Risha merasa syok mendengar ucapan Adhitama. Dia buru-buru bangun dari duduk lalu mendekat ke arah Lily. Risha merasa sikap Adhitama berubah semenjak dia datang kembali. Mungkinkah empat tahun ini Adhitama menyesal? Risha menggeleng menepis pikirannya. Jangan sampai dia menumbuhkan kembali perasaan ke pria itu Cinta bertepuk sebelah tangan sangat menyakitkan. Risha akhirnya masuk ke area Lily bermain pasir. Lily yang sedang asyik bermain kaget melihat Risha sudah ada di dekatnya. Anak itu hanya tersenyum dan belum sadar kalau sang Papa datang menyusul. Hingga beberapa saat kemudian, jantung Risha hampir melompat keluar mendapati Adhitama mendekatinya dan Lily. Adhitama duduk di kursi kecil yang biasa dipakai anak-anak bermain lalu mengambil tempat di depan Lily. "Em.... asyiknya! Papa juga mau membuat rumah seperti Lily." Adhitama sengaja bicara tanpa menyapa. Lily kaget sambil mengangkat kepala. Anak itu tertawa semringah melihat Adhitama mengambil sekop kecil kem
Malam harinya Risha yang sedang menemani Lily tidur tampak melamun. Risha bersandar pada headboard ranjang kamar Adhitama sambil mengusap-usap kepala Lily yang sudah terlelap. Risha baru saja membaca beberapa artikel tentang leukimia pada anak. Beberapa berakhir tidak baik dan beberapa berakhir baik. Risha tiba-tiba meneteskan air mata. Bukankah orangtua anak-anak itu pasti sudah mengusahakan yang terbaik? Kemudian Risha menyadari bahwa di dunia ini ada hal di luar kendali manusia. Risha mengusap pipi yang basah, dia buru-buru memalingkan muka saat pintu kamar terbuka. Risha menyadari Adhitama masuk lantas dia berdiri ingin kembali ke kamar bawah. Beberapa hari ini Risha membohongi Lily soal tidur di kamar yang sama dengan anak itu dan Adhitama. Lily memang biasa bangun di saat Risha sudah tidak ada di kamar, sehingga anak itu mempercayai perkataan Bundanya. "Sudah malam, sebaiknya istirahat," ucap Risha. Dia menghindari Adhitama agar mereka tidak perlu membicarakan s
Risha dan Adhitama masih berada di halaman samping. Risha tetap tidak menjawab pertanyaan Adhitama tentang masa lalu mereka. Keduanya masih diam, hingga Risha memandang ke arah langit. “Lihat ada bintang, bukannya tadi kamu mengajak keluar karena ingin melihat bintang?” tanya Risha lalu menoleh ke Adhitama. Adhitama menoleh Risha sekilas, lalu menatap ke langit seperti yang Risha katakan. Risha dan Adhitama diam lagi, hingga beberapa saat kemudian Risha bicara. “Aku mau pulang ke Jogja, mau mengurus perusahaan dulu. Lagi pula Lily juga masih satu minggu lagi diminta kembali menemui dokter,” ujar Risha. Adhitama hanya diam mendengar ucapan Risha. Dia tidak bisa menghalangi apa yang diinginkan Risha. “Apa kamu tidak cemas dengan kondisi Lily? Bagaimana kalau kita melakukan apa yang dokter sarankan?” Risha agak kaget karena Adhitama membahas hal itu. Dia menatap Adhitama lalu berkata, “Hamil itu berat, tahu apa kamu?” “Maka dari itu, biarkan aku menemanimu saat kamu
Setelah Risha meninggalkannya begitu saja, Adhitama lantas bersiap dan pergi ke kantor. Adhitama baru saja menginjak lantai di mana ruang kerjanya berada dan melihat Andre sudah menunggu. “Hari ini Anda ada rapat jam sepuluh pagi, Pak,” ucap Andre memberitahu. Adhitama memandang Andre, tapi bukannya menjawab pertanyaan asisten pribadinya itu, Adhitama malah mengajak Andre membahas hal lain. “Apa kamu tahu bagaimana caranya membuat wanita luluh?” tanya Adhitama. Andre bingung mendengar pertanyaan Adhitama sampai menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Saya jomblo, Pak. Bagaimana saya bisa tahu?” Adhitama yang awalnya memasang mimik penuh harap seketika masam mendengar jawaban Andre. Andre melihat wajah Adhitama yang muram, hingga dia mencoba memberi solusi. “Bagaimana kalau saya mencari informasi yang Anda butuhkan lebih dulu? Nanti kalau sudah dapat, saya akan segera memberitahu." Andre memberi penawaran. Adhitama menyipitkan mata memandang Andre, hingga kemudian mengangguk
Mendengar kalimat jahat Rara seketika Lily meletakkan mainannya. Wajah anak itu berubah sedih dan hampir menangis. Arin yang melihat buru-buru mendekat lalu memukul lengan Rara, dia memarahi anaknya itu di depan Lily dan berkata,” Tidak usah kamu dengarkan omongan tante ini.” Arin lantas menyeret Rara menjauh. Dia kembali memukul lengan Rara dan marah. “Apa yang kamu omongin sampai Lily mau nangis gitu? Jangan bodoh! Dia itu anak emas, kalau kamu macam-macam kamu yang habis,” amuk Arin. Rara hanya mendengarkan dengan malas omongan Arin, dia kemudian pergi begitu saja meninggalkan Arin dengan wajah jengkel. Bukannya menenangkan, Arin yang tidak mau terkena masalah juga ikut pergi karena Lily terlihat menunduk. Lagipula pembantu yang mengawasi Lily terlihat sudah kembali sambil membawa makanan. Sementara itu, bukan tanpa alasan Kakek Roi tidak menemani Lily bermain dan malah menitipkan Lily pada pembantu. Kakek Roi memiliki urusan yang sangat penting untuk dibicarakan dengan ses
Lily mengerjapkan mata mendengar pertanyaan Adhitama. Dia mengucek mata lalu bertanya—"Kakek Roi?" Kening Lily berkerut tipis."Ah ... Buyut," kata Adhitama saat sadar sudah salah sebut. "Apa yang ngebuat Lily sedih tante yang ada di rumah Buyut? Tante rambut pirang?"Lily menekuk bibir hampir menangis lagi, anak itu mengangguk lalu melingkarkan tangan ke leher Adhitama.“Iya, tante itu bilang Lily mau mati.”Adhitama tampak geram, giginya bahkan saling beradu memikirkan kelancangan Rara yang sudah berani berkata seperti itu ke Lily.Adhitama menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan. Dia mengusap punggung Lily untuk menenangkan anak itu."Uh .... sayang, sudah jangan sedih lagi. Apa yang tante itu bilang tidak benar. Papa janji kalau Lily pasti akan sembuh, Lily akan baik-baik saja,” ujar Adhitama.Lily menyandarkan kepala ke pundak Adhitama, anak itu mengangguk dan masih memeluk sang papa.**Dua jam kemudian, lagi-lagi para karyawan yang berada di gedung Mahesa grup dibu
Adhitama tertawa saat melihat Risha salah tingkah karena cerita Lily soal mimpi tentang adik, sedangkan Lily dengan wajah polosnya mengedip-ngedipkan menggemaskan melihat Risha salah tingkah. “Iya, adiknya lucu, lho.” Lily kembali bicara agar kedua orang tuanya percaya dengan apa yang diucapkannya. Risha semakin kikuk, lalu Adhitama malah mengambil kesempatan itu untuk membuat Risha berpikir ulang tentang memiliki anak lagi. “Lily pasti akan punya adik,” kata Adhitama ke Lily. “Benarkah?” Lily terlihat sangat antusias. Risha terkejut lalu membalas, “Jangan menjanjikan apa pun jika tidak bisa memenuhinya, memberi adik Lily mustahil." Adhitama diam mendengar ucapan Risha, hingga tak lagi bicara atau membantah perkataan wanita itu. *** Setelah cukup lama di sana, Adhitama mengajak Risha dan Lily pulang. Namun, saat baru saja akan menuju lift, mereka berpapasan dengan Haris yang sengaja datang ke ruangan Adhitama. “Paman Haris,” sapa Lily lalu membuka kedua tangan karena ingin mi
Kakek Roi menatap satu persatu orang yang ada di sana, terutama Rara. Tentu saja hal ini membuat Arin ketakutan karena menyadari putrinya sedang dalam masalah besar. “I-ini pasti ada kesalahpahaman,” ucap Arin agar Rara tak terus disalahkan dan mendapat masalah padahal Arin mendengar sendiri kalau Rara memang mengatakan kalimat jahat itu ke Lily. “Salah paham apa? Otaknya memang sudah tidak waras dengan bicara seperti itu ke anak kecil!” balas Adhitama begitu geram. Risha merasa perdebatan itu akan semakin sengit hingga memilih mundur lalu mengajak Lily pergi dari sana agar anak itu tidak semakin takut. Risha menggandeng Lily turun ke lantai bawah dan menawarkan ke bocah itu untuk melihat ikan koi. Saat baru sampai di lantai bawah, Risha bertemu dengan Roshadi yang baru saja pulang. “Hai, Lily.” Roshadi menyapa hangat. Lily langsung bersembunyi di belakang Risha saat melihat Roshadi. Terlihat jelas Lily sangat takut sampai menyembunyikan wajah di belakang kaki sang bund
Risha dan Adhitama berjalan beriringan masuk ke sekolah Lily pagi itu. Mereka terlihat beberapa kali berhenti untuk berbicara dengan orangtua teman Lily yang juga datang ke sekolah.Hari itu acara kelulusan murid digelar, Risha sudah tidak sabar melihat bagaimana penampilan putri kecilnya di atas pentas.Risha duduk sambil harap-harap cemas menunggu acara dimulai.“Dia tidak akan membuat kesalahan ‘kan?” tanya Risha sambil meremas tangan. Padahal Lily yang akan tampil, tapi dia yang grogi.Adhitama yang melihat Risha beberapa kali menggigit bibir bawah hanya tersenyum, dia meraih tangan sang istri yang ada di atas paha lalu menggenggamnya erat.“Dingin sekali, kenapa kamu yang gugup begini?” tanya Adhitama.“Aku hanya khawatir. Lihat saja banyak orang begini, bagaimana kalau dia takut hingga membuat kesalahan. Dia pasti sedih dan bisa kehilangan rasa percaya diri, ini penampilan pertamanya di depan banyak orang,” jawab Risha.“Kamu harus yakin ke Lily, dia pasti bisa. Calon penerus Ma
Sore itu, Andre duduk di meja kerjanya sambil menatap layar laptop. Pekerjaan hari itu hampir selesai, tetapi ada satu hal lagi yang harus dia urus sebelum meminta izin pulang ke Adhitama.Andre melihat jam di tangannya, sudah hampir pukul lima sore. Andre menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri dan melangkah ke ruangan Adhitama.“Pak, apa saya bisa bicara sebentar?” kata Andre, mencoba terdengar tenang meskipun ada sedikit kegugupan di suaranya.Adhitama yang masih berkutat dengan layar laptop menjawab, “Tentu. Ada apa?”“Saya mau minta izin, Pak. Lusa rencananya saya ingin mengambil cuti untuk jalan-jalan sebentar. Sudah lama saya tidak liburan."Adhitama sedikit terkejut mendengar permintaan Andre. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak lalu memandang sekretarisnya itu. “Jalan-jalan? Ke mana? Memang kamu sudah punya pacar?” goda Adhitama.Andre tertawa kecil mendengar pertanyaan sang atasan. Pemuda itu sedikit berkilah dengan menjawab, “Memang pergi jalan-jalan harus bersama pacar
Seminggu kemudian Alma dan Haris mengadakan syukuran atas kelahiran anak mereka.Syukuran di rumah mereka berjalan meriah. Tamu-tamu yang datang silih berganti, membawa suasana hangat penuh canda tawa.Alma, yang baru saja melahirkan putra pertamanya, tampak bahagia menyambut satu per satu tamu yang hadir.Andre melangkah masuk dengan senyum kecil di wajah. Berbaur dengan tamu-tamu lain yang sebagian besar dia kenal. Namun, saat melihat sosok gadis yang tengah mengobrol di sudut lain ruangan, Andre segera berjalan mendekatinya. Ia sudan lama tak bertemu dengan Mahira, tapi dia sebenarnya sudah menduga pasti akan bertemu dengan Mahira di rumah Alma."Andre! Lama nggak ketemu. Apa kabar?" tanya Mahira sambil tersenyum lebar.Andre mengangguk kecil. "Baik. Kamu gimana?""Aku? Baik juga. Ngomong-ngomong, kabar mamamu gimana? Sehat kan?""Sehat kok," jawab Andre.Mereka terlihat canggung, Mahira bahkan ingin menjauh tapi entah kenapa ada perasaan yang membuatnya ingin terus mengobrol denga
Risha baru saja keluar dari kamar Lily malam itu. Dia berjalan pelan sambil memandang pintu ruang kerja Adhitama. Risha ragu mungkinkah Adhitama masih berada di sana atau sudah kembali ke kamar mereka. Risha mengedikkan bahu, memilih mempercepat langkah menuju kamar tidur. Baru saja menutup pintu, Adhitama membuat Risha terkejut karena sudah berada di dalam. “Astaga Mas Tama!” pekik Risha setelah sebelumnya berjengket karena kaget. “Kamu itu kenapa?” Adhitama terkekeh kecil lalu menekuk tangan di depan dada. “Aku pikir Mas masih di ruang kerja,” balas Risha sambil naik ke atas ranjang lalu duduk di samping Adhitama. “Apa ada masalah lagi di Mahesa?” tanyanya penuh perhatian. “Tidak ada, hanya mengecek dan memastikan sesuatu.” Adhitama membalas sambil melingkarkan tangan melewati punggung Risha, memberi isyarat kalau dia ingin memeluk istrinya itu. “Bagaimana Pembangunan kantor dan pabrik barumu? Bukankah seharusnya bulan depan pabrik sudah bisa mulai beroperasi?” tanya Adhitama
“Sudah sayang, kamu sudah cantik!”Ucapan Adhitama membuat Risha menoleh dan tersenyum. Adhitama berjalan mendekat pada Risha yang masih mematut diri di depan cermin, memeluk pinggang lalu mencium pundak istrinya itu.“Lily sudah siap?” tanya Risha sambil memandang Adhitama dari pantulan kaca di hadapannya.“Sudah, dia senang sekali mendengar kita mau mengajaknya pergi belanja,” balas Adhitama. “Ternyata semua wanita sama, suka sekali dengan hal berbau materi,” imbuhnya.Risha tertawa lebar, dia memutar tubuh lalu memandang Adhitama yang semakin hari semakin terlihat menawan di matanya.“Jadi selama ini Mas Tama pikir aku ini matre? Begitu?” goda Risha.“Hm .. bagaimana aku menjawab? Yang pasti aku bahagia bisa memberimu segalanya.” Adhitama meraih pinggang Risha. Menarik tubuh wanita itu hingga menempel padanya.“Aku hanya butuh Mas cintai dan jadikan satu-satunya wanita di dalam hidup Mas Tama,” ujar Risha. Senyum tipis dan tatapan matanya yang penuh cinta melenakan Adhitama hingga
Andre sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa laporan yang harus diserahkan ke Adhitama saat atasannya itu baru saja datang.Andre langsung berdiri dan menyapa dengan sopan. “Selamat pagi, Pak.”"Pagi, ikut ke ruanganku, ada yang mau aku bicarakan," ucap Adhitama seraya melangkah masuk.Andre mengangguk, dia berdiri dari kursinya kemudian menyusul Adhitama. Meskipun terdengar serius, tapi raut Adhitama tidak tampak mengintimidasi."Aku mendengar dari pengacara kalau masalah dengan ayahmu itu belum ada titik temu, bagaimana perkembangannya?” tanya Adhitama.Andre menarik napas dalam sebelum menjawab. “Sebenarnya semalam saya bertemu dengannya, yang bisa saya baca dia mulai terlihat khawatir. Mungkin karena saya bilang bekerja di Mahesa dan memiliki dukungan penuh dari perusahaan.”Adhitama tersenyum tipis. “Baguslah kalau begitu. Orang seperti Papamu itu biasanya hanya menggertak. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk bicara, aku pasti akan membantu,” ucapnya.“Terima kasih,
Di tengah hujan gerimis yang mengguyur kota, Mahira duduk di kursi penumpang mobil Andre sambil membuka jendela, membiarkan angin segar bercampur bau aspal basah masuk ke dalam mobil.Di tengah perjalanan menuju kos, tiba-tiba Mahira berkata, “Apa bisa berhenti sebentar di minimarket depan? Aku mau beli beberapa makanan buat stok di kos.”Andre mengangguk tanpa banyak bicara, lalu memutar setir ke arah minimarket yang Mahira maksud. Mobil itu melambat dan berhenti di depan minimarket yang terlihat ramai. Mahira keluar lebih dulu, lalu menoleh ke Andre yang masih duduk di kursi kemudi.“Yuk, ikut," ajaknya. Andre sebenarnya malas keluar mobil, tapi entah kenapa dia mengiyakan saja ajakan Mahira."Kamu kalau mau beli sesuatu boleh. Aku traktir, kamu pilih apa aja yang kamu mau.” Senyum Mahira mengembang. Pikirnya, Andre sudah banyak membantu jadi tidak ada salahnya mengeluarkan beberapa puluh ribu untuk membelikan pemuda itu sesuatu.Andre menghela napas sambil menggeleng. "Nggak usah.
Mahira duduk di ruang kecil kantor My Lily, matanya terus melirik jam dinding. Risha belum juga datang, dan dia sudah tidak sabar untuk meminta izin pada ibunda Lily itu.Meski terdengar keterlaluan, tapi Mahira berniat mengajukan diri agar diizinkan melakukan live penjualan sepanjang hari.Mahira masih menunggu dengan cemas, hingga Risha muncul dengan senyum maanis.“Pagi,” sapa Risha ke semua stafnya. Wanita itu berjalan ke ruang kerjanya dan disusul oleh Mahira.“Bu Risha, permisi. Apa saya boleh bicara?”Ucapan Mahira membuat Risha menghentikan langkah lalu menoleh.“Bicara apa?” tanya Risha dengan kening berkerut halus.“Begini Bu Risha. Saya mau meminta izin, boleh tidak hari ini saya mengambil alih live dari pagi sampai petang? Maksimal delapan jam.”Risha mengangkat alis, kaget dengan permintaan itu. “Kenapa tiba-tiba kamu ingin live selama itu?”Mahira menarik napas panjang, matanya sedikit berkaca-kaca. “Saya butuh uang, Bu. Papa saya … papa saya ditangkap polisi.”Risha ter
Lain di mulut lain di hati. Meski terlihat tak peduli, nyatanya Andre tidak benar-benar bisa mengabaikan Mahira. Malam itu, meskipun memaksakan diri untuk tidur, pikiran Andre tetap berkelana, memikirkan Mahira dan apa yang mungkin sedang terjadi.Pagi harinya, Andre bangun dengan perasaan yang masih sama. Namun, dia tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaannya kepada siapapun, termasuk ibunya.Andre bangkit dari tempat tidur dengan mata berat. Ponselnya tergeletak di meja dengan layar hitam tanpa notifikasi baru. Dia memegangnya lagi, ragu sejenak sebelum mengetik pesan lain untuk Mahira.[Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja.]Setelah mengirim pesan itu, Andre termenung, berharap balasannya kali ini datang.Namun, keheningan tetap mengisi ruang kamarnya. Andre mendesah berat, merasa bersalah tapi masih enggan mengakui."Apa aku harus ke sana langsung?" gumamnya. Pikiran tentang Mahira di kos seorang diri terus menghantui Andre.***Matahari baru saja muncul, memancarkan sin