Setelah tiga hari dirawat, akhirnya Darren diperbolehkan pulang. Hasil tes menyatakan bahwa kondisi Darren tidak terlalu parah, dengan kata lain masih bisa ditanggulangi dengan obat, serta menjaga pola hidup sehat. Pagi itu, Darren kembali melakukan aktivitasnya. "Ibumu sudah pulang?""Sudah," jawab Darren santai sambil menyendok nasi. "Makan yang banyak, jangan lupa minum obat.""Hemm, terima kasih atas perhatiannya."Sadewo melihat koper di dekat tangga, lalu bertanya, "Koper siapa?""Aku!""Mau ke mana?""Bali!"Sadewo harus menerima sikap Darren pagi itu, dimana pertanyaannya hanya dijawab seperlunya saja dan terkesan dingin. Darren menikmati sarapannya tanpa memedulikan Sadewo. Namun, rasa tidak peduli itu berubah menjadi rasa penasaran saat tidak terdengar dentingan sendok yang lain, akhirnya ia pun melirik ke arah sang ayah. "Melihatku saja tidak akan kenyang," imbuh Darren, kemudian menyuap lagi. Sadewo tersenyum. "Ayah akan mengembalikan perusahaan milik Abimanyu."Darr
Setiap hari selama di Bali, Darren menerima rekaman sang istri. Tentu saja itu menjadi obat pelipur lara. Setiap hari juga Darren meminta sang asisten untuk mengirimkan hadiah berupa gaun, bunga, bahkan tas mewah. Seperti sekarang, Darren sudah menerima informasi bahwa sang asisten sudah mengirim kado lagi untuk Thalita."Sayang, apa hadiah hari ini sudah datang?" Pesan pun dikirim. "Sudah, Kak, terima kasih. Kak, tidak usah memberiku hadiah lagi." Balasan Thalita. "Tidak ada penolakan, Sayang. Jangan lupa, barang yang Kakak kasih sering-seringlah dipakai."Darren mengakhiri pesan itu dengan mengirimkan kalimat penutup yang berisi bahwa dirinya sedang di bandara Ngurah Rai. Hari itu dirinya pulang dan bertanya apakah Thalita akan menjemput di bandara atau tidak? Sayang, Thalita menjawab, jika dirinya belum siap untuk bertemu dengan Darren. Pria itu hanya pasrah. Ia akan sabar menunggu sampai Thalita siap. Kapanpun Thalita ingin bertemu, sesibuk apapun, Darren akan meluangkan waktu.
Berkat sebuah laman internet, akhirnya Darren tiba di sebuah toko perhiasan. Ia memilih dua kalung berlian dengan harga yang sangat fantastis. Kedua berlian berwarna merah itu akan ia berikan kepada dua wanita kesayangannya.Setelah melakukan transaksi, Darren pun meninggalkan toko itu tepat saat hari mulai senja. Di perjalanan, Darren menghubungi asistennya. Ia menanyakan perihal sekretaris itu. "Sudah kau pecat!""Sudah, Tuan. Dan lebih baik tanpa sekretaris saja, saya tidak masalah.""Oke!"Darren mematikan sambungan telepon. Tiba di rumah, Darren merasa aneh karena garasi mobil tidak bisa ia buka. "Pak, kenapa dengan garasinya? Apa Ayah sengaja menguncinya?" tanya Darren kepada sekuriti. "Kuncinya patah, Ge," sambar Sadewo. Darren mengernyit. "Kenapa bisa?"Sadewo mengangkat kedua pundaknya. "Boleh Ayah pinjam mobilmu sebentar? Ada perlu.""Pake saja, Yah." Darren memberikan kunci mobilnya. Sambil menenteng tas kecil berisikan kalung, Darren melangkah dengan pasti menaiki a
Pagi-pagi sekali para wanita sudah terbangun. Naluri mereka sebagai seorang istri membuat mereka berada di dapur. Pekerjaan ART pagi itu pun diambil alih. "Bu, masakan kesukaan Kak Ge apa? Lita mau masak, ah."Rossi tersenyum. "Apa saja, Nak. Dia tidak rewel. Hanya tidak minum kopi, alkohol sama merokok saja.""Tidak ada yang Kak Ge favoritin, gitu?"Rossi menggeleng. "Apa pun itu, asal enak, dia favoritin."Thalita tersenyum. "Oh, baiklah."Rossi membantu Angelina. Ia membuat beberapa telor mata sapi. Tidak mungkin juga baginya menyiapkan menu sarapan untuk mantan suaminya. Tepat pukul enam, semua menu sudah terhidang. Rossi memilih untuk menyiapkan semuanya di meja makan, sedangkan Thalita dan Angelina membangunkan suaminya masing-masing. "Eh, Kakak udah bangun rupanya. Sudah mandi pula," ucap Thalita. Darren tersenyum. "Iya, Kakak biasa bangun pagi, Sayang.""Hari ini mau ngantor?""Emm ... sepertinya ngantor," jawab Darren sambil berkaca. Tanpa Thalita sadari Darren memperhati
Darren dan Thalita kembali ke penginapan. "Ibu sama Ayah sudah kembali, kah?" tanya Thalita. "Pasti," jawab Darren. "Kita bersiap untuk makan malam," lanjut Darren. "Sama Ayah Ibu juga, kan?"Darren mengangguk. Thalita memutuskan untuk memberitahu Rossi dan Sadewo, sedangkan Darren masuk ke kamar terlebih dahulu untuk membersihkan diri. Thalita menekan bel kamar Rossi. Sejenak Thalita menunggu sang empu membuka. Nihil, pintu tak kunjung terbuka. Lagi, Thalita menekan dan menunggu. "Ibu ke mana?" gumamnya, sambil beranjak ke pintu sebelah, yakni kamar Sadewo. Thalita melakukan hal yang sama dengan hasil yang sama pula. Sadewo tak kunjung membuka pintu. "Pun dengan Ayah. Ke mana mereka, ya?" gumamnya, kemudian berbalik hendak pergi. "Ah, itu mereka?" Thalita melihat mertuanya baru ke luar dari lift. Rossi tersenyum ke arahnya. "Nunggu Ibu?" tanya Rossi saat ia berada di hadapan Thalita. "Iya, Lita nunggu Ibu sama Ayah. Kak Ge mau ajak kita makan malam."Rossi menatap Sade
"Kak, bangun!" Thalita mengusap pipi Darren. Rasa dingin di pipi, serta wangi aroma lavender menyeruak di hidung Darren. Perlahan ia membuka mata. Tampaklah Thalita berbalut handuk kimono dan gulungan handuk kecil di kepala. Darren menunjuk pipinya sendiri. Thalita yang mengerti pun langsung melancarkan aksinya. Cup! Thalita mencium pipi Darren."Kena!" Darren membawa tubuh Thalita ke dalam pelukan. Kini, tubuh wanita itu tepat berada di atasnya."Ih, Kakak! Ayok, bangun, mandi!"Darren menggeleng sembari tersenyum. "Tubuhmu wangi. Kakak suka."Tangan pria itu membuka handuk yang menggulung rambut Thalita. "Seperti ini penampilanmu kian seksi."Thalita mencolek hidung mancung suaminya seraya berkata, "Ish! Mesum!""Mesum sama istri sendiri gak pa-pa, kan, Yang?" Darren menaikturunkan kedua alisnya.Thalita menyadari ada sesuatu yang bergerak dan keras di bawah sana. "Lalu?" Jemari Thalita merangkai sebuah kata di dada Darren, membuat sang pemilik dada terpejam. Tanpa basa-basi,
Kamar bernuansa putih, selang infus dan oksigen menjadi pemandangan Rossi malam itu. Terlebih lagi suara dari mesin pendeteksi jantung membuat suasana bertambah tegang. Ya, tepat di hadapannya Sadewo terbaring tak sadarkan diri. Ia mengalami kecelakaan tunggal. Wanita paruh baya itu hanya mampu menatap wajah Sadewo yang pucat, tetapi masih tampak tampan, menurutnya. Tidak terasa air mata pun menetes. "Sadarlah, Mas. Aku Mohon ...." Rossi berucap tanpa ia sadari. Semula, Rossi akan menghubungi Darren. Akan tetapi, ia urungkan karena tidak mau mengganggu kebahagiaan sang putra. Sudah tiga jam, Sadewo tak kunjung sadar. Ada rasa sakit dalam hati Rossi melihat kemalangan yang menimpa mantan suaminya itu. Malam kian larut. Rasa kantuk menyergap. Rossi memutuskan untuk tidur sembari duduk di kursi dekat dengan Sadewo.Usapan di kepala membuat Rossi perlahan membuka mata. "Mas, Mas sudah sadar?!" serunya sambil menggenggam tangan Sadewo. Sadewo tersenyum. "Terima kasih telah sudi berad
Muach ... muach ... muach!"Kecupan bertubi-tubi Darren sematkan di bibir Thalita. "Sayang, bangun!""Heemm ...." Thalita merubah posisi tidurnya tanpa membuka mata. Darren tersenyum sambil membetulkan selimut yang membungkus tubuh istrinya itu. Belaian penuh kasih sayang pun Darren usapkan pada pucuk kepala."Maaf, kamu pasti lelah," gumam Darren. Bagaimana tidak? Permainan yang katanya malam pertama itu berakhir pada dini hari. Darren memutuskan untuk membersihkan diri. Setelah ritual mandi selesai, rupanya Thalita belum juga bangun. Pria itu tidak mempermasalahkan.Setelah berpakaian rapi, Darren pergi ke dapur."Bi, tolong siapkan saja sarapan untuk istriku. Dia tidak masak pagi ini.""Baiklah, Tuan. Saya lebih senang seperti ini. Menyiapkan sarapan untuk majikan, daripada hanya melihat. Malu, Tuan."Darren tersenyum. "Anggap itu bonus untuk Bibi. Pekerjaan Bibi berkurang, walaupun sedikit. Oh, ya, untuk saya tolong siapin sandwich saja."Darren kembali ke kamar dan sang ART pu
Pagi itu matahari bersinar terik. Saatnya si bayi berjemur setelah mandi. Rossi dengan penuh kehati-hatian menggendong sang cucu sambil menimang agar bayi itu tenang. "Jangan biarkan matanya langsung terkena sinar matahari, ya, Nak," kata Rossi. "Iya, Bu. Nanti Lita beli kain penutup matanya, kok."Dirasa cukup, mereka membawa sang bayi ke kamar. Setelah selesai memakai baju dan disusui, bayi itu pun tertidur. Thalita yang tidak tega meninggalkan bayinya sendiri di kamar selama ia sarapan, akhirnya membawa ayunan rotan. "Pulas sekali tidurnya," ucap Darren sembari melihat bayinya. "Iya, kita berisik juga dia tidak merasa terganggu," kata Sadewo. "Enak mungkin. Udah anget, udah mimik pula," kata Thalita. Darren menarik kursi di samping Thalita. "Papanya juga kalo di kasih mimik tidurnya pulasss."Thalita menyikut lengan Darren. "Apa, sih, Yang?" Darren berlaga polos. Thalita tersenyum diiringi mata yang melotot. Rossi dan Sadewo hanya terkekeh-kekeh. "Bisa habis jatah susu Th
Setiap harinya, dengan sabar dan telaten Thalita memompa ASI-nya. Setiap hari pula sang suami akan mengantarkan ASI itu ke rumah sakit. Hampir satu bulan mereka melakukan itu. Seperti pagi itu, Darren siap mengantarkan ASI untuk sang bayi. "Kakak, aku ikut!" teriak Thalita saat Darren baru saja membuka pintu mobil. "Sayang, tunggu saja di rumah," ucap Darren. Darren mengernyit melihat tas bayi yang dibawa oleh Thalita. "Apa itu?""Baju bayi'lah. Kan, hari ini putriku pulang."Darren tersenyum. "Kata siapa, hem?"Thalita menunjuk dadanya dan berkata, "Hati seorang Ibu mengatakan bahwa hari ini juga dia pulang."Tidak ingin merusak suasana hati sang istri, akhirnya Darren memperbolehkan Thalita ikut. Darren tidak memungkiri bahwasanya naluri seorang ibu itu selalu benar. Oleh karena itu Darren memutuskan untuk menggunakan jasa sopir dan mengganti mobil sport miliknya dengan mobil keluarga. Di perjalanan, tak hentinya Thalita mengukir senyum sambil memeluk Darren. "Seneng banget, si
Suka dan duka Thalita lewati selama menjalani kehamilan. Pun dengan Darren. Pria itu dibuat pusing bukan kepalang saat memenuhi keinginan istrinya itu. Bagaimana tidak? Terkadang, pada malam hari Thalita meminta Darren untuk memanjat pohon mangga dan memetiknya tanpa sepengatahuan pemiliknya. Menurut Thalita itulah seninya dan menjadi kebanggaan ketika memakannya. Namun, tanpa sepengetahuan Thalita pula, pada siang harinya Darren bicara kepada sang pemilik bahkan membayarnya. Entah mau jadi apa anaknya nanti. Pencuri? Darren selalu membuang jauh-jauh pikiran itu. Belum lagi cerita di siang hari. Tepat matahari sedang terik-teriknya, Thalita meminta Darren ke luar kantor mengenakan mantel tebal. Ditambah harus membeli atau membuat makanan yang menurut Darren tidak masuk akal. Meskipun demikian, Darren tetap merasa bahagia dan tetap mengabulkan permintaan sang istri. Itu cerita Darren lima bulan lalu. Kini, usia kehamilan Thalita menginjak delapan bulan. Hanya saja, Thalita bersikeras
Darren duduk tepat di samping Thalita. Ia terlihat cemas. "Bagaimana, Dok?"Dokter itu tersenyum. "Selamat, istri Tuan sedang mengandung."Darren tersenyum. Matanya berkaca, kemudian kembali bertanya, "Benarkah?""Iya. Untuk memastikan berapa usia kandungannya, lebih baik segera lakukan USG."Darren menatap orang tuanya bergantian. "Sebentar lagi Ge jadi seorang ayah."Keduanya mengangguk sambil tersenyum. "Selamat, Nak," ucap Sadewo. Rossi mendekati sang putra. "Selamat, Sayang."Dokter itu pamit. Sadewo pun mengantar. Rossi duduk di tepi ranjang. Matanya tak lepas dari wajah sang menantu. Dulu, wajah itu yang ia benci. Dulu, wajah itu yang ingin Rossi singkirkan dari hadapan Darren. Ternyata Rossi salah, wajah cantik itu yang memberi kebahagiaan kepada putranya. Bukan tak beralasan. Dahulu, Rossi tidak ingin Darren bermasalah dengan keluarga kaya yang tak lain adalah Sadewo dan Abimanyu dan berujung mengenaskan seperti dirinya. Ternyata takdir berkata lain, wanita muda yang lema
Hari-hari Darren dan Thalita lalui selalu bersama. Keduanya kompak dalam melakukan segala hal. Di kantor mereka akan bersikap profesional sebagaimana atasan dan bawahan. Tidak terasa satu tahun sudah usia pernikahan Darren dan Thalita.Malam itu, mereka menikmati makan malam nan romantis di sebuah restoran untuk merayakan anniversary. Tukar kado pun terjadi antara mereka. Namun, ada sesuatu yang membuat Thalita murung. "Sayang, ada apa?""Ah, tidak ada apa-apa, Kak."Melihat bulir bening yang menetes membuat Darren dengan sigap berpindah duduk dan memeluk. "Sayang, ada apa? Jangan buat Kakak khawatir."Thalita menarik napasnya dalam. Ia mengatakan jika dirinya ingin segera hamil. Akan tetapi, setelah satu tahun pernikahan dirinya tak kunjung hamil. Padahal, segala obat medis dan tradisional sudah dicobanya. Hasil cek dokter pun menyatakan jika kandungan Thalita baik-baik saja. "Apa dokter itu berbohong?""Hey, Sayang, lihat Kakak." Darren membingkai wajah Thalita. "Sayang, kita h
Berkumpul bersama keluarga setelah beraktivitas mampu mengurangi rasa lelah. Berbagi cerita diselingi dengan canda dan tawa rupanya keluarga Sadewo dan keluarga lakukan malam itu. "Bagaimana hasil cek ke dokter?" tanya Rossi. Darren melihat ke arah Thalita. Diraihnya tangan sang istri, menciumnya, lalu menceritakan apa yang dokter anjurkan. "Ikuti saja saran dokter. Buat rileks. Ingat, jangan banyak pikiran karena itu akan mengganggu kesehatan. Kalian nikmati saja waktu berdua," ujar Rossi. "Iya, nikmati saja dulu," timpal Sadewo. "Iya, Yah, Bu. Lita akan turuti semua saran dokter," kata Thalita. Pun Thalita mengutarakan tentang keinginannya untuk menjadi sekretaris Darren. "Ya, bagus itu," kata Sadewo. Rossi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau itu mau Nak Lita, Ibu, sih, tidak keberatan. Bagus malah. Ibu justru akan khawatir kalau sekretaris Ge itu wanita lain."Mendapat dukungan dari mertua membuat Thalita merasa menang. Wanita itu menatap suaminya sambil menaikturunkan al
Pesta mewah itu telah usai. Pesta yang tak hanya memberi kebahagiaan untuk Darren dan Thalita saja, melainkan semua tamu undangan. Rasa kantuk dan lelah sudah pasti menyergap pasangan itu. Bagaimana tidak? Pesta itu berlangsung hingga malam hari. "Tidur, Sayang," kata Darren. Thalita tersenyum. "Aku memang lelah dan ngantuk. Tapi, semua rasa itu kalah dengan rasa bahagia yang aku rasakan saat ini, Kak. Mata ini seolah-olah menolak untuk terpejam. Aku tidak sedang bermimpi, kan?"Darren tersenyum penuh arti. "Coba pejamkan matamu."Thalita menuruti perintah Darren tanpa menaruh curiga. Bibir Darren membekap bibir Thalita, bahkan gigitan kecil pria itu berikan membuat Thalita membuka mulutnya. Tidak membuang kesempatan, dengan leluasa lidah Darren menyusuri setiap rongga mulut Thalita. Ciuman itu kian rakus saat tangan Darren memegang bagian dada Thalita. Darren melepaskan ciuman yang menyisakan napas Thalita yang memburu dan bibir yang basah. "Tidak mimpi, kan?" tanya Darren. Th
Muach ... muach ... muach!"Kecupan bertubi-tubi Darren sematkan di bibir Thalita. "Sayang, bangun!""Heemm ...." Thalita merubah posisi tidurnya tanpa membuka mata. Darren tersenyum sambil membetulkan selimut yang membungkus tubuh istrinya itu. Belaian penuh kasih sayang pun Darren usapkan pada pucuk kepala."Maaf, kamu pasti lelah," gumam Darren. Bagaimana tidak? Permainan yang katanya malam pertama itu berakhir pada dini hari. Darren memutuskan untuk membersihkan diri. Setelah ritual mandi selesai, rupanya Thalita belum juga bangun. Pria itu tidak mempermasalahkan.Setelah berpakaian rapi, Darren pergi ke dapur."Bi, tolong siapkan saja sarapan untuk istriku. Dia tidak masak pagi ini.""Baiklah, Tuan. Saya lebih senang seperti ini. Menyiapkan sarapan untuk majikan, daripada hanya melihat. Malu, Tuan."Darren tersenyum. "Anggap itu bonus untuk Bibi. Pekerjaan Bibi berkurang, walaupun sedikit. Oh, ya, untuk saya tolong siapin sandwich saja."Darren kembali ke kamar dan sang ART pu
Kamar bernuansa putih, selang infus dan oksigen menjadi pemandangan Rossi malam itu. Terlebih lagi suara dari mesin pendeteksi jantung membuat suasana bertambah tegang. Ya, tepat di hadapannya Sadewo terbaring tak sadarkan diri. Ia mengalami kecelakaan tunggal. Wanita paruh baya itu hanya mampu menatap wajah Sadewo yang pucat, tetapi masih tampak tampan, menurutnya. Tidak terasa air mata pun menetes. "Sadarlah, Mas. Aku Mohon ...." Rossi berucap tanpa ia sadari. Semula, Rossi akan menghubungi Darren. Akan tetapi, ia urungkan karena tidak mau mengganggu kebahagiaan sang putra. Sudah tiga jam, Sadewo tak kunjung sadar. Ada rasa sakit dalam hati Rossi melihat kemalangan yang menimpa mantan suaminya itu. Malam kian larut. Rasa kantuk menyergap. Rossi memutuskan untuk tidur sembari duduk di kursi dekat dengan Sadewo.Usapan di kepala membuat Rossi perlahan membuka mata. "Mas, Mas sudah sadar?!" serunya sambil menggenggam tangan Sadewo. Sadewo tersenyum. "Terima kasih telah sudi berad