"Sebaiknya aku pindah saja dari sini. Apartemen ini sudah tidak aman untukku. Kamu tidak perlu khawatir, aku bisa tinggal di kosan. Sesekali aku akan datang ke sini." "Tidak perlu pindah! Tari tidak memiliki bukti. Lagi pula setiap keluar dari apartemen, kamu juga selalu menyamar. Tidak usah pusing dengan itu." Beberapa detik terdiam, bibir pun kembali bersuara. "Tetapi aku harus mencari kos besok. Selama ini Utami tidak tahu tentang yang terjadi antar aku dan kamu. Dia tidak tahu kalau sekarang aku tidak lagi tinggal di kos … Dan tadi Utami mengatakan ingin main ke kosanku. Karena bingung dan takut salah ngomong, aku akhirnya setuju saja dia datang ke kos ku setelah ujian semester berakhir." Aku berkata sambil menyusun piring. Tetapi belum ingin membawanya ke westafel. Biarlah seperti ini dulu di atas meja. Kalau sudah bicara dengan Aksa, tidak boleh beranjak sebelum semua persoalan selesai. Jangan sampai dia kembali menonton bola. Jika sudah begitu, biasanya dia tidak ingin di ga
Aku menunggu Aksa mengetuk pintu kamarku sambil membaca buku. Tetapi hingga pukul sembilan malam, sesuatu yang aku harapkan tidak terjadi. Aku pun menutup buku yang ada di meja dan berlalu ke atas kasur. Sebenarnya apa yang ada dalam pikiran Aksa? Aku melakukan ini demi hubungannya dengan Utami? Mengapa dia terlihat biasa saja? Mungkin kah tak ada rasa takut dihatinya? Aku terus bertanya-tanya dalam benak dengan mata yang menatap langit-langit kamar. Tak terasa mata telah terlelap. Aku tertidur dengan jilbab yang masih menutupi kepala. Meskipun kesadaran sudah hampir hilang, masih ada harapan jika Aksa akan masuk ke kamar ini dan mengajak aku bicara. Aku sengaja tidak mengunci pintu kamar. Saat terbangun di subuh hari, aku terduduk lumayan lama di atas tempat tidur. Memikirkan rentetan masalah yang terjadi. Aku ingin berlari. Rasanya hati sudah terlalu lelah. Ketika aku kembali belajar, membaca buku yang semalam sudah aku baca. Pikiran ini mencoba untuk fokus. Tetapi, perkataan-pe
"Jawab aku, Aksa! Apa ini karena kamu takut kehilangan harta Pak Candra?" Aksa masih saja diam. Aku sangat terluka melihat sosok di depanku yang hanya diam saja. Aku memang kecewa, karena dia melakukan ini bukan karena cinta untukku. Tetapi aku semakin terluka, ternyata lelaki yang aku cintai, bukanlah lelaki baik yang berjiwa besar. Masa iya, dia menahanku di sini hanya demi harta kekayaan ayahnya. Itu alasan yang sangat gila. Lalu bagaimana dengan Utami. Apa dia tidak mencintai sahabatku? Aksa rela hubungannya dan Utami hancur asalkan dia mendapatkan harta warisan. Lalu apa maksudnya mempertahankan hubungannya dengan Utami. Mereka bahkan sudah bertunangan. Aku masih tidak habis pikir dengan jalan pikiran Aksa. Bisa kah sekarang aku mengatakan jika dia bukan lah lelaki baik yang pantas dijadikan suami? Namun, aku sudah mencintainya. Mungkin di sini akulah orang yang paling bodoh. Aku sudah mengetahui betapa buruknya sosok Aksa, tetapi aku masih saja mencintainya. "Intinya kamu h
"Gimana ceritanya, sih, kamu bisa jadi simpanan Aksa? Pasti kamu yang mengejarnya! Tidak mungkin Aksa bisa suka, kalau kamu tidak merayunya. Secara, Utami itu sangat cantik. Tidak selevel lah dengan kamu. Perbedaan kalian berdua sangat jauh." Tari kembali berkata, setelah tadi membiarkan dua korcaci di sampingnya yang menghinaku. Mendengarnya mengatakan perempuan simpanan, aku langsung teringat pada perkataan Pak Firman dulu. Dia juga pernah menghinaku demikian. Tetapi ternyata ada maksud tersembunyi dibaliknya. Aku tetap melangkah dengan tenang. Orang-orang seperti mereka tidak perlu di gubris. Jika aku menjawab, mereka akan semakin menjadi-jadi. "Del, jangan pura-pura tuli dong. Apa hanya suara manja Aksa yang kamu suka dengar? Pasti suara napasnya sangat indah." Mereka semua langsung tertawa setelah perkataan Alma. Aku pikir mereka akan mengikutiku hingga masuk kelas. Ternyata tidak, saat langkah sudah mendekati ruang kelas, aku tidak mendengar lagi sentakan kaki mereka yang be
"Jangan lupa!" Aku terdiam sejenak hingga tersadar ketika Pak Darno kembali berucap. "Baik, Pak!" Mau apa lagi pak Firman memintaku untuk ke ruangannya? Aku tidak mengindahkan ucapan Pak Darno. Langsung saja setelah ujian, aku menuju ke perpustakaan. Masih ada satu mata kuliah lagi yang akan diujikan hari ini. Aku sedang tidak ingin menemui Pak Firman. Masih ada masalah lebih penting, yang harus aku selesaikan hari ini. Sebenarnya aku sudah rindu dengan Aura. Anak kecil itu, bagaimana kabarnya sekarang? Jika Pak Firman sudah jujur ke Aura kalau aku tidak pernah menikah dengannya, aku akan menemui Aura. Aku ingin bertemu dengannya bukan sebagai ibu. Mungkin terdengar jahat karena aku begitu tega pada anak kecil itu. Hanya saja, aku yakin jika semua yang aku lakukan ini sudah benar. Semakin larut dalam kebohongan akan membuat masalah semakin rumit. Kebohongan yang sudah aku bangun bersama Aksa adalah satu bukti jika sebuah kebohongan sangat tidak dibenarkan. Bersembunyi dibalik ke
Aku tidak suka Tari berkata tentang Aksa begini. Aksa bukan tipe lelaki seperti yang dia sangkakan. Bahkan selama tinggal bersama, Aksa belum pernah menyentuhku. Ya aku tahu, mungkin karena aku bukan tipe perempuan yang sesuai dengan selera Aksa jadi tak mungkin dia niat untuk menyentuhku. Tetapi, selama berpacaran dengan Utami. Aku belum pernah mendengar Utami bercerita jika Aksa sudah pernah menyentuh area paling terlarang dalam dirinya. Sejauh yang aku tahu, hubungan mereka sebatas berpegangan tangan. Tidak lebih. Secara tidak langsung Tari mengatakan jika aku dan Aksa sama-sama makhluk murahan. "Kemarin ada yang bilang kamu punya hubungan khusus dengan Pak Firman. Ternyata bukan hanya Pak Firman, ya?" Aku menolehkan kepala melihat Tari. Dia sedang tersenyum sinis padaku. Suara Tari tidak terlalu besar, Dia pasti mengecilkan suaranya karena di Ruangan ini dilarang ribut. "Apa ada lelaki yang sudah kamu layani selain mereka berdua?" Tari masih saja berkata sambil tersenyum sini.
Terdengar suara panggilan-panggilan mereka yang disertai ancaman. Aku tak peduli. "Del, kamu dari mana. Aku tadi cari kamu. Aku juga belikan kamu ini." Utami menaruh plastik berisi roti di atas meja. "Tadi niatnya, aku mau ambilkan kamu bungkusan makanan di fakultas. Tetapi ternyata sudah habis, hahaha." Aku juga ikut tertawa. "Makasih ya, Tam. Aku tadi dari perpustakaan." "Tam, kamu dipanggil tidak, untuk ikut kegiatan penggalangan dana?" tuturku yang kini sudah duduk di kursi. Utami pun menarik kursi di samping, agar duduk dekat denganku. "Nggak ada yang memberitahu. Memangnya kapan kegiatannya? Kamu tahu dari mana kegiatan itu?" "Tadi aku bertemu Juna di Perpustakaan. Dia mengajak untuk ikut kegiatan itu. Ya, aku belum mengiyakan, sih. Tetapi, Insya Allah aku akan ikut. Kegiatannya hari Minggu nanti, di lampu merah." "Kalau begitu aku juga ikut. Meskipun tidak ada yang mengajak, aku akan tetap ikut. Nanti aku juga akan mengajak Aksa." Utami tertawa kecil di akhir kalimat.
"Haha, aku mau belajar, Tam. Tidak ingin membahas yang aneh-aneh." Perkataan ku ini hanya alasan. Aku sudah belajar dari semalam. Meskipun tidak belajar lagi, aku yakin bisa menjawab soal hari ini. Aku tidak suka berbasa-basi tentang Pak Firman. Kalau saja Utami tahu kalau Pak Firman menyukaiku, dia pasti akan kaget. Tak lama kemudian, pengawas ujian masuk. Empat puluh menit mengerjakan soal, aku akhirnya menyelesaikan semua dengan penuh yakin jika jawaban yang aku kerjakan pasti benar. Aku pun membawa kertas jawaban ke meja pengawas. Saat sudah keluar dari kelas. Benda pipih yang ada dalam tasku bergetar, pertanda ada pesan masuk. 'setelah ujian selesai, tolong ke ruanganku' Itu pernyataan tertulis yang terbaca di layar handphoneku. Pesan ini dari Pak Firman, aku masih menyimpan nomornya. Sebenarnya aku ingin menghapus, tetapi masih aku urungkan. Pak Firman dosenku, bagaimana jika nanti aku membutuhkannya. Aku merasa dilema. Apa iya, aku menemuinya? Aku sudah memutuskan untuk
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Keesokan harinya, ternyata Juna menepati perkataannya, dia datang lagi di rumahku. Namun sekarang, aku tidak lagi marah-marah seperti kemarin. Saat asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitahu Juna ada di bawah, aku langsung keluar, turun dari lantai dua kamarku. Juna tersenyum. Tetapi aku tak membalas senyum itu. Aku rasa tidak perlu ramah padanya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Juna dengan wajah yang ceria. "Apa saja yang kamu tahu tentang Delisia?" Aku pikir tidak penting menjawab pertanyaan Juna. Sekarang yang paling penting, aku harus tahu tentang Delisia. Juna pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Aksa. "Dia perempuan baik. Banyak hal yang sudah dilakukan Delisia untuk menjaga perasaan kamu, Tam. Termasuk menghilang dari kehidupan kita semua. Sampai sekarang Aksa tidak tahu Delisia berada dimana. Kemarin Aksa juga tidak ikut wisuda karena pergi ke Rumah Delisia yang ada di kampung … Orang tua Delisia tidak mau memberitahu tempat tinggal Delisia sekarang.
Setelah Juna hilang dari pandangan, mataku terfokus pada dua buku diary yang ada di atas meja. Tanganku pun mengambil. Ahh, aku tidak perlu membaca buku ini. Pasti isinya akan sangat menyakitkan untuk aku. Tetapi aku juga penasaran. Memangnya apa sih isinya, hingga Juna memaksaku untuk membacanya? Kalau tidak penting, Juna pasti tak akan membawanya ke sini. Aku pun mengambil. Lalu membawanya ke kamar. Setelah tiba di kamar, aku mengambil diary yang semua halaman dipenuhi tulisan. Aku membuka lembaran pertama. Hari ini seperti mimpi bagiku. Ya Allah, jika ini sebuah mimpi, segera bangunkan aku. Mimpi ini terlalu buruk. Aku tidak tahu jika lelaki yang dijodohkan denganku adalah Aksa, kekasih sahabatku. Bagaimana perasaan Utami jika tahu aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan sangat terluka. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut Utami membenciku. Di sahabatku satu-satunya. Aku tak ingin kehilangan Utami. Kalau Utami tahu tentang pernikahan ini, dia pasti akan sangat ma
"Pulang! Kalau kamu datang ke sini yang untuk menceritakan mereka, membela mereka. Pulanglah! Aku tidak ingin mendengar cerita apapun tentang mereka. Sakit, Juna! ... Apa yang mereka perbuat sangat menyakitiku ... Kenapa selama ini Delisia tidak jujur padaku? Kenapa dia tidak cerita semua ke aku? Dan Aksa, dia selalu bersikap seolah tidak akrab dengan Delisia. Padahal kenyataannya, mereka sudah menikah ... Mereka menikah dan aku tidak tahu!" Aku histeris. Mungkin suaraku dapat di dengar oleh semua asisten di rumah ini. Aku tidak peduli. Mereka pasti sudah tahu jika aku sedang ada masalah. Setelah tadi Juna melepas pelukan, kini dia kembali membawaku dalam pelukannya. Aku terseduh seduh. Sebenarnya ada sedikit rasa tenang saat berada dalam pelukan Juna. Tetapi tidak mungkin aku katakan. Juna pasti akan besar kepala. Lumayan lama berada dalam pelukan Juna. Dia tidak lagi banyak bicara seperti tadi. Mungkin karena tidak ingin melihatku mengamuk lagi. Juna kini melepas pelukan dengan
*** "Ngapain kamu datang ke sini? Ada keperluan apa?" Saat ini di hadapanku ada Juna. Sudah berulang kali aku melarangnya untuk datang ke sini. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Tetapi Juna terlalu keras kepala. Dia tidak mengindahkan perintahku. "Aku mau ngasih ini?" jawab Juna dengan gaya santai. Tampangnya sangat membuat jengkel. "Apa itu? Diary siapa? Sana, bawa pulang! Aku tidak mau ada satupun barang dari Aksa di Rumahku. Dan kamu, silahkan pulang dan jangan datang ke sini lagi." Aku berkata dengan raut wajah marah. Baru sekarang aku mau menemuinya. Karena capek mendengar pintu kamarku selalu diketuk oleh asisten rumah. Yang katanya, Juna mencari ku. Siapa yang tidak jenuh kalau setiap hari di datangi hanya karena Juna ingin bertemu denganku. Kali ini aku mau menemuinya supaya dia tidak datang lagi datang ke sini. "Ini buku diary Delisia. Bacalah. Agar otakmu bisa waras. Sebelum nanti kamu menyesal selamanya." "Maksud kamu apa? Kamu mau bilang kalau aku tidak waras? J
Aku lanjut ke halaman berikutnya. Ternyata ini sudah halaman terakhir. Berbeda dengan diary yang berada di tasku, yang sudah berisi tulisan sampai halaman terakhir. Diary ini hanya empat halaman. Aksa… Mulai hari ini aku akan belajar melupakanmu. Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh, agar tak bisa bertemu lagi dengan kamu. Kalau kamu ingin menikah dengan Utami. Menikahlah! Aku ridho. Hehe, mungkin kamu tak butuh ucapan ridho dariku. Tak mengapa, aku akan tetap mengatakan. Ahh, bukan mengatakan sih lebih tepatnya. Tetapi menulis dalam diary ini. Karena aku tak mungkin bisa mengatakan pada kamu. Aku tak berani. Dan aku tahu kamu juga tidak butuh ungkapan dari aku. Aku akan menunggu berkas perceraian yang harus aku tanda tangani. Selamat berbahagia dengan kehidupan barumu. Aku menulis ini setelah sholat subuh. Hari ini aku akan pergi. Kamu baik-baik yaa. Jaga kesehatan. Jangan jadi lelaki pemarah lagi. Aku pamit!" "Jangan pergi! Aku sungguh menyesal, Delisia. Aku sangat m
Aku kini telah berada di kamar Delisia. Setelah mengantarku masuk ke kamar, ibu mertuaku lantas keluar. Kamar Delisia sangat minimalis, namun membuat siapapun yang masuk akan terasa nyaman. Bahkan toiletku lebih besar dari kamar Delisia. Tetapi penataan barang yang ada di kamar ini cukup bagus untuk ruangan yang berukuran minimalis. Aku menyentuh kasur Delisia yang kini sedang aku duduki. Kasur nya bukan spring bed. Semoga saja badanku tidak sakit saat tidur. Aku tidak terbiasa tidur di kasur seperti ini. Terbuat dari apa ya ini? Aku baru pertama kali melihat kasur begini. Sepertinya dari kamar. Masa sih ada kasur yang terbuat dari kapas? Aku terus bertanya-tanya dengan tangan masih memegang kasur Aku berdiri, melihat lihat buku yang ada di rak. Mataku fokus pada sebuah buku yang sama dengan buku yang ada dalam tas ku. Ya, buku diary Delisia. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengambil. "Sebenarnya Delisia punya berapa buku diary? Terus kenapa dia tidak membawa buku ini? Kalau