Hari itu, Haris berusaha menyelesaikan setumpuk pekerjaannya sambil mengawasi Lily yang baru saja dia jemput dari sekolah. Risha dan Adhitama sudah berangkat bulan madu, meninggalkan Lily yang tidak mau ditinggal bersama Kakek Roi. Lily tampaknya bosan hanya melihat tablet dan bermain dengan mainan yang Risha bawakan untuknya, hingga anak itu mulai bergerak ke sana-kemari di ruangan Haris, memainkan semua yang bisa dia jangkau. "Paman Haris, kapan selesainya? Aku mau main! Nggak ada yang seru di sini!" Haris yang sedang fokus dengan laporan di hadapannya berusaha tetap tenang. "Lily, sabar ya, Paman masih harus menyelesaikan sedikit pekerjaan. Setelah selesai nanti kita main, oke!" Namun, Lily tidak berhenti. Anak itu mulai mendekat ke Haris dan memencet-mencet keyboard laptop Haris bahkan menjatuhkan beberapa kertas di meja. Haris menghela napas, dia sadar tidak bisa membiarkan Lily lebih lama atau pekerjaannya tidak akan selesai-selesai. Haris akhirnya memanggil Alma mengguna
Sementara itu di belahan bumi lainnya, di bawah langit Paris yang megah, Risha dan Adhitama akhirnya tiba untuk bulan madu yang mereka impikan sejak lama. Selain tiket pesawat, Kakek Roi ternyata juga sudah menyiapkan akomodasi di sebuah hotel mewah di tepi Sungai Seine. Di mana dari sana Menara Eiffel terlihat sempurna dari balkon kamar Adhitama dan Risha. Tanpa mengajak Lily bersama, mereka bisa benar-benar merasakan suasana romantis yang murni hanya untuk berdua. Ketika tiba di lobi hotel, suasana mewah dan elegan langsung menyelimuti Adhitama dan Risha. Chandeliers kristal menggantung tinggi, memantulkan cahaya ke lantai marmer yang mengkilap. Risha tak bisa menyembunyikan senyumnya. "Kita benar-benar di sini, di Paris!" ucap Risha ke Adhitama yang masih menggenggam erat tangannya. "Kakek memang pandai memilihkan tempat," kata Adhitama. Petugas hotel menyambut dan mengantar ke kamar mereka. Saat pintu terbuka, pemandangan menakjubkan menyambut Adhitama dan Risha. Sebuah r
Siang itu Sevia duduk berhadapan dengan dua polisi di ruang interogasi. Dia diam, tapi bukan karena takut melainkan memikirkan sebuah rencana di kepala.“Kami sudah memiliki cukup bukti bahwa Anda menjebak saudara Adhitama, dan bahkan berusaha membunuh Pak Roi,” ujar salah satu polisi dengan nada tegas.Sevia tertawa kecil. “Adhitama? Roi? Siapa itu?” tanyanya dengan suara agak mengejek.Sevia memainkan ujung rambutnya dan tertawa lebih keras dari sebelumnya, membuat kedua polisi itu saling pandang.“Jangan main-main! Ini bukan pemeriksaan pertama Anda. Kami sudah tahu apa yang Anda lakukan,” ucap polisi . “Menurut keterangan tersangka Arin, Anda berencana menjebak saudara Adhitama dengan membunuh kakeknya sendiri,” imbuhnya.Sevia menoleh tiba-tiba ke arah polisi itu, wajahnya berubah sedih. Sevia tertawa keras, mengayunkan tubuhnya ke depan dan belakang seperti orang kesurupan.Polisi mulai tidak sabar. “Anda pikir bertingkah seperti ini bisa membuat Anda lolos dari jerat hukum?”Se
Malam itu, Haris duduk di samping ranjang Lily sambil memegang sebuah buku dongeng.Lily menarik selimutnya, matanya berbinar siap mendengarkan cerita dari Haris."Ayo, Paman Haris, baca dongeng yang itu," kata Lily sambil menunjuk gambar di sampul buku dongeng tentang hewan-hewan kesukaannya.Haris tersenyum lembut dan mulai membuka halaman buku. Dia membacakan satu cerita hingga habis, tapi Lily tampak belum juga mengantuk.“Kenapa Lily tidak memejamkan mata? Apa ada yang Lily pikirkan?” tanya Haris penuh kelembutan.Lily mengangguk kecil. "Iya. Kapan Papa dan Bunda pulang dari Paris?"Haris berhenti sejenak, menatap Lily dengan tatapan hangat. "Tidak lama lagi, mereka pasti segera pulang.”Lily mengerutkan alis. "Aku kangen Bunda sama Papa. Tapi aku senang ada Paman Haris di sini," katanya sambil bersandar manja pada Haris.“Mereka pasti juga kangen banget sama Lily,” kata Haris. "Mereka lagi jalan-jalan ya di sana?" Lily bertanya lagi, anak itu cerewet seperti bundanya waktu keci
Hari itu Rara pergi ke penjara. Dia sudah duduk menunggu di ruang kunjungan, lalu beberapa saat kemudian Arin masuk ruangan itu dengan kedua tangan terborgol. “Bagaimana kabar Mama?” tanya Rara saat Arin sudah duduk berhadapan dengannya. “Menurutmu? Apa kamu tidak bisa menilai sendiri? Kamu pikir mama baik-baik saja?” Arin agak sewot karena kesal. Rara hanya menghela napas kasar mendengar jawaban Arin. Ya, dia menganggap jika Arin hanya tertekan karena mendekam dan terkekang di penjara. “Kenapa papamu tidak datang ke sini menjenguk mama?” tanya Arin karena selama dirinya ditahan, Roshadi sama sekali belum menemuinya. “Mama berharap apa? Tentu saja Papa sangat kecewa karena itu tidak mau menjenguk Mama,” jawab Rara, “aku sudah memperingatkan agar Mama tidak terlibat, tapi Mama tidak mengindahkan ucapanku,” imbuh Rara. Andai Arin percaya pada Rara dan tidak mengikuti rencana Sevia, pasti Arin masih bisa hidup enak. Sekarang Arin harus menerima hukuman dengan tidur di tempat dingi
Adhitama mengerutkan kening, dia bingung dengan arah pembicaraan Kakek Roi saat ini. "Apa maksud Kakek?" tanyanya. Kakek Roi lagi-lagi membuang napas. "Sejak awal semuanya memang bukan salah papamu. Dia tidak seperti yang kamu pikirkan," ucapnya. Adhitama diam, begitu juga dengan Risha yang masih mencoba menerka. Kakek Roi seperti memiliki beban yang sangat berat di pundaknya. Tatapan mata pria itu ke Adhitama tampak sangat sendu. “Mamamu berselingkuh, bahkan mamamu meninggal karena mengalami kecelakaan bersama selingkuhannya itu. Papamu tahu semua, tapi dia memilih diam,” ujar kakek Roi menceritakan fakta sebenarnya. Adhitama mencengkram lutut mendengar cerita Kakek Roi. Tentu saja dia tidak bisa percaya begitu saja. Sementara itu, Risha sangat kaget sampai menoleh Adhitama yang masih terdiam. “Bahkan, Roshadi juga diam saat kamu membencinya. Kamu tahu kenapa dia melakukan itu? Tentu saja agar kamu tidak membenci mamamu. Dia menerima semua kebencianmu karena baginya, seo
Adhitama tak bisa menjawab ucapan Roshadi. Dia sudah cukup kecewa dengan kenyataan dan enggan membahas itu lebih dalam.Adhitama mengambil cangkir kopinya lagi, sebelum menanyakan hal lain. “Aku dengar Papa ingin menceraikan Arin. Apa itu benar?” tanya Adhitama setelah membahas ibu kandungnya. Roshadi menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan kasar. “Perbuatannya sudah tidak bisa ditolerir lagi, dia harus mendapatkan balasan yang setimpal karena apa yang dilakukannya sudah sangat keterlaluan,” jawab Roshadi. Dia sudah mempertimbangkan semuanya dengan matang dan keputusannya untuk bercerai adalah final. “Hm .... mungkin itu yang terbaik.” Adhitama mengangguk mendengar ucapan Roshadi. Adhitama menatap ayahnya itu, lantas berpikir mulai sekarang hubungannya dan Roshadi pasti akan membaik. Dia akan belajar menerima keadaan karena memang bukan Roshadi yang bersalah. Setelah bicara dengan Roshadi. Adhitama pamit dan meninggalkan rumah ayahnya itu. Dia mengemudikan mobil di jala
Sore itu, Haris berdiri di depan gerbang sekolah Lily, matanya menyapu setiap anak yang berlarian keluar dari gerbang. Tak lama kemudian, Haris melihat Lily berjalan pelan keluar, mengenakan seragam sekolah lengkap dengan tas ransel kecil di punggungnya. “Paman Haris!” seru Lily. Anak itu mempercepat langkahnya dan berlari ke arah Haris. Haris tersenyum hangat, lalu berjongkok agar sejajar dengan Lily, dia membuka tangannya lebar untuk menyambut gadis kecil itu dalam pelukannya. "Keponakan Paman tersayang! Gimana sekolahnya hari ini?" Haris bertanya sambil membelai rambut Lily. "Capek!" balas Lily. "Aku tadi tidak tidur siang," imbuhnya. Lily melepas pelukannya ke Haris kemudian menatap ke arah mobil yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berdiri. “Lho kok Paman yang jemput, Bunda sama Papa ke mana? Kok mereka nggak jemput Lily?” Haris tersenyum lembut dan mengambil tangan Lily, menggandengnya ke arah mobil. “Bunda sama Papa lagi ada urusan penting, jadi Paman yang j
Pagi itu untuk pertama kali Haris merasa senang duduk di meja makan.Pembantu terus saja menggoda dengan berkata masakan Alma memang sangat luar biasa.Alma sendiri tersenyum malu mendengar pujian itu, dia duduk tepat di seberang Haris. Alma sesekali memandang pada Haris, pria mapan, tampan dan baik hati itu masih tidak dia percayai memiliki perasaan padanya.“Sepertinya makananmu itu tidak akan berkurang kalau kamu hanya melihatku, dan tidak menyuapkannya ke dalam mulut,” ucap Haris tanpa memandang ke Alma.Mendengar itu pembantu rumah tidak bisa menyembunyikan senyum, sedangkan Alma menunduk menahan malu.“Ini sudah berkurang banyak,” jawab Alma seraya menyembunyikan rasa malu.**Setelah sarapan Haris berangkat ke kantor dan Alma mengantarnya sampai ke depan.Meskipun ragu, tapi Alma memberanikan diri meminta izin ke Haris untuk pulang ke rumahnya hari itu.“Aku harus membereskan rumah, aku juga meninggalkan cucian piring kotor, jika tidak diurus bisa-bisa berjamur,” kata Alma.Ala
Alma tak menyangka Haris akan menahannya di rumah pria itu. Dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menerima dan mengikuti apa keinginan Haris. Bahkan seperti apa yang pria itu katakan, sudah ada banyak baju untuknya di sana.Meskipun agak canggung kepada pembantu rumah, tapi Alma mencoba untuk bersikap baik.Seperti pagi itu, dia bangun pagi lantas pergi ke dapur untuk membantu menyiapkan sarapan.Awalnya pembantu rumah Haris kaget bahkan memohon Alma untuk tidak melakukan itu. Namun, Alma bersikeras, dia berkata tidak mau menumpang dan makan secara cuma-cuma di sana.“Sudah sewajarnya, karena Mba Alma calon istri Tuan Haris.”Ucapan pembantu membuat Alma menghentikan gerakan tangannya memotong wortel, dia menoleh karena kaget.Bagaimana bisa pembantu rumah tahu kalau dia calon istri Haris?“Apa Pak Haris bilang aku ini calon istrinya?” tanya Alma setengah tak percaya.“Iya, dia bahkan meminta kami menjaga Mba Alma seperti menjaga keluarga sendiri,” kata pembantu itu. “Syukurlah kare
Keesokan harinya. Andre sudah bersiap pergi bersama Adhitama untuk mengurus masalah di anak cabang perusahaan Mahesa yang terdapat di Jogja.Mereka sarapan lebih dulu di restoran hotel, ada Risha dan Lily juga di sana.“Semalam Anda pergi ke mana, Pak?” tanya Andre. Dia tampak menekuk bibir saat melihat Adhitama hanya diam seolah tak mendengar pertanyaannya.“Kita jalan-jalan, Om Andre mau, tapi pas diketuk-ketuk pintunya, Om Andre tidak keluar,” jawab Lily.“Hampir saja aku pikir kamu mati di kamar,” ledek Adhitama, “tapi mendengar suara dengkuranmu yang seperti babi, aku yakin kamu hanya tidur,” imbuh Adhitama.Andre memasang wajah masam. Dia malu lalu melihat Risha yang tertawa.“Mana mungkin kamar di hotel bintang lima tidak kedap suara,” balas Andre.Adhitama dan Risha sama-sama menahan tawa.Andre memilih menyantap makanannya, saat itu dia melihat Mahira masuk restoran bersama kedua orang tuanya.Lily melihat Mahira, dia menatap benci karena sudah dibuat menangis oleh gadis itu
Ternyata, saat Andre tidur, Adhitama mengajak Risha dan Lily pergi keluar. Mereka pergi ke alun-alun kidul Jogja dan duduk-duduk di sana.Lily sangat senang. Anak itu sibuk bermain gelembung sabun sampai tertawa begitu bahagia. Dia berlari-lari sambil tertawa senang mengejar gelembung yang berterbangan tertiup angin.“Padahal sudah malam, tapi anak-anak masih betah main begituan,” kata Risha mengamati beberapa anak kecil yang juga bermain gelembung seperti Lily.“Namanya juga anak-anak,” balas Adhitama.Mereka duduk memakai tikar plastik yang tadi dibeli dari penjual seharga sepuluh ribu. Risha hanya tersenyum menanggapi balasan Adhitama dan terus memperhatikan Lily yang sedang bermain.Sudah lama tidak melihat Lily sesenang itu saat berlarian. Risha lega putrinya bisa kembali ceria. Risha masih memandang ke arah Lily, lalu melihat anak itu berbicara dengan anak kecil seusianya.Adhitama juga memperhatikan sang putri, sebelum memalingkan pandangan lalu menyandarkan kepala di pundak Ri
Sesampainya di Jogja, Adhitama meminta sopir yang menjemput untuk mengantar mereka ke hotel yang sudah Adhitama pesan. “Kenapa tidak ke rumah?” tanya Risha terkejut. Andre tampak biasa. Dia hanya melirik sekilas ke Adhitama yang duduk di belakang bersama Risha dan Lily. “Kemarin kamu bilang pembantumu sedang ke luar kota, jadi tidak ada yang membersihkan rumah. Aku takut rumahnya berdebu dan kalian bisa alergi,” ujar Adhitama menjelaskan. “Aku sudah bilang kalau Si mbok udah balik ke rumah,” kata Risha mengingatkan. “Aku sudah terlanjur booking kamar, sudah menginap saja di hotel, lagi pula hanya beberapa hari,” balas Adhitama tetap kukuh menginap di hotel. Risha menghela napas kasar. Akhirnya dia pasrah saja. Mereka sampai di hotel dan langsung pergi ke kamar yang dipesan. Saat Andre hendak masuk kamar, Adhitama mencegah asistennya itu. “Aku mau bicara sebentar,” kata Adhitama. “Apa, Pak?” tanya Andre. “Aku nitip Lily,” kata Adhitama lalu berlalu pergi. Andre terkejut kar
Pagi itu. Adhitama bersiap-siap untuk pergi ke perusahaan. Dia sedang mengikat dasi, lalu menoleh pada Risha yang sedang mengambilkan jas miliknya. “Oh ya sayang, aku akan pergi ke Jogja untuk mengurus pekerjaan,” kata Adhitama. Risha mengambil jas yang tergantung di lemari, lalu menoleh pada Adhitama sambil bertanya, “Kapan Mas Tama pergi? Aku mau ikut, sekalian melihat kantor di sana.” “Tapi bukan weekend, lusa aku berangkat,” jawab Adhitama. “Ya sudah, tidak apa-apa. Nanti aku ikut sama Lily juga, sekali-kali Lily libur juga tidak apa-apa. Sepertinya dia juga butuh liburan,” ucap Risha. “Oke kalau begitu. Nanti akan aku minta Andre untuk memesankan tiket untuk kalian juga,” ujar Adhitama sambil mengembangkan senyum. “Iya, tapi jangan beritahu Lily dulu ya Mas, takutnya dia nanti heboh." Risha tahu bagaimana sifat Lily, bisa-bisa anak itu akan menanyakan setiap detik kapan mereka pergi. Adhitama tersenyum penuh arti kemudian mengangguk paham. Adhitama akhirnya berangkat ke
Setelah makan malam yang sedikit menegangkan itu, Haris dan Alma beranjak pulang. Risha dan Adhitama juga memilih mengantar keduanya sampai ke halaman. “Hati-hati di jalan,” ucap Risha bersamaan dengan Haris dan Alma yang berjalan menuju mobil.Alma mengangguk lalu masuk mobil, begitu juga dengan Haris.Haris melajukan mobil meninggalkan rumah Risha. Sepanjang perjalanan, Haris melihat Alma terus saja diam. Sikap Alma membuatnya berpikir, apakah gadis itu marah karena tindakan tegasnya ke staf HRD.“Apa kamu marah?” tanya Haris untuk memastikan.“Tidak,” jawab Alma dengan suara agak lirih.Haris diam sejenak, berpikir jika Alma sudah menjawab seperti itu artinya dia tidak perlu memperpanjang masalah.“Bagaimana tadi, apa kamu sudah dapat baju untuk pernikahan kita?” tanya Haris. Untuk memecah rasa canggung dia memilih membahas hal lainnya.“Belum karena tadi Kak Risha harus menjemput Lily yang sakit,” jawab Alma dengan suara datar.Haris merasa Alma bersikap sedikit aneh. Dia kembal
Tanpa memberitahu, Malam harinya Haris menjemput Alma di rumah Risha. Saat sampai di sana, dia pergi ke kamar Lily dan bocah itu langsung meminta gendong karena masih sakit. “Kenapa badannya hangat?” tanya Haris saat menggendong Lily. “Dia demam, makanya tadi dijemput dari sekolah,” jawab Risha. Haris kaget, lalu menoleh Lily yang menyandarkan kepala di pundak. “Lily sakit? Sudah minum obat belum?” tanya Haris. “Sudah,” jawab Lily. "Lily bobok aja ya." Haris membujuk. Lily menggeleng lalu berkata," Lily maunya digendong Paman Haris.” Haris memeluk Lily, membiarkan anak itu bersikap manja, lalu kembali membujuk dan mengajak Lily berbaring di kasur. Haris mengambil buku cerita di nakas kemudian membacakan cerita untuk Lily. Alma juga ada di sana, ikut mendengarkan Haris bercerita. “Aku tinggal sebentar,” kata Risha pamit dan Alma membalasnya dengan anggukan kepala. Risha berjalan keluar dari kamar Lily. Saat menuruni anak tangga, dia melihat Adhitama yang baru
Hari itu Risha mengajak Alma pergi ke butik untuk melihat baju pernikahan. Mereka sudah ada di butik dan sedang melihat-lihat katalog untuk memilih model mana yang cocok.Saat masih memilih, Alma memberanikan diri untuk mengajak Risha mengobrol. “Kak, entah ini hanya perasaanku saja atau memang benar, tapi aku lihat akhir-akhir ini Lily jadi pemurung, apa ada masalah?” tanya Alma sambil mengalihkan tatapan dari desain gaun di katalog ke Risha. “Bukan masalah besar. Dia hanya sedih karena Audrey sudah tidak bekerja dengan kami lagi dan juga dia kehilangan adiknya,” jawab Risha. Alma mengangguk-angguk paham. Dia merasa bersimpati dan kasihan. “Mungkin nanti kalau anakku lahir, aku akan minta Lily yang memberinya nama supaya Lily senang dan sedikit terhibur,” ujar Alma. Risha terkejut sampai menoleh Alma. “Jangan, bisa-bisa nanti anakmu malah diberi nama yang aneh-aneh Sama Lily.” Alma tertawa kecil mendengar jawaban Risha. Mereka masih sibuk mengobrol sambil melihat-lihat baju