"Ya udah, aku berangkat dulu," lanjutnya lagi sambil melirik ke arah pergelangan tangannya.Ketika Dewa berjalan keluar, aku mengikutinya dari belakang. Saat tiba di ruang tengah, tampak keluargaku dan keluarga Dewa masih asyik mengobrol. Begitu mengetahui kami datang, pandangan mereka sontak beralih."Lho, lho. Pengantinnya mau mana ini? Kok, pake baju loreng?" Mami kaget ketika melihat Dewa berpamitan."Aku ada apel dadakan, Mi. Tadi ditelepon sama Danki," timpal Dewa sembari menyalami semua anggota keluarga."Aku jalan dulu, ya. Assalamu'alaikum." Dewa langsung melenggang keluar."Eh, kamu naik apa?" teriak Mami.Sontak langkah Dewa terhenti. "Motor, Mi. Biar cepat nyampe." Kemudian, dia kembali melangkahkan kaki keluar.Setelah itu, pandangan Mami mengarah padaku. "Terus rencana pengajian di asrama kapan?""Lho, emangnya udah dapat rumah dinas? Kok, Mama gak tau?" timpal Mama dengan raut wajah terkejut."Inilah Furi dan Dewa, Jeng. Saya aja gak dikasih tau coba. Tau-taunya mereka
"Sayang!" Tiba-tiba kudengar suara teriakan Dewa.Ketika baru saja kubalikkan badan, suamiku itu telah berada di depanku. Matanya seketika tertuju pada halaman belakang."Kenapa itu?"Aku menggeleng. "Gak tau. Pas aku ke belakang udah kayak gini. Liat, tuh pagarnya juga ada beberapa kayu yang lepas."Dewa langsung berjalan ke belakang seraya mengecek. "Tapi, gemboknya gak rusak. Apa kena angin?"Aku terdiam sejenak, memikirkan ucapan Dewa barusan. Jika memang terkena angin, sangat tidak masuk akal. Pagar kayu di belakang menurutku termasuk berat. Masa iya, bisa terlepas hanya terkena angin? Sekencang apa anginnya? Kalau sampah masih bisa masuk akal. Apa ada orang yang berusaha masuk rumah ini? Ah, kenapa dari tadi pikiranku selalu begini?"Ya udah, biarin aja. Mending kita bersihin," titahku seraya mengambil sapu lidi yang terletak di ujung pintu dapur."Biar aku aja yang bersihin." Dewa mengambil alih sapu dari tanganku.Namun, kutahan. "Aku yang sapu, kamu aja yang buang sampahnya."
"Ada apa, Sayang?" Dewa menoleh dan menatapku intens."Aku mau nanya, tapi jawab jujur."Dahi Dewa seketika terlihat mengkerut. "Nanya apa?""Semalam kamu beneran apel malam, kan?"Spontan Dewa memelukku dari belakang dan menciumi rambutku. "Kamu masih curiga sama aku?"Melihat perlakuan Dewa kali ini kemungkinan dia tidak berbohong. Tapi, entah mengapa aku sulit untuk percaya begitu saja.Sejenak kutoleh ke belakang. Pandangan kami seketika saling bertautan. "Kamu gak bohongi aku, kan?"Dewa makin mengeratkan pelukan dan makin menikmati aroma rambutku. "Terserah kamu percaya apa enggak, aku gak peduli. Intinya akan kubuktikan kalau aku beneran udah berubah."Sontak, kulerai pelukannya dan membalikkan badan. Kutatap matanya dalam-dalam. "Soalnya tadi Bu Soni bilang gak tau kalau ada apel dadakan. Masa dia tinggal di sini, tapi gak tau?"Dewa justru terkekeh mendengar penuturanku barusan. "Bu Soni suaminya itu nakal." Dia berbicara sangat pelan sambil meletakkan telunjuk di bibirnya.A
"Ini, lho Bu Dar. Kata Tante Dewa nanti Bu Dar disuruh bantu habisin makanan," sahut Bu Soni berusaha mengajak bercanda dan bersikap biasa. Mungkin tetanggaku itu tak mau bermasalah dengan Bu Dar sehingga dia memilih mengalah."Halah! Makanan kalau katering itu kebanyakan gak enak. Masih enakan kalo kita yang masak," teriak Bu Dar dari teras rumahnya.Seketika kualihkan perdebatan dua tetanggaku itu. Kebetulan kulihat rumah di antara Bu Soni dan Bu Dar tampak sepi dan seperti tak ada penghuninya."Eh, tetangga yang di tengah itu ke mana ya? Perasaan sejak saya ke sini gak pernah keluar.""Udah kabur!" timpal Bu Dar blak-blakan.Aku seketika mengernyit, tak mengerti dengan ucapan Bu Dar barusan. Akhirnya, kutanyakan langsung pada Bu Soni."Tante yang di sebelah saya itu udah gak tinggal di sini lagi," jawab Bu Soni berhati-hati."Oh, omnya udah pindah tugas, ya?" tebakku.Bu Soni seketika mendorongku ke dalam rumah. "Maaf, Tante, gak enak kalo ngomong di luar. Tetangga sebelah saya itu
Setelah membersihkan halaman belakang, Dewa kembali masuk rumah. Aku langsung mengikutinya. Kemudian, kami segera membeli air mineral kemasan gelas."Kita pake mobil?" Dewa spontan menatapku. "Terus, mau pake apa?""Pinjem motornya Bu Soni aja, deh. Ntar kita dibilang sok kaya lagi sama Bu Dar. Telingaku lama-lama panas juga," timpalku setengah jengkel."Ngapain kamu jengkel? Orang kayak Bu Dar kok diambil hati. Kalau kita jengkel itu tandanya dia berhasil, dia malah senang. Mending kita sengaja aja biar tambah naik darahnya." Dewa pun langsung tertawa.Aku sejenak terdiam, ada benarnya juga apa yang dikatakannya. Masa mau kalah dengan orang seperti Bu Dar."Ya udah, kita beli aja, yuk. Nanti keburu kesorean malah mepet waktunya."Dewa pun segera mengambil kunci mobil dan berjalan keluar. Ketika hendak menutup pintu, Bu Soni keluar dari dalam rumahnya."Mau ke mana, Tante?""Mau beli air minum,nih ,Bu," jawabku sambil mengunci pintu."Oh, iya. Beli di tempat Bude Wito aja, Om. Lengka
Aku menggerutu sendiri. Banyak pasang mata yang melihatku mematung sembari menatap motor Dewa yang telah melesat jauh. Tanpa peduli kulangkahkan kaki berjalan menyusuri jalanan beraspal di lingkungan asrama itu. Berharap Dewa kembali menjemputku. Namun, cukup lama berjalan, suamiku itu tak ada nampak batang hidungnya. Aku semakin kesal. Awas saja nanti kalau sampai di rumah. Akan kucecar habis-habisan. Bisa-bisanya dia meninggalkanku sendirian di sini."Mau ke mana, Bu? Ayo, saya antar," ajak seorang wanita mengendarai motor matic berhenti tepat di sampingku."Gak usah repot-repot, Bu. Saya lagi nunggu suami saya jemput." Aku menjawab sambil celingukan seolah mencari keberadaan Dewa."Oh iya, dah. Saya duluan, ya?" Wanita tersebut langsung mengegas motornya meningalkanku sendiri di tepi jalan.Aku terus saja berjalan hingga betisku terasa sakit. Ah, sial. Mimpi apa aku hingga bisa jalan lumayan jauh begini? Tepat di pengkolan antara masjid dan barak bujang, tampak Dewa melaju kencang
Tampak dada Dewa naik seperti sedang menghirup oksigen banyak-banyak. "Sudah, Bu Dar." Nada bicaranya itu sengaja diperlambat.Setelah itu, datang anak buah Bude Wito mengantarkan air mineral. Dewa sigap mengambilnya. Sementara aku masih mengobrol dengan dua tetanggaku itu."Tante, nanti pake meja punya saya aja, ya? Ada rempelnya juga, kok," ucap Bu Soni menawariku."Halah, jangan Tante Dewa. Rempel punya Bu Soni itu udah jelek. Pake punya saya aja, masih baru. Saya baru beli, lho. Harganya itu satu set hampir sejuta." Bibir Bu Dar tampak merat-merot.Aku dan Bu Soni seketika saling pandang. Kami sudah paham dengan sifat tetangga yang satu itu dan memilih mengalah."Iya dah, Bu Dar yang mana-mana saja. Sama aja, kok," timpalku tak ingin memperpanjang perdebatan.Senyum semringah di bibir Bu Dar seketika tercetak. Kemudian, aku pamit masuk rumah seraya mempersiapkan perintilan-perintilan untuk pengajian malam nanti.Ketika di dalam, ponselku tiba-tiba berdering. Ketika kulihat ternyat
Kemudian, muncul anak perempuan Bu Dar dari balik pagar, lalu bergelayut manja di tangannya sambil merengek."Mak, minta uang buat beli jajan."Sontak, Bu Dar mengempaskan tangan anaknya. Gadis kecil berusia sekitar sebelas tahunan itu pun menarik diri dengan raut wajah murung."Jajan terus, jajan terus. Sana, minta sama bapakmu!" Bu Dar kembali membentak anaknya. Seketika rasa iba menyeruak. Kupanggil gadis kecil itu ke rumah. Bu Dar masih menunggu putrinya di luar pagar. Anak itu pun mendekatiku. Kemudian, kuambil selembar uang sepuluh ribu dari saku celana."Makasih, Tante," ucapnya pelan dan segera memasukkan uang tersebut ke dalam kantong bajunya. Gadis kecil itu seperti ketakutan.Setelah anaknya Bu Dar pergi, aku kembali ke dapur. Baru saja melangkah, suara teriakan anak kecil terdengar dari arah belakang."Ampun, Mak. Jangan, Mak. Ini buat jajan Aira, tadi dikasih sama Tante itu." Gadis kecil itu terus meraung histeris. Sepertinya dia dipukul oleh ibunya.Aku terdiam sejenak
Mataku mendadak terbuka ketika mendengar pengumuman olahraga dari masjid. Sigap aku beringsut seraya mengusap-ngusap mata. Berkali-kali kututup mulut karena menguap. Di saat sedang enak-enaknya istirahat, harus terbangun untuk mengikuti kegiatan. Ah, nikmatnya menjadi istri tentara.Segera kulihat jam di ponsel, ternyata telah memasuki waktu asar. Segera kutunaikan salat empat rakaat tersebut, lalu bersiap-siap pergi ke kompi. Tak lama kemudian, ponselku berdering tanda pesan masuk.[Jangan lupa olahraga di kompi]Isi pesan dari Dewa. Ya, suamiku itu belum pulang kantor karena harus lembur lagi. Maklum, Dewa saat ini sedang BP di Staf Pers sehingga sedikit sibuk mengurusi data personil di batalyon ini.Setelah membaca, segera kukirim pesan balasan. [Oke, ini lagi siap-siap]Kemudian, pesanku hanya dibalas dengan emoticon jempol.Setelah semua beres, aku keluar dan mengenakan sepatu. Tampak tetangga berlalu-lalang di jalan mengenakan seragam olahraga, termasuk tetangga sebelahku. Rupan
"Kamu kenapa, sih? Ketawa aja, nanti dikira kita ngapain lagi," kata Dewa sambil menatapku heran."Itu, lho. Aku ingat Bu Dar. Lucu banget, ya, dia." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Eh, apa iya dia satu kompi dengan kita?"Dewa mengangguk, lalu gantian tertawa. "Kenapa?" "Males aja ketemu dia lagi. Dia pasti bakal resek sama aku. Tau gak, tadi pertemuan dia bertengkar sama Bu Soni gara-gara air minum. Kalau gak ingat dia senior, mungkin udah aku siram pake air Bu Dar," sahutku seraya memberi tahu kejadian saat pertemuan tadi."Gak boleh gitu. Biarin aja dia berkembang. Intinya bukan kita yang duluan." Lagi-lagi Dewa menasihatiku. Ya, suamiku itu tidak suka jika aku ingin membalas perbuatan jahat orang."Eh, si Abang Ganjen tadi ngomong apa aja di luar? Dia gak main mata lagi sama kamu, kan?" Dewa segera mengalihkan pembicaraan.Aku langsung memasang wajah memelas. "Ya ampun, Om Ferdi itu kasian banget. Ternyata dia itu sakit saraf. Kamu juga, sih, kenapa gak kasih tau aku."Wajah De
Spontan kutowel lengan tetanggaku itu. "Ah, Bu Soni malah ngeledek saya." Kemudian, aku segera pamit pulang karena teringat Dewa yang sedang makan di rumah."Makasih, ya, Tante Dewa.""Sama-sama, Bu Son." Kemudian, aku keluar dari rumah Bu Soni.Ketika di luar, kusempatkan menoleh ke arah sebelah. Tampak Om Ferdi sedang duduk di teras. Kali ini dia diam, tidak menyapaku lagi. Seketika aku merasa iba. Selama ini telah salah sangka padanya, padahal dia sedang sakit.Aku pun bergegas melompat tembok pembatas antara rumahku dan rumah Bu Soni. Begitu hendak masuk, suara Bu Dar mengejutkanku."Wah, yang ditunjuk jadi pengurus cabang. Gak ada acara makan-makan gitu?" celetuk Bu Dar dari teras rumahnya. Sepertinya dia baru saja pulang.Aku seketika menahan langkah dan berdiri di depan pintu seraya tersenyum ke arah tetangga kepoku itu."Siapa yang mau diangkat jadi pengurus cabang, Bulek?" tanya Om Ferdi."Siapa lagi kalau bukan tetangga kita yang cantik itu." Lagi-lagi Bu Dar menimpali sambi
Tepat jam setengah delapan malam, Dewa pun pulang. Kulihat wajahnya tampak berminyak. Pakaian yang pagi tadi dikenakan telah berubah menjadi kusut. Sepertinya suamiku itu benar-benar sibuk di kantor."Udah pulang?" Kusodorkan tangan seraya mendekatkan kening.Dewa seketika menyambar keningku. Kemudian, aku bergegas ke dapur seraya mengambilkannya air minum. Setelah itu, aku kembali memberikan pada suamiku. Dia Kun segera meneguk air minum hingga tandas."Kamu tadi pulang jam berapa?" tanya Dewa sambil memelukku dan menuntun masuk kamar."Pas magrib tadi. Aku udah masak lho.""Masak apa?" Dewa memandangiku lekat."Masak tongseng sapi," jawabku sambil terkekeh."Kok malah ketawa?" Dewa masih memandangku intens."Soalnya gak tau enak apa enggak." Aku bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam.Tak berselang lama, Dewa menghampiriku. Dia membuka tudung saji, sementara tangan kanannya melingkar di pundakku. Kemudian, kuambil piring dan meletakkan nasi serta tongseng.Selajutnya, Dewa dud
Segera kuambil ponsel, lalu kubuka semua hasil tangkapan layar yang dikirim Dewa padaku. Melihat gambar tersebut, Winda seketika tampak lemas. Wajahnya yang tadi bengis, kini berubah menjadi seperti mayat hidup. Rasakan!Sesaat kemudian, dia kembali menampilkan wajah bengisnya. "Kurang ajar kamu. Kamu tau rumahku dari mana?"Aku terbahak seketika. "Kamu mau tau? Yang SMS-an kemarin malam itu bukan Dewa, tapi aku."Sontak Winda membalikkan badan menghadap ke arahku. Wajahnya benar-benar merah padam."Kamu mau macem-macem lagi? Apa perlu sekarang aku panggil suamimu?"Namun, wanita tak tahu malu itu justru menantangku. "Semakin kamu seperti ini, semakin aku ganggu suamimu."Mendengar ucapannya barusan, aku lunglai seketika. Tapi, segera kuputar otak untuk menghadapi wanita gatal itu. Mulai kuredam sedikit amarahku. Ya, aku baru sadar, orang seperti Winda sepertinya tidak bisa dikasar. Lagi pula kalau diriku memaksakan ribut di rumah wanita itu, pasti akan menambah masalah baru. Apalagi
"Ibu-ibu, terima kasih atas kerjasamanya hari ini, ya? Kalau yang mau pulang, silakan pulang. Biar kursi sama bunganya nanti diangkatin sama om bujangan aja." Ibu Ketua kembali bersuara.Aku pun bernapas lega. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar. Kemudian, segera kuhubungi Dewa lagi. Beberapa kali bunyi nada sambung, teleponku pun terhubung."Kamu dari mana aja, sih? Aku telepon gak diangkat-angkat. Perasaan tadi aku liat ibu-ibu udah pulang pertemuan. Kamu, kok, belum pulang? Tadi aku ngecek ke rumah, kamu gak ada. Kamu di mana?" cerocos Dewa bak kereta api dari seberang.Sejenak aku berhenti di depan pintu aula. "Woi, ngomong itu pake koma."Namun, Dewa justru meledekku. "Gak mau, kalau koma nanti aku gak bisa liat wajahmu yang cantik lagi."Aku seketika tergelak. Alamak, sejak kapan Dewa bisa menggombal? "Tanda koma. Bukan koma, gak sadarkan diri." Balasku seraya meledeknya kembali."Iya, iya, Sayangku. Kamu sekarang di mana?" Dewa bertanya ulang."Aku masih di aula. Eh, tau g
"Tante Dewa ditunjuk jadi pengurus cabang, ya?" Ucapan Bu Soni membuyarkan lamunanku tentang Winda. Tetanggaku itu baru saja datang dari menenangkan anaknya di luar.Spontan aku menoleh seraya menautkan kedua alisku. "Bu Soni tau dari mana?"Tetanggaku itu tersenyum simpul. Tampak dia memperhatikan ke sekitar seperti khawatir ucapannya didengar oleh orang lain."Tadi saya dengar selentingan dari ibu-ibu di luar.""Pasti mereka ceritain saya, ya, Bu Son?" Aku berusaha menebak.Bu Soni hanya tersenyum. Kemudian, kembali menenangkan pikiranku. "Dah, gak usah dipikirin. Hidup di asrama, ya gini. Apa pun jadi bahan omongan."Tak lama kemudian, datang seorang ibu menghampiri seraya memberi tahu bahwa setelah acara pertemuan, pengurus cabang dilarang ada yang pulang."Bu Son, gimana nih, saya disuruh tinggal di sini dulu. Aduh, nyesel deh saya terima tawaran Ibu Ketua jadi pengurus. Kayaknya sibuk banget," ucapku lirih pada Bu Soni."Kalau saya sih gak papa, Tante. Bu Dar aja nanti yang haru
Saatnya perkenalan anggota baru telah tiba. Kulihat satu per satu maju ke depan. Jantungku kali ini berdetak kencang. Tanganku pun masih terasa dingin."Ayo, Tante, maju. Semoga gak ada yang kelupaan. Pasti bisa, Tante. Semangat," ucap Bu Soni menyemangati.Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegrogianku. Kemudian, aku melangkah ke depan. Para ibu-ibu telah berbaris sesuai pangkat suaminya. Dan kini posisiku berada di tengah. Seketika kuhela napas lega. Ternyata bukan aku yang memulai perkenalan ini.Beberapa saat kemudian, tiba giliranku. Ketika menyebut NRP, mataku sedikit melirik ke arah telapak tangan. Bersyukur tidak terlalu nampak. Kemudian, ada ibu-ibu yang menyeletuk memintaku menyebutkan jabatan suami. Setelah kulihat, orang tersebut ternyata Bu Dar. Sialan, dia sepertinya ingin mengerjaiku."Jabatan suaminya apa, Bu?" teriak Bu Dar dari tempat duduknya. Kebetulan posisinya berada di nomor dua deretan belakang Ibu Ketua.Aku mulai gugup. Selama menikah dengan Dewa, a
Aku kembali masuk rumah seraya mengambil kunci mobil. Ketika keluar, Bu Dar telah berada di terasku."Tunggu bentar, ya, saya panasin mobil bentar aja."Mendengar ucapanku, Bu Dar seketika melengos. "Ealah, kirain udah tinggal pergi. Pake acara dipanasin segala. Kelamaan."Aku tersenyum dalam hati. Namun, tak kutanggapi omongan tetangga kepoku itu. Aku langsung menuju mobil dan menyalakan mesinnya.Setelah itu, kulihat Bu Dar masih berdiri di teras. "Gimana, Bu Dar? Jadi ikut?" Aku melongokkan kepala dari dalam mobil."Ikut lah," jawabnya sinis.Aku dan Bu Soni seketika saling pandang dan berusaha menyembunyikan tawa. Setelah kurasa cukup untuk memanasi mesinnya, kuputuskan untuk segera berangkat."Ayo, Bu. Kita berangkat."Dua tetanggaku itu perlahan berjalan ke mobil. Kemudian, Bu Soni masuk dan duduk di bangku tengah. Sementara Bu Dar masih mematung di luar."Bu Soni gak bawa stroller-nya dedek?" tanyaku seraya melempar pandangan ke arah beliau."Gak, Tante. Gendong aja. Pake strol