan, Pa. Itu masalahnya.""Tidak masalah. Memang istrimu itu pemicu semua ini, bukan?"Abimanyu menghubungi Sadewo. Darren hanya pasrah dengan apa yang mertuanya itu lakukan. "Ayahmu akan ke sini. Dan Papa akan pulang saat beliau tiba."Darren mengangguk. Tidak berselang lama, Sadewo tiba. Wajah panik sangat terlihat jelas dari pria paruh baya itu. Apalagi melihat selang infus dan oksigen terpasang. "Bagaimana kondisinya?" tanya Sadewo. "Dokter menyarankan rawat inap," jawab Abimanyu. "Kau yang mengant
Setelah tiga hari dirawat, akhirnya Darren diperbolehkan pulang. Hasil tes menyatakan bahwa kondisi Darren tidak terlalu parah, dengan kata lain masih bisa ditanggulangi dengan obat, serta menjaga pola hidup sehat. Pagi itu, Darren kembali melakukan aktivitasnya. "Ibumu sudah pulang?""Sudah," jawab Darren santai sambil menyendok nasi. "Makan yang banyak, jangan lupa minum obat.""Hemm, terima kasih atas perhatiannya."Sadewo melihat koper di dekat tangga, lalu bertanya, "Koper siapa?""Aku!""Mau ke mana?""Bali!"Sadewo harus menerima sikap Darren pagi itu, dimana pertanyaannya hanya dijawab seperlunya saja dan terkesan dingin. Darren menikmati sarapannya tanpa memedulikan Sadewo. Namun, rasa tidak peduli itu berubah menjadi rasa penasaran saat tidak terdengar dentingan sendok yang lain, akhirnya ia pun melirik ke arah sang ayah. "Melihatku saja tidak akan kenyang," imbuh Darren, kemudian menyuap lagi. Sadewo tersenyum. "Ayah akan mengembalikan perusahaan milik Abimanyu."Darr
Setiap hari selama di Bali, Darren menerima rekaman sang istri. Tentu saja itu menjadi obat pelipur lara. Setiap hari juga Darren meminta sang asisten untuk mengirimkan hadiah berupa gaun, bunga, bahkan tas mewah. Seperti sekarang, Darren sudah menerima informasi bahwa sang asisten sudah mengirim kado lagi untuk Thalita."Sayang, apa hadiah hari ini sudah datang?" Pesan pun dikirim. "Sudah, Kak, terima kasih. Kak, tidak usah memberiku hadiah lagi." Balasan Thalita. "Tidak ada penolakan, Sayang. Jangan lupa, barang yang Kakak kasih sering-seringlah dipakai."Darren mengakhiri pesan itu dengan mengirimkan kalimat penutup yang berisi bahwa dirinya sedang di bandara Ngurah Rai. Hari itu dirinya pulang dan bertanya apakah Thalita akan menjemput di bandara atau tidak? Sayang, Thalita menjawab, jika dirinya belum siap untuk bertemu dengan Darren. Pria itu hanya pasrah. Ia akan sabar menunggu sampai Thalita siap. Kapanpun Thalita ingin bertemu, sesibuk apapun, Darren akan meluangkan waktu.
Berkat sebuah laman internet, akhirnya Darren tiba di sebuah toko perhiasan. Ia memilih dua kalung berlian dengan harga yang sangat fantastis. Kedua berlian berwarna merah itu akan ia berikan kepada dua wanita kesayangannya.Setelah melakukan transaksi, Darren pun meninggalkan toko itu tepat saat hari mulai senja. Di perjalanan, Darren menghubungi asistennya. Ia menanyakan perihal sekretaris itu. "Sudah kau pecat!""Sudah, Tuan. Dan lebih baik tanpa sekretaris saja, saya tidak masalah.""Oke!"Darren mematikan sambungan telepon. Tiba di rumah, Darren merasa aneh karena garasi mobil tidak bisa ia buka. "Pak, kenapa dengan garasinya? Apa Ayah sengaja menguncinya?" tanya Darren kepada sekuriti. "Kuncinya patah, Ge," sambar Sadewo. Darren mengernyit. "Kenapa bisa?"Sadewo mengangkat kedua pundaknya. "Boleh Ayah pinjam mobilmu sebentar? Ada perlu.""Pake saja, Yah." Darren memberikan kunci mobilnya. Sambil menenteng tas kecil berisikan kalung, Darren melangkah dengan pasti menaiki a
Pagi-pagi sekali para wanita sudah terbangun. Naluri mereka sebagai seorang istri membuat mereka berada di dapur. Pekerjaan ART pagi itu pun diambil alih. "Bu, masakan kesukaan Kak Ge apa? Lita mau masak, ah."Rossi tersenyum. "Apa saja, Nak. Dia tidak rewel. Hanya tidak minum kopi, alkohol sama merokok saja.""Tidak ada yang Kak Ge favoritin, gitu?"Rossi menggeleng. "Apa pun itu, asal enak, dia favoritin."Thalita tersenyum. "Oh, baiklah."Rossi membantu Angelina. Ia membuat beberapa telor mata sapi. Tidak mungkin juga baginya menyiapkan menu sarapan untuk mantan suaminya. Tepat pukul enam, semua menu sudah terhidang. Rossi memilih untuk menyiapkan semuanya di meja makan, sedangkan Thalita dan Angelina membangunkan suaminya masing-masing. "Eh, Kakak udah bangun rupanya. Sudah mandi pula," ucap Thalita. Darren tersenyum. "Iya, Kakak biasa bangun pagi, Sayang.""Hari ini mau ngantor?""Emm ... sepertinya ngantor," jawab Darren sambil berkaca. Tanpa Thalita sadari Darren memperhati
Pagi itu matahari bersinar terik. Saatnya si bayi berjemur setelah mandi. Rossi dengan penuh kehati-hatian menggendong sang cucu sambil menimang agar bayi itu tenang. "Jangan biarkan matanya langsung terkena sinar matahari, ya, Nak," kata Rossi. "Iya, Bu. Nanti Lita beli kain penutup matanya, kok."Dirasa cukup, mereka membawa sang bayi ke kamar. Setelah selesai memakai baju dan disusui, bayi itu pun tertidur. Thalita yang tidak tega meninggalkan bayinya sendiri di kamar selama ia sarapan, akhirnya membawa ayunan rotan. "Pulas sekali tidurnya," ucap Darren sembari melihat bayinya. "Iya, kita berisik juga dia tidak merasa terganggu," kata Sadewo. "Enak mungkin. Udah anget, udah mimik pula," kata Thalita. Darren menarik kursi di samping Thalita. "Papanya juga kalo di kasih mimik tidurnya pulasss."Thalita menyikut lengan Darren. "Apa, sih, Yang?" Darren berlaga polos. Thalita tersenyum diiringi mata yang melotot. Rossi dan Sadewo hanya terkekeh-kekeh. "Bisa habis jatah susu Th
Setiap harinya, dengan sabar dan telaten Thalita memompa ASI-nya. Setiap hari pula sang suami akan mengantarkan ASI itu ke rumah sakit. Hampir satu bulan mereka melakukan itu. Seperti pagi itu, Darren siap mengantarkan ASI untuk sang bayi. "Kakak, aku ikut!" teriak Thalita saat Darren baru saja membuka pintu mobil. "Sayang, tunggu saja di rumah," ucap Darren. Darren mengernyit melihat tas bayi yang dibawa oleh Thalita. "Apa itu?""Baju bayi'lah. Kan, hari ini putriku pulang."Darren tersenyum. "Kata siapa, hem?"Thalita menunjuk dadanya dan berkata, "Hati seorang Ibu mengatakan bahwa hari ini juga dia pulang."Tidak ingin merusak suasana hati sang istri, akhirnya Darren memperbolehkan Thalita ikut. Darren tidak memungkiri bahwasanya naluri seorang ibu itu selalu benar. Oleh karena itu Darren memutuskan untuk menggunakan jasa sopir dan mengganti mobil sport miliknya dengan mobil keluarga. Di perjalanan, tak hentinya Thalita mengukir senyum sambil memeluk Darren. "Seneng banget, si
Suka dan duka Thalita lewati selama menjalani kehamilan. Pun dengan Darren. Pria itu dibuat pusing bukan kepalang saat memenuhi keinginan istrinya itu. Bagaimana tidak? Terkadang, pada malam hari Thalita meminta Darren untuk memanjat pohon mangga dan memetiknya tanpa sepengatahuan pemiliknya. Menurut Thalita itulah seninya dan menjadi kebanggaan ketika memakannya. Namun, tanpa sepengetahuan Thalita pula, pada siang harinya Darren bicara kepada sang pemilik bahkan membayarnya. Entah mau jadi apa anaknya nanti. Pencuri? Darren selalu membuang jauh-jauh pikiran itu. Belum lagi cerita di siang hari. Tepat matahari sedang terik-teriknya, Thalita meminta Darren ke luar kantor mengenakan mantel tebal. Ditambah harus membeli atau membuat makanan yang menurut Darren tidak masuk akal. Meskipun demikian, Darren tetap merasa bahagia dan tetap mengabulkan permintaan sang istri. Itu cerita Darren lima bulan lalu. Kini, usia kehamilan Thalita menginjak delapan bulan. Hanya saja, Thalita bersikeras
Darren duduk tepat di samping Thalita. Ia terlihat cemas. "Bagaimana, Dok?"Dokter itu tersenyum. "Selamat, istri Tuan sedang mengandung."Darren tersenyum. Matanya berkaca, kemudian kembali bertanya, "Benarkah?""Iya. Untuk memastikan berapa usia kandungannya, lebih baik segera lakukan USG."Darren menatap orang tuanya bergantian. "Sebentar lagi Ge jadi seorang ayah."Keduanya mengangguk sambil tersenyum. "Selamat, Nak," ucap Sadewo. Rossi mendekati sang putra. "Selamat, Sayang."Dokter itu pamit. Sadewo pun mengantar. Rossi duduk di tepi ranjang. Matanya tak lepas dari wajah sang menantu. Dulu, wajah itu yang ia benci. Dulu, wajah itu yang ingin Rossi singkirkan dari hadapan Darren. Ternyata Rossi salah, wajah cantik itu yang memberi kebahagiaan kepada putranya. Bukan tak beralasan. Dahulu, Rossi tidak ingin Darren bermasalah dengan keluarga kaya yang tak lain adalah Sadewo dan Abimanyu dan berujung mengenaskan seperti dirinya. Ternyata takdir berkata lain, wanita muda yang lema
Hari-hari Darren dan Thalita lalui selalu bersama. Keduanya kompak dalam melakukan segala hal. Di kantor mereka akan bersikap profesional sebagaimana atasan dan bawahan. Tidak terasa satu tahun sudah usia pernikahan Darren dan Thalita.Malam itu, mereka menikmati makan malam nan romantis di sebuah restoran untuk merayakan anniversary. Tukar kado pun terjadi antara mereka. Namun, ada sesuatu yang membuat Thalita murung. "Sayang, ada apa?""Ah, tidak ada apa-apa, Kak."Melihat bulir bening yang menetes membuat Darren dengan sigap berpindah duduk dan memeluk. "Sayang, ada apa? Jangan buat Kakak khawatir."Thalita menarik napasnya dalam. Ia mengatakan jika dirinya ingin segera hamil. Akan tetapi, setelah satu tahun pernikahan dirinya tak kunjung hamil. Padahal, segala obat medis dan tradisional sudah dicobanya. Hasil cek dokter pun menyatakan jika kandungan Thalita baik-baik saja. "Apa dokter itu berbohong?""Hey, Sayang, lihat Kakak." Darren membingkai wajah Thalita. "Sayang, kita h
Berkumpul bersama keluarga setelah beraktivitas mampu mengurangi rasa lelah. Berbagi cerita diselingi dengan canda dan tawa rupanya keluarga Sadewo dan keluarga lakukan malam itu. "Bagaimana hasil cek ke dokter?" tanya Rossi. Darren melihat ke arah Thalita. Diraihnya tangan sang istri, menciumnya, lalu menceritakan apa yang dokter anjurkan. "Ikuti saja saran dokter. Buat rileks. Ingat, jangan banyak pikiran karena itu akan mengganggu kesehatan. Kalian nikmati saja waktu berdua," ujar Rossi. "Iya, nikmati saja dulu," timpal Sadewo. "Iya, Yah, Bu. Lita akan turuti semua saran dokter," kata Thalita. Pun Thalita mengutarakan tentang keinginannya untuk menjadi sekretaris Darren. "Ya, bagus itu," kata Sadewo. Rossi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau itu mau Nak Lita, Ibu, sih, tidak keberatan. Bagus malah. Ibu justru akan khawatir kalau sekretaris Ge itu wanita lain."Mendapat dukungan dari mertua membuat Thalita merasa menang. Wanita itu menatap suaminya sambil menaikturunkan al
Pesta mewah itu telah usai. Pesta yang tak hanya memberi kebahagiaan untuk Darren dan Thalita saja, melainkan semua tamu undangan. Rasa kantuk dan lelah sudah pasti menyergap pasangan itu. Bagaimana tidak? Pesta itu berlangsung hingga malam hari. "Tidur, Sayang," kata Darren. Thalita tersenyum. "Aku memang lelah dan ngantuk. Tapi, semua rasa itu kalah dengan rasa bahagia yang aku rasakan saat ini, Kak. Mata ini seolah-olah menolak untuk terpejam. Aku tidak sedang bermimpi, kan?"Darren tersenyum penuh arti. "Coba pejamkan matamu."Thalita menuruti perintah Darren tanpa menaruh curiga. Bibir Darren membekap bibir Thalita, bahkan gigitan kecil pria itu berikan membuat Thalita membuka mulutnya. Tidak membuang kesempatan, dengan leluasa lidah Darren menyusuri setiap rongga mulut Thalita. Ciuman itu kian rakus saat tangan Darren memegang bagian dada Thalita. Darren melepaskan ciuman yang menyisakan napas Thalita yang memburu dan bibir yang basah. "Tidak mimpi, kan?" tanya Darren. Th
Muach ... muach ... muach!"Kecupan bertubi-tubi Darren sematkan di bibir Thalita. "Sayang, bangun!""Heemm ...." Thalita merubah posisi tidurnya tanpa membuka mata. Darren tersenyum sambil membetulkan selimut yang membungkus tubuh istrinya itu. Belaian penuh kasih sayang pun Darren usapkan pada pucuk kepala."Maaf, kamu pasti lelah," gumam Darren. Bagaimana tidak? Permainan yang katanya malam pertama itu berakhir pada dini hari. Darren memutuskan untuk membersihkan diri. Setelah ritual mandi selesai, rupanya Thalita belum juga bangun. Pria itu tidak mempermasalahkan.Setelah berpakaian rapi, Darren pergi ke dapur."Bi, tolong siapkan saja sarapan untuk istriku. Dia tidak masak pagi ini.""Baiklah, Tuan. Saya lebih senang seperti ini. Menyiapkan sarapan untuk majikan, daripada hanya melihat. Malu, Tuan."Darren tersenyum. "Anggap itu bonus untuk Bibi. Pekerjaan Bibi berkurang, walaupun sedikit. Oh, ya, untuk saya tolong siapin sandwich saja."Darren kembali ke kamar dan sang ART pu
Kamar bernuansa putih, selang infus dan oksigen menjadi pemandangan Rossi malam itu. Terlebih lagi suara dari mesin pendeteksi jantung membuat suasana bertambah tegang. Ya, tepat di hadapannya Sadewo terbaring tak sadarkan diri. Ia mengalami kecelakaan tunggal. Wanita paruh baya itu hanya mampu menatap wajah Sadewo yang pucat, tetapi masih tampak tampan, menurutnya. Tidak terasa air mata pun menetes. "Sadarlah, Mas. Aku Mohon ...." Rossi berucap tanpa ia sadari. Semula, Rossi akan menghubungi Darren. Akan tetapi, ia urungkan karena tidak mau mengganggu kebahagiaan sang putra. Sudah tiga jam, Sadewo tak kunjung sadar. Ada rasa sakit dalam hati Rossi melihat kemalangan yang menimpa mantan suaminya itu. Malam kian larut. Rasa kantuk menyergap. Rossi memutuskan untuk tidur sembari duduk di kursi dekat dengan Sadewo.Usapan di kepala membuat Rossi perlahan membuka mata. "Mas, Mas sudah sadar?!" serunya sambil menggenggam tangan Sadewo. Sadewo tersenyum. "Terima kasih telah sudi berad