Aku pun mengendara mobil meninggalkan pekarangan rumah. Jika Aura melihatku, dia pasti akan bertanya-tanya, kenapa aku masih berada di halaman rumah. Sepanjang jalan, aku hanya memikirkan Delisia. Aku tidak berharap banyak. Delisia mungkin tidak akan mengikuti keinginanku untuk datang ke restoran itu. Hanya saja, aku harus tetap ke sana. Bisa jadi pikiran buruk ku tidak terjadi, Delisia berbaik hati untuk datang. Tidak apa-apa kalau memang dia tidak bisa ke sana. Aku akan tetap berharap dan menunggu. Setelah tiba di restoran, aku langsung memesan makanan. Sekarang sudah jam makan siang. Tadi aku tidak sempat makan di rumah. Belum ingin banyak bercerita dengan Aura. Dia pasti akan terus membahas tentang Delisia. Aku tidak mau berbohong lagi, jika ada yang dia tanyakan. Sejauh ini, aku sudah terlalu banyak berbohong pada anak itu. “Apa Delisia benaran tidak datang?” Aku berkata lirih sambil menatap pintu masuk restoran. Handphone aku letakan di atas meja. Siapa tahu ada pesan dari Del
“Silahkan duduk, Delisia!” ucapku setelah berhenti memperhatikan penampilan Delisia.Jangan sampai tingkahku membuat Delisia tidak suka. Aku tahu, dia perempuan yang tidak senang jika di tatap secara intens oleh lelaki. Aku sudah memperbaiki duduk, agar nyaman berbicara dengannya.Kini Delisia telah duduk di kursi yang ada di depanku. Ada meja yang menjadi pemisah diantara kami. Sepertinya apa yang aku pikirkan benar, kalau ada sesuatu yang tidak beres. Kini Delisia sudah duduk di kursi, tetapi dia belum juga membuka topi, kacamata, dan masker yang menutupi wajahnya.“Kamu mau pesan apa?” tuturku. Sengaja ingin berbasa-basi terlebih dulu.Tak mungkin aku langsung berkata serius. Delisia baru saja tiba, rasanya tidak etis kalau aku langsung berbicara serius padanya. Aku juga masih ingin mengulur waktu sejenak, mau melihat, adakah gerak-gerik yang mengganjal darinya.“Tidak ada, Pak.” Delisia berkata sambil menunduk.Kurang lebih tiga menit berlalu, aku belum juga ingin mengungkapkan al
“Maaf jika aku lancang menolak, Pak! Semua ini harus kita hentikan! Terus memberi harapan pada Aura, itu akan semakin menyakitinya! Kalau bapak bertanya tentang rasa sayangku pada Aura, aku sungguh sangat menyayanginya. Jika yang ditanyakan soal rindu, aku juga sangat merindukannya. Tetapi tidak begini cara untuk menyenangkan hati Aura, Pak. Dia masih kecil. Bagaimana hancurnya dia kalau tahu selama ini seorang ayah yang sangat dia percayai, ternyata telah membohonginya … Aku yakin aura akan sangat kecewa, Pak! … Maaf, aku tidak bisa melakukan semua keinginan bapak lagi. Berbohong bukan lah solusi yang baik!”“Tidak bisa kah kamu memakai perasaan sebagai perempuan. Bagaimana kalau kamu berada di posisi yang sama dengan Aura? Banyak yang mengejekmu karena tidak lagi memiliki ibu. Apalagi Aura masih kecil. Selama ini dia sangat sedih jika di ejek oleh teman-temannya. Aku ingin melakukan yang terbaik untuknya … Dan bagiku ini lah yang terbaik.”Ternyata Delisia masih bersikeras dengan ke
Delisia menggelengkan kepala. Apa ini yang membuatnya menangis? Lelaki yang dia cintai dan sudah sah menjadi suaminya, ternyata mencintai perempuan lain. Apalagi perempuan itu adalah sahabatnya. Airmata menjadi jawaban tentang perasaan Aksa padanya.Ada sedikit perasaan senang, mengetahui jika Aksa tak menyukai Delisia. Berarti aku masih punya kesempatan untuk berjuang. Tentang perasaan Delisia yang sudah mencintai Aksa, aku yakin bisa membuatkan suka padaku.Aku mengerti rasa sakit yang menimbulkan bening jatuh dari kelopak Delisia. Perempuan ini memang tidak layak bersanding dengan Aksa. Dia harusnya menjadi milik ku. Jika menikah denganku, aku bahkan tidak akan membuat wajahnya lesu, apalagi sampai mengeluarkan airmata.“Kalau dia tidak mencintaimu, apa yang kamu harus pertahankan, Delisia? Kamu masih muda, di luar sana banyak laki-laki yang bisa menjagamu. Kenapa bertahan dengan pernikahan yang menyakitkan? Aksa juga sudah tunangan dengan Utami. Dia jelas sangat mencintai kekasihn
“Bapak pasti bercanda!” ujar Delisia pelan. Dengan tatapan yang sulit aku pahami. Aku menggelengkan kepala. “Tidak, Delisia! Aku sungguh mencintaimu. Bahkan aku sudah berencana ingin melamarmu kalau nanti kamu sudah wisuda. Aku tidak sedang bercanda!” Mataku menatap Delisia dengan tulus. “Kok kok bisa. Mak-sudnya, kok, bapak bisa menyukaiku? Di kampus tidak kekurangan perempuan cantik. Aku tidak percaya dengan yang bapak ucapkan. Bapak pasti sedang bercanda.” Delisia tertawa di akhir kata. Aku tahu itu tawa yang sengaja dipaksakan. Dia merasa malu-malu dan sedikit gugup. Mungkin belum pernah ada laki-laki yang mengatakan perasaan cinta padanya. “Memangnya kenapa denganmu? Apa nya yang salah kalau aku menyukaimu? Aku rasa tidak ada yang salah!” Aku berkata masih sambil menatap mata Delisia. Aku ingin dia bisa melihat gelombang kejujuran dari mataku. Beberapa detik terus tertawa, Delisia pun membalas tatapan mataku. Dia lalu menggeleng dan menunduk. “Ini tidak boleh terjadi, Pak. Aku
Kedua tangan bertumpu di meja sambil memegang kepala. Aku tidak peduli dengan banyak pasang mata yang melihatku. Saat ini aku sedang ingin melampiaskan emosi. Tetapi tidak mungkin aku melampiaskan di sini. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Delisia sepertinya marah, mengetahui jika selama ini aku menyukainya. Bagaimana cara agar aku bisa menyadarkannya, aku lah lelaki yang pantas bersanding dengannya? Aku lah sosok yang pantas hidup dengannya. Lima belas menit masih duduk melamun di restoran, aku pun bergegas untuk pulang. Sekarang sudah memasuki waktu maghrib. Sebelum pulang ke rumah, aku singgah terlebih dahulu di rumah. Ketika tiba di rumah, aku langsung menuju kamar Aura. Berharap dengan melihat senyum ceria Aura, bisa mengurangi beban pikiranku. “Ayaaah!” teriak Aura ketika melihatku masuk ke kamarnya. Dia masih memainkan banyak boneka. Hanya sendiri. Sebenarnya aku sangat sedih melihatnya bermain sendiri. Tetapi, aku juga tidak bisa memaksa keadaan. Aura bukan orang yang b
***“Delisia, apa ini? Kenapa kamu hanya membuatkan aku roti bakar? Tadi malam aku bilang kalau pagi ini ingin makan nasi goreng,” teriak Aksa. Sepertinya dia sudah melihat makanan yang aku hidangkan di atas meja makan.Aku bisa mendengar suaranya yang sangat keras dari dalam kamar. Aku memang tidak membuatkan nasi goreng seperti keinginannya tadi malam karena tidak sempat lagi. Aku harus ke kampus jam tujuh pagi ini. Tadi selesai solat subuh, aku masih mengerjakan tugas kuliah yang harus di kumpulkan hari ini.“Tidak usah cerewet! Makan saja apa yang sudah ada di atas meja. Kalau kamu tidak suka, nanti di kampus baru sarapan.” Aku berteriak sambil memperbaiki jilbab. Sejak tinggal seatap, aku belum pernah membuka jilbab di hadapan Aksa. Aku masih kurang percaya diri untuk memperlihatkan rambut pada lelaki yang sudah menjadi mahromku ini.Aku hanya takut jika Aksa berpikir macam-macam tentangku. Bisa saja 'kan kalau dia akan berpikir buruk jika aku ingin merayunya? Ya, walau pun sekar
“Delis!” Aku berhenti dan berbalik ketika ada yang memanggil namaku. Siapa lagi yang biasa memanggilku seperti ini kalau bukan Utami. Aku kini sudah tiba di kampus. Meskipun masih pagi, kampus sudah ramai. Mungkin karena banyak yang akan melaksanakan ujian pagi ini.Kini Utami berjalan cepat ke arah ku sambil tersenyum. Aku pun membalas senyum manis sahabatku.“Tunggu bentar ya, aku mau ngambil sarapan dulu baru ke ruangan. Tadi aku belum sarapan, hehe.” Aku tersenyum tanpa dosa di akhir kalimat.Utami menggelengkan kepala. Seolah heran dengan tingkahku. “Yuk!” Dia lalu menarik tanganku menuju meja yang tersedia banyak bungkusan makanan. Meja itu ada di halaman fakultas yang tidak terlalu jauh dari parkiran.Hari ini masih jadwal ujian akhir semester. Seperti biasa, ketika ujian semester, fakultas akan menyediakan sarapan gratis untuk mahasiswa. Meskipun porsi makanan dalam bungkusan tidak terlalu banyak, tetapi cukup untuk membuat kenyang di pagi hari.Aku mengambil satu bungkus ma
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Keesokan harinya, ternyata Juna menepati perkataannya, dia datang lagi di rumahku. Namun sekarang, aku tidak lagi marah-marah seperti kemarin. Saat asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitahu Juna ada di bawah, aku langsung keluar, turun dari lantai dua kamarku. Juna tersenyum. Tetapi aku tak membalas senyum itu. Aku rasa tidak perlu ramah padanya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Juna dengan wajah yang ceria. "Apa saja yang kamu tahu tentang Delisia?" Aku pikir tidak penting menjawab pertanyaan Juna. Sekarang yang paling penting, aku harus tahu tentang Delisia. Juna pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Aksa. "Dia perempuan baik. Banyak hal yang sudah dilakukan Delisia untuk menjaga perasaan kamu, Tam. Termasuk menghilang dari kehidupan kita semua. Sampai sekarang Aksa tidak tahu Delisia berada dimana. Kemarin Aksa juga tidak ikut wisuda karena pergi ke Rumah Delisia yang ada di kampung … Orang tua Delisia tidak mau memberitahu tempat tinggal Delisia sekarang.
Setelah Juna hilang dari pandangan, mataku terfokus pada dua buku diary yang ada di atas meja. Tanganku pun mengambil. Ahh, aku tidak perlu membaca buku ini. Pasti isinya akan sangat menyakitkan untuk aku. Tetapi aku juga penasaran. Memangnya apa sih isinya, hingga Juna memaksaku untuk membacanya? Kalau tidak penting, Juna pasti tak akan membawanya ke sini. Aku pun mengambil. Lalu membawanya ke kamar. Setelah tiba di kamar, aku mengambil diary yang semua halaman dipenuhi tulisan. Aku membuka lembaran pertama. Hari ini seperti mimpi bagiku. Ya Allah, jika ini sebuah mimpi, segera bangunkan aku. Mimpi ini terlalu buruk. Aku tidak tahu jika lelaki yang dijodohkan denganku adalah Aksa, kekasih sahabatku. Bagaimana perasaan Utami jika tahu aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan sangat terluka. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut Utami membenciku. Di sahabatku satu-satunya. Aku tak ingin kehilangan Utami. Kalau Utami tahu tentang pernikahan ini, dia pasti akan sangat ma
"Pulang! Kalau kamu datang ke sini yang untuk menceritakan mereka, membela mereka. Pulanglah! Aku tidak ingin mendengar cerita apapun tentang mereka. Sakit, Juna! ... Apa yang mereka perbuat sangat menyakitiku ... Kenapa selama ini Delisia tidak jujur padaku? Kenapa dia tidak cerita semua ke aku? Dan Aksa, dia selalu bersikap seolah tidak akrab dengan Delisia. Padahal kenyataannya, mereka sudah menikah ... Mereka menikah dan aku tidak tahu!" Aku histeris. Mungkin suaraku dapat di dengar oleh semua asisten di rumah ini. Aku tidak peduli. Mereka pasti sudah tahu jika aku sedang ada masalah. Setelah tadi Juna melepas pelukan, kini dia kembali membawaku dalam pelukannya. Aku terseduh seduh. Sebenarnya ada sedikit rasa tenang saat berada dalam pelukan Juna. Tetapi tidak mungkin aku katakan. Juna pasti akan besar kepala. Lumayan lama berada dalam pelukan Juna. Dia tidak lagi banyak bicara seperti tadi. Mungkin karena tidak ingin melihatku mengamuk lagi. Juna kini melepas pelukan dengan
*** "Ngapain kamu datang ke sini? Ada keperluan apa?" Saat ini di hadapanku ada Juna. Sudah berulang kali aku melarangnya untuk datang ke sini. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Tetapi Juna terlalu keras kepala. Dia tidak mengindahkan perintahku. "Aku mau ngasih ini?" jawab Juna dengan gaya santai. Tampangnya sangat membuat jengkel. "Apa itu? Diary siapa? Sana, bawa pulang! Aku tidak mau ada satupun barang dari Aksa di Rumahku. Dan kamu, silahkan pulang dan jangan datang ke sini lagi." Aku berkata dengan raut wajah marah. Baru sekarang aku mau menemuinya. Karena capek mendengar pintu kamarku selalu diketuk oleh asisten rumah. Yang katanya, Juna mencari ku. Siapa yang tidak jenuh kalau setiap hari di datangi hanya karena Juna ingin bertemu denganku. Kali ini aku mau menemuinya supaya dia tidak datang lagi datang ke sini. "Ini buku diary Delisia. Bacalah. Agar otakmu bisa waras. Sebelum nanti kamu menyesal selamanya." "Maksud kamu apa? Kamu mau bilang kalau aku tidak waras? J
Aku lanjut ke halaman berikutnya. Ternyata ini sudah halaman terakhir. Berbeda dengan diary yang berada di tasku, yang sudah berisi tulisan sampai halaman terakhir. Diary ini hanya empat halaman. Aksa… Mulai hari ini aku akan belajar melupakanmu. Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh, agar tak bisa bertemu lagi dengan kamu. Kalau kamu ingin menikah dengan Utami. Menikahlah! Aku ridho. Hehe, mungkin kamu tak butuh ucapan ridho dariku. Tak mengapa, aku akan tetap mengatakan. Ahh, bukan mengatakan sih lebih tepatnya. Tetapi menulis dalam diary ini. Karena aku tak mungkin bisa mengatakan pada kamu. Aku tak berani. Dan aku tahu kamu juga tidak butuh ungkapan dari aku. Aku akan menunggu berkas perceraian yang harus aku tanda tangani. Selamat berbahagia dengan kehidupan barumu. Aku menulis ini setelah sholat subuh. Hari ini aku akan pergi. Kamu baik-baik yaa. Jaga kesehatan. Jangan jadi lelaki pemarah lagi. Aku pamit!" "Jangan pergi! Aku sungguh menyesal, Delisia. Aku sangat m
Aku kini telah berada di kamar Delisia. Setelah mengantarku masuk ke kamar, ibu mertuaku lantas keluar. Kamar Delisia sangat minimalis, namun membuat siapapun yang masuk akan terasa nyaman. Bahkan toiletku lebih besar dari kamar Delisia. Tetapi penataan barang yang ada di kamar ini cukup bagus untuk ruangan yang berukuran minimalis. Aku menyentuh kasur Delisia yang kini sedang aku duduki. Kasur nya bukan spring bed. Semoga saja badanku tidak sakit saat tidur. Aku tidak terbiasa tidur di kasur seperti ini. Terbuat dari apa ya ini? Aku baru pertama kali melihat kasur begini. Sepertinya dari kamar. Masa sih ada kasur yang terbuat dari kapas? Aku terus bertanya-tanya dengan tangan masih memegang kasur Aku berdiri, melihat lihat buku yang ada di rak. Mataku fokus pada sebuah buku yang sama dengan buku yang ada dalam tas ku. Ya, buku diary Delisia. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengambil. "Sebenarnya Delisia punya berapa buku diary? Terus kenapa dia tidak membawa buku ini? Kalau