Risha saat ini sedang duduk di atas ranjang pesakitan rumah sakit. Risha memandang lurus ke jendela, tetapi tatapannya tampak begitu kosong, bahkan wajahnya juga terlihat sangat pucat.Haris yang baru saja menemui dokter mendekat melihat Risha yang terus melamun.“Istirahatlah agar kondisimu semakin membaik,” ucap Haris.Risha hanya diam, setelah beberapa saat kemudian menoleh karena Haris menyentuh tangannya. Dia menatap sendu, terlihat jelas banyak kesedihan dan kepedihan dari pancaran mata Risha.Haris tidak tega melihat kondisi Risha. Adik angkatnya itu sekarang tak ceria dan tak selalu tersenyum seperti dulu.“Bawa aku pergi dari sini, Kak, terserah mau ke mana asal bisa pergi dari sini,” pinta Risha dengan tatapan memelas.“Tapi kondisimu belum stabil, tunggu kesehatanmu pulih, ya.” Haris mencoba membujuk.Risha menggeleng dengan air mata yang menggenang di pelupuk.“Aku merasa sesak di sini,” lirih Risha seperti menahan sakit.Haris benar-benar tak tega melihat kondisi Risha
Risha masih mencoba mengendalikan rasa sesaknya. Mengatur emosi yang didominasi oleh rasa sakit dan kecewa hingga akhirnya ia bisa sedikit tenang.Perlahan Risha melepas pelukan Haris, menyeka air mata yang membasahi paras cantiknya. “Aku memang sangat benci dengan segala sikap dan perlakuan Mas Tama. Tetapi, aku juga tak bisa memungkiri kalau aku benar-benar mencintainya. Dia adalah cinta pertamaku, satu-satunya pria yang aku cintai,” ucap Risha lirih. Haris hanya diam mendengar ucapan Risha. Dia tahu kalau Kakek Roi dan Kakek Risha memang bersahabat sejak lama, bahkan dulu mereka sering sekali bermain golf atau sekadar minum kopi bersama sambil membawa Adhitama dan Risha saat mereka masih kecil.Haris sendiri masih tak menyangka jika Risha bisa jatuh cinta pada Adhitama sedalam itu. Dia juga masih ingat hari di mana Risha berkata padanya bahwa sangat bahagia dijodohkan dengan Adhitama.Kini Haris tahu alasan Risha memilih bertahan sejauh ini, meski pada akhirnya sekarang Risha ber
Saat Risha tiba di rumah orang tuanya bersama Haris, ia duduk cukup lama di tepian ranjang, memandang meja kerja yang ada di kamarnya.Risha berjalan mendekat lalu membuka laci yang ada di sana. Dia melihat kotak berwarna cokelat tergeletak apik di laci itu.Risha mengeluarkannya kemudian membuka, dia melihat foto-foto masa kecilnya juga beberapa benda lain. Risha tersenyum kecil melihat foto-foto masa kecil yang membahagiakan, meskipun air mata ikut menetes bersamaan dengan senyumnya.Risha melihat dirinya dan Adhitama di dalam foto itu. Di sana mereka masih kecil.Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Ia senang menatap foto itu, namun gurat kepedihan juga ada di dalam tatapan matanya.“Ternyata waktu berlalu begitu cepat,” gumam Risha dengan senyum getir di wajah.Risha ingat pertemuan pertama mereka saat dia berumur delapan tahun sedangkan Adhitama berumur sebelas tahun. “Kamu dulu sangat baik dan perhatian,” gumam Risha menambah rasa pedih yang menyiksa di rongga dada.Sikap Ad
Malam itu Adhitama masih lembur di kantor. Dia mengecek beberapa berkas yang masih bertumpuk di meja kerjanya.Sudah beberapa hari ini, ia lebih memilih menghabiskan hari-harinya di kantor. Ia tidak ingin pulang ke rumah di mana hanya para pembantunya yang menyambutnya.Saat Adhitama masih fokus bekerja, ponsel Adhitama berbunyi. Ada nama Ayah tertera di sana. Pria itu mengambil ponsel dan mendekatkannya ke telinga. “Ada apa, Pa?” ‘Kakek memintamu datang ke rumah. Datanglah sekarang!’ perintah Roshadi dari seberang panggilan.Adhitama mengerutkan kening mendengar perintah Roshadi. “Aku sibuk, Pa.”‘Jangan keras kepala! Cepat ke sini!’Adhitama cukup terkejut mendengar Roshadi berbicara agak memaksa. Namun, ia tidak ingin membuat ayah dan kakeknya mungkin akan memarahinya lagi atas sikapnya belakangan ini, jadi ia lebih baik menuruti permintaan ayahnya untuk pulang.Saat ini ia sedang tidak berada dalam suasana hati yang baik. Adhitama tidak ingin menambah pikiran dengan menerima amuk
Beberapa detik kemudian Adhitama tersadar lantas mengejar Haris. Dia melihat mobil Haris yang baru saja akan meninggalkan halaman rumah Kakek Roi. Adhitama berlari dengan cepat, lantas menghadang mobil Haris yang sudah berjalan pelan. “Turun!” perintah Adhitama sambil berdiri di depan mobil. Haris menatap Adhitama yang menghadangnya. Dia turun seperti apa yang Adhitama minta. “Kamu pasti berbohong soal Risha, ‘kan?” tanya Adhitama. Dia masih tak percaya dengan kabar yang diberikan Haris. “Bohong katamu?” Haris mendengkus. “Memangnya kematian itu sebuah candaan?” Haris menatap datar Adhitama. “Kalau memang itu benar, aku ingin melihat makamnya langsung. Tunjukan padaku di mana makamnya?” Adhitama tetap tak percaya meski Haris sudah menjelaskan berkali-kali. Haris masih memandang datar, lalu membalas ucapan Adhitama dengan tegas. “Kamu memang tidak punya perasaan, ya? Risha sudah berpesan jika tidak mau kalau kamu sampai menginjakkan kaki di makamnya. Dia sudah meninggal, bagaima
Esok paginya, Adhitama terbangun di ranjangnya. Ketika bangun ini perasaannya masih kacau.Perlahan, Adhitama bangun dan duduk. Rambut dan pakaiannya berantakan, pria itu bahkan tidak mengganti pakaiannya sejak tiba di rumah tadi malam.Adhitama membuang napasnya kasar. Ia masih belum bisa menerima kabar kematian Risha, tetapi ia juga tidak tahu harus berbuat apa.Semua ini terlalu mendadak untuknya.Namun, jika hari ini Adhitama hanya berdiam diri di rumah, bisa-bisa ia jadi gila.Sebaiknya ia pergi ke perusahaan, lagipula hari ini ada rapat yang harus Adhitama hadiri.Saat sampai di kantor, Adhitama melihat Andre yang sudah tiba dan menyambut kedatangannya. “Pak, kenapa pagi-pagi sekali Anda sudah datang?" tanya Andre agak bingung."Pagi-pagi sekali?" Adhitama balas bertanya kemudian memutar pergelangan tangan untuk melihat jam yang melingkar di sana. “Aku hanya tiba lima menit lebih cepat, lagipula hari ini ada rapat, bukan?”Saat Adhitama melihat raut wajah Andre yang berubah mur
Sevia melihat Arin dan Rara memandangnya aneh, lalu keduanya tertawa merendahkan Sevia.“Kamu? Jangan bohong. Kami tidak percaya. Itu pasti hanya akal-akalanmu saja, ‘kan?” Arin mengibaskan tangan, meremehkan Sevia. “Sudahlah, intinya kesepakatan kita selesai di sini.”Arin dan Rara berdiri dari duduknya. Sebelum meninggalkan Sevia, Arin menunjuk Sevia dan berkata dengan pongah. “Ingat, jangan pernah hubungi kami lagi.”Lalu meninggalkan Sevia yang menyimpan perasaan marah di dadanya.Sevia juga masih tidak percaya kalau Risha sudah mati, terlalu mudah jika wanita itu sudah mati saat ini.“Apa coba aku pastikan secara langsung ke Mas Adhitama?”Dia lantas mengambil ponsel dan menelepon Adhitama, tetapi pria itu tak menjawab panggilannya meski sudah beberapa kali terdengar nada sambung.Sevia akhirnya menghubungi Andre dengan mengirim pesan untuk menanyakan keberadaan Adhitama.“Kenapa dia juga tidak balas pesanku?”Sevia sebal mengetahui Andre mengabaikan pesannya. Di saat yang sama,
Namun, orang yang membuntuti Adhitama tak mengikuti lagi setelah melihat Adhitama menurunkan Sevia. Bahkan ia pergi lebih dulu sebelum Adhitama pergi.Adhitama mengemudikan mobilnya pulang ke rumah. Ia ingin istirahat dan mencoba memikirkan semua masalah ini dengan kepala dingin. Akan tetapi, saat sampai di rumah, Adhitama malah melihat mobil kakeknya terparkir di halaman. “Untuk apa Kakek ada di sini?” Adhitama cukup terkejut.Adhitama memarkirkan mobil persis di samping mobil Kakek Roi, lalu segera masuk untuk menemui sang Kakek.Adhitama baru menginjakkan kaki di teras hendak masuk rumah saat melihat pelayan rumahnya lari tergopoh menghampiri. “Tuan, itu … Kakek Anda ada di sini,” ucap salah satu pelayan rumahnya. “Aku tahu,” balas Adhitama dingin sambil berlalu meninggalkan pelayan rumahnya. Adhitama menuju ke tempat Kakek Roi berada. Dia mendekat hendak menyapa, tetapi sebuah tamparan lebih dulu mendarat di pipi sebelum Adhitama bahkan sempat membuka mulutnya. Kakek Roi ter
Risha dan Adhitama berjalan beriringan masuk ke sekolah Lily pagi itu. Mereka terlihat beberapa kali berhenti untuk berbicara dengan orangtua teman Lily yang juga datang ke sekolah.Hari itu acara kelulusan murid digelar, Risha sudah tidak sabar melihat bagaimana penampilan putri kecilnya di atas pentas.Risha duduk sambil harap-harap cemas menunggu acara dimulai.“Dia tidak akan membuat kesalahan ‘kan?” tanya Risha sambil meremas tangan. Padahal Lily yang akan tampil, tapi dia yang grogi.Adhitama yang melihat Risha beberapa kali menggigit bibir bawah hanya tersenyum, dia meraih tangan sang istri yang ada di atas paha lalu menggenggamnya erat.“Dingin sekali, kenapa kamu yang gugup begini?” tanya Adhitama.“Aku hanya khawatir. Lihat saja banyak orang begini, bagaimana kalau dia takut hingga membuat kesalahan. Dia pasti sedih dan bisa kehilangan rasa percaya diri, ini penampilan pertamanya di depan banyak orang,” jawab Risha.“Kamu harus yakin ke Lily, dia pasti bisa. Calon penerus Ma
Sore itu, Andre duduk di meja kerjanya sambil menatap layar laptop. Pekerjaan hari itu hampir selesai, tetapi ada satu hal lagi yang harus dia urus sebelum meminta izin pulang ke Adhitama.Andre melihat jam di tangannya, sudah hampir pukul lima sore. Andre menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri dan melangkah ke ruangan Adhitama.“Pak, apa saya bisa bicara sebentar?” kata Andre, mencoba terdengar tenang meskipun ada sedikit kegugupan di suaranya.Adhitama yang masih berkutat dengan layar laptop menjawab, “Tentu. Ada apa?”“Saya mau minta izin, Pak. Lusa rencananya saya ingin mengambil cuti untuk jalan-jalan sebentar. Sudah lama saya tidak liburan."Adhitama sedikit terkejut mendengar permintaan Andre. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak lalu memandang sekretarisnya itu. “Jalan-jalan? Ke mana? Memang kamu sudah punya pacar?” goda Adhitama.Andre tertawa kecil mendengar pertanyaan sang atasan. Pemuda itu sedikit berkilah dengan menjawab, “Memang pergi jalan-jalan harus bersama pacar
Seminggu kemudian Alma dan Haris mengadakan syukuran atas kelahiran anak mereka.Syukuran di rumah mereka berjalan meriah. Tamu-tamu yang datang silih berganti, membawa suasana hangat penuh canda tawa.Alma, yang baru saja melahirkan putra pertamanya, tampak bahagia menyambut satu per satu tamu yang hadir.Andre melangkah masuk dengan senyum kecil di wajah. Berbaur dengan tamu-tamu lain yang sebagian besar dia kenal. Namun, saat melihat sosok gadis yang tengah mengobrol di sudut lain ruangan, Andre segera berjalan mendekatinya. Ia sudan lama tak bertemu dengan Mahira, tapi dia sebenarnya sudah menduga pasti akan bertemu dengan Mahira di rumah Alma."Andre! Lama nggak ketemu. Apa kabar?" tanya Mahira sambil tersenyum lebar.Andre mengangguk kecil. "Baik. Kamu gimana?""Aku? Baik juga. Ngomong-ngomong, kabar mamamu gimana? Sehat kan?""Sehat kok," jawab Andre.Mereka terlihat canggung, Mahira bahkan ingin menjauh tapi entah kenapa ada perasaan yang membuatnya ingin terus mengobrol denga
Risha baru saja keluar dari kamar Lily malam itu. Dia berjalan pelan sambil memandang pintu ruang kerja Adhitama. Risha ragu mungkinkah Adhitama masih berada di sana atau sudah kembali ke kamar mereka. Risha mengedikkan bahu, memilih mempercepat langkah menuju kamar tidur. Baru saja menutup pintu, Adhitama membuat Risha terkejut karena sudah berada di dalam. “Astaga Mas Tama!” pekik Risha setelah sebelumnya berjengket karena kaget. “Kamu itu kenapa?” Adhitama terkekeh kecil lalu menekuk tangan di depan dada. “Aku pikir Mas masih di ruang kerja,” balas Risha sambil naik ke atas ranjang lalu duduk di samping Adhitama. “Apa ada masalah lagi di Mahesa?” tanyanya penuh perhatian. “Tidak ada, hanya mengecek dan memastikan sesuatu.” Adhitama membalas sambil melingkarkan tangan melewati punggung Risha, memberi isyarat kalau dia ingin memeluk istrinya itu. “Bagaimana Pembangunan kantor dan pabrik barumu? Bukankah seharusnya bulan depan pabrik sudah bisa mulai beroperasi?” tanya Adhitama
“Sudah sayang, kamu sudah cantik!”Ucapan Adhitama membuat Risha menoleh dan tersenyum. Adhitama berjalan mendekat pada Risha yang masih mematut diri di depan cermin, memeluk pinggang lalu mencium pundak istrinya itu.“Lily sudah siap?” tanya Risha sambil memandang Adhitama dari pantulan kaca di hadapannya.“Sudah, dia senang sekali mendengar kita mau mengajaknya pergi belanja,” balas Adhitama. “Ternyata semua wanita sama, suka sekali dengan hal berbau materi,” imbuhnya.Risha tertawa lebar, dia memutar tubuh lalu memandang Adhitama yang semakin hari semakin terlihat menawan di matanya.“Jadi selama ini Mas Tama pikir aku ini matre? Begitu?” goda Risha.“Hm .. bagaimana aku menjawab? Yang pasti aku bahagia bisa memberimu segalanya.” Adhitama meraih pinggang Risha. Menarik tubuh wanita itu hingga menempel padanya.“Aku hanya butuh Mas cintai dan jadikan satu-satunya wanita di dalam hidup Mas Tama,” ujar Risha. Senyum tipis dan tatapan matanya yang penuh cinta melenakan Adhitama hingga
Andre sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa laporan yang harus diserahkan ke Adhitama saat atasannya itu baru saja datang.Andre langsung berdiri dan menyapa dengan sopan. “Selamat pagi, Pak.”"Pagi, ikut ke ruanganku, ada yang mau aku bicarakan," ucap Adhitama seraya melangkah masuk.Andre mengangguk, dia berdiri dari kursinya kemudian menyusul Adhitama. Meskipun terdengar serius, tapi raut Adhitama tidak tampak mengintimidasi."Aku mendengar dari pengacara kalau masalah dengan ayahmu itu belum ada titik temu, bagaimana perkembangannya?” tanya Adhitama.Andre menarik napas dalam sebelum menjawab. “Sebenarnya semalam saya bertemu dengannya, yang bisa saya baca dia mulai terlihat khawatir. Mungkin karena saya bilang bekerja di Mahesa dan memiliki dukungan penuh dari perusahaan.”Adhitama tersenyum tipis. “Baguslah kalau begitu. Orang seperti Papamu itu biasanya hanya menggertak. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk bicara, aku pasti akan membantu,” ucapnya.“Terima kasih,
Di tengah hujan gerimis yang mengguyur kota, Mahira duduk di kursi penumpang mobil Andre sambil membuka jendela, membiarkan angin segar bercampur bau aspal basah masuk ke dalam mobil.Di tengah perjalanan menuju kos, tiba-tiba Mahira berkata, “Apa bisa berhenti sebentar di minimarket depan? Aku mau beli beberapa makanan buat stok di kos.”Andre mengangguk tanpa banyak bicara, lalu memutar setir ke arah minimarket yang Mahira maksud. Mobil itu melambat dan berhenti di depan minimarket yang terlihat ramai. Mahira keluar lebih dulu, lalu menoleh ke Andre yang masih duduk di kursi kemudi.“Yuk, ikut," ajaknya. Andre sebenarnya malas keluar mobil, tapi entah kenapa dia mengiyakan saja ajakan Mahira."Kamu kalau mau beli sesuatu boleh. Aku traktir, kamu pilih apa aja yang kamu mau.” Senyum Mahira mengembang. Pikirnya, Andre sudah banyak membantu jadi tidak ada salahnya mengeluarkan beberapa puluh ribu untuk membelikan pemuda itu sesuatu.Andre menghela napas sambil menggeleng. "Nggak usah.
Mahira duduk di ruang kecil kantor My Lily, matanya terus melirik jam dinding. Risha belum juga datang, dan dia sudah tidak sabar untuk meminta izin pada ibunda Lily itu.Meski terdengar keterlaluan, tapi Mahira berniat mengajukan diri agar diizinkan melakukan live penjualan sepanjang hari.Mahira masih menunggu dengan cemas, hingga Risha muncul dengan senyum maanis.“Pagi,” sapa Risha ke semua stafnya. Wanita itu berjalan ke ruang kerjanya dan disusul oleh Mahira.“Bu Risha, permisi. Apa saya boleh bicara?”Ucapan Mahira membuat Risha menghentikan langkah lalu menoleh.“Bicara apa?” tanya Risha dengan kening berkerut halus.“Begini Bu Risha. Saya mau meminta izin, boleh tidak hari ini saya mengambil alih live dari pagi sampai petang? Maksimal delapan jam.”Risha mengangkat alis, kaget dengan permintaan itu. “Kenapa tiba-tiba kamu ingin live selama itu?”Mahira menarik napas panjang, matanya sedikit berkaca-kaca. “Saya butuh uang, Bu. Papa saya … papa saya ditangkap polisi.”Risha ter
Lain di mulut lain di hati. Meski terlihat tak peduli, nyatanya Andre tidak benar-benar bisa mengabaikan Mahira. Malam itu, meskipun memaksakan diri untuk tidur, pikiran Andre tetap berkelana, memikirkan Mahira dan apa yang mungkin sedang terjadi.Pagi harinya, Andre bangun dengan perasaan yang masih sama. Namun, dia tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaannya kepada siapapun, termasuk ibunya.Andre bangkit dari tempat tidur dengan mata berat. Ponselnya tergeletak di meja dengan layar hitam tanpa notifikasi baru. Dia memegangnya lagi, ragu sejenak sebelum mengetik pesan lain untuk Mahira.[Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja.]Setelah mengirim pesan itu, Andre termenung, berharap balasannya kali ini datang.Namun, keheningan tetap mengisi ruang kamarnya. Andre mendesah berat, merasa bersalah tapi masih enggan mengakui."Apa aku harus ke sana langsung?" gumamnya. Pikiran tentang Mahira di kos seorang diri terus menghantui Andre.***Matahari baru saja muncul, memancarkan sin