Hari itu menjadi hari yang menegangkan karena Risha dan Adhitama harus pergi ke rumah sakit untuk melihat hasil tes darah Lily. Risha dan Adhitama menunggu giliran karena kebetulan hari itu banyak pasien yang datang. Risha sesekali meremas jemarinya, dia benar-benar takut jika kondisi Lily memang buruk, selama hasil laboratorium dari dokter baru ini belum keluar, Risha berharap ada keajaiban. “Kita harus benar-benar memprioritaskan Lily jika memang kondisinya tidak baik. Aku akan melakukan segala cara agar Lily sembuh,” ucap Risha karena sangat cemas. Adhitama melihat Risha yang gelisah. Dia menggenggam telapak tangan Risha untuk menenangkan. “Iya,” balas Adhitama, “kamu jangan berpikir macam-macam dulu. Ingat kamu semalam yakin akan ada keajaiban untuk Lily," imbuh Adhitama. Risha menatap pada Adhitama, lalu menganggukkan kepala. Akhirnya giliran mereka bertemu dokter tiba. Risha dan Adhitama kini sudah di dalam ruangan, duduk berhadapan dengan dokter yang sedang membu
Sementara itu Kakek Roi langsung ke rumah sakit begitu mendapat kabar soal kondisi Risha. Dia tiba di rumah sakit dengan ekspresi wajah cemas. Kakek Roi panik memikirkan jika terjadi hal buruk ke cucu dan calon cicitnya.“Di mana ruang pasien bernama Risha?” tanya Kakek Roi saat berada di pusat layanan informasi rumah sakit.Perawat yang berjaga di sana mengecek, lalu memberitahu kamar Risha.Kakek Roi mengangguk lalu dia segera pergi ke kamar yang tadi disebutkan bersama asistennya yang takut pria itu terjerembap karena jalan tergesa-gesa.Sesampainya di depan kamar inap Risha, Kakek Roi terlihat ragu. Dia sejenak diam, lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan pelan, mempersiapkan diri sebelum akhirnya mengetuk.Kakek Roi masuk ruangan itu. Dia melihat Risha yang berbaring dengan wajah pucat dan terlihat lemas.Risha menatap Kakek Roi yang datang dan tersenyum tapi terlihat seperti dipaksakan.Kakek Roi terlihat canggung, lalu bertanya, “Di mana Adhitama?”“Dia sedang menemui
Siang itu Audrey menjemput Lily di sekolah. Saat masuk mobil, Lily terlihat murung.Lily sedih memikirkan sang bunda yang harus masuk rumah sakit lagi.“Ada apa?” tanya Audrey merasa aneh dengan sikap Lily.Lily menoleh pada Audrey, lalu kembali menunduk.“Lily sedih, soalnya Bunda sering sakit. Dulu Bunda nggak sakit-sakitan, sekarang terus-terusan sakit.” Lily bicara dengan nada sedikit bergetar.Audrey mendengarkan cerita Lily dengan simpati. Dia kasihan apalagi Lily seperti ingin menangis.“Lily tidak usah sedih. Bunda pasti akan segera sembuh,” ujar Audrey menenangkan.Lily menoleh Audrey, lalu mengangguk-angguk kecil.“Bagaimana kalau pergi ke taman dan makan es krim biar Lily merasa lebih baik?” tanya Audrey menawari.Lily terlihat malas, tapi tetap mengangguk-angguk setuju.Audrey mengajak Lily ke taman bermain. Di sana Lily duduk di ayunan dan terlihat senang. Bahkan senyum Lily begitu lebar seperti biasanya.Audrey lega saat melihat Lily lebih baik dan murung seperti tadi.
Siang itu Alma berada di ruangan Haris, seperti biasa tujuannya untuk menyerahkan beberapa berkas yang perlu ditandatangani Haris, juga mengambil dokumen yang sudah selesai atasannya itu periksa.Alma tak banyak bicara, dia memegang berkas yang sudah diambilnya lantas memutar tumit.Namun, langkah Alma terhenti saat dia mendengar suara Haris.“Aku ingin serius bertanya padamu. Kenapa kamu tidak mau menjelaskan apa yang terjadi malam itu?” tanya Haris sedikit menekan.Alma menghela napas diam-diam sebelum kembali menoleh pada Haris.“Karena memang tidak ada yang perlu saya jelaskan, Pak.” Alma kukuh tak mau membahas tentang malam itu.Haris mendengkus kasar, lalu bicara lagi.“Tapi setelah malam itu sikapmu jadi aneh dan mencurigakan. Bahkan kamu terkesan menjauh dan tidak seperti dulu padaku,” ucap Haris dengan tatapan serius.“Itu hanya perasaan Anda saja Pak, saya masih Alma sekretaris Anda. Coba Anda pikirkan lagi Pak, jika malam itu terjadi hal aneh, apa iya saya masih bisa bekerj
Adhitama duduk di samping Risha yang terbaring lemah di tempat tidur. Dia menatap nanar pada Risha yang terlihat sangat tidak baik. Wajahnya begitu pucat dan terlihat kuyu, tentu saja Adhitama tidak tega melihat Risha seperti ini. “Kehamilan Bu Risha saat ini sangat mengancam nyawanya jika tetap dipertahankan.” Adhitama mengingat ucapan dokter yang diam-diam memberitahunya tentang kondisi Risha yang sebenarnya. Tentu saja hal itu membuat Adhitama semakin miris, rasanya sakit membayangkan Risha mengambil resiko hanya untuk mempertahankan janin itu. “Kenapa wajah Mas Tama tegang seperti ini?” tanya Risha saat melihat Adhitama sangat gelisah. Adhitama mencium punggung tangan Risha, lalu menatap penuh kasih sayang dan berkata, “Aku sangat mencintaimu Sha dan aku takut kehilanganmu.” Risha terdiam. “Aku sudah bicara dengan dokter, kondisimu tidak baik untuk tetap mengandung. Bagaimana kalau kamu mempertimbangkan mengakhiri kehamilan ini demi keselamatanmu?” Adhitama mencoba mem
Pagi itu sebelum berangkat ke kantor, Haris menyempatkan diri menjenguk Risha di rumah sakit. Tak banyak yang Haris sampaikan, dia tidak mau membuat Risha atau Adhitama salah paham hingga hanya berbicara seperlunya.Beberapa menit kemudian Haris keluar dari kamar rawat Risha, dia pamit pulang disusul Adhitama di belakangnya. “Bagaimana sebenarnya kondisi Risha? Dia baik-baik saja kan?” tanya Haris saat mereka sudah berada di luar. “Tidak baik. Bahkan dokter menyarankan agar Risha tidak mempertahankan calon adik Lily, tapi Risha kekeh ingin mencoba mempertahankannya. Padahal dia juga tahu kalau nyawanya yang akan jadi taruhan,” jawab Adhitama dengan ekspresi wajah sedih. Haris bersimpati. Dia tahu betul bagaimana kondisi kehamilan Risha dulu dan sekarang terulang lagi, bahkan lebih parah. “Aku harap kalian mendapat jalan terbaik,” ucap Haris sambil menepuk lengan Adhitama. Adhitama hanya mengangguk. “Aku pergi dulu,” pamit Haris. Haris bersiap pergi, tapi setelah berjala
Setelah menunggu beberapa saat, Andre datang ke rumah sakit untuk mengantar berkas yang perlu ditandatangani Adhitama. Andre sudah sampai di kamar inap Risha dan langsung masuk setelah mengetuk pintu. Adhitama bersikap biasa. Dia menerima berkas itu lalu memeriksa sebelum menandatanganinya. Adhitama melirik Andre yang berdiri di hadapannya, dia berdeham pelan lalu memberikan berkas yang baru saja ditandatangani. “Apa benar kamu pacaran dengan Alma?” tanya Adhitama tiba-tiba. Andre terkejut. Dia menerima berkas dari Adhitama sambil memasang wajah bingung karena harus menjawab apa. “Apa bisa bicara di luar saja, Pak?” Andre merasa tidak enak karena ada Risha dan Lily di sana. Adhitama mengangguk, dia menepuk ke dua paha lalu berdiri dan mendahului Andre keluar, tapi sebelum itu Adhitama sempat melirik Risha yang menggeleng kecil seolah memberi kode padanya agar tidak menyebutkan Andre. Adhitama malah membalas Risha dengan senyuman nakal. Dia membuat Andre seketika menol
Siang itu di Rumah Sakit Jiwa, saat sedang berjalan menuju kamarnya. Sevia tiba-tiba ditarik pasien yang mengaku pura-pura gila seperti dirinya. Sevia terkejut, apalagi wanita itu menariknya ke sisi bangunan yang agak sepi. “Apa-apaan, sih?” tanya Sevia geram sambil menghempas tangan pasien itu. Pasien bernama Meli itu melipat kedua tangan di depan dada sambil tersenyum miring. Sevia menatap curiga, berpikir mau apa lagi Meli sampai menatapnya seperti itu. “Aku mendengar semua yang kamu bicarakan dengan perawat Ferdy!” Meli bicara lalu menyunggingkan senyum. Sevia terkejut, tapi berusaha tenang. “Oh... jadi kamu tukang nguping." Sevia menghina. "Terus, kamu mau apa?” tanyanya sambil menatap tak senang. “Aku akan bongkar rahasiamu, kalau kamu tidak mau menuruti keinginanku!” ancam Meli. Sevia menaikkan satu sudut alis, lalu membalas, “Kamu pikir aku bodoh?” “Tidak, kamu tidak bodoh,” balas Meli, “karena kamu tidak bodoh, makanya aku memintamu menuruti keinginanku. Berikan aku
Haris tertawa terbahak-bahak setelah Alma menceritakan tentang kecemasannya. Alma tidak memberitahu Haris bahwa pikirannya itu berasal dari ucapan Rara.“Apa kamu ingat golongan darah orang tuamu?” tanya Haris.“O dan B,” balas Alma.“Lalu golongan darahmu sendiri?”“B.” Alma menjawab singkat seperti orang yang takut membuat kesalahan.“Jadi coba kamu pikir, golongan darahku A, berapa persen kemungkinan aku ini sedarah denganmu? Ada-ada saja,” kata Haris.Pria itu lantas menutup laptopnya dan berdiri.“Sudah jangan berpikiran macam-macam, aku senang kamu bisa sampai di sini,” ujar Haris. “Tidak ada staf yang menggunjingmu lagi ‘kan?” tanyanya sambil merapikan rambut Alma yang sedikit berantakan.Alma merasa berdebar lagi seperti pagi tadi, pipinya bersemu merah.“Kita bisa pergi sekarang ‘kan?” Alma mundur satu langkah, dia tersenyum canggung lalu membalikkan badan.Alma buru-buru berjalan menjauhi Haris sambil memegang erat tali tas yang melingkar di depan dada.Haris buru-buru menyu
Pagi itu untuk pertama kali Haris merasa senang duduk di meja makan.Pembantu terus saja menggoda dengan berkata masakan Alma memang sangat luar biasa.Alma sendiri tersenyum malu mendengar pujian itu, dia duduk tepat di seberang Haris. Alma sesekali memandang pada Haris, pria mapan, tampan dan baik hati itu masih tidak dia percayai memiliki perasaan padanya.“Sepertinya makananmu itu tidak akan berkurang kalau kamu hanya melihatku, dan tidak menyuapkannya ke dalam mulut,” ucap Haris tanpa memandang ke Alma.Mendengar itu pembantu rumah tidak bisa menyembunyikan senyum, sedangkan Alma menunduk menahan malu.“Ini sudah berkurang banyak,” jawab Alma seraya menyembunyikan rasa malu.**Setelah sarapan Haris berangkat ke kantor dan Alma mengantarnya sampai ke depan.Meskipun ragu, tapi Alma memberanikan diri meminta izin ke Haris untuk pulang ke rumahnya hari itu.“Aku harus membereskan rumah, aku juga meninggalkan cucian piring kotor, jika tidak diurus bisa-bisa berjamur,” kata Alma.Ala
Alma tak menyangka Haris akan menahannya di rumah pria itu. Dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menerima dan mengikuti apa keinginan Haris. Bahkan seperti apa yang pria itu katakan, sudah ada banyak baju untuknya di sana.Meskipun agak canggung kepada pembantu rumah, tapi Alma mencoba untuk bersikap baik.Seperti pagi itu, dia bangun pagi lantas pergi ke dapur untuk membantu menyiapkan sarapan.Awalnya pembantu rumah Haris kaget bahkan memohon Alma untuk tidak melakukan itu. Namun, Alma bersikeras, dia berkata tidak mau menumpang dan makan secara cuma-cuma di sana.“Sudah sewajarnya, karena Mba Alma calon istri Tuan Haris.”Ucapan pembantu membuat Alma menghentikan gerakan tangannya memotong wortel, dia menoleh karena kaget.Bagaimana bisa pembantu rumah tahu kalau dia calon istri Haris?“Apa Pak Haris bilang aku ini calon istrinya?” tanya Alma setengah tak percaya.“Iya, dia bahkan meminta kami menjaga Mba Alma seperti menjaga keluarga sendiri,” kata pembantu itu. “Syukurlah kare
Keesokan harinya. Andre sudah bersiap pergi bersama Adhitama untuk mengurus masalah di anak cabang perusahaan Mahesa yang terdapat di Jogja.Mereka sarapan lebih dulu di restoran hotel, ada Risha dan Lily juga di sana.“Semalam Anda pergi ke mana, Pak?” tanya Andre. Dia tampak menekuk bibir saat melihat Adhitama hanya diam seolah tak mendengar pertanyaannya.“Kita jalan-jalan, Om Andre mau, tapi pas diketuk-ketuk pintunya, Om Andre tidak keluar,” jawab Lily.“Hampir saja aku pikir kamu mati di kamar,” ledek Adhitama, “tapi mendengar suara dengkuranmu yang seperti babi, aku yakin kamu hanya tidur,” imbuh Adhitama.Andre memasang wajah masam. Dia malu lalu melihat Risha yang tertawa.“Mana mungkin kamar di hotel bintang lima tidak kedap suara,” balas Andre.Adhitama dan Risha sama-sama menahan tawa.Andre memilih menyantap makanannya, saat itu dia melihat Mahira masuk restoran bersama kedua orang tuanya.Lily melihat Mahira, dia menatap benci karena sudah dibuat menangis oleh gadis itu
Ternyata, saat Andre tidur, Adhitama mengajak Risha dan Lily pergi keluar. Mereka pergi ke alun-alun kidul Jogja dan duduk-duduk di sana.Lily sangat senang. Anak itu sibuk bermain gelembung sabun sampai tertawa begitu bahagia. Dia berlari-lari sambil tertawa senang mengejar gelembung yang berterbangan tertiup angin.“Padahal sudah malam, tapi anak-anak masih betah main begituan,” kata Risha mengamati beberapa anak kecil yang juga bermain gelembung seperti Lily.“Namanya juga anak-anak,” balas Adhitama.Mereka duduk memakai tikar plastik yang tadi dibeli dari penjual seharga sepuluh ribu. Risha hanya tersenyum menanggapi balasan Adhitama dan terus memperhatikan Lily yang sedang bermain.Sudah lama tidak melihat Lily sesenang itu saat berlarian. Risha lega putrinya bisa kembali ceria. Risha masih memandang ke arah Lily, lalu melihat anak itu berbicara dengan anak kecil seusianya.Adhitama juga memperhatikan sang putri, sebelum memalingkan pandangan lalu menyandarkan kepala di pundak Ri
Sesampainya di Jogja, Adhitama meminta sopir yang menjemput untuk mengantar mereka ke hotel yang sudah Adhitama pesan. “Kenapa tidak ke rumah?” tanya Risha terkejut. Andre tampak biasa. Dia hanya melirik sekilas ke Adhitama yang duduk di belakang bersama Risha dan Lily. “Kemarin kamu bilang pembantumu sedang ke luar kota, jadi tidak ada yang membersihkan rumah. Aku takut rumahnya berdebu dan kalian bisa alergi,” ujar Adhitama menjelaskan. “Aku sudah bilang kalau Si mbok udah balik ke rumah,” kata Risha mengingatkan. “Aku sudah terlanjur booking kamar, sudah menginap saja di hotel, lagi pula hanya beberapa hari,” balas Adhitama tetap kukuh menginap di hotel. Risha menghela napas kasar. Akhirnya dia pasrah saja. Mereka sampai di hotel dan langsung pergi ke kamar yang dipesan. Saat Andre hendak masuk kamar, Adhitama mencegah asistennya itu. “Aku mau bicara sebentar,” kata Adhitama. “Apa, Pak?” tanya Andre. “Aku nitip Lily,” kata Adhitama lalu berlalu pergi. Andre terkejut kar
Pagi itu. Adhitama bersiap-siap untuk pergi ke perusahaan. Dia sedang mengikat dasi, lalu menoleh pada Risha yang sedang mengambilkan jas miliknya. “Oh ya sayang, aku akan pergi ke Jogja untuk mengurus pekerjaan,” kata Adhitama. Risha mengambil jas yang tergantung di lemari, lalu menoleh pada Adhitama sambil bertanya, “Kapan Mas Tama pergi? Aku mau ikut, sekalian melihat kantor di sana.” “Tapi bukan weekend, lusa aku berangkat,” jawab Adhitama. “Ya sudah, tidak apa-apa. Nanti aku ikut sama Lily juga, sekali-kali Lily libur juga tidak apa-apa. Sepertinya dia juga butuh liburan,” ucap Risha. “Oke kalau begitu. Nanti akan aku minta Andre untuk memesankan tiket untuk kalian juga,” ujar Adhitama sambil mengembangkan senyum. “Iya, tapi jangan beritahu Lily dulu ya Mas, takutnya dia nanti heboh." Risha tahu bagaimana sifat Lily, bisa-bisa anak itu akan menanyakan setiap detik kapan mereka pergi. Adhitama tersenyum penuh arti kemudian mengangguk paham. Adhitama akhirnya berangkat ke
Setelah makan malam yang sedikit menegangkan itu, Haris dan Alma beranjak pulang. Risha dan Adhitama juga memilih mengantar keduanya sampai ke halaman. “Hati-hati di jalan,” ucap Risha bersamaan dengan Haris dan Alma yang berjalan menuju mobil.Alma mengangguk lalu masuk mobil, begitu juga dengan Haris.Haris melajukan mobil meninggalkan rumah Risha. Sepanjang perjalanan, Haris melihat Alma terus saja diam. Sikap Alma membuatnya berpikir, apakah gadis itu marah karena tindakan tegasnya ke staf HRD.“Apa kamu marah?” tanya Haris untuk memastikan.“Tidak,” jawab Alma dengan suara agak lirih.Haris diam sejenak, berpikir jika Alma sudah menjawab seperti itu artinya dia tidak perlu memperpanjang masalah.“Bagaimana tadi, apa kamu sudah dapat baju untuk pernikahan kita?” tanya Haris. Untuk memecah rasa canggung dia memilih membahas hal lainnya.“Belum karena tadi Kak Risha harus menjemput Lily yang sakit,” jawab Alma dengan suara datar.Haris merasa Alma bersikap sedikit aneh. Dia kembal
Tanpa memberitahu, Malam harinya Haris menjemput Alma di rumah Risha. Saat sampai di sana, dia pergi ke kamar Lily dan bocah itu langsung meminta gendong karena masih sakit. “Kenapa badannya hangat?” tanya Haris saat menggendong Lily. “Dia demam, makanya tadi dijemput dari sekolah,” jawab Risha. Haris kaget, lalu menoleh Lily yang menyandarkan kepala di pundak. “Lily sakit? Sudah minum obat belum?” tanya Haris. “Sudah,” jawab Lily. "Lily bobok aja ya." Haris membujuk. Lily menggeleng lalu berkata," Lily maunya digendong Paman Haris.” Haris memeluk Lily, membiarkan anak itu bersikap manja, lalu kembali membujuk dan mengajak Lily berbaring di kasur. Haris mengambil buku cerita di nakas kemudian membacakan cerita untuk Lily. Alma juga ada di sana, ikut mendengarkan Haris bercerita. “Aku tinggal sebentar,” kata Risha pamit dan Alma membalasnya dengan anggukan kepala. Risha berjalan keluar dari kamar Lily. Saat menuruni anak tangga, dia melihat Adhitama yang baru