Risha mengajak Lily pergi ke rumah Audrey. Seperti keinginan Lily, mereka membawa banyak makanan ke sana karena Lily bercerita jika kasihan kepada pengawalnya itu. Mereka datang saat pagi di hari Minggu yang cerah. Sebelumnya Risha dan Lily mengantar Adhitama ke lapangan golf, lalu pergi ke alamat rumah Audrey yang Risha miliki. “Bener ini rumahnya,” gumam Risha sambil mengecek kembali alamat rumah yang dipegangnya. Risha dan Lily turun, lalu Risha mengetuk beberapa kali pintu rumah itu tapi tidak ada jawaban. “Mungkin Kak Audrey tidak di rumah, gimana kalau lain waktu saja kita datang lagi? Sekarang kita pulang dulu?” tanya Risha pada sang putri. Lily tampak kecewa tidak bisa bertemu Audrey, lalu mengangguk patuh. Risha menggandeng Lily menuju mobil. Tanpa Risha sadari, Audrey yang keluar rumah untuk lari pagi ternyata melihat Risha dan Lily dari kejauhan. Namun, bukannya menemui, dia malah sengaja bersembunyi. Risha dan Lily kembali ke lapangan golf untuk menunggu A
Hari itu, Risha dan Adhitama berencana mengajak Lily pergi ke dokter lain. Hari itu wajah Risha tampak pucat seperti tak sehat. Risha tak mengalami morning sickness yang parah, tapi tetap saja kondisi ini membuat Adhitama cemas. "Apa tidak sebaiknya kamu istirahat di rumah saja? Atau lain hari saja kita perginya?" tanya Adhitama sambil meraih tangan Risha. "Aku baik-baik saja kok Mas," balas Risha, "Kita tidak boleh menunda pemeriksaan Lily," imbuhnya. Akhirnya mereka tetap pergi meski kondisi Risha agak kurang baik. Adhitama dan Risha menuju rumah sakit yang berbeda dari sebelumnya untuk bertemu dengan dokter spesialis anak.Mereka lantas menjelaskan dari awal gejala dan kondisi Lily tapi tidak jujur bahwa sudah mendapat vonis dari dokter lain. “Dia sering mimisan, Dok,” kata Adhitama. “Apa sebelumnya sudah pernah diperiksa?” tanya dokter karena melihat Lily yang tampak baik-baik saja. “Belum, Dok.” Risha berbohong agar Lily mendapat pemeriksaan dan diagnosa lagi. “Papa say
Di Mahesa Grup Alma tampak berdiri di depan pintu ruangan Haris. Dia menghela napas kasar lalu mengetuk pintu sebelum membukanya. “Pak, saya pamit pulang dulu,” ucap Alma dari ambang pintu. Haris menatap Alma. Sekretarisnya itu ingin langsung pergi tapi Haris lebih dulu mencegah. “Bisa tunggu sebentar? Ada yang ingin kutanyakan padamu.” Haris mencoba memberanikan diri membicarakan tentang kejadian malam itu di rumahnya saat dia mabuk. Alma terdiam. Dia ragu tapi memilih mengangguk mengiyakan. Alma masuk ruangan. Lalu berdiri di depan meja Haris. “Soal malam itu, apa terjadi sesuatu di antara kita? Apa aku melakukan sesuatu yang buruk padamu? Kamu tahu,seperti aku memaksamu tidur denganku?” tanya Haris dengan cepat agar Alma tidak menyela. Alma terkejut mendengar ucapan Haris. Dia panik tapi berusaha tetap tenang. “Apa Anda serius menanyakan ini pada saya?" tanya Alma. "Saya yakin Anda malam itu sedang berhalusinasi karena mabuk,” imbuhnya.Haris memilih diam, tapi dia memanda
Hari itu menjadi hari yang menegangkan karena Risha dan Adhitama harus pergi ke rumah sakit untuk melihat hasil tes darah Lily. Risha dan Adhitama menunggu giliran karena kebetulan hari itu banyak pasien yang datang. Risha sesekali meremas jemarinya, dia benar-benar takut jika kondisi Lily memang buruk, selama hasil laboratorium dari dokter baru ini belum keluar, Risha berharap ada keajaiban. “Kita harus benar-benar memprioritaskan Lily jika memang kondisinya tidak baik. Aku akan melakukan segala cara agar Lily sembuh,” ucap Risha karena sangat cemas. Adhitama melihat Risha yang gelisah. Dia menggenggam telapak tangan Risha untuk menenangkan. “Iya,” balas Adhitama, “kamu jangan berpikir macam-macam dulu. Ingat kamu semalam yakin akan ada keajaiban untuk Lily," imbuh Adhitama. Risha menatap pada Adhitama, lalu menganggukkan kepala. Akhirnya giliran mereka bertemu dokter tiba. Risha dan Adhitama kini sudah di dalam ruangan, duduk berhadapan dengan dokter yang sedang membu
Sementara itu Kakek Roi langsung ke rumah sakit begitu mendapat kabar soal kondisi Risha. Dia tiba di rumah sakit dengan ekspresi wajah cemas. Kakek Roi panik memikirkan jika terjadi hal buruk ke cucu dan calon cicitnya.“Di mana ruang pasien bernama Risha?” tanya Kakek Roi saat berada di pusat layanan informasi rumah sakit.Perawat yang berjaga di sana mengecek, lalu memberitahu kamar Risha.Kakek Roi mengangguk lalu dia segera pergi ke kamar yang tadi disebutkan bersama asistennya yang takut pria itu terjerembap karena jalan tergesa-gesa.Sesampainya di depan kamar inap Risha, Kakek Roi terlihat ragu. Dia sejenak diam, lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan pelan, mempersiapkan diri sebelum akhirnya mengetuk.Kakek Roi masuk ruangan itu. Dia melihat Risha yang berbaring dengan wajah pucat dan terlihat lemas.Risha menatap Kakek Roi yang datang dan tersenyum tapi terlihat seperti dipaksakan.Kakek Roi terlihat canggung, lalu bertanya, “Di mana Adhitama?”“Dia sedang menemui
Siang itu Audrey menjemput Lily di sekolah. Saat masuk mobil, Lily terlihat murung.Lily sedih memikirkan sang bunda yang harus masuk rumah sakit lagi.“Ada apa?” tanya Audrey merasa aneh dengan sikap Lily.Lily menoleh pada Audrey, lalu kembali menunduk.“Lily sedih, soalnya Bunda sering sakit. Dulu Bunda nggak sakit-sakitan, sekarang terus-terusan sakit.” Lily bicara dengan nada sedikit bergetar.Audrey mendengarkan cerita Lily dengan simpati. Dia kasihan apalagi Lily seperti ingin menangis.“Lily tidak usah sedih. Bunda pasti akan segera sembuh,” ujar Audrey menenangkan.Lily menoleh Audrey, lalu mengangguk-angguk kecil.“Bagaimana kalau pergi ke taman dan makan es krim biar Lily merasa lebih baik?” tanya Audrey menawari.Lily terlihat malas, tapi tetap mengangguk-angguk setuju.Audrey mengajak Lily ke taman bermain. Di sana Lily duduk di ayunan dan terlihat senang. Bahkan senyum Lily begitu lebar seperti biasanya.Audrey lega saat melihat Lily lebih baik dan murung seperti tadi.
Siang itu Alma berada di ruangan Haris, seperti biasa tujuannya untuk menyerahkan beberapa berkas yang perlu ditandatangani Haris, juga mengambil dokumen yang sudah selesai atasannya itu periksa.Alma tak banyak bicara, dia memegang berkas yang sudah diambilnya lantas memutar tumit.Namun, langkah Alma terhenti saat dia mendengar suara Haris.“Aku ingin serius bertanya padamu. Kenapa kamu tidak mau menjelaskan apa yang terjadi malam itu?” tanya Haris sedikit menekan.Alma menghela napas diam-diam sebelum kembali menoleh pada Haris.“Karena memang tidak ada yang perlu saya jelaskan, Pak.” Alma kukuh tak mau membahas tentang malam itu.Haris mendengkus kasar, lalu bicara lagi.“Tapi setelah malam itu sikapmu jadi aneh dan mencurigakan. Bahkan kamu terkesan menjauh dan tidak seperti dulu padaku,” ucap Haris dengan tatapan serius.“Itu hanya perasaan Anda saja Pak, saya masih Alma sekretaris Anda. Coba Anda pikirkan lagi Pak, jika malam itu terjadi hal aneh, apa iya saya masih bisa bekerj
Adhitama duduk di samping Risha yang terbaring lemah di tempat tidur. Dia menatap nanar pada Risha yang terlihat sangat tidak baik. Wajahnya begitu pucat dan terlihat kuyu, tentu saja Adhitama tidak tega melihat Risha seperti ini. “Kehamilan Bu Risha saat ini sangat mengancam nyawanya jika tetap dipertahankan.” Adhitama mengingat ucapan dokter yang diam-diam memberitahunya tentang kondisi Risha yang sebenarnya. Tentu saja hal itu membuat Adhitama semakin miris, rasanya sakit membayangkan Risha mengambil resiko hanya untuk mempertahankan janin itu. “Kenapa wajah Mas Tama tegang seperti ini?” tanya Risha saat melihat Adhitama sangat gelisah. Adhitama mencium punggung tangan Risha, lalu menatap penuh kasih sayang dan berkata, “Aku sangat mencintaimu Sha dan aku takut kehilanganmu.” Risha terdiam. “Aku sudah bicara dengan dokter, kondisimu tidak baik untuk tetap mengandung. Bagaimana kalau kamu mempertimbangkan mengakhiri kehamilan ini demi keselamatanmu?” Adhitama mencoba mem
Risha dan Adhitama berjalan beriringan masuk ke sekolah Lily pagi itu. Mereka terlihat beberapa kali berhenti untuk berbicara dengan orangtua teman Lily yang juga datang ke sekolah.Hari itu acara kelulusan murid digelar, Risha sudah tidak sabar melihat bagaimana penampilan putri kecilnya di atas pentas.Risha duduk sambil harap-harap cemas menunggu acara dimulai.“Dia tidak akan membuat kesalahan ‘kan?” tanya Risha sambil meremas tangan. Padahal Lily yang akan tampil, tapi dia yang grogi.Adhitama yang melihat Risha beberapa kali menggigit bibir bawah hanya tersenyum, dia meraih tangan sang istri yang ada di atas paha lalu menggenggamnya erat.“Dingin sekali, kenapa kamu yang gugup begini?” tanya Adhitama.“Aku hanya khawatir. Lihat saja banyak orang begini, bagaimana kalau dia takut hingga membuat kesalahan. Dia pasti sedih dan bisa kehilangan rasa percaya diri, ini penampilan pertamanya di depan banyak orang,” jawab Risha.“Kamu harus yakin ke Lily, dia pasti bisa. Calon penerus Ma
Sore itu, Andre duduk di meja kerjanya sambil menatap layar laptop. Pekerjaan hari itu hampir selesai, tetapi ada satu hal lagi yang harus dia urus sebelum meminta izin pulang ke Adhitama.Andre melihat jam di tangannya, sudah hampir pukul lima sore. Andre menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri dan melangkah ke ruangan Adhitama.“Pak, apa saya bisa bicara sebentar?” kata Andre, mencoba terdengar tenang meskipun ada sedikit kegugupan di suaranya.Adhitama yang masih berkutat dengan layar laptop menjawab, “Tentu. Ada apa?”“Saya mau minta izin, Pak. Lusa rencananya saya ingin mengambil cuti untuk jalan-jalan sebentar. Sudah lama saya tidak liburan."Adhitama sedikit terkejut mendengar permintaan Andre. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak lalu memandang sekretarisnya itu. “Jalan-jalan? Ke mana? Memang kamu sudah punya pacar?” goda Adhitama.Andre tertawa kecil mendengar pertanyaan sang atasan. Pemuda itu sedikit berkilah dengan menjawab, “Memang pergi jalan-jalan harus bersama pacar
Seminggu kemudian Alma dan Haris mengadakan syukuran atas kelahiran anak mereka.Syukuran di rumah mereka berjalan meriah. Tamu-tamu yang datang silih berganti, membawa suasana hangat penuh canda tawa.Alma, yang baru saja melahirkan putra pertamanya, tampak bahagia menyambut satu per satu tamu yang hadir.Andre melangkah masuk dengan senyum kecil di wajah. Berbaur dengan tamu-tamu lain yang sebagian besar dia kenal. Namun, saat melihat sosok gadis yang tengah mengobrol di sudut lain ruangan, Andre segera berjalan mendekatinya. Ia sudan lama tak bertemu dengan Mahira, tapi dia sebenarnya sudah menduga pasti akan bertemu dengan Mahira di rumah Alma."Andre! Lama nggak ketemu. Apa kabar?" tanya Mahira sambil tersenyum lebar.Andre mengangguk kecil. "Baik. Kamu gimana?""Aku? Baik juga. Ngomong-ngomong, kabar mamamu gimana? Sehat kan?""Sehat kok," jawab Andre.Mereka terlihat canggung, Mahira bahkan ingin menjauh tapi entah kenapa ada perasaan yang membuatnya ingin terus mengobrol denga
Risha baru saja keluar dari kamar Lily malam itu. Dia berjalan pelan sambil memandang pintu ruang kerja Adhitama. Risha ragu mungkinkah Adhitama masih berada di sana atau sudah kembali ke kamar mereka. Risha mengedikkan bahu, memilih mempercepat langkah menuju kamar tidur. Baru saja menutup pintu, Adhitama membuat Risha terkejut karena sudah berada di dalam. “Astaga Mas Tama!” pekik Risha setelah sebelumnya berjengket karena kaget. “Kamu itu kenapa?” Adhitama terkekeh kecil lalu menekuk tangan di depan dada. “Aku pikir Mas masih di ruang kerja,” balas Risha sambil naik ke atas ranjang lalu duduk di samping Adhitama. “Apa ada masalah lagi di Mahesa?” tanyanya penuh perhatian. “Tidak ada, hanya mengecek dan memastikan sesuatu.” Adhitama membalas sambil melingkarkan tangan melewati punggung Risha, memberi isyarat kalau dia ingin memeluk istrinya itu. “Bagaimana Pembangunan kantor dan pabrik barumu? Bukankah seharusnya bulan depan pabrik sudah bisa mulai beroperasi?” tanya Adhitama
“Sudah sayang, kamu sudah cantik!”Ucapan Adhitama membuat Risha menoleh dan tersenyum. Adhitama berjalan mendekat pada Risha yang masih mematut diri di depan cermin, memeluk pinggang lalu mencium pundak istrinya itu.“Lily sudah siap?” tanya Risha sambil memandang Adhitama dari pantulan kaca di hadapannya.“Sudah, dia senang sekali mendengar kita mau mengajaknya pergi belanja,” balas Adhitama. “Ternyata semua wanita sama, suka sekali dengan hal berbau materi,” imbuhnya.Risha tertawa lebar, dia memutar tubuh lalu memandang Adhitama yang semakin hari semakin terlihat menawan di matanya.“Jadi selama ini Mas Tama pikir aku ini matre? Begitu?” goda Risha.“Hm .. bagaimana aku menjawab? Yang pasti aku bahagia bisa memberimu segalanya.” Adhitama meraih pinggang Risha. Menarik tubuh wanita itu hingga menempel padanya.“Aku hanya butuh Mas cintai dan jadikan satu-satunya wanita di dalam hidup Mas Tama,” ujar Risha. Senyum tipis dan tatapan matanya yang penuh cinta melenakan Adhitama hingga
Andre sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa laporan yang harus diserahkan ke Adhitama saat atasannya itu baru saja datang.Andre langsung berdiri dan menyapa dengan sopan. “Selamat pagi, Pak.”"Pagi, ikut ke ruanganku, ada yang mau aku bicarakan," ucap Adhitama seraya melangkah masuk.Andre mengangguk, dia berdiri dari kursinya kemudian menyusul Adhitama. Meskipun terdengar serius, tapi raut Adhitama tidak tampak mengintimidasi."Aku mendengar dari pengacara kalau masalah dengan ayahmu itu belum ada titik temu, bagaimana perkembangannya?” tanya Adhitama.Andre menarik napas dalam sebelum menjawab. “Sebenarnya semalam saya bertemu dengannya, yang bisa saya baca dia mulai terlihat khawatir. Mungkin karena saya bilang bekerja di Mahesa dan memiliki dukungan penuh dari perusahaan.”Adhitama tersenyum tipis. “Baguslah kalau begitu. Orang seperti Papamu itu biasanya hanya menggertak. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk bicara, aku pasti akan membantu,” ucapnya.“Terima kasih,
Di tengah hujan gerimis yang mengguyur kota, Mahira duduk di kursi penumpang mobil Andre sambil membuka jendela, membiarkan angin segar bercampur bau aspal basah masuk ke dalam mobil.Di tengah perjalanan menuju kos, tiba-tiba Mahira berkata, “Apa bisa berhenti sebentar di minimarket depan? Aku mau beli beberapa makanan buat stok di kos.”Andre mengangguk tanpa banyak bicara, lalu memutar setir ke arah minimarket yang Mahira maksud. Mobil itu melambat dan berhenti di depan minimarket yang terlihat ramai. Mahira keluar lebih dulu, lalu menoleh ke Andre yang masih duduk di kursi kemudi.“Yuk, ikut," ajaknya. Andre sebenarnya malas keluar mobil, tapi entah kenapa dia mengiyakan saja ajakan Mahira."Kamu kalau mau beli sesuatu boleh. Aku traktir, kamu pilih apa aja yang kamu mau.” Senyum Mahira mengembang. Pikirnya, Andre sudah banyak membantu jadi tidak ada salahnya mengeluarkan beberapa puluh ribu untuk membelikan pemuda itu sesuatu.Andre menghela napas sambil menggeleng. "Nggak usah.
Mahira duduk di ruang kecil kantor My Lily, matanya terus melirik jam dinding. Risha belum juga datang, dan dia sudah tidak sabar untuk meminta izin pada ibunda Lily itu.Meski terdengar keterlaluan, tapi Mahira berniat mengajukan diri agar diizinkan melakukan live penjualan sepanjang hari.Mahira masih menunggu dengan cemas, hingga Risha muncul dengan senyum maanis.“Pagi,” sapa Risha ke semua stafnya. Wanita itu berjalan ke ruang kerjanya dan disusul oleh Mahira.“Bu Risha, permisi. Apa saya boleh bicara?”Ucapan Mahira membuat Risha menghentikan langkah lalu menoleh.“Bicara apa?” tanya Risha dengan kening berkerut halus.“Begini Bu Risha. Saya mau meminta izin, boleh tidak hari ini saya mengambil alih live dari pagi sampai petang? Maksimal delapan jam.”Risha mengangkat alis, kaget dengan permintaan itu. “Kenapa tiba-tiba kamu ingin live selama itu?”Mahira menarik napas panjang, matanya sedikit berkaca-kaca. “Saya butuh uang, Bu. Papa saya … papa saya ditangkap polisi.”Risha ter
Lain di mulut lain di hati. Meski terlihat tak peduli, nyatanya Andre tidak benar-benar bisa mengabaikan Mahira. Malam itu, meskipun memaksakan diri untuk tidur, pikiran Andre tetap berkelana, memikirkan Mahira dan apa yang mungkin sedang terjadi.Pagi harinya, Andre bangun dengan perasaan yang masih sama. Namun, dia tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaannya kepada siapapun, termasuk ibunya.Andre bangkit dari tempat tidur dengan mata berat. Ponselnya tergeletak di meja dengan layar hitam tanpa notifikasi baru. Dia memegangnya lagi, ragu sejenak sebelum mengetik pesan lain untuk Mahira.[Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja.]Setelah mengirim pesan itu, Andre termenung, berharap balasannya kali ini datang.Namun, keheningan tetap mengisi ruang kamarnya. Andre mendesah berat, merasa bersalah tapi masih enggan mengakui."Apa aku harus ke sana langsung?" gumamnya. Pikiran tentang Mahira di kos seorang diri terus menghantui Andre.***Matahari baru saja muncul, memancarkan sin