“Halo, maaf Sayang, aku tadi banyak pekerjaan dan sekarang kepalaku pusing jadi aku pulang.”“Sekarang kamu di mana? Di rumah atau apartemenmu?”“Aku sekarang ada di apartemen, kamu ke sini saja, aku tunggu.”“Baiklah Sayang aku langsung ke sana sekalian aku belum makan siang dari tadi nungguin kamu enggak datang-datang.”“Oke, aku akan menebus kesalahanku sesuai dengan keinginanmu, sekarang kamu puas?”“Oke, I love you.”“Iya.”Pria tampan itu sebenarnya malas untuk bertemu tapi dia pun tidak mau berdebat panjang apalagi jika wanita itu mengadu kepada Rini. Lebih baik dia mengalah dan membiarkan keadaannya seperti itu. Ardan sudah berada di depan pintu apartemennya. Setelah membuka pintunya pria tampan itu langsung menghempaskan tubuhnya di sofa empuk sembari memijit-mijit keningnya yang masih terasa pusing.“Ya Tuhan, apa yang terjadi kepadaku? Kenapa semenjak ada Rayhan aku sangat kesal jika dia menatap lain kepada Aluna? Sangat menyebalkan,” gerutunya kesal. Ardan membuka sepatu
Rayhan tersenyum kecil saat ponselnya berdering. Foto yang dia unggah ke Story WA dua menit yang lalu dalam posisi Rayhan sedang menikmati makannya di meja makan sudah dilihat oleh Ardan dan tebakannya sangat tepat karena pria tampan itu langsung menghubunginya. Dengan santai Rayhan pun menerima panggilan itu.“Sudah aku duga dia akan panas melihat aku sedang ada di rumahnya,” ucap Rayhan dalam hati sambil tersenyum. “Ya Halo, ada apa Aar”“Ngapain kamu ke rumah?” “Kenapa memangnya? Rumahku kan bersebelahan dengan rumahmu, kan? Ada yang salah?” “Iya aku tahu, tapi kenapa kamu nongkrong di rumahku bukan di rumah kamu sendiri?” “Oh itu, tadi saat pulang kantor enggak sengaja berpapasan dengan Aluna dia mau pergi ke supermarket, nah dia mau jalan kaki ya udah deh aku tawari untuk mengantarnya. Sebagai ucapan terima kasih dia mengundang aku untuk makan. Aku ya enggak keberatan dong, soalnya di rumah juga belum masak, enggak apa-apa kan?” “Apa kamu bilang? Tunggu aku juga mau pulan
Wajah Ardan semakin memerah menahan amarah yang sudah ada di ubun-ubun kepalanya, tapi kenapa harus marah bukankah yang dikatakan oleh Rayhan memang benar? Ardan tidak menyukai Aluna dan ingin segera mengakhiri pernikahannya. Wanita yang tidak sempurna bagi Ardan tapi terlihat sempurna di mata Rayhan.Pria tampan itu memutuskan untuk tidur di kamarnya, dia sudah malas pulang ke apartemen miliknya sendiri. Padahal di sana Delia sudah siap menyambut sang kekasih dengan caranya sendiri. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam tetapi Ardan belum bisa menutup matanya, dia masih terniang-niang ucapan Rayhan. Merasa gerah dia pun keluar dari kamar dan menuruni anak tangga. Pria tampan itu pergi ke dapur. Rasa tenggorokan yang terasa kering sehingga dirinya mengambil botol minuman dingin di dalam kulkas, lalu meminumnya. Setelah selesai, Ardan bermaksud untuk pergi ke kamar Aluna, tapi dia terkejut karena pintu kamar istrinya berbunyi. Dengan cepat Ardan bersembunyi di bawah tangga d
Wanita paru baya itu terdiam sesaat lalu menatap lekat wajah putrinya itu. “Jika dia tidak menepati janjinya maka kita harus menyingkirkan dia,” jawab Bu Rini tegas. “Maksud Mama? Dengan melenyapkan dia?” tanya Sari meyakinkan agar tidak salah terka.Bu Rini tersenyum kecil membuat mata Sari melotot. “Aku nggak mau terlibat lebih jauh hanya karena harta warisan Papa kita sampai melakukan hal itu, aku enggak mau ikutan, Ma,” pinta Sari menggelengkan kepalanya dengan cepat.“Sayang, bukan kita yang akan melakukannya tapi kita akan mencari orang lain yang harus kita korbankan, mungkin keluarga kita sendiri atau orang lain? Kamu jangan berpikir macam-macam ini hanya perumpamaan saja dan mudah-mudahan Aluna menepatinya janjinya sehingga kita tidak perlu melakukan hal itu, kan?” jelas Bu Rini panjang lebar. Wanita paru baya itu menyentuh pipi halus Sari dan setelah itu pergi meninggalkan putrinya sendiri. Sari masih berdiri mematung sembari mencerna setiap perkataan ibunya. Dia sangat ta
“Tu—Tuan Ardin?” sapa Mbok Asih terkejut. Pria paru baya itu tersenyum memperlihatkan deretan gigi yang masih terlihat putih dan rapi diusianya yang sudah menginjak hampir enam puluh tahun itu. “Siapa Mbok?” teriak Bu Rini dari ruang meja makan.Tuan Ardin menyuruh Mbok Asih diam. Mbok Asih mengangguk pelan tanda mengerti apa yang diinginkan oleh majikannya. Lalu segera mengambil koper besar milik majikannya itu. Tuan Ardin pun segera melangkah masuk dan menemui mereka yang sedang menikmati sarapan pagi.“Lun, cepetan ambil sayurnya lama amat sih, jangan sampai kesabaran saya habis deh, apa perlu kamu pakai sepatu roda?” ejek Bu Rini sembari terkekeh diikuti oleh Sari. Sedangkan Ardan masih tetap diam tanpa membela Aluna.Langkah tegap sudah hampir terdengar tapi mereka belum menyadari siapa yang datang. Bahkan pria paru baya itu sangat mendengar jelas apa yang dikatakan oleh istrinya tersebut. “Assalamualaikum,” sapa Tuan Ardin. Mereka kompak menoleh dengan raut wajah yang b
Pria paru baya itu menatap lekat wajah putranya. Seperti bercermin pada dirinya sendiri baik wajah dan sikapnya hampir sama saat dia masih berumur seperti Ardan. Ambisi dan keras kepala dan teledor.“Kamu tidak perlu khawatir dengan klien penting itu karena Papa sudah menyuruh Rayhan untuk mewakilkan kamu nanti,” sahut Tuan Ardin membuat mata Ardan melototi papanya sendiri. “Apa yang Papa lakukan, kenapa Papa lebih percaya dengan orang lain daripada Ardan, dia memang sahabat Ardan tapi tetap saja dia itu orang lain,” bantahnya dengan nada suara sedikit tinggi.“Turunkan nada bicaramu Ardan, seharusnya kamu introspeksi diri, selama Papa tinggalkan setahun lebih kenapa perusahaan kita mengalami kemunduran dan banyak pengeluaran yang aneh? Dengar Ardan meskipun Papa tidak seratus persen memegang perusahaan lagi bukan berarti Papa lepas tangan dengan perusahaan yang sudah membuat Papa seperti ini, perusahaan kita itu adalah hidup kita dan kita bisa makan dari sana dan kamu hampir saja .
Suasana kembali hening, tidak ada perdebatan setelah itu. Kini Ardan sedikit mengetahui kalau Aluna ikut berperan penting dalam perusahaan papanya. Sikap Ardan masih terlihat dingin. Aluna bisa melihatnya dia pun tidak ingin meminta lebih agar suaminya berubah. Tuan Ardin pun tidak ingin terlalu mencampuri urusan rumah tangga mereka meskipun beliau ingin melihat Ardan lebih bersikap lembut kepada istrinya sendiri. Bu Rini dan Sari tidak bisa lagi terlalu mengganggu Aluna karena kepala rumah tangganya pun sudah kembali ke rumah besar itu. ***Sepanjang jalan menuju kantor pria tampan itu terlihat masih kesal. Selain kenyataan nya Aluna berperan juga dalam perusahaan.“Kenapa sih Papa lebih percaya dengan orang lain daripada anaknya sendiri? Aluna dan Rayhan pasti menertawakan aku karena sangat bodoh. Ah sial!” hardiknya sembari memukul-mukul setir pengemudi.Lima belas menit berlalu akhirnya dia pun sampai di kantor. Gedung yang menjulang tinggi sudah memanjakan matanya. Ardan mend
Aluna berjalan pelan, meskipun para karyawan tunduk dan hormat, pasti di pikiran mereka berbeda. Aluna membalas senyuman mereka dengan ikhlas. “Perlu saya bantu Bu Aluna?” tanya Bella sekretaris Ardan saat mereka berpapasan dengan wanita cantik itu. “Oh tidak terima kasih saya bisa sendiri kok,” tolaknya dengan halus. Aluna ingin masuk ke lift tapi dicegah oleh Bella. Mereka pun akhirnya di dalam satu lift.“Sudah jangan formal di sini tidak ada orang, katakan apakah Delia sering ke sini?” tanya Aluna saat mereka sudah didalam lift. “Capek tahu nggak kerja sama suami elo itu, suka buat jadwal sendiri kalau Tuan Ardin tahu anaknya suka-suka gitu habis loh dia kena omel, untung aja Pak Rayhan yang selalu menggantikan posisi suami elo itu, tahunya memberi perintah dan mengomel, tapi semua pekerjaan malah elo yang hendel, dia itu sadar nggak sih kalau selama ini bukan dia yang kerja tapi elo, kapan dia itu sadar dengan tanggung jawabnya di perusahaan kalau selama ini elo terus yang he
Naya bangun dan melihat Ardan sedang menutup matanya. “Apakah Abi sangat kelelahan sehingga di jam seperti ini masih bisa beristirahat?” gumamnya dalam hati sambil menatap kearah Ardan. Naya beranjak dari tempat duduknya dengan perlahan-lahan lalu sampai lah dia di sofa tempat Ardan duduk dengan posisi sang masih sama. Muncul dalam pikirannya untuk bisa meringankan masalah yang dihadapi olehnya. Gadis kecil itu pun berinisiatif untuk memijat kening Ardan dengan tangan kecilnya. Ardan pun belum menyadari siapa yang telah membuatnya sedikit rileks. Dia beranggapan kalau itu adalah tangan Aluna. Ardan pun mengingat masa lalu saat tanpa disuruh Aluna langsung memijat kening Ardan begitu lembut. Awalnya menolak karena menjaga gengsi tapi lama kelamaan pijatan itu semakin terasa enak dan membuat Ardan tertidur. “Luna?” panggilnya seketika dan mengagetkan Naya yang sedang memijit keningnya. Mata Ardan melotot seperti hampir keluar dari tempatnya. “Na—naya?” Ardan masih tidak percaya
Wajah imut menggemaskan membuat pria tampan itu tidak bosan memandangnya. Baru kali ini Ardan bisa melihat putri kandungnya terlelap dalam mimpi. Dia pun tak menyangka jika telah dianugerahi dengan buah hati yang cantik dan sholehah. Seketika lamunannya tersadar bagaimana dia bisa sampai disini, apakah hati Aluna sudah mencair karena mau mengizinkan putrinya bersama ayah kandungnya sendiri?“Anaya? Dia di sini juga? Apa Dena sudah meminta izin untuk membawanya ke sini?” tanya Ardan kembali terkejut.“Nggak Pi, soalnya hari Tante Luna tidak masuk mengajar dia sibuk dengan orderan, kata Naya sih. Tadinya juga Naya nggak dijemput makanya Dena bawa saja ke sini,” jelasnya.“Jadi Tante Luna tidak tahu dong kalau Anaya ada di sini?”“Iya Pi.”“Gawat ini Dena, kenapa kamu tidak beritahu Tante Luna, kamu kan bisa menghubunginya?” Ardan begitu panik karena Aluna akan marah besar dan akan menuduh kalau Ardan lah yang merencanakan semuanya. “Papi lupa ya ponsel Dena kan sama Papi dan sekarang
Mengingat masa lalu itu Ardan semakin marah. Apalagi dia menyalahkan Tuan Ardin atas semua yang terjadi. Menurut Ardan seandainya Tuan Ardin mengatakan siapa Aluna sebenarnya tentu tidak akan seperti ini.Hubungan antara ayah dan anak itu pun menjadi renggang, akan tetapi Ardan masih peduli dengan Tuan Ardin sehingga masih mau merawatnya sampai sekarang ini. Pria tua itu kini kembali sakit-sakitan karena terus memikirkan Aluna. Sedangkan Ardan antara marah dan merasa bersalah karena dirinya sendiri yang tidak peka dengan Aluna.“Kenapa Papa menyembunyikan hal sebesar ini? Kenapa Pa? Dan Aluna kenapa juga tidak memberitahukan kalau dia yang telah menolongku dari kecelakaan, bahkan kakinya menjadi korban karena aku! Aku memang tidak bisa melihat kebaikan Aluna, bahkan dia rela bertahan selama dua tahun dari keluarga ini padahal dia sudah banyak membantu. Aku tidak bisa diam begitu saja, aku harus mencarinya tapi di mana? Sedangkan nomor ponselnya saja sudah tidak aktif dan menyuruh or
Lima belas menit perjalanan akhirnya mereka sampai di sebuah gedung menjulang tinggi. Naya sampai tertegun saat melihat gedung dan sekitarnya yang begitu indah di pandang mata. Pak supir menurunkan mereka di halaman parkir. Dena yang sering pergi ke kantor ayahnya sudah terbiasa untuk keluar masuk di gedung itu. “Sungguh ini kantor Abi? Tinggi sekali? Apakah banyak orang di dalam sana?” tanya Naya dalam hati begitu takjub melihatnya.Dena memperhatikan Naya yang begitu lugu melihat bangunan itu. “Apakah kamu tidak pernah melihat gedung-gedung seperti ini?” tanya Dena bingung. “Pernah lihat tapi hanya di televisi. Ini sungguhan kan?” Naya begitu bersemangat untuk mengitari pemandangan itu. “Ya iyalah, masa mainan. Ayuk, kita masuk!” “Tunggu Dena!” panggilnya lagi.“Ada apa, Naya?” Naya berlari kecil menghampiri Dena yang telah jalan duluan. “Memang anak kecil seperti kita boleh masuk ke sana , nanti kalau diusir bagaimana?” tanya Naya meragukan.“Naya sayang, kantor ini milik P
Mendengar ucapan Bu Nia Aluan pun terkejut. Bu Nia kembali menjelaskan kalau Dena sendiri yang berinisiatif membawa Naya ikut dengannya, karena sampai di kantor Ardan pun terkejut dengan kedatangan dua gadis kecil itu ke kantornya. Setengaj jam yang lalu ....Bel sekolah telah berbunyi yang menandakan mereka pulang sekolah. Anak-anak berlarian ke luar mencari penjemput mereka. Hanya Naya dan Aluna yang belum terlihat. Meskipun Naya tahu kalau hari ini Umminya sedang sibuk dengan pesanan orderan yang semakin meludak. “Naya, kamu belum dijemput ya?” tanya Dena polos.“Iya, mungkin Ummi lupa kalo jemput Naya,” sahutnya sedikit kecewa.“Dena juga belum di jemput, hari ini. Papi juga sibuk pasti papi tidak menjemput Dena .”“Nasib kita kok sama ya?” tanya Naya menatap sendu.“Kita tunggu di luar yuk!” ajak Dena kembali bersemangat.“Oke!”Mereka pun melangkah pergi untuk sampai di depan gerbang sekolah. Pak Agus melihat mereka berdua saling berpegangan tangan “Kalian berdua belum dije
Hari-hari berlalu dijalani oleh dua keluarga yang berbeda. Dena semakin akrab dengan Naya. Mereka begitu lengket bagaikan prangko, selalu bersama-sama. Dena pun memang tak pernah lagi ikut menertawakan Naya jika dia kena di bully malah Dena yang akan membela Naya jika asa yang berani mengganggu Naya. Aluna semakin sibuk dengan urusan warungnya karena semakin hari semakin banyak orderan yang datang untuknya. Aluna sampai kewalahan untuk mengatasinya sehingga Ardan pun memperkerjakan karyawan tetap untuk membantu Aluna. Ya berkat Ardan yang melobi ke sana kemari untuk memperkenalkan masakan Aluna sehingga banyak yang ingin mencobanya, ada juga yang memesan tiap hari untuk dijadikan menu makan mereka di kantin.Aluna menolak uang pemberian Ardan. Dia berdalih untuk kebutuhan Anaya tapi Aluna tidak mau memakai uang itu dan mengembalikannya kepada mantan suaminya itu. Ardan berpikir keras untuk bisa membantu perekonomian Aluna, sehingga timbul ide untuk membuat warung Aluna semakin dike
Naya memperhatikan wajah pria itu lebih dekat lagi. Wajah yang sempurna dan memang mempunyai kemiripan dengan Naya. “Abi memang sangat tampan pantas saja banyak yang menyukai Abi, tapi apakah Abi juga banyak pacar? Buktinya Abi dulu tidak menyukai Ummi karena Ummi cacat, dan sekarang Abi kembali dan ingin mengajak kami untuk hidup bersama. Naya Ingin sekali mempunyai keluarga yang utuh. Naya ingin memeluk Abi. Naya ingin mereka tahu kalau Naya masih mempunyai Abi tapi bagaimana dengan nasib Dena? Apakah dia akan membenci Naya jika dia tahu Nayalah putri kandungnya bukan Dena,” gelisahnya dalam hati.“Apakah Naya tidak merindukan Abi dan apa yang dikatakan Ummi tentang Abi Naya?” desak Ardan ingin mengetahui apa saja yang diajarkan oleh Aluna. “Awalnya iya, Naya kan nggak pernah melihat wajah Abi Naya, tapi setiap Naya bertanya di mana Abi Naya Ummi langsung terlihat sedih. Dari situ Naya nggak akan pernah bertanya lagi tentang jika membuat Ummi menangis,” jelasnya panjang lebar.De
Ardan langsung melepaskan Aluna karena dia juga tidak mau akan terjadi sesuatu hal dengannya dan Naya.“Maaf Lun, aku hanya ....” ucapan menggantung saat Aluna langsung bertanya tentang kondisi papanya. “Bagaimana kondisi papa apakah beliau baik-baik saja?” akhirnya Aluna juga penasaran dengan kondisi kesehatan mantan mertuanya itu. “Alhamdulillah untuk saat ini baik-baik saja. Papa tidak bekerja lagi di perusahaan, kini aku yang mengambil tanggung jawab itu. Ternyata apa yang papa lakukan di perusahaan aku baru menyadarinya kalau tanggung jawab papa semasa itu sangat berat, aku baru menyadari semuanya,” jelas Ardan pelan.Aluna kembali duduk diikuti oleh Ardan. Dia senang akhirnya Aluna mau mendengarkan keluh kesahnya. “Alhamdulillah akhirnya kamu bisa berubah, Mas. Kamu mengambil tanggung jawab dengan benar. Berarti permintaan papa sudah kamu turuti,” sahutnya tersenyum lega jika mantan mertuanya masih sehat.“Nggak semuanya Lun, ada satu permintaan yang belum bisa aku turuti,”
Aluna pun melihat sekelilingnya dan benar memang masih banyak pembeli yang ingin dilayaninya.“Maaf, tapi tidak bisa lama-lama karena warung masih ramai atau mau menunggu sebentar, saya nggak bisa meninggalkan mereka?” bujuknya karena memang masih terlihat ramai. “Tante, Dena juga harus istirahat, kami juga belum pulang ke rumah kecuali kami boleh menginap di rumah Tante, boleh kan?” Dena begitu bersemangat. “Tidak!” jawab lantang Naya hampir sebagian orang melihat ke arahnya.Aluna tak enak hati jika dilihat banyak orang. Mau tak mau Aluna membawanya ke rumah yang terletak di samping warungnya. Mereka pun duduk di teras rumah. Sedangkan Naya tetap berdiri di samping Aluna yang sudah duduk bersama Ardan dan Dena. Ada sedikit rasa canggung untuk bisa duduk bersama apalagi jarak duduk mereka tidak terlalu jauh. Ardan tak lepas memandangi terus wajah Aluna sehingga wanita cantik itu pun bersemu merah. Dena yang tidak mengetahui apa-apa pun sedikit merasa curiga dengan gerak tubuh pa