"Maaf, sayang! Aku mau istirahat. Aku baru saja pulang dari rumah Raisa," ujarku lembut. Aku tidak ingin Aksa curiga jika sedang terjadi sesuatu padaku "Bukannya kamu pernah katakana kalau Raisa sedang ke luar kota. Tadi saat membaca pesan dari kamu, aku ingin bertanya. Tetapi ya sudahlah. Mungkin Raisa sudah pulang. Tidak penting juga untuk di bahas." Aduh, aku lupa. Ternyata aku pernah mengatakan pada Aksa kalau Raisa ke luar kota. Gimana ini? Aku diam beberapa detik. Aksa terus memanggil-mangil namaku. Namun aku tak juga bersuara. "Sayang, maaf, ya. Suaranya putus-putus. Aku nggak dengar." Tanpa mendengar respon Aksa, aku langsung menggeser tombol merah berbentuk telepon di layar handphone. Seketika panggilan kami berakhir. Aku tidak lagi mendengar suara Aksa. Semoga saja Aksa tidak curiga padaku. Tidak mungkin sih Aksa curiga. Dia pasti akan mengira jika jaringan sedang tidak bagus. Pukul sepuluh malam, aku pun tertidur. Hari ini aku tidak boleh tidur telat. Besok harus mem
Setelah asisten rumah meninggalkan aku sendiri di sofa ruang tamu, aku pun terpaku melihat foto berukuran besar yang terpampang di dinding. Foto Aksa bersama lelaki bernama Pak Candra dan seorang perempuan. Aksa berada di tengah. Tak kuasa, air mataku pun terjatuh. Aku berdiri melangkah, hendak mendekati foto itu. Iya benar, lelaki ini adalah Aksa - Kekasihku. Tidak mungkin kalau hanya sekedar mirip. Aku tak kuasa menahan sesak di dada mengingat perkataan satpam tadi. Aksa akan datang ke sini satu jam lagi bersama istrinya. Siapa perempuan yang dimaksud istri oleh satpam tadi? Tidak mungkin dia berani berkata begitu, jika memang Aksa belum menikah. Satpam itu bekerja di rumah ini, sudah pasti tahu tentang semua kejadian di sini. Aku melangkahkan kaki, ada sebuah foto yang mengganggu konsentrasi ku. Foto yang ukurannya tidak terlalu besar. Namun, bisa dilihat dari tempat tadi aku berdiri. "Tidak mungkin! Aku pasti salah lihat! Perempuan ini pasti hanya mirip dengan Delisia!" Aku b
Aku masih berada di halaman parkir rumah Pak Candra. Sebelum Aksa dan Delisia datang, aku harus keluar dari sini. Ada rasa ingin menunggu mereka hingga datang. Memastikan langsung, benarkah istri Aksa yang di maksud oleh Pak Candra adalah Delisia. Tetapi, aku juga ragu dengan kemampuan diri, bisa kah aku mampu melihat mereka bermesra. Masih terbesit keyakinan, jika semua ini pasti bukan kenyataan. Mungkin saja Tuhan sedang bercanda padaku. Ya, harusnya aku sudah percaya. Foto yang ada di dinding rumah megah orangtua Aksa, membuktikan jika Pak Candra dan Satpam tadi tidak sedang bergurau. Tetapi, hati kecilku belum bisa menerima. Masih ada satu persen keyakinan jika yang mereka katakan adalah kalimat bohong. Aksa tidak mungkin menyakitiku. Aku mengirim pesan pada Robi. 'Temui aku di Restoran kemarin. Aku tunggu sekarang!' Setelah mengirim pesan, aku langsung menuju Restoran tempat akan bertemu Robi. Sepanjang jalan otakku tidak bisa fokus. Masih saja memikirkan Aksa dan Delisia.
Sudah tiga jam lebih aku berada di restoran ini. Aku belum ingin beranjak. Pelayan restoran tidak mengusir karena makanan di atas meja belum habis. Benda pipih yang berada di atas meja bergetar, ternyata pesan dari Robi. Tanpa menunggu lama, aku langsung membuka. Nampak foto Aksa dengan seorang perempuan yang memakai masker. Foto perempuan yang berpakaian sama dengan foto yang pernah dikirimkan tari padaku. Tidak salah lagi, ini foto Delisia. 'Mereka baru saja tiba di Apartemen.' Pesan dari Robi membuat aku berdiri dan melangkah tergesa-gesa. Hari ini aku harus mendapati mereka di Apartemen. Jangan di tunda. Aku harus memastikan seratus persen jika mereka berdua punya hubungan spesial. Setelah berada di mobil, aku pun membalas pesan Robi. 'Kamu di mana sekarang?' Tak berlangsung lama, Robi telah membalas pesanku. 'Masih berada di depan Apartemen Aksa.' pesan dari Robi. 'Jangan kemana-mana. Tetap tunggu di situ sampai aku suruh pulang.' Aku pun mengendarai mobil dengan kecep
"Sayang, kamu harus percaya denganku! Ini semua tidak seperti yang kamu lihat. Delisia itu tinggal di sini karena dia-" "Karena dia istrimu! Kamu mau menjelaskan ke aku kalau dia istrimu, atau apa Aksa? Delisia tinggal berdua denganmu karena kalian berdua telah menikah! Kamu jahat, Aksa. Kenapa melamarku kalau sudah memiliki istri? Kenapa memberiku harapan terlalu tinggi? Aku sekarang tahu, kenapa kamu tidak pernah lagi mengajakku ke sini. Ya, karena Delisia telah tinggal di sini." Aku tersulut emosi. Mungkin kini wajahku telah memerah. Aku memiliki kulit yang putih. Kalau marah, biasanya raut wajahku aku memerah. Aku sangat murka melihat wajah mereka berdua. Raut mereka nampak sedih, seakan merasa bersalah. Ya, aku yakin mereka hanya malu karena sudah ketahuan denganku. Perempuan yang terkenal alim di kampus ternyata tabiatnya sangat liar. "Tenangkan dulu pikiranmu, sayang. Aku akan jelaskan semuanya setelah kamu sudah merasa tenang," tutur Aksa dengan lembut. "Tak perlu menjel
Sepanjang jalan menuju rumah, handphone ku terus saja berdering. Aku tahu siapa yang sedang mengganggu perjalananku. Siapa lagi kalau bukan Aksa. Lelaki itu, apa lagi yang mau dia lakukan? Tidak cukupkah menyakitiku. Semalaman, aku tak kunjung tertidur. Pikiran masih belum bisa melupakan kejadian yang sangat menyakitkan. Aku tidak merasakan lapar. Bahkan untuk beranjak dari tempat tidur, aku tidak memiliki tenaga. Tok! tok! Bunyi pintu menyadarkan aku dari lamunan. Aku masih menyelimuti diri di atas ranjang. Tidak ingin beranjak kemanapun. Tok! Tok! "Utami, ini aku, Raisa. Pintunya di buka, dong." Terdengar suara dari balik pintu. Kemarin aku memang menelpon Raisa setelah tiba di rumah. Aku butuh tempat untuk cerita. Jika di pendam sendiri, rasanya bisa gila. Raisa langsung membooking tiket pesawat setelah tahu masalahku. Ternyata dia sudah tiba. Raisa tidak memberitahuku kalau mau datang ke sini. Dengan sisa tenaga yang aku punya, aku pun bengun dan melangkah membuka pint
Aku tidak suka Raisa menyuruhku menemui Aksa. Terserah jika Aksa ingin berlama-lama di sini. Aku tidak peduli! "Aku hanya takut, kamu nanti menyesal. Kalau tidak mendengar penjelasan Aksa terlebih dahulu. Jika kamu memang ingin mengakhiri hubungan kalian, tidak apa-apa. Yang penting dengar dulu penjelasan dari Aksa." Ranisa menatapku dengan raut sedih. "Sakit, Rai! Aku belum ingin bertemu Aksa sekarang." "Kalau tidak sekarang, mau nya kapan? Lebih baik kamu temui dia sekarang. Lalu setelahnya putuskan hubungan. Kalau di tunda, kamu akan semakin sakit. Aksa akan terus berusaha agar bisa bertemu kamu. Jadi sebaiknya, temui dia sekarang lalu berusaha untuk sembuh dan bangkit." Aku tidak menjawab. Perkataan Raisa ada benarnya juga. Lebih baik aku bertemu sekarang dengan Aksa. Kalau semakin di tunda, tidak baik untuk kondisi hatiku. Namun sungguh, aku belum siap menemuinya sekarang. Rasanya masih terlalu sakit mengingat yang dia lakukan. "Buktikan kalau kamu bisa bangkit, Tam. Temui
***Aku memasuki ruang kuliah. Bukan untuk kuliah, sih. Tetapi untuk beristirahat. Kini aku hanya bolak balik kampus mengurus tugas akhir. Aku sudah lulus di semua matakuliah. Setelah sempat menyerah akibat masalah yang datang bertubi, aku akhirnya semangat kembali karena ibu dan ayah. Mereka ingin melihatku wisuda dan memiliki gelar. Ya, mereka adalah motivasi yang membuat aku hingga sekarang masih bisa bertahan. Setelah kejadian saat Utami mengetahui aku dan Aksa telah menikah, aku kehilangan sosok sahabat. Utami tidak pernah lagi menegurku dan menganggapku sebagai orang asing. Rasanya sungguh sangat berat.Aku pernah tidak punya semangat untuk ke kampus karena selalu di bully. Ya, Utami memberitahu ke semua orang kalau aku berencana merusak hubungannya dengan Aksa. Bukan hanya itu, sekarang Utami telah bergabung ke dalam group reseh. Ya, Tari merasa menang karena dia berhasil membuat Utami percaya dengan perkataannya.Aku ingin marah dengan keadaan. Hampir semua orang di Kampus
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Keesokan harinya, ternyata Juna menepati perkataannya, dia datang lagi di rumahku. Namun sekarang, aku tidak lagi marah-marah seperti kemarin. Saat asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitahu Juna ada di bawah, aku langsung keluar, turun dari lantai dua kamarku. Juna tersenyum. Tetapi aku tak membalas senyum itu. Aku rasa tidak perlu ramah padanya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Juna dengan wajah yang ceria. "Apa saja yang kamu tahu tentang Delisia?" Aku pikir tidak penting menjawab pertanyaan Juna. Sekarang yang paling penting, aku harus tahu tentang Delisia. Juna pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Aksa. "Dia perempuan baik. Banyak hal yang sudah dilakukan Delisia untuk menjaga perasaan kamu, Tam. Termasuk menghilang dari kehidupan kita semua. Sampai sekarang Aksa tidak tahu Delisia berada dimana. Kemarin Aksa juga tidak ikut wisuda karena pergi ke Rumah Delisia yang ada di kampung … Orang tua Delisia tidak mau memberitahu tempat tinggal Delisia sekarang.
Setelah Juna hilang dari pandangan, mataku terfokus pada dua buku diary yang ada di atas meja. Tanganku pun mengambil. Ahh, aku tidak perlu membaca buku ini. Pasti isinya akan sangat menyakitkan untuk aku. Tetapi aku juga penasaran. Memangnya apa sih isinya, hingga Juna memaksaku untuk membacanya? Kalau tidak penting, Juna pasti tak akan membawanya ke sini. Aku pun mengambil. Lalu membawanya ke kamar. Setelah tiba di kamar, aku mengambil diary yang semua halaman dipenuhi tulisan. Aku membuka lembaran pertama. Hari ini seperti mimpi bagiku. Ya Allah, jika ini sebuah mimpi, segera bangunkan aku. Mimpi ini terlalu buruk. Aku tidak tahu jika lelaki yang dijodohkan denganku adalah Aksa, kekasih sahabatku. Bagaimana perasaan Utami jika tahu aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan sangat terluka. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut Utami membenciku. Di sahabatku satu-satunya. Aku tak ingin kehilangan Utami. Kalau Utami tahu tentang pernikahan ini, dia pasti akan sangat ma
"Pulang! Kalau kamu datang ke sini yang untuk menceritakan mereka, membela mereka. Pulanglah! Aku tidak ingin mendengar cerita apapun tentang mereka. Sakit, Juna! ... Apa yang mereka perbuat sangat menyakitiku ... Kenapa selama ini Delisia tidak jujur padaku? Kenapa dia tidak cerita semua ke aku? Dan Aksa, dia selalu bersikap seolah tidak akrab dengan Delisia. Padahal kenyataannya, mereka sudah menikah ... Mereka menikah dan aku tidak tahu!" Aku histeris. Mungkin suaraku dapat di dengar oleh semua asisten di rumah ini. Aku tidak peduli. Mereka pasti sudah tahu jika aku sedang ada masalah. Setelah tadi Juna melepas pelukan, kini dia kembali membawaku dalam pelukannya. Aku terseduh seduh. Sebenarnya ada sedikit rasa tenang saat berada dalam pelukan Juna. Tetapi tidak mungkin aku katakan. Juna pasti akan besar kepala. Lumayan lama berada dalam pelukan Juna. Dia tidak lagi banyak bicara seperti tadi. Mungkin karena tidak ingin melihatku mengamuk lagi. Juna kini melepas pelukan dengan
*** "Ngapain kamu datang ke sini? Ada keperluan apa?" Saat ini di hadapanku ada Juna. Sudah berulang kali aku melarangnya untuk datang ke sini. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Tetapi Juna terlalu keras kepala. Dia tidak mengindahkan perintahku. "Aku mau ngasih ini?" jawab Juna dengan gaya santai. Tampangnya sangat membuat jengkel. "Apa itu? Diary siapa? Sana, bawa pulang! Aku tidak mau ada satupun barang dari Aksa di Rumahku. Dan kamu, silahkan pulang dan jangan datang ke sini lagi." Aku berkata dengan raut wajah marah. Baru sekarang aku mau menemuinya. Karena capek mendengar pintu kamarku selalu diketuk oleh asisten rumah. Yang katanya, Juna mencari ku. Siapa yang tidak jenuh kalau setiap hari di datangi hanya karena Juna ingin bertemu denganku. Kali ini aku mau menemuinya supaya dia tidak datang lagi datang ke sini. "Ini buku diary Delisia. Bacalah. Agar otakmu bisa waras. Sebelum nanti kamu menyesal selamanya." "Maksud kamu apa? Kamu mau bilang kalau aku tidak waras? J
Aku lanjut ke halaman berikutnya. Ternyata ini sudah halaman terakhir. Berbeda dengan diary yang berada di tasku, yang sudah berisi tulisan sampai halaman terakhir. Diary ini hanya empat halaman. Aksa… Mulai hari ini aku akan belajar melupakanmu. Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh, agar tak bisa bertemu lagi dengan kamu. Kalau kamu ingin menikah dengan Utami. Menikahlah! Aku ridho. Hehe, mungkin kamu tak butuh ucapan ridho dariku. Tak mengapa, aku akan tetap mengatakan. Ahh, bukan mengatakan sih lebih tepatnya. Tetapi menulis dalam diary ini. Karena aku tak mungkin bisa mengatakan pada kamu. Aku tak berani. Dan aku tahu kamu juga tidak butuh ungkapan dari aku. Aku akan menunggu berkas perceraian yang harus aku tanda tangani. Selamat berbahagia dengan kehidupan barumu. Aku menulis ini setelah sholat subuh. Hari ini aku akan pergi. Kamu baik-baik yaa. Jaga kesehatan. Jangan jadi lelaki pemarah lagi. Aku pamit!" "Jangan pergi! Aku sungguh menyesal, Delisia. Aku sangat m
Aku kini telah berada di kamar Delisia. Setelah mengantarku masuk ke kamar, ibu mertuaku lantas keluar. Kamar Delisia sangat minimalis, namun membuat siapapun yang masuk akan terasa nyaman. Bahkan toiletku lebih besar dari kamar Delisia. Tetapi penataan barang yang ada di kamar ini cukup bagus untuk ruangan yang berukuran minimalis. Aku menyentuh kasur Delisia yang kini sedang aku duduki. Kasur nya bukan spring bed. Semoga saja badanku tidak sakit saat tidur. Aku tidak terbiasa tidur di kasur seperti ini. Terbuat dari apa ya ini? Aku baru pertama kali melihat kasur begini. Sepertinya dari kamar. Masa sih ada kasur yang terbuat dari kapas? Aku terus bertanya-tanya dengan tangan masih memegang kasur Aku berdiri, melihat lihat buku yang ada di rak. Mataku fokus pada sebuah buku yang sama dengan buku yang ada dalam tas ku. Ya, buku diary Delisia. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengambil. "Sebenarnya Delisia punya berapa buku diary? Terus kenapa dia tidak membawa buku ini? Kalau