“Maaf Pa, Mas Ardan sudah menghina Aluna, sudah cukup dan Aluna pikir Mas Ardan bisa melihat kekurangan Aluna tapi tidak cinta dan kasih sayang Aluna tidak bisa membuat Mas Ardan mengerti. Dia ingin mempunyai istri yang sempurna tapi Aluna tidak bisa memberikannya. Papa jangan membenci Mas Ardan dan Mbak Delia sebentar lagi Papa akan menjadi seorang Kakek, bukankah itu yang Papa inginkan?” jelas Aluna lemah lembut.“Sampai kapan pun Papa tidak akan pernah menganggapnya sebagai cucu Papa jika anak itu dari rahim wanita seperti Delia!” hardiknya kesal. Aluna berusaha untuk memberi pengertian tetapi tetap saja orang tua itu masih saja tidak peduli dengan omongan Aluna. Tuna Ardin menghela napas panjang setelah mendengar curhatan Aluna. Meskipun ada rasa kecewa, marah, kesal karena Aluna sudah memutuskan sendiri tanpa berkompromi dengannya tapi dia pun mengerti posisi Aluna yang serba salah dan Ardan sendiri pun sudah melepaskan Aluna begitu saja. Orang tua itu bangkit dari tempat duduk
“Akh ... augh sakit!” jerit wanita itu saat tubuhnya mendarat sempurna di lantai. Ardan menemukan ponselnya, dia lalu mengambil dan menyalakan ponsel itu. Wajahnya memucat saat terlihat banyak panggilan masuk yang tak terjawab. Apalagi nama yang tertera di layar ponsel itu adalah Tuan Ardin.“Astaga kenapa Papa menghubungiku sampai sebanyak ini?” Ardan menggusar rambutnya. Rasa penasaran dan gelisah sudah menyelimuti hatinya. Mau tak mau Ardan harus segera menghubungi Tuan Ardin. Sedangkan wanita itu dibiarkan oleh Ardan yang masih menahan rasa sakit akibat ulah Ardan.Nada tersambung, tenggorokannya seakan tercekat saat panggilan itu terjawab dengan suara nada dingin.“Halo!”“Pa?” “Bagus Ardan kamu memang anak yang tidak bisa diharapkan. Apa yang kamu lakukan diluar sana, hah? Ingin membuat perusahaan kita hancur? Apa maumu Ardan?”Ardin bingung dengan ucapan Tuan Ardin yang langsung menyalahkan dirinya.“Ma—maksud Papa? Apa yang Ardan lakukan? Ada apa, Pa?”“Kamu mau membuat Pa
“Papa?” panggil Ardan lirih. Tuan Ardin menatap tajam saat terdengar suara Ardan memanggilnya. “Lihat, orang yang kita tunggu sudah datang,” sindir Tuan Ardin. Tampilan Ardan yang seperti bangun tidur, rambut acak-acakan dengan pakaian yang sedikit berantakan. Ardan menghempaskan bokongnya di sofa empuk di samping Bu Rini.“Ada apa Pa, kenapa kita berkumpul di sini? Kepala Ardan masih pusing dan ....” “Apa yang kamu lakukan Ardan? Apakah kamu sudah bosan hidup kaya seperti sekarang ini sehingga kamu melakukan semua ini?”Ardan masih bingung dengan apa yang dikatakan oleh Tuan Ardin. “Sayang, jadi kamu benar melakukan itu, kamu sangat keterlaluan bagaimana jika video rekaman itu tersebar luas dan aku juga bisa mendapatkan getahnya?” Wajah Delia memelas dan sendu. Ardan baru menyadari kalau yang mereka bicarakan adalah hubungan satu malamnya di ranjang itu. Tuan Ardin sudah mengatakannya kalau ada yang mengirimi rekaman itu melalui ponselnya. Tidak ada pemerasan untuk meminta
“Semua sudah kamu putuskan sendiri aku bisa apa sekarang, bahkan aku ingin menjadi pelindungmu saja tidak diizinkan apalagi menjadi bagian dalam hidupmu, Aluna?” tanya Rayhan dengan wajah memelas. Aluna terdiam dan hanya menanggapinya dengan senyuman. Sesaat kemudian dia pun berkata. “Maaf Mas, aku hanya ingin sendiri dan aku ingin masa laluku terkubur dalam-dalam sehingga aku akan susah membukanya kembali.”Dengan berat hati akhirnya Rayhan melepaskan kepergian Aluna. Setelah semua yang berkaitan dengan keluarga Batara selesai Aluna pun segera meninggalkan kota Jakarta sambil membawa kenangan pahit bersama Ardan. “Aku akan selalu menunggumu Aluna, aku akan bisa menemukan kamu, aku percaya kalau Tuhan akan melindungi di mana kamu berada,” ucap Rayhan dengan mantap. Tak banyak berpikir tiba-tiba saja Aluna memeluk Rayhan. Sedangkan pria tampan itu merasakan hawa panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Rayhan sebisa mungkin menahan gejolak nafsunya saat Aluna spontan memeluknya.
“Bagaimana menurutmu, Sayang, sangat bagus, bukan?” Delia terlihat sangat bahagia karena foto mereka bertiga terpampang jelas di sana. Ardan hanya diam tidak menanggapi pertanyaan Delia yang sekarang telah menjadi istrinya kurang lebih empat tahun berjalan. Tidak ada yang salah dengan foto itu bahkan Delia tidak bersalah untuk memajang foto itu karena sejatinya mereka adalah sebuah keluarga yang terlihat harmonis di lihat orang banyak.“Kenapa kamu berani mengganti foto itu?” tanya Ardan sambil menatap Delia dengan tatapan dingin dan menekan.Delia balas menatap dengan berani. “Kenapa ada yang salah? Seharusnya kamu yang tahu diri Ardan kalau kamu dan keluarga kamu masih bisa hidup enak karena aku, bukan begitu?” ejek Delia tersenyum sinis.Ardan pun balas tersenyum. “Ya aku juga baru tahu kalau kamu itu wanita tak tahu diri, hidup enak karena kamu? Ayolah Delia, kamu tahu dari mana harta kamu berasal kalau bukan karena kebodohanku sendiri yang memberikan semuanya kepadamu,” ejekny
“Cepat keluar dari sini, aku sudah muak denganmu!” geram Ardan kesal. Delia tersenyum saat melihat kekesalan di wajah Ardan. Semakin Ardan kesal semakin Delia merasa puas mengerjai suaminya itu. “Kamu pikir kamu bisa melakukan hal ini padaku? Tidak bisa Ardan kamu harus tunduk dengan apa yang aku katakan. Bersikap lembut lah, Sayang,” sahutnya dengan penuh penekanan.Ardan menatap elang kepada Delia, tapi wanita itu pun membalas tatapan Ardan tanpa rasa takut. “Aku tidak menyangka kamu bisa berbuat seperti, aku menyesal telah terbuai dengan bujuk rayumu, ternyata aku sudah salah menilai kamu dan Aluna. Seandainya saja aku tidak termakan hasutan kalian dan lebih peka mengenal Aluna, tentu aku tidak menjadi seperti ini! Kamu tahu Delia, sepertinya aku memang sudah tidak mencintaimu lagi, dan aku berjanji semua yang kamu ambil secara paksa akan kembali utuh kepadaku!” ucapnya menggebu-gebu. Namun, omongan Ardan seperti angin lalu bagi Delia. Wanita seksi itu tahu kalau suaminya tida
Mengingat masa lalu itu Ardan semakin marah. Apalagi dia menyalahkan Tuan Ardin atas semua yang terjadi. Menurut Ardan seandainya Tuan Ardin mengatakan siapa Aluna sebenarnya tentu tidak akan seperti ini.Hubungan antara ayah dan anak itu pun menjadi renggang, akan tetapi Ardan masih peduli dengan Tuan Ardin sehingga masih mau merawatnya sampai sekarang ini. Pria tua itu kini kembali sakit-sakitan karena terus memikirkan Aluna. Sedangkan Ardan antara marah dan merasa bersalah karena dirinya sendiri yang tidak peka dengan Aluna.“Kenapa Papa menyembunyikan hal sebesar ini? Kenapa Pa? Dan Aluna kenapa juga tidak memberitahukan kalau dia yang telah menolongku dari kecelakaan, bahkan kakinya menjadi korban karena aku! Aku memang tidak bisa melihat kebaikan Aluna, bahkan dia rela bertahan selama dua tahun dari keluarga ini padahal dia sudah banyak membantu. Aku tidak bisa diam begitu saja, aku harus mencarinya tapi di mana? Sedangkan nomor ponselnya saja sudah tidak aktif dan menyuruh or
“Bu—bukan Dok, dia anak saya dengan Delia,” jawab Ardan masih bingung dengan pertanyaan Dokter Yasmin. “Oh, kamu menikah lagi? Dan di mana anak Aluna pasti dia juga sebesar ini juga, kan?” lanjutnya bertanya dengan semangat. “Mak—maksud Dokter kenapa dengan Aluna?” tanya Ardan masih bingung. “Apakah kamu tidak tahu kalau Aluna sedang hamil?” Dokter Yasmin mengerutkan dahinya.“Apa maksud Dokter, Aluna hamil tapi dia?” Ardan masih syok dengan pertanyaan dokter itu. Dia mengusap rambutnya dengan kasar. Dena melihat ayahnya tampak marah dan kesal membuat gadis kecil itu takut.“Papi kenapa?” tanya gadis kecil itu pelan. Ardan baru sadar kalau ada anak kecil yang mendengar percakapan mereka. Buru-buru Ardan mengubah ekspresinya menjadi biasa kembali.“Sayang, Papi nggak apa-apa. Dena bisa tunggu sebentar di sini, Papi mau bicara sebentar sama dokter. Boleh?” pinta Ardan memelas.Gadis kecil itu mengangguk pelan dan mencari tempat duduk langsung. Sedangkan Ardan masih ingin bicara denga
Naya bangun dan melihat Ardan sedang menutup matanya. “Apakah Abi sangat kelelahan sehingga di jam seperti ini masih bisa beristirahat?” gumamnya dalam hati sambil menatap kearah Ardan. Naya beranjak dari tempat duduknya dengan perlahan-lahan lalu sampai lah dia di sofa tempat Ardan duduk dengan posisi sang masih sama. Muncul dalam pikirannya untuk bisa meringankan masalah yang dihadapi olehnya. Gadis kecil itu pun berinisiatif untuk memijat kening Ardan dengan tangan kecilnya. Ardan pun belum menyadari siapa yang telah membuatnya sedikit rileks. Dia beranggapan kalau itu adalah tangan Aluna. Ardan pun mengingat masa lalu saat tanpa disuruh Aluna langsung memijat kening Ardan begitu lembut. Awalnya menolak karena menjaga gengsi tapi lama kelamaan pijatan itu semakin terasa enak dan membuat Ardan tertidur. “Luna?” panggilnya seketika dan mengagetkan Naya yang sedang memijit keningnya. Mata Ardan melotot seperti hampir keluar dari tempatnya. “Na—naya?” Ardan masih tidak percaya
Wajah imut menggemaskan membuat pria tampan itu tidak bosan memandangnya. Baru kali ini Ardan bisa melihat putri kandungnya terlelap dalam mimpi. Dia pun tak menyangka jika telah dianugerahi dengan buah hati yang cantik dan sholehah. Seketika lamunannya tersadar bagaimana dia bisa sampai disini, apakah hati Aluna sudah mencair karena mau mengizinkan putrinya bersama ayah kandungnya sendiri?“Anaya? Dia di sini juga? Apa Dena sudah meminta izin untuk membawanya ke sini?” tanya Ardan kembali terkejut.“Nggak Pi, soalnya hari Tante Luna tidak masuk mengajar dia sibuk dengan orderan, kata Naya sih. Tadinya juga Naya nggak dijemput makanya Dena bawa saja ke sini,” jelasnya.“Jadi Tante Luna tidak tahu dong kalau Anaya ada di sini?”“Iya Pi.”“Gawat ini Dena, kenapa kamu tidak beritahu Tante Luna, kamu kan bisa menghubunginya?” Ardan begitu panik karena Aluna akan marah besar dan akan menuduh kalau Ardan lah yang merencanakan semuanya. “Papi lupa ya ponsel Dena kan sama Papi dan sekarang
Mengingat masa lalu itu Ardan semakin marah. Apalagi dia menyalahkan Tuan Ardin atas semua yang terjadi. Menurut Ardan seandainya Tuan Ardin mengatakan siapa Aluna sebenarnya tentu tidak akan seperti ini.Hubungan antara ayah dan anak itu pun menjadi renggang, akan tetapi Ardan masih peduli dengan Tuan Ardin sehingga masih mau merawatnya sampai sekarang ini. Pria tua itu kini kembali sakit-sakitan karena terus memikirkan Aluna. Sedangkan Ardan antara marah dan merasa bersalah karena dirinya sendiri yang tidak peka dengan Aluna.“Kenapa Papa menyembunyikan hal sebesar ini? Kenapa Pa? Dan Aluna kenapa juga tidak memberitahukan kalau dia yang telah menolongku dari kecelakaan, bahkan kakinya menjadi korban karena aku! Aku memang tidak bisa melihat kebaikan Aluna, bahkan dia rela bertahan selama dua tahun dari keluarga ini padahal dia sudah banyak membantu. Aku tidak bisa diam begitu saja, aku harus mencarinya tapi di mana? Sedangkan nomor ponselnya saja sudah tidak aktif dan menyuruh or
Lima belas menit perjalanan akhirnya mereka sampai di sebuah gedung menjulang tinggi. Naya sampai tertegun saat melihat gedung dan sekitarnya yang begitu indah di pandang mata. Pak supir menurunkan mereka di halaman parkir. Dena yang sering pergi ke kantor ayahnya sudah terbiasa untuk keluar masuk di gedung itu. “Sungguh ini kantor Abi? Tinggi sekali? Apakah banyak orang di dalam sana?” tanya Naya dalam hati begitu takjub melihatnya.Dena memperhatikan Naya yang begitu lugu melihat bangunan itu. “Apakah kamu tidak pernah melihat gedung-gedung seperti ini?” tanya Dena bingung. “Pernah lihat tapi hanya di televisi. Ini sungguhan kan?” Naya begitu bersemangat untuk mengitari pemandangan itu. “Ya iyalah, masa mainan. Ayuk, kita masuk!” “Tunggu Dena!” panggilnya lagi.“Ada apa, Naya?” Naya berlari kecil menghampiri Dena yang telah jalan duluan. “Memang anak kecil seperti kita boleh masuk ke sana , nanti kalau diusir bagaimana?” tanya Naya meragukan.“Naya sayang, kantor ini milik P
Mendengar ucapan Bu Nia Aluan pun terkejut. Bu Nia kembali menjelaskan kalau Dena sendiri yang berinisiatif membawa Naya ikut dengannya, karena sampai di kantor Ardan pun terkejut dengan kedatangan dua gadis kecil itu ke kantornya. Setengaj jam yang lalu ....Bel sekolah telah berbunyi yang menandakan mereka pulang sekolah. Anak-anak berlarian ke luar mencari penjemput mereka. Hanya Naya dan Aluna yang belum terlihat. Meskipun Naya tahu kalau hari ini Umminya sedang sibuk dengan pesanan orderan yang semakin meludak. “Naya, kamu belum dijemput ya?” tanya Dena polos.“Iya, mungkin Ummi lupa kalo jemput Naya,” sahutnya sedikit kecewa.“Dena juga belum di jemput, hari ini. Papi juga sibuk pasti papi tidak menjemput Dena .”“Nasib kita kok sama ya?” tanya Naya menatap sendu.“Kita tunggu di luar yuk!” ajak Dena kembali bersemangat.“Oke!”Mereka pun melangkah pergi untuk sampai di depan gerbang sekolah. Pak Agus melihat mereka berdua saling berpegangan tangan “Kalian berdua belum dije
Hari-hari berlalu dijalani oleh dua keluarga yang berbeda. Dena semakin akrab dengan Naya. Mereka begitu lengket bagaikan prangko, selalu bersama-sama. Dena pun memang tak pernah lagi ikut menertawakan Naya jika dia kena di bully malah Dena yang akan membela Naya jika asa yang berani mengganggu Naya. Aluna semakin sibuk dengan urusan warungnya karena semakin hari semakin banyak orderan yang datang untuknya. Aluna sampai kewalahan untuk mengatasinya sehingga Ardan pun memperkerjakan karyawan tetap untuk membantu Aluna. Ya berkat Ardan yang melobi ke sana kemari untuk memperkenalkan masakan Aluna sehingga banyak yang ingin mencobanya, ada juga yang memesan tiap hari untuk dijadikan menu makan mereka di kantin.Aluna menolak uang pemberian Ardan. Dia berdalih untuk kebutuhan Anaya tapi Aluna tidak mau memakai uang itu dan mengembalikannya kepada mantan suaminya itu. Ardan berpikir keras untuk bisa membantu perekonomian Aluna, sehingga timbul ide untuk membuat warung Aluna semakin dike
Naya memperhatikan wajah pria itu lebih dekat lagi. Wajah yang sempurna dan memang mempunyai kemiripan dengan Naya. “Abi memang sangat tampan pantas saja banyak yang menyukai Abi, tapi apakah Abi juga banyak pacar? Buktinya Abi dulu tidak menyukai Ummi karena Ummi cacat, dan sekarang Abi kembali dan ingin mengajak kami untuk hidup bersama. Naya Ingin sekali mempunyai keluarga yang utuh. Naya ingin memeluk Abi. Naya ingin mereka tahu kalau Naya masih mempunyai Abi tapi bagaimana dengan nasib Dena? Apakah dia akan membenci Naya jika dia tahu Nayalah putri kandungnya bukan Dena,” gelisahnya dalam hati.“Apakah Naya tidak merindukan Abi dan apa yang dikatakan Ummi tentang Abi Naya?” desak Ardan ingin mengetahui apa saja yang diajarkan oleh Aluna. “Awalnya iya, Naya kan nggak pernah melihat wajah Abi Naya, tapi setiap Naya bertanya di mana Abi Naya Ummi langsung terlihat sedih. Dari situ Naya nggak akan pernah bertanya lagi tentang jika membuat Ummi menangis,” jelasnya panjang lebar.De
Ardan langsung melepaskan Aluna karena dia juga tidak mau akan terjadi sesuatu hal dengannya dan Naya.“Maaf Lun, aku hanya ....” ucapan menggantung saat Aluna langsung bertanya tentang kondisi papanya. “Bagaimana kondisi papa apakah beliau baik-baik saja?” akhirnya Aluna juga penasaran dengan kondisi kesehatan mantan mertuanya itu. “Alhamdulillah untuk saat ini baik-baik saja. Papa tidak bekerja lagi di perusahaan, kini aku yang mengambil tanggung jawab itu. Ternyata apa yang papa lakukan di perusahaan aku baru menyadarinya kalau tanggung jawab papa semasa itu sangat berat, aku baru menyadari semuanya,” jelas Ardan pelan.Aluna kembali duduk diikuti oleh Ardan. Dia senang akhirnya Aluna mau mendengarkan keluh kesahnya. “Alhamdulillah akhirnya kamu bisa berubah, Mas. Kamu mengambil tanggung jawab dengan benar. Berarti permintaan papa sudah kamu turuti,” sahutnya tersenyum lega jika mantan mertuanya masih sehat.“Nggak semuanya Lun, ada satu permintaan yang belum bisa aku turuti,”
Aluna pun melihat sekelilingnya dan benar memang masih banyak pembeli yang ingin dilayaninya.“Maaf, tapi tidak bisa lama-lama karena warung masih ramai atau mau menunggu sebentar, saya nggak bisa meninggalkan mereka?” bujuknya karena memang masih terlihat ramai. “Tante, Dena juga harus istirahat, kami juga belum pulang ke rumah kecuali kami boleh menginap di rumah Tante, boleh kan?” Dena begitu bersemangat. “Tidak!” jawab lantang Naya hampir sebagian orang melihat ke arahnya.Aluna tak enak hati jika dilihat banyak orang. Mau tak mau Aluna membawanya ke rumah yang terletak di samping warungnya. Mereka pun duduk di teras rumah. Sedangkan Naya tetap berdiri di samping Aluna yang sudah duduk bersama Ardan dan Dena. Ada sedikit rasa canggung untuk bisa duduk bersama apalagi jarak duduk mereka tidak terlalu jauh. Ardan tak lepas memandangi terus wajah Aluna sehingga wanita cantik itu pun bersemu merah. Dena yang tidak mengetahui apa-apa pun sedikit merasa curiga dengan gerak tubuh pa