*** "Aku minta maaf, Tam. Aku tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini," ujarku sambil menatap mata Utami. Utami membelalakan mata. Aktifitasnya yang sedang mengirim pesan pada seseorang terhenti. Aku tidak tahu dia sedang membalas pesan dari siapa. Sejak tiba di Kafe, dia sudah sibuk dengan handphonenya. Saat ini aku dan Utami sedang berada di Kafe tempat kami sering bertemu. Aku sengaja mengajaknya ke sini untuk berbicara hal penting, karena di jam begini Kafe tidak terlalu ramai. "Apa? ... Maksud kamu apa, sayang? Jangan bercanda deh. Tidak baik loh, menjadikan perpisahan sebagai bahan candaan. Aku tidak suka kamu bercandanya begitu. Setelah wisuda kita akan menikah. Jadi jangan sembarangan bicara." Utami berkata dengan pelan. Namun aku masih dapat mendengarnya. "Aku serius, Tam! Aku ingin mengakhiri hubungan ini!" Tatapan mataku masih tertuju pada mata Utami dengan kedua tangan terlipat di atas meja. "Jangan gila. Hubungan kita sudah diketahui oleh orang tuaku. Kita sudah b
"Aku tidak mau kita putus! Aku bisa membuat kamu kembali mencintaiku seperti dulu!" Utami berkata setelah menghapus air mata di wajahnya. Aku menggelengkan kepala. "Maaf, Utami! Mari berdamai dengan keadaan. Aku yakin kamu akan menemukan lelaki yang lebih baik dari pada aku." Aku ingin pergi dari sini. Tetapi, tidak mungkin meninggalkan Utami sendiri dalam kondisi begini. Walau bagaimanapun aku tidak ingin menjadi lelaki jahat yang pergi begitu saja. Aku memulai hubungan bersama Utami dengan baik-baik. Jadi hubungan ini juga harus berakhir baik-baik. Utami menarik napas. Dia lalu kembali bersuara. "Apa karena kamu telah mencintainya?" Utami menatapku dengan mata yang masih menangis. Aku terdiam. Tidak perlu menjawab pertanyaan Utami. Apapun alasannya, dia tidak perlu tahu. Jika aku berkata sejujurnya, itu hanya akan lebih menyakitinya. Meskipun aku tak menjawab, Utami mungkin saja sudah bisa menebak alasan aku memutuskannya. "Kamu dulu membencinya, Aksa! Bahkan kamu sering meng
"Ayah ada di dalam?" tanyaku pada seorang satpam yang ada di pos. Kini mobil yang aku kendarai baru saja memasuki pintu gerbang. "Iya, Tuan." Jawabnya. Aku lupa siapa namanya. Asisten rumah yang bekerja di sini terlalu banyak. Aku hampir tidak mengenali mereka satu persatu. Mungkin karena jarang berada di rumah dan seringkali tidak menegur mereka. Berbeda dengan Delisia. Dulu, setiap kali datang ke rumah bersamanya, dia terlihat akrab dengan semua asisten yang bekerja di sini. Aku kagum pada sikapnya yang ramah pada semua orang. "Delisia, aku sudah terlalu rindu. Kenapa kamu lama sekali berada di kampung," lirihku saat melihat foto akad nikah kami yang masih terpampang di dinding rumah. Ayah pernah meminta asisten untuk memindahkan foto ini. Tetapi aku melarang. Biarkan foto itu tetap berada di situ. "Kamu dari mana, Aksa?" Suara ayah mengagetkan aku. Aku berbalik. Ternyata ayah sudah berada di belakangku. Kondisi ayah semakin hari semakin membaik. Sudah tidak ada lagi tongk
"Kamu laki-laki yang tidak punya pendirian. Allah memberimu perempuan sesholeha Delisia, tetapi kamu sia-siakan. Sekarang Utami juga kamu sakiti. Sebenarnya mau kamu apa, Aksa? Ayah malu punya anak lelaki sepertimu. Percuma ayah menyekolahkanmu tetapi pikiranmu masih seperti anak kecil." "Dulu aku memang tidak mencintai Delisia. Ya, karena aku terpaksa menikah dengannya. Hanya untuk menyenangkan hati ayah. Aku juga menulis kontrak nikah akan menceraikannya, karena aku berpikir tidak akan bisa mencintainya. Tetapi semua orang bisa berubah, Ayah. Setelah kami berdua tinggal bersama, perasaan itu perlahan muncul. Aku pikir sekedar nyaman biasa, ternyata aku salah. Aku sungguh telah mencintai Delisia." "Omong kosong apa yang baru saja kamu ceritakan." Setelah berucap, ayah terdiam beberapa menit. Aku juga ikut diam. Berperang dengan pikiran. Aku takut jika ayah tetap menginginkan pernikahanku dengan Utami. Aku tidak menyalahkan ayah, kenapa begitu marah padaku. Didikan ayah begitu kera
*** "Kamu cari siapa? Dari tadi celingak-celinguk begitu," tanya Juna padaku. Aku pikir Juna sedang fokus dengan buku yang sedang dia baca, ternyata dia menyadari setiap gerakan ku. Ya, Juna sedang membaca buku online di handphonenya. "Delisia tidak datang?" Bukannya menjawab pertanyaan Juna, aku justru balik bertanya. Bisa saja kan dia melihat Delisia, sedangkan aku tidak. "Mungkin Delisia sudah berdiri di depan. Dia kan lulusan terbaik," ujar Juna tanpa menoleh padaku. "Masa sih? Kenapa dari tadi aku belum melihatnya?" Aku dan semua mahasiswa yang akan mengikuti wisuda sedang berbaris. Kami sedang mengikuti gladi persiapan untuk wisuda besok. Aku sedang berbaris dengan semua mahasiswa sosiologi. Di sampingku ada Juna dan di belakang ada Rian. Kami berdiri sudah cukup lama, tetapi belum juga di suruh untuk masuk. Dari tadi mataku mencari keberadaan Delisia. Tetapi belum menemukan. Aku bahkan rela datang lebih cepat agar bisa bertemu Delisia. Namun nyata hingga tempat gladi
Aku kembali fokus ke depan setelah mendengar suara MC. Acara sudah dimulai dari tadi. Tetapi ini lah yang paling aku tunggu. Benak dipenuhi rasa penasaran, siapa yang akan maju sebagai wisudawan terbaik perwakilan fakultas ilmu sosial dan politik. "Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik dari program studi komunikasi. IPK 3, 85. Kartika Lestari. Lahir, 10 Mei 1995." Hampir semua orang bertepuk tangan. Karena saat ini sedang gladi, semua orang masih diperbolehkan untuk bertepuk tangan. Tetapi saat pelaksanaan acara wisuda besok, sangat dilarang. Mungkin di ruangan ini hanya aku, Juna dan Rian yang tidak bertepuk tangan. Aku masih kaget. Tidak percaya dengan nama yang baru saja diucapkan oleh MC. Mungkin Juna dan Rian juga sama kagetnya dengan aku. Ternyata dugaanku benar. Perempuan yang duduk di kursi paling depan, dia lah lulusan terbaik. Benak di penuhi tanya, Delisia dimana. Kenapa bukan dia yang menjadi lulusan terbaik? Kenapa harus diganti? Siapa orang yang berani mengganti nam
Aku melajukan mobil menuju kampung halaman Delisia. Masih teringat jelas nama desa yang pernah Delisia katakan padaku – Desa Toura, itu namanya. Aku belum pernah ke sana. Ini akan menjadi yang pertama kali. Semoga saja tidak kesasar. "Delisia, yang di katakan oleh Pak Jamal tidak benar kan? Kamu tidak akan mungkin keluar kota tanpa sepengetahuanku." Aku bermonolog di dalam mobil. Hati dipenuhi rasa takut. Aku takut kalau sampai yang diucapkan oleh Pak Jamal benar. Aku sangat takut kehilangan Delisia! Beberapa jam perjalanan, aku akhirnya tiba. Tadi aku bertanya letak Desa Toura ketika tiba di pasar tradisional. Arah jalannya tidak terlalu sulit untuk diingat. Lurus mengikuti jalan sejauh lima ratus meter. Lalu belok kanan ke Gapura yang bertuliskan Desa Toura. Rumah Delisia yang mana ya? Dari pada mengendara tidak jelas, aku pun turun ketika melihat lima orang ibu ibu sedang bercerita-cerita di atas gazebo. "Ibu, mohon maaf. Rumah Pak Rusdin dimana ya?" tanyaku setelah menurunk
Aku terdiam cukup lama. Memikirkan kalimat apalagi yang bisa aku katakan agar tetap berada di sini. Aku belum ingin pulang. Wisuda besok, ahh, sepertinya aku tak perlu ikut. Aku akan memberi tahu ayah nanti. Sekarang yang lebih penting, aku harus menyelesaikan masalahku dengan Delisia. "Apa sudah tidak ada lagi kesempatan untuk aku memperbaiki hubungan dengan Delisia? Aku mengaku salah dan aku berjanji akan berubah." Percakapan kami terhenti saat ayah mertuaku datang. Kini lelaki tua berwibawa itu duduk di hadapanku. ayah dan ibu mertuaku saling tatap sejenak. Mereka lalu melihatku. "Delisia sudah terlalu kecewa pada kamu, Nak Aksa. Lebih baik kamu lupakan Delisia. Mulai hidup yang baru. Apalagi perceraian kalian sedang di urus oleh Pak Candra," ujar ibu mertuaku. What? Kenapa ayah tidak pernah katakan padaku kalau sedang mengurus perceraian. Mungkin ini kah alasan kenapa ayah sekarang sudah jarang mengajakku bicara? "Tidak, Bu. Aku dan Delisia tidak akan bercerai karena aku
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Keesokan harinya, ternyata Juna menepati perkataannya, dia datang lagi di rumahku. Namun sekarang, aku tidak lagi marah-marah seperti kemarin. Saat asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitahu Juna ada di bawah, aku langsung keluar, turun dari lantai dua kamarku. Juna tersenyum. Tetapi aku tak membalas senyum itu. Aku rasa tidak perlu ramah padanya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Juna dengan wajah yang ceria. "Apa saja yang kamu tahu tentang Delisia?" Aku pikir tidak penting menjawab pertanyaan Juna. Sekarang yang paling penting, aku harus tahu tentang Delisia. Juna pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Aksa. "Dia perempuan baik. Banyak hal yang sudah dilakukan Delisia untuk menjaga perasaan kamu, Tam. Termasuk menghilang dari kehidupan kita semua. Sampai sekarang Aksa tidak tahu Delisia berada dimana. Kemarin Aksa juga tidak ikut wisuda karena pergi ke Rumah Delisia yang ada di kampung … Orang tua Delisia tidak mau memberitahu tempat tinggal Delisia sekarang.
Setelah Juna hilang dari pandangan, mataku terfokus pada dua buku diary yang ada di atas meja. Tanganku pun mengambil. Ahh, aku tidak perlu membaca buku ini. Pasti isinya akan sangat menyakitkan untuk aku. Tetapi aku juga penasaran. Memangnya apa sih isinya, hingga Juna memaksaku untuk membacanya? Kalau tidak penting, Juna pasti tak akan membawanya ke sini. Aku pun mengambil. Lalu membawanya ke kamar. Setelah tiba di kamar, aku mengambil diary yang semua halaman dipenuhi tulisan. Aku membuka lembaran pertama. Hari ini seperti mimpi bagiku. Ya Allah, jika ini sebuah mimpi, segera bangunkan aku. Mimpi ini terlalu buruk. Aku tidak tahu jika lelaki yang dijodohkan denganku adalah Aksa, kekasih sahabatku. Bagaimana perasaan Utami jika tahu aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan sangat terluka. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut Utami membenciku. Di sahabatku satu-satunya. Aku tak ingin kehilangan Utami. Kalau Utami tahu tentang pernikahan ini, dia pasti akan sangat ma
"Pulang! Kalau kamu datang ke sini yang untuk menceritakan mereka, membela mereka. Pulanglah! Aku tidak ingin mendengar cerita apapun tentang mereka. Sakit, Juna! ... Apa yang mereka perbuat sangat menyakitiku ... Kenapa selama ini Delisia tidak jujur padaku? Kenapa dia tidak cerita semua ke aku? Dan Aksa, dia selalu bersikap seolah tidak akrab dengan Delisia. Padahal kenyataannya, mereka sudah menikah ... Mereka menikah dan aku tidak tahu!" Aku histeris. Mungkin suaraku dapat di dengar oleh semua asisten di rumah ini. Aku tidak peduli. Mereka pasti sudah tahu jika aku sedang ada masalah. Setelah tadi Juna melepas pelukan, kini dia kembali membawaku dalam pelukannya. Aku terseduh seduh. Sebenarnya ada sedikit rasa tenang saat berada dalam pelukan Juna. Tetapi tidak mungkin aku katakan. Juna pasti akan besar kepala. Lumayan lama berada dalam pelukan Juna. Dia tidak lagi banyak bicara seperti tadi. Mungkin karena tidak ingin melihatku mengamuk lagi. Juna kini melepas pelukan dengan
*** "Ngapain kamu datang ke sini? Ada keperluan apa?" Saat ini di hadapanku ada Juna. Sudah berulang kali aku melarangnya untuk datang ke sini. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Tetapi Juna terlalu keras kepala. Dia tidak mengindahkan perintahku. "Aku mau ngasih ini?" jawab Juna dengan gaya santai. Tampangnya sangat membuat jengkel. "Apa itu? Diary siapa? Sana, bawa pulang! Aku tidak mau ada satupun barang dari Aksa di Rumahku. Dan kamu, silahkan pulang dan jangan datang ke sini lagi." Aku berkata dengan raut wajah marah. Baru sekarang aku mau menemuinya. Karena capek mendengar pintu kamarku selalu diketuk oleh asisten rumah. Yang katanya, Juna mencari ku. Siapa yang tidak jenuh kalau setiap hari di datangi hanya karena Juna ingin bertemu denganku. Kali ini aku mau menemuinya supaya dia tidak datang lagi datang ke sini. "Ini buku diary Delisia. Bacalah. Agar otakmu bisa waras. Sebelum nanti kamu menyesal selamanya." "Maksud kamu apa? Kamu mau bilang kalau aku tidak waras? J
Aku lanjut ke halaman berikutnya. Ternyata ini sudah halaman terakhir. Berbeda dengan diary yang berada di tasku, yang sudah berisi tulisan sampai halaman terakhir. Diary ini hanya empat halaman. Aksa… Mulai hari ini aku akan belajar melupakanmu. Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh, agar tak bisa bertemu lagi dengan kamu. Kalau kamu ingin menikah dengan Utami. Menikahlah! Aku ridho. Hehe, mungkin kamu tak butuh ucapan ridho dariku. Tak mengapa, aku akan tetap mengatakan. Ahh, bukan mengatakan sih lebih tepatnya. Tetapi menulis dalam diary ini. Karena aku tak mungkin bisa mengatakan pada kamu. Aku tak berani. Dan aku tahu kamu juga tidak butuh ungkapan dari aku. Aku akan menunggu berkas perceraian yang harus aku tanda tangani. Selamat berbahagia dengan kehidupan barumu. Aku menulis ini setelah sholat subuh. Hari ini aku akan pergi. Kamu baik-baik yaa. Jaga kesehatan. Jangan jadi lelaki pemarah lagi. Aku pamit!" "Jangan pergi! Aku sungguh menyesal, Delisia. Aku sangat m
Aku kini telah berada di kamar Delisia. Setelah mengantarku masuk ke kamar, ibu mertuaku lantas keluar. Kamar Delisia sangat minimalis, namun membuat siapapun yang masuk akan terasa nyaman. Bahkan toiletku lebih besar dari kamar Delisia. Tetapi penataan barang yang ada di kamar ini cukup bagus untuk ruangan yang berukuran minimalis. Aku menyentuh kasur Delisia yang kini sedang aku duduki. Kasur nya bukan spring bed. Semoga saja badanku tidak sakit saat tidur. Aku tidak terbiasa tidur di kasur seperti ini. Terbuat dari apa ya ini? Aku baru pertama kali melihat kasur begini. Sepertinya dari kamar. Masa sih ada kasur yang terbuat dari kapas? Aku terus bertanya-tanya dengan tangan masih memegang kasur Aku berdiri, melihat lihat buku yang ada di rak. Mataku fokus pada sebuah buku yang sama dengan buku yang ada dalam tas ku. Ya, buku diary Delisia. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengambil. "Sebenarnya Delisia punya berapa buku diary? Terus kenapa dia tidak membawa buku ini? Kalau