Beberapa detik kemudian Adhitama tersadar lantas mengejar Haris. Dia melihat mobil Haris yang baru saja akan meninggalkan halaman rumah Kakek Roi. Adhitama berlari dengan cepat, lantas menghadang mobil Haris yang sudah berjalan pelan. “Turun!” perintah Adhitama sambil berdiri di depan mobil. Haris menatap Adhitama yang menghadangnya. Dia turun seperti apa yang Adhitama minta. “Kamu pasti berbohong soal Risha, ‘kan?” tanya Adhitama. Dia masih tak percaya dengan kabar yang diberikan Haris. “Bohong katamu?” Haris mendengkus. “Memangnya kematian itu sebuah candaan?” Haris menatap datar Adhitama. “Kalau memang itu benar, aku ingin melihat makamnya langsung. Tunjukan padaku di mana makamnya?” Adhitama tetap tak percaya meski Haris sudah menjelaskan berkali-kali. Haris masih memandang datar, lalu membalas ucapan Adhitama dengan tegas. “Kamu memang tidak punya perasaan, ya? Risha sudah berpesan jika tidak mau kalau kamu sampai menginjakkan kaki di makamnya. Dia sudah meninggal, bagaima
Esok paginya, Adhitama terbangun di ranjangnya. Ketika bangun ini perasaannya masih kacau.Perlahan, Adhitama bangun dan duduk. Rambut dan pakaiannya berantakan, pria itu bahkan tidak mengganti pakaiannya sejak tiba di rumah tadi malam.Adhitama membuang napasnya kasar. Ia masih belum bisa menerima kabar kematian Risha, tetapi ia juga tidak tahu harus berbuat apa.Semua ini terlalu mendadak untuknya.Namun, jika hari ini Adhitama hanya berdiam diri di rumah, bisa-bisa ia jadi gila.Sebaiknya ia pergi ke perusahaan, lagipula hari ini ada rapat yang harus Adhitama hadiri.Saat sampai di kantor, Adhitama melihat Andre yang sudah tiba dan menyambut kedatangannya. “Pak, kenapa pagi-pagi sekali Anda sudah datang?" tanya Andre agak bingung."Pagi-pagi sekali?" Adhitama balas bertanya kemudian memutar pergelangan tangan untuk melihat jam yang melingkar di sana. “Aku hanya tiba lima menit lebih cepat, lagipula hari ini ada rapat, bukan?”Saat Adhitama melihat raut wajah Andre yang berubah mur
Sevia melihat Arin dan Rara memandangnya aneh, lalu keduanya tertawa merendahkan Sevia.“Kamu? Jangan bohong. Kami tidak percaya. Itu pasti hanya akal-akalanmu saja, ‘kan?” Arin mengibaskan tangan, meremehkan Sevia. “Sudahlah, intinya kesepakatan kita selesai di sini.”Arin dan Rara berdiri dari duduknya. Sebelum meninggalkan Sevia, Arin menunjuk Sevia dan berkata dengan pongah. “Ingat, jangan pernah hubungi kami lagi.”Lalu meninggalkan Sevia yang menyimpan perasaan marah di dadanya.Sevia juga masih tidak percaya kalau Risha sudah mati, terlalu mudah jika wanita itu sudah mati saat ini.“Apa coba aku pastikan secara langsung ke Mas Adhitama?”Dia lantas mengambil ponsel dan menelepon Adhitama, tetapi pria itu tak menjawab panggilannya meski sudah beberapa kali terdengar nada sambung.Sevia akhirnya menghubungi Andre dengan mengirim pesan untuk menanyakan keberadaan Adhitama.“Kenapa dia juga tidak balas pesanku?”Sevia sebal mengetahui Andre mengabaikan pesannya. Di saat yang sama,
Namun, orang yang membuntuti Adhitama tak mengikuti lagi setelah melihat Adhitama menurunkan Sevia. Bahkan ia pergi lebih dulu sebelum Adhitama pergi.Adhitama mengemudikan mobilnya pulang ke rumah. Ia ingin istirahat dan mencoba memikirkan semua masalah ini dengan kepala dingin. Akan tetapi, saat sampai di rumah, Adhitama malah melihat mobil kakeknya terparkir di halaman. “Untuk apa Kakek ada di sini?” Adhitama cukup terkejut.Adhitama memarkirkan mobil persis di samping mobil Kakek Roi, lalu segera masuk untuk menemui sang Kakek.Adhitama baru menginjakkan kaki di teras hendak masuk rumah saat melihat pelayan rumahnya lari tergopoh menghampiri. “Tuan, itu … Kakek Anda ada di sini,” ucap salah satu pelayan rumahnya. “Aku tahu,” balas Adhitama dingin sambil berlalu meninggalkan pelayan rumahnya. Adhitama menuju ke tempat Kakek Roi berada. Dia mendekat hendak menyapa, tetapi sebuah tamparan lebih dulu mendarat di pipi sebelum Adhitama bahkan sempat membuka mulutnya. Kakek Roi ter
Hari itu, setelah Risha menenangkan diri setelah ditenangkan Haris, Risha mendapati bercak darah di pakaian dalamnya saat baru masuk kamar mandi. Tubuhnya bergetar terkejut dan juga ketakutan. Risha berteriak memangil pembantu rumah Haris untuk menemaninya. Risha tidak mampu menahan tangisannya.“Ada apa, Non?” tanya pembantu yang panik saat masuk kamar mandi dan melihat Risha menangis.Risha memperlihatkan bercak di pakaian dalamnya, tentu saja hal itu membuat pembantu Haris terkejut.Pembantu lalu pergi mencari Haris dan menyampaikan apa yang terjadi.“Itu, Tuan. Non Risha ngeluarin darah,” kata pembantu dengan ekspresi wajah panik.“Apa?” Haris sangat terkejut.Haris pergi ke kamar Risha. Dia lalu buru-buru menggendong Risha keluar dari kamar menuju mobil. Haris segera membawa Risha ke rumah sakit agar segera mendapat penanganan.Di rumah sakit. Dokter langsung melakukan USG untuk melihat kondisi janin Risha. Risha sudah menangis sambil merintih menahan sakit di perutnya karena me
Beberapa menit lalu.Haris menemui Adhitama di ruang tamu setelah ia memastikan Risha masuk kamarnya.Meski sudah dipersilakan duduk oleh pembantu, tapi ternyata Adhitama masih berdiri. “Di mana Risha?” Adhitama langsung bertanya tanpa basa-basi saat melihat Haris datang. “Bukankah sudah jelas yang aku katakan? Kenapa kamu masih saja bertanya?” Haris merasa geram, Adhitama memang suka seenaknya sendiri. “Aku mau melihat kamar Risha yang ada di rumah ini. Aku mau mencari petunjuk di sana karena aku yakin kalau istriku belum mati!” kata Adhitama.Haris tersenyum mencibir mendengar kalimat Adhitama.‘Apa dia bilang tadi? Istri?’ “Sudah dua tahun Risha tidak datang ke sini, jadi apa yang mau kamu lihat? Petunjuk apa? Kenapa kamu menyangkal kenyataan kalau Risha sudah tidak ada? Sekarang kamu menyesal? Atau hanya ingin memastikan kebenaran agar bisa menikahi wanita itu dengan mudah tanpa ada halangan nantinya?!” Haris bicara secara bertubi sambil menatap tak senang ke Adhitama. Adhit
Malam itu, Adhitama tidak bisa tidur dengan nyenyak, dan itu membuatnya terbangun pagi-pagi sekali. Setelah membersihkan diri, Adhitama menatap kasurnya. Biasanya di sana ada kemeja yang sudah disiapkan Risha, namun hari ini kasur itu kosong. Adhitama tidak sadar di bawah matanya berair. Pria itu mulai berpakaian dan pergi ke ruang makan untuk sarapan. Saat sedang sarapan, salah satu pelayan rumah Adhitama terlihat menampilkan wajah sedih. Pelayan rumah itu mendekat, lalu dengan perlahan bicara. “Maaf sebelumnya, Tuan. Maaf kalau saya lancang menanyakan hal ini, tapi apa benar kalau Nyonya sudah meninggal?” Adhitama diam mendengar pertanyaan salah satu pelayan rumahnya. Dia hanya menatap hingga membuat pelayan rumah itu langsung menundukkan kepala. “Maaf, Tuan.” “Risha masih hidup. Selama aku belum melihat makamnya, maka bagiku Risha masih hidup,” balas Adhitama dingin. Adhitama berdiri setelah mengatakan itu. Dia meninggalkan meja makan dengan wajah menggelap. Namun, baru sa
Adhitama masih duduk di ruang kerjanya meski hari sudah malam. Beberapa kali Adhitama berusaha mempelajari sistem marketing produk ‘My Lily’. Dia masih terus membaca secara teliti hingga tiba-tiba gerakan tangannya terhenti. Di bawah temaram lampu ruang kerja, tiba-tiba saja Adhitama mengingat Risha. Dia menghela napas kasar lalu menyandarkan punggung ke kursi. Ini sudah empat tahun berlalu, tapi Adhitama masih tidak bisa melupakan Risha. Bahkan dia masih tak percaya jika Risha pergi begitu saja dari hidupnya untuk selamanya. Selama empat tahun ini, Adhitama juga selalu datang ke makam Risha sambil membawakan bunga. Adhitama menghela napas lelah setelah mengingat Risha, lalu kembali fokus bekerja karena ancaman Kakek Roi akan jadi kenyataan jika dia tidak bisa membuktikan bisa mengelola perusahaan dengan baik. Awalnya Kakek Roi tidak setuju jika Sevia yang menjadi model untuk produk skincare Mahesa Group, tetapi Adhitama meminta kesempatan untuk menjadikan Sevia model, se
Setelah makan malam yang sedikit menegangkan itu, Haris dan Alma beranjak pulang. Risha dan Adhitama juga memilih mengantar keduanya sampai ke halaman. “Hati-hati di jalan,” ucap Risha bersamaan dengan Haris dan Alma yang berjalan menuju mobil.Alma mengangguk lalu masuk mobil, begitu juga dengan Haris.Haris melajukan mobil meninggalkan rumah Risha. Sepanjang perjalanan, Haris melihat Alma terus saja diam. Sikap Alma membuatnya berpikir, apakah gadis itu marah karena tindakan tegasnya ke staf HRD.“Apa kamu marah?” tanya Haris untuk memastikan.“Tidak,” jawab Alma dengan suara agak lirih.Haris diam sejenak, berpikir jika Alma sudah menjawab seperti itu artinya dia tidak perlu memperpanjang masalah.“Bagaimana tadi, apa kamu sudah dapat baju untuk pernikahan kita?” tanya Haris. Untuk memecah rasa canggung dia memilih membahas hal lainnya.“Belum karena tadi Kak Risha harus menjemput Lily yang sakit,” jawab Alma dengan suara datar.Haris merasa Alma bersikap sedikit aneh. Dia kembal
Tanpa memberitahu, Malam harinya Haris menjemput Alma di rumah Risha. Saat sampai di sana, dia pergi ke kamar Lily dan bocah itu langsung meminta gendong karena masih sakit. “Kenapa badannya hangat?” tanya Haris saat menggendong Lily. “Dia demam, makanya tadi dijemput dari sekolah,” jawab Risha. Haris kaget, lalu menoleh Lily yang menyandarkan kepala di pundak. “Lily sakit? Sudah minum obat belum?” tanya Haris. “Sudah,” jawab Lily. "Lily bobok aja ya." Haris membujuk. Lily menggeleng lalu berkata," Lily maunya digendong Paman Haris.” Haris memeluk Lily, membiarkan anak itu bersikap manja, lalu kembali membujuk dan mengajak Lily berbaring di kasur. Haris mengambil buku cerita di nakas kemudian membacakan cerita untuk Lily. Alma juga ada di sana, ikut mendengarkan Haris bercerita. “Aku tinggal sebentar,” kata Risha pamit dan Alma membalasnya dengan anggukan kepala. Risha berjalan keluar dari kamar Lily. Saat menuruni anak tangga, dia melihat Adhitama yang baru
Hari itu Risha mengajak Alma pergi ke butik untuk melihat baju pernikahan. Mereka sudah ada di butik dan sedang melihat-lihat katalog untuk memilih model mana yang cocok.Saat masih memilih, Alma memberanikan diri untuk mengajak Risha mengobrol. “Kak, entah ini hanya perasaanku saja atau memang benar, tapi aku lihat akhir-akhir ini Lily jadi pemurung, apa ada masalah?” tanya Alma sambil mengalihkan tatapan dari desain gaun di katalog ke Risha. “Bukan masalah besar. Dia hanya sedih karena Audrey sudah tidak bekerja dengan kami lagi dan juga dia kehilangan adiknya,” jawab Risha. Alma mengangguk-angguk paham. Dia merasa bersimpati dan kasihan. “Mungkin nanti kalau anakku lahir, aku akan minta Lily yang memberinya nama supaya Lily senang dan sedikit terhibur,” ujar Alma. Risha terkejut sampai menoleh Alma. “Jangan, bisa-bisa nanti anakmu malah diberi nama yang aneh-aneh Sama Lily.” Alma tertawa kecil mendengar jawaban Risha. Mereka masih sibuk mengobrol sambil melihat-lihat baju
Pagi itu Lily pergi ke rumah sakit untuk menemui Risha. Dia sangat tidak sabar, sampai-sampai berjalan dengan cepat agar bisa segera menemui Risha. “Bunda!” Lily berlari ke arah ranjang ketika sampai di ruang inap Risha. Risha terkejut tapi juga senang karena Lily ada di sana. “Bunda, adiknya Lily sudah tidak ada, ya?” tanya Lily dengan tatapan sedih. Risha mengangguk. “Bunda nggak akan sakit lagi, kan?” tanya Lily lagi. “Iya,” balas Risha sambil memulas senyum. Adhitama mendekat, lalu mengusap rambut Lily dengan lembut. “Kenapa hari ini Lily tidak mau sekolah?” tanya Risha. “Nggak mau, Lily maunya sama Bunda,” jawab Lily sambil memainkan telunjuk di atas sprei. Adhitama dan Risha saling tatap. “Bagaimana di rumah Kakek Roshadi? Apa di sana seru?” tanya Adhitama. Lily hanya diam menunduk, tapi kemudian menjawab, “Iya Kakek Roshadi juga punya kolam ikan.” “Iya, Kakek membuat itu spesial untuk Lily karena Lily suka sama ikan Koi,” balas Adhitama. “Em ... kalau Lily suka di
Alma tak langsung pulang setelah menitipkan barangnya ke mobil Andre. Dia masih menyelesaikan pekerjaannya sampai pukul lima. “Permisi Pak, aku izin pulang dulu,” pamit Alma.“Apa kamu sudah mengecek semuanya? siapa tahu masih ada barang yang tertinggal?” tanya Haris memastikan.Alma menggelengkan kepala.“Sudah tidak ada, semua barangnya sudah aku titipkan ke mobil Andre,” jawab Alma.Haris mengerutkan dahi.“Aku pulang dulu,” kata Alma lagi. Dia merasa sedikit canggung dan tetap memutar tumit pergi dari ruangan Haris.Saat Alma akan meraih gagang pintu, Haris mencegah dan berkata, “Besok lagi tidak ada titip-titip barang ke pria lain.”Alma menoleh dan hanya tersenyum sambil mengangguk. Dia pergi meninggalkan Haris.Alma turun ke lobi, saat sampai di sana sudah ada Andre yang menunggunya.“Ayo pulang,” kata Andre.Alma mengangguk. Dia dan Andre berjalan keluar dari lobi secara bersamaan.Saat mereka sedang berjalan, Alma mendengar ada dua staf yang berbisik-bisik menggunjing diriny
Di sisi lain, Risha dan Adhitama pergi mengantar Lily ke sekolah. Risha menoleh Lily yang duduk di bangku belakang, sedikit ragu untuk bicara. “Nanti Bunda sama Papa tidak bisa jemput Lily, jadi Kakek Roshadi yang jemput, ya.” Risha berpesan lebih dulu agar Lily tidak bingung. “Iya,” balas Lily tanpa bertanya Risha mau ke mana. Risha mengusap lembut rambut Lily lalu mencium kening anak itu. Setelahnya dia melambai pada Lily yang sedang masuk ke gedung sekolah. Risha dan Adhitama meninggalkan sekolah Lily, mereka pergi ke rumah sakit sesuai dengan jadwal yang diberikan dokter. Risha sudah mendapat kamar karena mendaftar lebih dulu sebelumnya. “Mas Tama kalau mau pulang tidak apa-apa, misal mau kerja atau apa. Aku tidak apa-apa di sini sendirian,” ucap Risha setelah berada di kamar inap. “Tidak, aku mau di sini menemanimu,” balas Adhitama. “Tindakannya masih nanti sore, jadi semisal Mas Tama ingin mengurus pekerjaan dulu juga tidak apa-apa,” ucap Risha lagi. “Tadi pag
Pagi itu Alma datang ke perusahaan untuk mengemasi barang-barangnya. Dia melihat beberapa rekan kerjanya masih seperti kemarin, menatapnya sinis, tapi Alma tidak peduli.Alma bergegas menuju ruang kerjanya, fokus membereskan barang-barang. Saat dia masih memasukkan barangnya ke kardus, Haris tampak datang dan langsung membantunya.“Biar aku saja,” kata Alma sambil meraih barangnya dari tangan Haris.“Tidak apa-apa,” balas Haris. Pria itu tersenyum dan bersikeras tetap ingin membantu.Alma tidak bisa mengelak, akhirnya dia membiarkan Haris membantu mengemas barang-barang miliknya.Saat sedang membereskan barang, ponsel di meja Alma berdering. Alma agak tak enak hati saat melihat nama Andre terpampang di sana.“Jawab saja,” kata Haris saat melihat Alma seperti berpikir.Alma mengangguk lalu menjawab panggilan dari Andre.“Halo," sapa Alma.“Aku diberitahu kalau kamu diminta datang ke ruang HRD,” kata Andre dari seberang panggilan."Oh iya, terima kasih sudah memberitahuku,” balas Alma,
Siang itu Audrey menjemput Lily di sekolah seperti biasa. Audrey memandang pada Lily yang baru saja masuk mobil. “Sudah,” kata Lily setelah memasang seatbelt. Anak itu tersenyum ke Audrey lalu duduk anteng di kursinya. Audrey mengangguk lalu mengemudikan mobil meninggalkan area sekolah. Dia menoleh pada Lily yang duduk di sampingnya dengan tenang. Audrey mengerutkan kening, tak biasanya Lily diam seperti ini, biasanya anak itu banyak bicara menceritakan apa yang dia lalui di sekolah hari ini. Audrey menepis pikirannya, untuk apa dia peduli pada perasaan anak kecil. “Lily." Audrey akhirnya mulai bicara. “Iya," balas Lily sambil menoleh ke samping. Sejenak wajah polos Lily membuat Audrey berpikir untuk mengurungkan niatnya. “Aku akan pergi dan tidak akan bisa menjadi pengawalmu lagi,” kata Audrey berterus terang. Lily sangat terkejut. Anak itu mengerutkan kening karena bingung. “Kenapa?” tanya Lily, “apa Lily nakal?” “Tidak, aku memang harus pergi,” ujar Audrey tan
Saat malam hari, mereka mengadakan acara barbeque-an di depan villa. Lily asik bermain bersama Audrey. Mereka berjongkok sambil melihat sesuatu di tanah, entah apa yang sedang diamati Lily. Adhitama hanya bisa memandang dan mengamati Lily yang sedang main bersama Audrey. Dia dan yang lain berada di satu meja. “Kapan Kak Haris akan menikahi Alma?” tanya Risha sambil memandang Haris dan Alma bergantian. “Secepatnya,” jawab Haris, “aku juga akan mengajak Alma pindah ke rumah, tapi bagaimana? Itu masih rumah orang tuamu,” imbuh Haris. “Ya, pakai saja. Asal Kakak tidak menjualnya, tidak masalah bautku jika terus kakak tempati, atau ambil saja aku bisa minta rumah ke Mas Tama," balas Risha dengan nada candaan. Haris dan yang lain tertawa. “Sepertinya Lily sangat dekat dengan Audrey,” kata Haris sambil mengamati Lily yang kini sedang berlarian di sekitar pohon besar yang terdapat di depan villa. “Ya, mungkin karena Lily menganggap Audrey sebagai kakak. Umur mereka selisih sekitar li