Hari itu Rara pergi ke penjara. Dia sudah duduk menunggu di ruang kunjungan, lalu beberapa saat kemudian Arin masuk ruangan itu dengan kedua tangan terborgol. “Bagaimana kabar Mama?” tanya Rara saat Arin sudah duduk berhadapan dengannya. “Menurutmu? Apa kamu tidak bisa menilai sendiri? Kamu pikir mama baik-baik saja?” Arin agak sewot karena kesal. Rara hanya menghela napas kasar mendengar jawaban Arin. Ya, dia menganggap jika Arin hanya tertekan karena mendekam dan terkekang di penjara. “Kenapa papamu tidak datang ke sini menjenguk mama?” tanya Arin karena selama dirinya ditahan, Roshadi sama sekali belum menemuinya. “Mama berharap apa? Tentu saja Papa sangat kecewa karena itu tidak mau menjenguk Mama,” jawab Rara, “aku sudah memperingatkan agar Mama tidak terlibat, tapi Mama tidak mengindahkan ucapanku,” imbuh Rara. Andai Arin percaya pada Rara dan tidak mengikuti rencana Sevia, pasti Arin masih bisa hidup enak. Sekarang Arin harus menerima hukuman dengan tidur di tempat dingi
Adhitama mengerutkan kening, dia bingung dengan arah pembicaraan Kakek Roi saat ini. "Apa maksud Kakek?" tanyanya. Kakek Roi lagi-lagi membuang napas. "Sejak awal semuanya memang bukan salah papamu. Dia tidak seperti yang kamu pikirkan," ucapnya. Adhitama diam, begitu juga dengan Risha yang masih mencoba menerka. Kakek Roi seperti memiliki beban yang sangat berat di pundaknya. Tatapan mata pria itu ke Adhitama tampak sangat sendu. “Mamamu berselingkuh, bahkan mamamu meninggal karena mengalami kecelakaan bersama selingkuhannya itu. Papamu tahu semua, tapi dia memilih diam,” ujar kakek Roi menceritakan fakta sebenarnya. Adhitama mencengkram lutut mendengar cerita Kakek Roi. Tentu saja dia tidak bisa percaya begitu saja. Sementara itu, Risha sangat kaget sampai menoleh Adhitama yang masih terdiam. “Bahkan, Roshadi juga diam saat kamu membencinya. Kamu tahu kenapa dia melakukan itu? Tentu saja agar kamu tidak membenci mamamu. Dia menerima semua kebencianmu karena baginya, seo
Adhitama tak bisa menjawab ucapan Roshadi. Dia sudah cukup kecewa dengan kenyataan dan enggan membahas itu lebih dalam.Adhitama mengambil cangkir kopinya lagi, sebelum menanyakan hal lain. “Aku dengar Papa ingin menceraikan Arin. Apa itu benar?” tanya Adhitama setelah membahas ibu kandungnya. Roshadi menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan kasar. “Perbuatannya sudah tidak bisa ditolerir lagi, dia harus mendapatkan balasan yang setimpal karena apa yang dilakukannya sudah sangat keterlaluan,” jawab Roshadi. Dia sudah mempertimbangkan semuanya dengan matang dan keputusannya untuk bercerai adalah final. “Hm .... mungkin itu yang terbaik.” Adhitama mengangguk mendengar ucapan Roshadi. Adhitama menatap ayahnya itu, lantas berpikir mulai sekarang hubungannya dan Roshadi pasti akan membaik. Dia akan belajar menerima keadaan karena memang bukan Roshadi yang bersalah. Setelah bicara dengan Roshadi. Adhitama pamit dan meninggalkan rumah ayahnya itu. Dia mengemudikan mobil di jala
Sore itu, Haris berdiri di depan gerbang sekolah Lily, matanya menyapu setiap anak yang berlarian keluar dari gerbang. Tak lama kemudian, Haris melihat Lily berjalan pelan keluar, mengenakan seragam sekolah lengkap dengan tas ransel kecil di punggungnya. “Paman Haris!” seru Lily. Anak itu mempercepat langkahnya dan berlari ke arah Haris. Haris tersenyum hangat, lalu berjongkok agar sejajar dengan Lily, dia membuka tangannya lebar untuk menyambut gadis kecil itu dalam pelukannya. "Keponakan Paman tersayang! Gimana sekolahnya hari ini?" Haris bertanya sambil membelai rambut Lily. "Capek!" balas Lily. "Aku tadi tidak tidur siang," imbuhnya. Lily melepas pelukannya ke Haris kemudian menatap ke arah mobil yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berdiri. “Lho kok Paman yang jemput, Bunda sama Papa ke mana? Kok mereka nggak jemput Lily?” Haris tersenyum lembut dan mengambil tangan Lily, menggandengnya ke arah mobil. “Bunda sama Papa lagi ada urusan penting, jadi Paman yang j
Hari itu seperti sebelumnya Risha dan Adhitama menjemput Lily di rumah Haris, lantas mengajak anak itu pergi ke rumah sakit untuk menemui dokter. Mereka ingin mendengar dokter membacakan hasil tes laboratorium Lily yang terbaru. Risha dan Adhitama sudah tak sabar menunggu. Namun, dokter terlihat diam sambil menatap kertas yang ada di tangannya. Dokter itu terlihat bingung. Mungkin merasa bersalah karena sudah berbohong pada Risha dan Adhitama soal kondisi Lily atas permintaan Kakek Roi. Hasil tes di hadapannya menunjukkan Lily baik-baik saja, hingga membuat dokter itu merasa tak tega jika harus kembali berbohong. “Ada apa, Dok? Apa ada masalah?” tanya Risha karena dokter tak kunjung menjelaskan. Adhitama terlihat cemas dan takut jika kondisi Lily memburuk. “Penyakit Lily tidak semakin parah, kan?” tanya Adhitama yang tidak sabar karena dokter itu diam cukup lama. Dokter itu menatap bergantian Risha dan Adhitama. “Tidak, untuk sementara tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semu
Hari itu Risha pergi ke rumah sakit. Dia akan melakukan pemeriksaan kandungan untuk persiapan bayi tabung yang sudah disepakatinya dengan Adhitama.Risha masih menunggu bersama pasien yang lainnya. Dia melihat beberapa ibu hamil yang datang bersama suami, membuat Risha tiba-tiba tersenyum.Risha tiba-tiba ingat saat hamil Lily. Dia pergi ke dokter sendiri untuk memeriksakan kandungan. Dulu dia pernah iri pada wanita lain yang sangat bahagia karena bisa ke dokter bersama pasangan, sedangkan dia hanya sendiri.Namun, kali ini akan berbeda. Jika dia hamil, akan ada Adhitama yang menemaninya, tiba-tiba saja Risha tidak sabar menantikan hari itu.“Ibu Risha.”Risha mendengar namanya dipanggil. Dia melihat perawat berdiri di depan pintu, lalu dia segera menghampiri dan masuk ke ruang pemeriksaan.Risha berbincang banyak hal dengan dokter perihal rencananya itu. Dia menanyakan berbagai informasi agar nantinya tidak ada kesalahan. “Baik, silakan berbaring saya akan mengecek kondisi rahimnya
Dilingkupi rasa bahagia, Risha dan Adhitama memutuskan menjemput Lily di sekolah bersama. Mereka sangat tidak sabar ingin segera memberitahukan kabar baik tentang kehamilan Risha pada Lily. Risha dan Adhitama masih ada di depan gedung sekolah menunggu jam pelajaran Lily usai. Tak beberapa lama kemudian, bel berbunyi lalu beberapa guru sudah keluar untuk melepas dan memastikan para murid dijemput orang tua mereka. “Bunda, Papa!” Lily berlari menghampiri saat melihat Risha dan Adhitama. Risha langsung meraih tangan Lily, lalu mengajak bocah itu ke parkiran. Di sana Risha siap menyampaikan kabar bahagia yang dibawanya. “Kok Bunda ikut jemput, apa sudah periksa ke dokter?” tanya Lily. Risha dan Adhitama saling tatap. Lalu Risha berjongkok dan menggenggam kedua tangan Lily. “Iya, Bunda jemput karena punya kabar baik buat Lily,” jawab Risha. Lily menatap penasaran pada Risha, apalagi sang bunda dan papanya terlihat sangat bahagia. “Kabar baik apa?” tanya Lily. “Bunda hamil, jadi
Risha tiba-tiba memikirkan apa yang dikatakan oleh Haris. Semua itu benar dan Risha tidak bisa mengelak dari hal itu. “Aku harus bagaimana?” Risha tiba-tiba saja merasa bingung. Risha diam sesaat, lalu memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter kandungan yang sekarang bertanggung jawab dengan kehamilannya. Risha pergi ke rumah sakit esok harinya. Dia bertemu dokter lalu mencoba berkonsultasi. “Jadi, bagaimana baiknya, Dok? Begitulah riwayat kehamilan saya saat hamil anak pertama,” ucap Risha dengan raut wajah sedih dan bingung. Dokter itu bukanlah dokter yang dulu menangani kondisi kehamilan pertama Risha. Dokter itu mendengarkan dengan seksama, lalu menghela napas kasar. “Kasus ini memang sulit, kemungkinan terulang lagi pasti lebih besar. Sebenarnya ini memang berbahaya juga untuk kehamilan yang sekarang, meski kondisi Anda sendiri baik,” ucap dokter menjelaskan panjang lebar. Risha merasa lemas dan tak bertenaga. Jika kehamilannya sekarang mengalami kasus seperti du
Risha dan Adhitama berjalan beriringan masuk ke sekolah Lily pagi itu. Mereka terlihat beberapa kali berhenti untuk berbicara dengan orangtua teman Lily yang juga datang ke sekolah.Hari itu acara kelulusan murid digelar, Risha sudah tidak sabar melihat bagaimana penampilan putri kecilnya di atas pentas.Risha duduk sambil harap-harap cemas menunggu acara dimulai.“Dia tidak akan membuat kesalahan ‘kan?” tanya Risha sambil meremas tangan. Padahal Lily yang akan tampil, tapi dia yang grogi.Adhitama yang melihat Risha beberapa kali menggigit bibir bawah hanya tersenyum, dia meraih tangan sang istri yang ada di atas paha lalu menggenggamnya erat.“Dingin sekali, kenapa kamu yang gugup begini?” tanya Adhitama.“Aku hanya khawatir. Lihat saja banyak orang begini, bagaimana kalau dia takut hingga membuat kesalahan. Dia pasti sedih dan bisa kehilangan rasa percaya diri, ini penampilan pertamanya di depan banyak orang,” jawab Risha.“Kamu harus yakin ke Lily, dia pasti bisa. Calon penerus Ma
Sore itu, Andre duduk di meja kerjanya sambil menatap layar laptop. Pekerjaan hari itu hampir selesai, tetapi ada satu hal lagi yang harus dia urus sebelum meminta izin pulang ke Adhitama.Andre melihat jam di tangannya, sudah hampir pukul lima sore. Andre menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri dan melangkah ke ruangan Adhitama.“Pak, apa saya bisa bicara sebentar?” kata Andre, mencoba terdengar tenang meskipun ada sedikit kegugupan di suaranya.Adhitama yang masih berkutat dengan layar laptop menjawab, “Tentu. Ada apa?”“Saya mau minta izin, Pak. Lusa rencananya saya ingin mengambil cuti untuk jalan-jalan sebentar. Sudah lama saya tidak liburan."Adhitama sedikit terkejut mendengar permintaan Andre. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak lalu memandang sekretarisnya itu. “Jalan-jalan? Ke mana? Memang kamu sudah punya pacar?” goda Adhitama.Andre tertawa kecil mendengar pertanyaan sang atasan. Pemuda itu sedikit berkilah dengan menjawab, “Memang pergi jalan-jalan harus bersama pacar
Seminggu kemudian Alma dan Haris mengadakan syukuran atas kelahiran anak mereka.Syukuran di rumah mereka berjalan meriah. Tamu-tamu yang datang silih berganti, membawa suasana hangat penuh canda tawa.Alma, yang baru saja melahirkan putra pertamanya, tampak bahagia menyambut satu per satu tamu yang hadir.Andre melangkah masuk dengan senyum kecil di wajah. Berbaur dengan tamu-tamu lain yang sebagian besar dia kenal. Namun, saat melihat sosok gadis yang tengah mengobrol di sudut lain ruangan, Andre segera berjalan mendekatinya. Ia sudan lama tak bertemu dengan Mahira, tapi dia sebenarnya sudah menduga pasti akan bertemu dengan Mahira di rumah Alma."Andre! Lama nggak ketemu. Apa kabar?" tanya Mahira sambil tersenyum lebar.Andre mengangguk kecil. "Baik. Kamu gimana?""Aku? Baik juga. Ngomong-ngomong, kabar mamamu gimana? Sehat kan?""Sehat kok," jawab Andre.Mereka terlihat canggung, Mahira bahkan ingin menjauh tapi entah kenapa ada perasaan yang membuatnya ingin terus mengobrol denga
Risha baru saja keluar dari kamar Lily malam itu. Dia berjalan pelan sambil memandang pintu ruang kerja Adhitama. Risha ragu mungkinkah Adhitama masih berada di sana atau sudah kembali ke kamar mereka. Risha mengedikkan bahu, memilih mempercepat langkah menuju kamar tidur. Baru saja menutup pintu, Adhitama membuat Risha terkejut karena sudah berada di dalam. “Astaga Mas Tama!” pekik Risha setelah sebelumnya berjengket karena kaget. “Kamu itu kenapa?” Adhitama terkekeh kecil lalu menekuk tangan di depan dada. “Aku pikir Mas masih di ruang kerja,” balas Risha sambil naik ke atas ranjang lalu duduk di samping Adhitama. “Apa ada masalah lagi di Mahesa?” tanyanya penuh perhatian. “Tidak ada, hanya mengecek dan memastikan sesuatu.” Adhitama membalas sambil melingkarkan tangan melewati punggung Risha, memberi isyarat kalau dia ingin memeluk istrinya itu. “Bagaimana Pembangunan kantor dan pabrik barumu? Bukankah seharusnya bulan depan pabrik sudah bisa mulai beroperasi?” tanya Adhitama
“Sudah sayang, kamu sudah cantik!”Ucapan Adhitama membuat Risha menoleh dan tersenyum. Adhitama berjalan mendekat pada Risha yang masih mematut diri di depan cermin, memeluk pinggang lalu mencium pundak istrinya itu.“Lily sudah siap?” tanya Risha sambil memandang Adhitama dari pantulan kaca di hadapannya.“Sudah, dia senang sekali mendengar kita mau mengajaknya pergi belanja,” balas Adhitama. “Ternyata semua wanita sama, suka sekali dengan hal berbau materi,” imbuhnya.Risha tertawa lebar, dia memutar tubuh lalu memandang Adhitama yang semakin hari semakin terlihat menawan di matanya.“Jadi selama ini Mas Tama pikir aku ini matre? Begitu?” goda Risha.“Hm .. bagaimana aku menjawab? Yang pasti aku bahagia bisa memberimu segalanya.” Adhitama meraih pinggang Risha. Menarik tubuh wanita itu hingga menempel padanya.“Aku hanya butuh Mas cintai dan jadikan satu-satunya wanita di dalam hidup Mas Tama,” ujar Risha. Senyum tipis dan tatapan matanya yang penuh cinta melenakan Adhitama hingga
Andre sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa laporan yang harus diserahkan ke Adhitama saat atasannya itu baru saja datang.Andre langsung berdiri dan menyapa dengan sopan. “Selamat pagi, Pak.”"Pagi, ikut ke ruanganku, ada yang mau aku bicarakan," ucap Adhitama seraya melangkah masuk.Andre mengangguk, dia berdiri dari kursinya kemudian menyusul Adhitama. Meskipun terdengar serius, tapi raut Adhitama tidak tampak mengintimidasi."Aku mendengar dari pengacara kalau masalah dengan ayahmu itu belum ada titik temu, bagaimana perkembangannya?” tanya Adhitama.Andre menarik napas dalam sebelum menjawab. “Sebenarnya semalam saya bertemu dengannya, yang bisa saya baca dia mulai terlihat khawatir. Mungkin karena saya bilang bekerja di Mahesa dan memiliki dukungan penuh dari perusahaan.”Adhitama tersenyum tipis. “Baguslah kalau begitu. Orang seperti Papamu itu biasanya hanya menggertak. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk bicara, aku pasti akan membantu,” ucapnya.“Terima kasih,
Di tengah hujan gerimis yang mengguyur kota, Mahira duduk di kursi penumpang mobil Andre sambil membuka jendela, membiarkan angin segar bercampur bau aspal basah masuk ke dalam mobil.Di tengah perjalanan menuju kos, tiba-tiba Mahira berkata, “Apa bisa berhenti sebentar di minimarket depan? Aku mau beli beberapa makanan buat stok di kos.”Andre mengangguk tanpa banyak bicara, lalu memutar setir ke arah minimarket yang Mahira maksud. Mobil itu melambat dan berhenti di depan minimarket yang terlihat ramai. Mahira keluar lebih dulu, lalu menoleh ke Andre yang masih duduk di kursi kemudi.“Yuk, ikut," ajaknya. Andre sebenarnya malas keluar mobil, tapi entah kenapa dia mengiyakan saja ajakan Mahira."Kamu kalau mau beli sesuatu boleh. Aku traktir, kamu pilih apa aja yang kamu mau.” Senyum Mahira mengembang. Pikirnya, Andre sudah banyak membantu jadi tidak ada salahnya mengeluarkan beberapa puluh ribu untuk membelikan pemuda itu sesuatu.Andre menghela napas sambil menggeleng. "Nggak usah.
Mahira duduk di ruang kecil kantor My Lily, matanya terus melirik jam dinding. Risha belum juga datang, dan dia sudah tidak sabar untuk meminta izin pada ibunda Lily itu.Meski terdengar keterlaluan, tapi Mahira berniat mengajukan diri agar diizinkan melakukan live penjualan sepanjang hari.Mahira masih menunggu dengan cemas, hingga Risha muncul dengan senyum maanis.“Pagi,” sapa Risha ke semua stafnya. Wanita itu berjalan ke ruang kerjanya dan disusul oleh Mahira.“Bu Risha, permisi. Apa saya boleh bicara?”Ucapan Mahira membuat Risha menghentikan langkah lalu menoleh.“Bicara apa?” tanya Risha dengan kening berkerut halus.“Begini Bu Risha. Saya mau meminta izin, boleh tidak hari ini saya mengambil alih live dari pagi sampai petang? Maksimal delapan jam.”Risha mengangkat alis, kaget dengan permintaan itu. “Kenapa tiba-tiba kamu ingin live selama itu?”Mahira menarik napas panjang, matanya sedikit berkaca-kaca. “Saya butuh uang, Bu. Papa saya … papa saya ditangkap polisi.”Risha ter
Lain di mulut lain di hati. Meski terlihat tak peduli, nyatanya Andre tidak benar-benar bisa mengabaikan Mahira. Malam itu, meskipun memaksakan diri untuk tidur, pikiran Andre tetap berkelana, memikirkan Mahira dan apa yang mungkin sedang terjadi.Pagi harinya, Andre bangun dengan perasaan yang masih sama. Namun, dia tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaannya kepada siapapun, termasuk ibunya.Andre bangkit dari tempat tidur dengan mata berat. Ponselnya tergeletak di meja dengan layar hitam tanpa notifikasi baru. Dia memegangnya lagi, ragu sejenak sebelum mengetik pesan lain untuk Mahira.[Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja.]Setelah mengirim pesan itu, Andre termenung, berharap balasannya kali ini datang.Namun, keheningan tetap mengisi ruang kamarnya. Andre mendesah berat, merasa bersalah tapi masih enggan mengakui."Apa aku harus ke sana langsung?" gumamnya. Pikiran tentang Mahira di kos seorang diri terus menghantui Andre.***Matahari baru saja muncul, memancarkan sin