“Bu—bukan Dok, dia anak saya dengan Delia,” jawab Ardan masih bingung dengan pertanyaan Dokter Yasmin. “Oh, kamu menikah lagi? Dan di mana anak Aluna pasti dia juga sebesar ini juga, kan?” lanjutnya bertanya dengan semangat. “Mak—maksud Dokter kenapa dengan Aluna?” tanya Ardan masih bingung. “Apakah kamu tidak tahu kalau Aluna sedang hamil?” Dokter Yasmin mengerutkan dahinya.“Apa maksud Dokter, Aluna hamil tapi dia?” Ardan masih syok dengan pertanyaan dokter itu. Dia mengusap rambutnya dengan kasar. Dena melihat ayahnya tampak marah dan kesal membuat gadis kecil itu takut.“Papi kenapa?” tanya gadis kecil itu pelan. Ardan baru sadar kalau ada anak kecil yang mendengar percakapan mereka. Buru-buru Ardan mengubah ekspresinya menjadi biasa kembali.“Sayang, Papi nggak apa-apa. Dena bisa tunggu sebentar di sini, Papi mau bicara sebentar sama dokter. Boleh?” pinta Ardan memelas.Gadis kecil itu mengangguk pelan dan mencari tempat duduk langsung. Sedangkan Ardan masih ingin bicara denga
“Papi nggak dimarahi Sayang jangan khawatir dan nanti kalau sampai di rumah enggak usah bilang-bilang sama yang lain kalau tadi Papa bertemu dengan ibu dokter itu ya,” pinta Ardan memasang wajah sedih.Dena mengerutkan dahinya. “Memang kenapa Pa? Papa takut ya dimarahi sama Opa?” tanya gadis kecil itu bingung.“I—iya Sayang, lagian Opa lagi sakit nggak baik membuat Opa banyak pikiran nanti tambah sakit kan?” bujuk Ardan. “Oh iya benar juga sih, oke, Papa jangan khawatir semua rahasia Papa aman bersama Dena, asalkan?” ucapan gadis kecil itu berhenti saat memikirkan sesuatu.Ardan pun tampak bingung melihat tingkah laku putrinya yang begitu menggemaskan. Hanya dia yang bisa mengobati dan memberikan kehangatan saat Ardan merasa jenuh dan lelah berada dalam tekanan seperti ini.“Permintaan Dena hanya satu Pa, jangan berhenti menyayangi Dena dan jika suatu hari nanti Papa bercerai dengan Mama dan ingin menikah lagi, Dena ingin Papa tidak melupakan Dena dan masih tetap menyayangi Dena,” j
Orang tua itu sangat sedih karena putranya. Dia pun merasa bersalah karena tidak berterus terang siapa Aluna sebenarnya, tapi Tuan Ardin tidak bisa berbuat apa-apa saat Aluna sendiri yang meminta untuk merahasiakannya. “Ardan, kamu dengar Mama nggak sih? Kamu itu harus cepat-cepat mencari cara agar Delia bisa memberikan tanda tangannya lagi untuk menyerahkan harta warisan papa kepada kamu,” ucap Bu Rini penuh semangat.“Iya Ardan, Mbak juga setuju dengan Mama,” timpa Sari ikut bersemangat.Ardan masih tak bergeming, dia tetap mengunyah makanannya tanpa ingin memedulikan ocehan mereka. “Ardan kamu dengar nggak sih? Kalau orang tua lagi bicara tolong didengarkan jangan berpura-pura nggak tahu!” bentak Bu Rini sedikit keras. “Iya nih, nggak asyik banget,” timpa Sari lagi dengan wajah cemberut. Tuan Ardin membanting sendok dan garpu bersamaan membuat orang di sekitar meja makan itu kaget dengan sikap Tuan Ardin selanjutnya. “Bisakah kalian berhenti bicara saat makan? Apakah saya har
Ardan menatap langit malam yang bertaburan bintang. Udara semakin menusuk sampai kulitnya tapi kekosongan hatinya masih terasa sampai sekarang. “Kenapa hidup Ardan menjadi seperti ini, Pa? Kenapa Ardan tidak bisa melihat ketulusan cinta Aluna? Kenapa rasa itu tidak ada saat dia masih di sini tapi setelah dia pergi kenapa rasa itu seperti menggerogoti hati Ardan sampai ke akar-akarnya? Ardan sangat menyesal, Ardan ingin mencari Aluna dan meminta penjelasan darinya!” Tekad Ardan sudah bulat dia ingin mencari Aluna.Tuan Ardin menghela napas panjang. Dia lalu duduk di samping Ardan.“Udaranya sangat dingin hari ini tapi hatimu sudah tidak sedingin dulu. Papa mengerti apa yang kamu rasakan Ardan. Dari dulu Papa ingin memberitahukan sebenarnya tapi Papa sudah bersumpah kepada Aluna untuk tidak memberitahukan semuanya ke kamu. Dia ingin melihat apakah kamu mencintainya atau tidak. Ternyata Aluna benar sudah dua tahun kalian menikah tapi kalian tetap dingin. Aluna hanya seorang wanita biasa
Matahari pagi sudah menyambutnya. Begitu juga dengan mereka yang begitu bersemangat untuk mengawali aktivitas pagi setiap harinya. Wanita cantik itu pun mengawalinya dengan bahagia bersama puteri kesayangannya yang masih berumur empat tahun itu. Tingkah laku yang menggemaskan membuat Aluna selalu tersenyum meskipun masih ada luka yang tak kunjung sembuh untuk dihilangkan.Sudah empat tahun berlalu, Aluna bisa melewatinya dengan penuh perjuangan. Hidup di kota sendirian tidak membuat Aluna patah semangat untuk merawat dan membesarkan buah cintanya dengan penuh kasih sayang.Pengorbanan Aluna untuk bertahan dari semua hinaan dan caci maki dari sekitar orang mampu membuatnya menjadi wanita yang tegar dan mandiri. Bahkan mereka yang pernah merendahkan Aluna begitu salut dengan perjuangan dirinya yang begitu banyak masalah. Apalagi Aluna dikenal sebagai janda cantik yang bisa memperdaya banyak kaum Adam. Namun semua dia tangguhkan, Aluna yang sekarang lebih menutup aurat membuat penamp
Anaya Nuraini Batara nama gadis kecil itu seharusnya, tapi Aluna menghilangkan nama Batara sehingga gadis kecil itu tidak tahu siapa ayahnya. Meskipun kadang Anaya bertanya siapa sosok ayahnya Aluna selalu menjawab kalau ayahnya masih hidup dan bekerja di luar kota. Wajah Aluna akan terlihat sedih jika Anaya membicarakan sosok itu sehingga gadis kecil itu pun tidak mau bertanya lagi tentang keberadaan ayahnya. Tumbuh di lingkungan yang banyak memberikan kasih sayang sehingga membuat hati Anaya terobati, meskipun di dalam lubuk hati yang paling dalam Anaya ingin sekali bertemu dengan ayah kandungnya tanpa harus menyakiti perasaan Aluna. Tak jarang dalam doanya dia meminta untuk bisa dipertemukan oleh Ayah kandungnya. Meskipun Aluna tidak pernah menginginkan Anaya membenci pria itu tapi Anaya kecil tahu kalau orang yang disebut Ayah itu sudah melakukan kesalahan sehingga Aluna bersedih.Semua orang tahu bahkan Aluna menyadari akan hal itu, tapi nyalinya begitu kecil untuk mengungkapkan
Aluna melihat wajah sedih Pak Udin. Sesekali pria tua itu mengusap air matanya yang jatuh sendiri membasahi wajah keriputnya.“Ada apa Pak?” tanya Aluna pelan.“Nggak apa-apa Bu. Hanya rindu dengan anak saya Putri. Seminggu yang lalu anak saya memang sakit dan Allah sudah mengambilnya. Mungkin Allah lebih sayang dengan Puteri daripada dia hidup dengan saya sakit-sakitan,” jelasnya tertunduk lesu. Aluna terkejut dengan ucapan Pak Udin. “Jadi maksud Bapak yang ditanya sama Naya itu Puteri anak Bapak sudah meninggal?” “Iya Bu, Putri memang mempunyai penyakit kelainan jantung. Saya tidak bisa membawanya berobat, tidak ada yang tahu bahkan Neng Naya tidak tahu kalau Putri sakit keras. Dia hanya ingin mempunyai teman sebelum ajal menjemputnya dan itu telah dikabulkan dengan kehadiran Neng Naya bisa menghibur hati Putri.”“Innalilailahi wa inna lagi rojiun, maaf Pak saya nggak tahu kalau Putri sakit. Memang dia ada cerita kalau dia mempunyai teman baru yang bernama Putri, Pak,” jawab Alun
Tidak jauh memang dari tempat taman bermain itu dengan tempat panti asuhan sehingga es krim yang dibawanya tidak terlalu banyak meleleh. Lima menit berlalu akhirnya mereka sampai didepan pintu gerbang panti asuhan Kasih Bunda. Aluna langsung memarkirkan motor matic kesayangannya di dalam halaman panti asuhan. Mereka yang sedang berada di halaman langsung berhambur menyambut kedatangan ibu dan anak itu. Aluna dan Anaya memang sering datang ke panti asuhan itu selain memberikan makanan dan minuman, kadang Anaya di titipkan sementara di sana jika gadis kecil itu ingin bermain di panti asuhan itu bersama teman-teman sebayanya. Dengan kehadiran banyak teman membuat Anaya tidak sendirian, tawa bahagia selalu terlihat di wajah gadis kecil yang polos itu. Bu Rani selaku pemilik panti asuhan itu adalah orang pertama yang menerima Aluna. Setidaknya ada orang yang menurut Aluna dijadikan tempat berkeluh kesah selama perjalanan hidupnya sampai sekarang. “Apa yang kamu pikirkan, Lun?” tanya Bu
Naya bangun dan melihat Ardan sedang menutup matanya. “Apakah Abi sangat kelelahan sehingga di jam seperti ini masih bisa beristirahat?” gumamnya dalam hati sambil menatap kearah Ardan. Naya beranjak dari tempat duduknya dengan perlahan-lahan lalu sampai lah dia di sofa tempat Ardan duduk dengan posisi sang masih sama. Muncul dalam pikirannya untuk bisa meringankan masalah yang dihadapi olehnya. Gadis kecil itu pun berinisiatif untuk memijat kening Ardan dengan tangan kecilnya. Ardan pun belum menyadari siapa yang telah membuatnya sedikit rileks. Dia beranggapan kalau itu adalah tangan Aluna. Ardan pun mengingat masa lalu saat tanpa disuruh Aluna langsung memijat kening Ardan begitu lembut. Awalnya menolak karena menjaga gengsi tapi lama kelamaan pijatan itu semakin terasa enak dan membuat Ardan tertidur. “Luna?” panggilnya seketika dan mengagetkan Naya yang sedang memijit keningnya. Mata Ardan melotot seperti hampir keluar dari tempatnya. “Na—naya?” Ardan masih tidak percaya
Wajah imut menggemaskan membuat pria tampan itu tidak bosan memandangnya. Baru kali ini Ardan bisa melihat putri kandungnya terlelap dalam mimpi. Dia pun tak menyangka jika telah dianugerahi dengan buah hati yang cantik dan sholehah. Seketika lamunannya tersadar bagaimana dia bisa sampai disini, apakah hati Aluna sudah mencair karena mau mengizinkan putrinya bersama ayah kandungnya sendiri?“Anaya? Dia di sini juga? Apa Dena sudah meminta izin untuk membawanya ke sini?” tanya Ardan kembali terkejut.“Nggak Pi, soalnya hari Tante Luna tidak masuk mengajar dia sibuk dengan orderan, kata Naya sih. Tadinya juga Naya nggak dijemput makanya Dena bawa saja ke sini,” jelasnya.“Jadi Tante Luna tidak tahu dong kalau Anaya ada di sini?”“Iya Pi.”“Gawat ini Dena, kenapa kamu tidak beritahu Tante Luna, kamu kan bisa menghubunginya?” Ardan begitu panik karena Aluna akan marah besar dan akan menuduh kalau Ardan lah yang merencanakan semuanya. “Papi lupa ya ponsel Dena kan sama Papi dan sekarang
Mengingat masa lalu itu Ardan semakin marah. Apalagi dia menyalahkan Tuan Ardin atas semua yang terjadi. Menurut Ardan seandainya Tuan Ardin mengatakan siapa Aluna sebenarnya tentu tidak akan seperti ini.Hubungan antara ayah dan anak itu pun menjadi renggang, akan tetapi Ardan masih peduli dengan Tuan Ardin sehingga masih mau merawatnya sampai sekarang ini. Pria tua itu kini kembali sakit-sakitan karena terus memikirkan Aluna. Sedangkan Ardan antara marah dan merasa bersalah karena dirinya sendiri yang tidak peka dengan Aluna.“Kenapa Papa menyembunyikan hal sebesar ini? Kenapa Pa? Dan Aluna kenapa juga tidak memberitahukan kalau dia yang telah menolongku dari kecelakaan, bahkan kakinya menjadi korban karena aku! Aku memang tidak bisa melihat kebaikan Aluna, bahkan dia rela bertahan selama dua tahun dari keluarga ini padahal dia sudah banyak membantu. Aku tidak bisa diam begitu saja, aku harus mencarinya tapi di mana? Sedangkan nomor ponselnya saja sudah tidak aktif dan menyuruh or
Lima belas menit perjalanan akhirnya mereka sampai di sebuah gedung menjulang tinggi. Naya sampai tertegun saat melihat gedung dan sekitarnya yang begitu indah di pandang mata. Pak supir menurunkan mereka di halaman parkir. Dena yang sering pergi ke kantor ayahnya sudah terbiasa untuk keluar masuk di gedung itu. “Sungguh ini kantor Abi? Tinggi sekali? Apakah banyak orang di dalam sana?” tanya Naya dalam hati begitu takjub melihatnya.Dena memperhatikan Naya yang begitu lugu melihat bangunan itu. “Apakah kamu tidak pernah melihat gedung-gedung seperti ini?” tanya Dena bingung. “Pernah lihat tapi hanya di televisi. Ini sungguhan kan?” Naya begitu bersemangat untuk mengitari pemandangan itu. “Ya iyalah, masa mainan. Ayuk, kita masuk!” “Tunggu Dena!” panggilnya lagi.“Ada apa, Naya?” Naya berlari kecil menghampiri Dena yang telah jalan duluan. “Memang anak kecil seperti kita boleh masuk ke sana , nanti kalau diusir bagaimana?” tanya Naya meragukan.“Naya sayang, kantor ini milik P
Mendengar ucapan Bu Nia Aluan pun terkejut. Bu Nia kembali menjelaskan kalau Dena sendiri yang berinisiatif membawa Naya ikut dengannya, karena sampai di kantor Ardan pun terkejut dengan kedatangan dua gadis kecil itu ke kantornya. Setengaj jam yang lalu ....Bel sekolah telah berbunyi yang menandakan mereka pulang sekolah. Anak-anak berlarian ke luar mencari penjemput mereka. Hanya Naya dan Aluna yang belum terlihat. Meskipun Naya tahu kalau hari ini Umminya sedang sibuk dengan pesanan orderan yang semakin meludak. “Naya, kamu belum dijemput ya?” tanya Dena polos.“Iya, mungkin Ummi lupa kalo jemput Naya,” sahutnya sedikit kecewa.“Dena juga belum di jemput, hari ini. Papi juga sibuk pasti papi tidak menjemput Dena .”“Nasib kita kok sama ya?” tanya Naya menatap sendu.“Kita tunggu di luar yuk!” ajak Dena kembali bersemangat.“Oke!”Mereka pun melangkah pergi untuk sampai di depan gerbang sekolah. Pak Agus melihat mereka berdua saling berpegangan tangan “Kalian berdua belum dije
Hari-hari berlalu dijalani oleh dua keluarga yang berbeda. Dena semakin akrab dengan Naya. Mereka begitu lengket bagaikan prangko, selalu bersama-sama. Dena pun memang tak pernah lagi ikut menertawakan Naya jika dia kena di bully malah Dena yang akan membela Naya jika asa yang berani mengganggu Naya. Aluna semakin sibuk dengan urusan warungnya karena semakin hari semakin banyak orderan yang datang untuknya. Aluna sampai kewalahan untuk mengatasinya sehingga Ardan pun memperkerjakan karyawan tetap untuk membantu Aluna. Ya berkat Ardan yang melobi ke sana kemari untuk memperkenalkan masakan Aluna sehingga banyak yang ingin mencobanya, ada juga yang memesan tiap hari untuk dijadikan menu makan mereka di kantin.Aluna menolak uang pemberian Ardan. Dia berdalih untuk kebutuhan Anaya tapi Aluna tidak mau memakai uang itu dan mengembalikannya kepada mantan suaminya itu. Ardan berpikir keras untuk bisa membantu perekonomian Aluna, sehingga timbul ide untuk membuat warung Aluna semakin dike
Naya memperhatikan wajah pria itu lebih dekat lagi. Wajah yang sempurna dan memang mempunyai kemiripan dengan Naya. “Abi memang sangat tampan pantas saja banyak yang menyukai Abi, tapi apakah Abi juga banyak pacar? Buktinya Abi dulu tidak menyukai Ummi karena Ummi cacat, dan sekarang Abi kembali dan ingin mengajak kami untuk hidup bersama. Naya Ingin sekali mempunyai keluarga yang utuh. Naya ingin memeluk Abi. Naya ingin mereka tahu kalau Naya masih mempunyai Abi tapi bagaimana dengan nasib Dena? Apakah dia akan membenci Naya jika dia tahu Nayalah putri kandungnya bukan Dena,” gelisahnya dalam hati.“Apakah Naya tidak merindukan Abi dan apa yang dikatakan Ummi tentang Abi Naya?” desak Ardan ingin mengetahui apa saja yang diajarkan oleh Aluna. “Awalnya iya, Naya kan nggak pernah melihat wajah Abi Naya, tapi setiap Naya bertanya di mana Abi Naya Ummi langsung terlihat sedih. Dari situ Naya nggak akan pernah bertanya lagi tentang jika membuat Ummi menangis,” jelasnya panjang lebar.De
Ardan langsung melepaskan Aluna karena dia juga tidak mau akan terjadi sesuatu hal dengannya dan Naya.“Maaf Lun, aku hanya ....” ucapan menggantung saat Aluna langsung bertanya tentang kondisi papanya. “Bagaimana kondisi papa apakah beliau baik-baik saja?” akhirnya Aluna juga penasaran dengan kondisi kesehatan mantan mertuanya itu. “Alhamdulillah untuk saat ini baik-baik saja. Papa tidak bekerja lagi di perusahaan, kini aku yang mengambil tanggung jawab itu. Ternyata apa yang papa lakukan di perusahaan aku baru menyadarinya kalau tanggung jawab papa semasa itu sangat berat, aku baru menyadari semuanya,” jelas Ardan pelan.Aluna kembali duduk diikuti oleh Ardan. Dia senang akhirnya Aluna mau mendengarkan keluh kesahnya. “Alhamdulillah akhirnya kamu bisa berubah, Mas. Kamu mengambil tanggung jawab dengan benar. Berarti permintaan papa sudah kamu turuti,” sahutnya tersenyum lega jika mantan mertuanya masih sehat.“Nggak semuanya Lun, ada satu permintaan yang belum bisa aku turuti,”
Aluna pun melihat sekelilingnya dan benar memang masih banyak pembeli yang ingin dilayaninya.“Maaf, tapi tidak bisa lama-lama karena warung masih ramai atau mau menunggu sebentar, saya nggak bisa meninggalkan mereka?” bujuknya karena memang masih terlihat ramai. “Tante, Dena juga harus istirahat, kami juga belum pulang ke rumah kecuali kami boleh menginap di rumah Tante, boleh kan?” Dena begitu bersemangat. “Tidak!” jawab lantang Naya hampir sebagian orang melihat ke arahnya.Aluna tak enak hati jika dilihat banyak orang. Mau tak mau Aluna membawanya ke rumah yang terletak di samping warungnya. Mereka pun duduk di teras rumah. Sedangkan Naya tetap berdiri di samping Aluna yang sudah duduk bersama Ardan dan Dena. Ada sedikit rasa canggung untuk bisa duduk bersama apalagi jarak duduk mereka tidak terlalu jauh. Ardan tak lepas memandangi terus wajah Aluna sehingga wanita cantik itu pun bersemu merah. Dena yang tidak mengetahui apa-apa pun sedikit merasa curiga dengan gerak tubuh pa