“Bapak pasti bercanda!” ujar Delisia pelan. Dengan tatapan yang sulit aku pahami. Aku menggelengkan kepala. “Tidak, Delisia! Aku sungguh mencintaimu. Bahkan aku sudah berencana ingin melamarmu kalau nanti kamu sudah wisuda. Aku tidak sedang bercanda!” Mataku menatap Delisia dengan tulus. “Kok kok bisa. Mak-sudnya, kok, bapak bisa menyukaiku? Di kampus tidak kekurangan perempuan cantik. Aku tidak percaya dengan yang bapak ucapkan. Bapak pasti sedang bercanda.” Delisia tertawa di akhir kata. Aku tahu itu tawa yang sengaja dipaksakan. Dia merasa malu-malu dan sedikit gugup. Mungkin belum pernah ada laki-laki yang mengatakan perasaan cinta padanya. “Memangnya kenapa denganmu? Apa nya yang salah kalau aku menyukaimu? Aku rasa tidak ada yang salah!” Aku berkata masih sambil menatap mata Delisia. Aku ingin dia bisa melihat gelombang kejujuran dari mataku. Beberapa detik terus tertawa, Delisia pun membalas tatapan mataku. Dia lalu menggeleng dan menunduk. “Ini tidak boleh terjadi, Pak. Aku
Kedua tangan bertumpu di meja sambil memegang kepala. Aku tidak peduli dengan banyak pasang mata yang melihatku. Saat ini aku sedang ingin melampiaskan emosi. Tetapi tidak mungkin aku melampiaskan di sini. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Delisia sepertinya marah, mengetahui jika selama ini aku menyukainya. Bagaimana cara agar aku bisa menyadarkannya, aku lah lelaki yang pantas bersanding dengannya? Aku lah sosok yang pantas hidup dengannya. Lima belas menit masih duduk melamun di restoran, aku pun bergegas untuk pulang. Sekarang sudah memasuki waktu maghrib. Sebelum pulang ke rumah, aku singgah terlebih dahulu di rumah. Ketika tiba di rumah, aku langsung menuju kamar Aura. Berharap dengan melihat senyum ceria Aura, bisa mengurangi beban pikiranku. “Ayaaah!” teriak Aura ketika melihatku masuk ke kamarnya. Dia masih memainkan banyak boneka. Hanya sendiri. Sebenarnya aku sangat sedih melihatnya bermain sendiri. Tetapi, aku juga tidak bisa memaksa keadaan. Aura bukan orang yang b
***“Delisia, apa ini? Kenapa kamu hanya membuatkan aku roti bakar? Tadi malam aku bilang kalau pagi ini ingin makan nasi goreng,” teriak Aksa. Sepertinya dia sudah melihat makanan yang aku hidangkan di atas meja makan.Aku bisa mendengar suaranya yang sangat keras dari dalam kamar. Aku memang tidak membuatkan nasi goreng seperti keinginannya tadi malam karena tidak sempat lagi. Aku harus ke kampus jam tujuh pagi ini. Tadi selesai solat subuh, aku masih mengerjakan tugas kuliah yang harus di kumpulkan hari ini.“Tidak usah cerewet! Makan saja apa yang sudah ada di atas meja. Kalau kamu tidak suka, nanti di kampus baru sarapan.” Aku berteriak sambil memperbaiki jilbab. Sejak tinggal seatap, aku belum pernah membuka jilbab di hadapan Aksa. Aku masih kurang percaya diri untuk memperlihatkan rambut pada lelaki yang sudah menjadi mahromku ini.Aku hanya takut jika Aksa berpikir macam-macam tentangku. Bisa saja 'kan kalau dia akan berpikir buruk jika aku ingin merayunya? Ya, walau pun sekar
“Delis!” Aku berhenti dan berbalik ketika ada yang memanggil namaku. Siapa lagi yang biasa memanggilku seperti ini kalau bukan Utami. Aku kini sudah tiba di kampus. Meskipun masih pagi, kampus sudah ramai. Mungkin karena banyak yang akan melaksanakan ujian pagi ini.Kini Utami berjalan cepat ke arah ku sambil tersenyum. Aku pun membalas senyum manis sahabatku.“Tunggu bentar ya, aku mau ngambil sarapan dulu baru ke ruangan. Tadi aku belum sarapan, hehe.” Aku tersenyum tanpa dosa di akhir kalimat.Utami menggelengkan kepala. Seolah heran dengan tingkahku. “Yuk!” Dia lalu menarik tanganku menuju meja yang tersedia banyak bungkusan makanan. Meja itu ada di halaman fakultas yang tidak terlalu jauh dari parkiran.Hari ini masih jadwal ujian akhir semester. Seperti biasa, ketika ujian semester, fakultas akan menyediakan sarapan gratis untuk mahasiswa. Meskipun porsi makanan dalam bungkusan tidak terlalu banyak, tetapi cukup untuk membuat kenyang di pagi hari.Aku mengambil satu bungkus ma
“Hehe … Nggak lah, Tam! Kamu tahu ‘kan, Pak Firman orangnya kayak gimana? Dosen killer seperti beliau, mana mau kasih nilai karena alasan labil seperti itu.”“Iya juga, sih! … Setelah ini kamu mau ke mana? Kita jalan yuk! Aku pengen jalan-jalan sebelum besok menghadapi soal ujian lagi.”Aku tertawa kecil mendengar keinginan Utami yang aneh ini. Mana bisa jalan-jalan saat besok mau ujian. Yang harusnya kita lakukan itu belajar, bukan pergi jalan. Aku ingin dapat nilai yang bagus di ujian semester ini, mana sempat berpikiran untuk jalan-jalan.“Ada ada saja kamu ini, Tam! Kalau punya keinginan itu, jangan yang aneh-aneh,” ujarku menertawai Utami.“Apanya yang aneh, Mentari Delisia! Kita juga butuh refresing, supaya otak tidak buntu. Lama-lama bisa gila loo, kalau otak sudah penuh.” Utami sesekali membesarkan matanya saat berkata.Aku gemas sekali melihat sahabatku ini. Kami berdua masih berjalan di lorong jujuran. Aku menoleh melihatnya. Utami menunduk, mungkin karena aku tidak lagi men
"Itu tidak benar 'kan, Del?“"Maksudnya apa sih. Aku nggak ngerti lo ini. Tari melihatku di mana?""Tari melihat kamu jalan berdua dengan Aksa di Loby Apartemen. Waktu itu dia mau ke Apartemen sepupunya yang ada di lantai dua, satu gedung dengan Apartemen Aksa. Tari pasti salah lihat ‘kan, Del?.""Ya nggak mungkin lah, Tam! Masa iya, aku jalan berdua dengan Aksa, apalagi dia lihatnya di loby Apartemen Aksa. Itu sudah pasti salah! Ngapain coba aku ke sana? Dan yang lebih anehnya lagi, aku terlihat jalan dengan Aksa. Menjadi pertanyaan besar tuh, kenapa aku jalan dengan dia dan berada di Apartemen? Sangat tidak mungkin!""Aku percaya, kok. Tidak mungkin itu kamu. Tari pasti salah lihat orang."Utami masih saja berkata tanpa melihatku. Apa yang keluar dari bibir Utami, sepertinya tidak sesuai isi hatinya. Aku yakin sekarang Utami sedang berpikir macam-macam tentangku. Ya, meskipun yang dia pikirkan sebetulnya benar. Tetapi aku harus bisa menyanggah dan membuatnya percaya, jika yang diuc
"Percayalah padaku, Utami! Aku tidak akan pernah mengecewakanmu."Aku tersenyum dan mengusap pelan satu tangan Utami yang sedang memegang persneling mobil. Bibir berkata demikian, namun hati merasa sakit. Aku akan berusaha mengabulkan janji itu. Ya, akan berusaha! Setelah bercerai nanti, aku akan menjauh dari kehidupan Aksa.Aku akan menjamin, akhir dari kisah ini, Utami akan hidup bahagia dengan Aksa. Mungkin semua ini sangat berat untukku. Tetapi, aku akan berusaha melakukannya. Utami - dia sahabatku, mana mungkin aku bisa melihatnya terluka."Aku kemarin bertengkar hebat dengan Aksa, Del. Aku jadi merasa bersalah padanya." Kini Utami menoleh padaku sejenak, lalu kembali melihat jalan.Dari yang terlihat, wajah Utami sudah tidak seperti tadi lagi. Aku sepertinya berhasil membuatnya percaya jika aku dan Aksa tidak memiliki hubungan khusus. Semoga tidak ada lagi keraguan di hatinya. Kalau tidak, aku merasa kasihan pada Aksa. Masalah ini pasti akan mengganggu pikiran Aksa. Aku tahu Aks
"Aku langsung antar ke kosan kamu 'kan?" tutur Utami memecah keheningan diantara kami. "Nggak usah, Tam! Aku mau singgah di minimarket dulu. Kamu turunin aku depan minimarket di samping Gang saja." "Oh okey kalau begitu! … Del, aku sudah lama sekali nggak main ke kosan kamu. Aku rindu kita makan bareng kayak dulu di kosan kamu. Kapan kita bisa beli makanan di luar, terus di bungkus dan makannya di kosan kamu?" Utami sudah kembali ceria lagi. Perempuan ini memang terlalu mudah suasana hatinya berubah. "Iya, yah, Tam! Kita sudah lama tidak makan bareng di kosanku. Aku juga sudah terlalu rindu dengan momen itu." Lagi dan lagi aku harus berbohong. Memasang mimik wajah seolah tidak ada yang terjadi. Ada rasa jenuh dengan setiap kebohongan yang selalu terucap dari bibir. Hanya saja, aku tidak punya pilihan selain menyikuti skenario ini. Berkata jujur bukan solusi. Meskipun aku tahu dosanya sangat besar. Aku dan Aksa sudah memulai semuanya dengan kebohongan. Lebih tepatnya, aku mengikut
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Keesokan harinya, ternyata Juna menepati perkataannya, dia datang lagi di rumahku. Namun sekarang, aku tidak lagi marah-marah seperti kemarin. Saat asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitahu Juna ada di bawah, aku langsung keluar, turun dari lantai dua kamarku. Juna tersenyum. Tetapi aku tak membalas senyum itu. Aku rasa tidak perlu ramah padanya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Juna dengan wajah yang ceria. "Apa saja yang kamu tahu tentang Delisia?" Aku pikir tidak penting menjawab pertanyaan Juna. Sekarang yang paling penting, aku harus tahu tentang Delisia. Juna pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Aksa. "Dia perempuan baik. Banyak hal yang sudah dilakukan Delisia untuk menjaga perasaan kamu, Tam. Termasuk menghilang dari kehidupan kita semua. Sampai sekarang Aksa tidak tahu Delisia berada dimana. Kemarin Aksa juga tidak ikut wisuda karena pergi ke Rumah Delisia yang ada di kampung … Orang tua Delisia tidak mau memberitahu tempat tinggal Delisia sekarang.
Setelah Juna hilang dari pandangan, mataku terfokus pada dua buku diary yang ada di atas meja. Tanganku pun mengambil. Ahh, aku tidak perlu membaca buku ini. Pasti isinya akan sangat menyakitkan untuk aku. Tetapi aku juga penasaran. Memangnya apa sih isinya, hingga Juna memaksaku untuk membacanya? Kalau tidak penting, Juna pasti tak akan membawanya ke sini. Aku pun mengambil. Lalu membawanya ke kamar. Setelah tiba di kamar, aku mengambil diary yang semua halaman dipenuhi tulisan. Aku membuka lembaran pertama. Hari ini seperti mimpi bagiku. Ya Allah, jika ini sebuah mimpi, segera bangunkan aku. Mimpi ini terlalu buruk. Aku tidak tahu jika lelaki yang dijodohkan denganku adalah Aksa, kekasih sahabatku. Bagaimana perasaan Utami jika tahu aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan sangat terluka. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut Utami membenciku. Di sahabatku satu-satunya. Aku tak ingin kehilangan Utami. Kalau Utami tahu tentang pernikahan ini, dia pasti akan sangat ma
"Pulang! Kalau kamu datang ke sini yang untuk menceritakan mereka, membela mereka. Pulanglah! Aku tidak ingin mendengar cerita apapun tentang mereka. Sakit, Juna! ... Apa yang mereka perbuat sangat menyakitiku ... Kenapa selama ini Delisia tidak jujur padaku? Kenapa dia tidak cerita semua ke aku? Dan Aksa, dia selalu bersikap seolah tidak akrab dengan Delisia. Padahal kenyataannya, mereka sudah menikah ... Mereka menikah dan aku tidak tahu!" Aku histeris. Mungkin suaraku dapat di dengar oleh semua asisten di rumah ini. Aku tidak peduli. Mereka pasti sudah tahu jika aku sedang ada masalah. Setelah tadi Juna melepas pelukan, kini dia kembali membawaku dalam pelukannya. Aku terseduh seduh. Sebenarnya ada sedikit rasa tenang saat berada dalam pelukan Juna. Tetapi tidak mungkin aku katakan. Juna pasti akan besar kepala. Lumayan lama berada dalam pelukan Juna. Dia tidak lagi banyak bicara seperti tadi. Mungkin karena tidak ingin melihatku mengamuk lagi. Juna kini melepas pelukan dengan
*** "Ngapain kamu datang ke sini? Ada keperluan apa?" Saat ini di hadapanku ada Juna. Sudah berulang kali aku melarangnya untuk datang ke sini. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Tetapi Juna terlalu keras kepala. Dia tidak mengindahkan perintahku. "Aku mau ngasih ini?" jawab Juna dengan gaya santai. Tampangnya sangat membuat jengkel. "Apa itu? Diary siapa? Sana, bawa pulang! Aku tidak mau ada satupun barang dari Aksa di Rumahku. Dan kamu, silahkan pulang dan jangan datang ke sini lagi." Aku berkata dengan raut wajah marah. Baru sekarang aku mau menemuinya. Karena capek mendengar pintu kamarku selalu diketuk oleh asisten rumah. Yang katanya, Juna mencari ku. Siapa yang tidak jenuh kalau setiap hari di datangi hanya karena Juna ingin bertemu denganku. Kali ini aku mau menemuinya supaya dia tidak datang lagi datang ke sini. "Ini buku diary Delisia. Bacalah. Agar otakmu bisa waras. Sebelum nanti kamu menyesal selamanya." "Maksud kamu apa? Kamu mau bilang kalau aku tidak waras? J
Aku lanjut ke halaman berikutnya. Ternyata ini sudah halaman terakhir. Berbeda dengan diary yang berada di tasku, yang sudah berisi tulisan sampai halaman terakhir. Diary ini hanya empat halaman. Aksa… Mulai hari ini aku akan belajar melupakanmu. Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh, agar tak bisa bertemu lagi dengan kamu. Kalau kamu ingin menikah dengan Utami. Menikahlah! Aku ridho. Hehe, mungkin kamu tak butuh ucapan ridho dariku. Tak mengapa, aku akan tetap mengatakan. Ahh, bukan mengatakan sih lebih tepatnya. Tetapi menulis dalam diary ini. Karena aku tak mungkin bisa mengatakan pada kamu. Aku tak berani. Dan aku tahu kamu juga tidak butuh ungkapan dari aku. Aku akan menunggu berkas perceraian yang harus aku tanda tangani. Selamat berbahagia dengan kehidupan barumu. Aku menulis ini setelah sholat subuh. Hari ini aku akan pergi. Kamu baik-baik yaa. Jaga kesehatan. Jangan jadi lelaki pemarah lagi. Aku pamit!" "Jangan pergi! Aku sungguh menyesal, Delisia. Aku sangat m
Aku kini telah berada di kamar Delisia. Setelah mengantarku masuk ke kamar, ibu mertuaku lantas keluar. Kamar Delisia sangat minimalis, namun membuat siapapun yang masuk akan terasa nyaman. Bahkan toiletku lebih besar dari kamar Delisia. Tetapi penataan barang yang ada di kamar ini cukup bagus untuk ruangan yang berukuran minimalis. Aku menyentuh kasur Delisia yang kini sedang aku duduki. Kasur nya bukan spring bed. Semoga saja badanku tidak sakit saat tidur. Aku tidak terbiasa tidur di kasur seperti ini. Terbuat dari apa ya ini? Aku baru pertama kali melihat kasur begini. Sepertinya dari kamar. Masa sih ada kasur yang terbuat dari kapas? Aku terus bertanya-tanya dengan tangan masih memegang kasur Aku berdiri, melihat lihat buku yang ada di rak. Mataku fokus pada sebuah buku yang sama dengan buku yang ada dalam tas ku. Ya, buku diary Delisia. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengambil. "Sebenarnya Delisia punya berapa buku diary? Terus kenapa dia tidak membawa buku ini? Kalau